Oleh Mohamad Sobary
Esais
Dalam kesenian klasik Jawa ”Macapat”
dan bisa juga dalam gending Palaran, orang mengidungkan tembang ”Pucung”, yang
di dalamnya, antara lain terdapat ungkapan bijak para resi zaman dahulu atau
kelompok elite yang disebut kaum literati, yang menyatakan bahwa ”ngelmu iku
kalakone kanthi laku ”, maksudnya ilmu hanya bisa dicapai melalui laku.
Dalam tradisi
Jawa yang disebut laku itu ”laku rohani”: tirakat. Di dalam bahasa dunia
pesantren disebut ”riadhah”, kadang ditulis ”riadlah ”, artinya menempuh hidup
serbaprihatin, serbarohani, untuk memperoleh petunjuk Yang Ilahi dan adikodrati
mengenai suatu jenis ilmu yang hendak diraihnya. Di dunia modern, urusannya
lebih ringan, lebih sederhana: membaca.
Bila urusannya
menyangkut pengembangan ilmu secara lebih serius, lebih hakiki, lebih mendalam,
dan mengharapkan terjadi suatu penemuan baru, secara total, utuh baru, suatu
”invention”, atau penemuan baru secara parsial, baru sebahagian, ” innovation”,
maka ”laku” keilmuan yang lebih berat, dan tak kalah dari laku batin orang Jawa
tadi, harus dilakukan suatu penelitian.
Di kalangan
para ilmuwan sosial disebut penelitian lapangan. Mereka yang bergulat di dalam
bidang-bidang ilmu pengetahuan murni, penelitian bisa dilakukan di
laboratorium, dengan suatu percobaan yang ruwet, njlimet, dan memerlukan
ketelitian tingkat tinggi. Tentu saja masih banyak jenis-jenis penelitian lain,
percobaan lain, yang menuntut sikap ilmiah yang tak main-main. Ini memerlukan
suatu kesalehan sosial yang bahkan lebih berat daripada berdoa tiga hari tiga
malam.
Dengan ”laku”
ilmiah macam itu suatu bangsa mencapai kemajuan. Bila suatu bangsa bersaing,
melakukan ”fastabikul khairat ”, berlomba di dalam kebaikan dan amal saleh
untuk meninggalkan suatu warisan budaya bagi bangsanya, atau bagi dunia, maka
bangsa itu telah secara nyata telah mendaftarkan dirinya untuk menjadi bagian
elite dunia di bidang keilmuan. Ini bangsa unggul.
Kita kagum
melihatnya. Bisa saja bangsa itu menang, dan menjadi yang terbaik di dunia.
Kita membelalak memandangnya. Bisa juga kalah, dan disebut bangsa pejuang yang
gigih dan tak mau ketinggalan. Dia kalah, tapi bukan kalah judi yang menjadi
sejenis orang ”terkutuk” secara moral keagamaan, melainkan tetap terpuji. Mata
dunia memandangnya, dan media memperingatkan: bangsa ini boleh jadi tak lama
lagi menjadi juara satu di dunia, di bidang keilmuan.
Betapa harum
sebutan yang disandangkan pada namanya. Betapa mulia bangsa itu di mata Yang
Ilahi dan Terpuji, yang dari kesunyian malam di Gua Hira yang dingin bersabda:
bacalah. Kita ini umat yang mendengar seruan itu, bahkan umat yang secara
khusus diseru, diperintah membaca, tapi adakah kita membaca? Jangan keras-keras
menjawabnya, kita semua tahu, kita tidak membaca. Ah , bukan, kita jarang
membaca. Umat yang jarang membaca ya kita ini.
Apakah itu
memalukan? Kelihatannya tidak. Kita tidak malu. Dalam banyak hal, termasuk
dalam kejahatan korupsi, kita masih kanak-kanak yang belum mengenal malu. Kita
tenang saja melihat tingkat baca kita berada dalam posisi 110 dari 173 negara.
Presiden, menteri pendidikan, rektor-rektor, kepala-kepala sekolah, guruguru,
dan yang lebih penting lagi kepala perpustakaan dan para stafnya, semua tenang,
seolah tak sedikit pun masalah bangsa yang kita hadapi.
