Oleh Wahyu Susilo
Analis Kebijakan Migrant Care
LIPUTAN investigasi
media asing tentang praktik perbudakan yang dialami pekerja kapal penangkap
ikan di kawasan Benjina, Maluku, telah mencelikkan mata dunia mengenai
eksploitatif rantai pasokan produk sektor perikanan.
Selama ini
kampanye tentang makanan laut yang aman lebih diarahkan pada produk tangkapan
yang prosesnya diperoleh dengan cara tak keji dan bersahabat dengan lingkungan,
bukan hasil tangkapan yang terlarang menurut aturan konservasi.Kesimpulan
provokatif —dan perlu— dari liputan praktik perbudakan di Benjina dengan
pertanyaan lugas "apakah kita makan produk perikanan laut dari yang
dihasilkan melalui praktik perbudakan" harus jadi cermin betapa selama ini
kita abai pada persoalan pemenuhan hak pekerja sektor perikanan dan kelautan.
Perkara
praktik perbudakan di sektor perikanan dan kelautan sebenarnya bukan hal baru
bagi Indonesia. Pada dekade 1990-an, beberapa lembaga nirpemerintah yang
memperjuangkan pemenu- han hak anak di Sumatera Utara mengungkap praktik
penggunaan pekerja anak dalam industri perikanan, terutama di jermal-jermal
(rumah pengolahan ikan teri), di sepanjang pantai timur Sumatera. Kala itu
muncul kecaman juga dari komunitas inter- nasional, tetapi hingga saat ini
situasi itu masih terus terjadi.
Dalam laporan
rutin tentang situasi perbudakan global (Global Slavery Index) 2014, lembaga
anti perbudakan modern dunia Walk Free juga menempatkan sektor perikanan
sebagai sektor yang masih mempraktikkan cara perbudakan menggerakkan industri.
Di Indonesia ada tiga sektor utama yang memungkinkan warga terperangkap dalam
praktik perbudakan modern, yaitu di sektor perikanan, perkebunan (terutama
kelapa sawit), dan pekerja rumah tangga (PRT).
Situasi ini
juga tak jauh beda dari kondisi buruh migran Indonesia yang bekerja di luar
negeri sepanjang 2014. Migrant Care mencatat, selain PRT migran yang selalu
dalam situasi rentan hampir di semua negara penempatan, hal sama juga dialami
buruh migran Indonesia yang bekerja di sektor kelautan. Dalam dua tahun
terakhir terjadi eskalasi kasus-kasus anak buah kapal (ABK) Indonesia yang
bekerja di kapal asing. Kasus itu antara lain soal pengupahan yang tak sesuai
dengan kontrak, penipuan, dan penelantaran. Sepanjang 2014 terjadi beberapa
kali kecelakaan kapal di Selat Malaka dan Laut Bering, Rusia, mengakibatkan
puluhan ABK Indonesia menjadi korban.
Kerumitan
kasus buruh migran Indonesia di sektor kelautan juga terjadi karena
ketakjelasan institusi negara mana yang bertanggung jawab mengenai penegakan
hukum dan sandaran bagi buruh migran mendapatkan keadilan. Selama ini,
Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Perhubungan, dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia (BNP2TKI) terkesan saling lempar tanggung jawab.
Jika tekad
pemerintahan Jokowi menjadikan sektor maritim sebagai salah satu tulang
punggung menyejahterakan rakyat, yang terjadi di Benjina harus benar-benar jadi
pelajaran.Praktik penggunaan pekerja anak di jermal, perbudakan di Benjina,
serta kerentanan dan penderitaan yang dialami buruh migran Indonesia yang
bekerja sebagai ABK memperlihatkan selama ini wilayah operasi bisnis di sektor
maritim hampir tak tersentuh upaya penegakan hukum dan akses keadilan bagi
pekerja. Yang jamak terjadi: suap dan korupsi untuk melestarikan situasi buruk
itu agar terus berlangsung.
Fakta ini juga
mengonfirmasi praktik perbudakan dan perdagangan manusia akan terus subur kala
birokrasi dan penegak hukum memperkaya diri dari praktik pengambilan untung
ilegal melalui suap dan korupsi.Pemerintahan Jokowi harus mengakhiri praktik
buruk itu tak hanya dengan tindakan represif menangkap dan membakar kapal,
tetapi juga mereformasi tata kelola dan kebijakan sektor kelautan yang
berorientasi pada pemenuhan hak atas keadilan bagi para pekerja sektor
kelautan, mengelola dan mengolah hasil kelautan yang ramah lingkungan, tidak
dari proses eksploitatif.
Temuan bahwa
para pekerja yang jadi korban perbudakan di Benjina tak hanya berasal dari
Indonesia (juga dari Laos, Myanmar dan Thailand) memperlihatkan kejahatan
lintas nasional di sektor kelautan akan jadi keniscayaan jika tak ada kerja
sama pencegahan di tingkat regional. Pemerintahan Jokowi harus bisa ambil
prakarsa membuat komitmen di tingkat ASEAN memerangi kejahatan lintas negara
(perbudakan, perdagangan manusia, penjarahan ikan dan produk laut lain) di
sektor kelautan.
Sumber: Kompas, 17 April 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!