Jika kita
membandingkan buku-buku yang harus dibaca di SMA di seluruh dunia, posisi kita
bukan terendah, melainkan terkubur di bawah tanah. Bangsa yang tingkatnya
terendah itu Thailand karena murid-murid SMA hanya wajib membaca lima buku.
Sedikit lebih tinggi dari itu, Malaysia, yang murid-murid SMA-nya membaca enam
buku. Singapura juga hanya enam buku.
Brunei lebih
tinggi lagi, tujuh buku. Tapi, mereka ini tergolong rendah. Tahu, berapa buku
yang dibaca bocah-bocah SMA Indonesia? Nol besar. Nol. Inilah umat yang tidak
membaca. Tapi, seluruh bangsa tenang. Tak ada kegemparan dan keprihatinan
secuil pun yang diberitakan media. Tapi, kalau ada makanan haram tidak diberi
label haram, kita bisa geger.
Mengapa umat
tidak membaca, tak diberi status hukum ”haram”, atau”dosa”, sebagaimana umat
yang tak menjalankan perintah agama yang kita teriakteriakkan melalui pengeras
suara di masjid-masjid, sebagai, konon, dakwah? Mengapa Muhammadiyah, ”The
Modernist” diam saja? Apa hanya urusan kapan mulai puasa kapan lebaran, yang
dianggap masalah penting dalam kehidupan umat? Mengapa NU diam saja?
Mengapa
menteri pendidikan bisu? Mengapa presiden tak pernah mempersoalkannya?
Seharusnya kita malu dengan Swiss, yang murid SMAnya membaca 15 buku. Kita juga
malu pada Rusia, yang lebih tinggi lagi, 20 buku. Apalagi Jepang, 22 buku.
Belanda,bahkan lebih tinggi lagi yaitu 30 buku dan AS merupakan yang tertinggi
dan tak tertandingi:32 buku. Itulah potret ”human development index, yang
disebutkan Center for Social Marketing”.
Kalau menteri
pendidikan tidak malu melihat aib tercoreng di wajah kita, paling tidak
gubernur harus malu. Mungkin, terutama gubernur DKI dulu. Gubernur bisa
mengambil langkah atau kebijakan membaca yang betul-betul dikontrol secara
ketat. Semua kepala sekolah diwajibkan lapor. Kalau kepala sekolah tak mengajarkan
membaca, apa yang diajarkan? Kita ini sudah lama menjadi juara satu dalam
perkara tawuran. Pelajar-pelajar jagonya.
Tapi,
sebaiknya sekarang diubah: bikin mereka semua jago membaca. Wajibkan berapa
puluh buku. Wajib benarbenar wajib. Dikontrol dengan baik. Semua perpustakaan
dibuat sibuk. Sehari penuh, dari pagi hingga sore, banyak warga masyarakat yang
datang membaca. Pelajar dan mahasiswa yang paling utama. Mampukah perpustakaan
memanggul mandat, mendukung menteri, mendukung gubernur, memajukan bangsa?
Universitas? Semua bernafsu, tapi hanya omong kosong mau menjadi ”research
university, world class university”.
Apa
tindakannya? Universitas hanya sibuk membangun gedung, tanpa membangun human
resource di dalamnya. Orde Baru dulu siap tinggal landas. Tinggal landas (mu),
mana bisa tinggal landas tanpa membaca tanpa penelitian yang beneran ? Ada
rektor yang peduli pada mahasiswa yang tak membaca? Kelihatannya tak pernah
ada. Rektor juga jarang peduli pada perpustakaan.
Masjid kampus,
berteriak kemajuan, bangga kita mayoritas, tapi kita masih nyata sekali, umat
yang tak membaca, bangsa yang tak membaca. Tapi kita diam saja. Orang
perpustakaan pun diam seribu bahasa. Kita tak malu, dan tetap diam, melihat
potret diri kita sebagai umat yang jarang membaca?
Sumber: Koran Sindo,1
Desember 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!