Oleh Toto Sugiarto
Ketua Departemen Riset & Konsulting Para Syndicate
DALAM rangkaian pembahasan Peraturan Komisi Pemilihan
Umum terkait pemilihan serentak gubernur, bupati, dan wali kota, Komisi II DPR,
24 April 2015, membuat sejumlah rekomendasi. Salah satu di antaranya, jika
dituruti, akan membuat KPU dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah melenceng
dari rel yang semestinya.
Salah satu
rekomendasi yang dapat menjadi pemicu masalah tersebut menyebutkan bahwa jika
belum ada putusan hukum tetap, putusan terakhir pengadilan sebelum masa
pendaftaran calon menjadi pedoman KPU dalam menentukan siapa yang berhak
mengusung calon.
Bias kepentingan
KMP
Terkait rekomendasi
tersebut, setiap kubu di partai politik yang sedang bersengketa, yaitu Partai
Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), memiliki penyikapan yang
berbeda. Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie setuju terhadap rekomendasi ini:
bahwa KPU harus berpegang pada putusan hukum tetap, dan jika belum ada putusan
hukum tetap, berpegang pada putusan terakhir. Sementara Partai Golkar kubu
Agung Laksono berpandangan bahwa surat keputusan Menteri Hukum dan HAM
(Menkumham) sebagai alat legalitas ada di kubu mereka.
Di PPP, kubu Djan
Faridz memiliki sikap bahwa rekomendasi DPR merupakan jalan tengah terbaik,
yaitu putusan dengan kekuatan hukum tetap atau putusan terakhir. Sementara PPP
kubu Romahurmuziy bersikap bahwa KPU seharusnya hanya berpegang kepada putusan
hukum tetap.
Rekomendasi DPR
tersebut penuh aroma perseteruan politik sempit. Isi rekomendasi terlihat
menguntungkan salah satu kelompok, yakni Koalisi Merah Putih (KMP). DPR
terlihat tidak mengedepankan kepentingan republik.
Dugaan kepentingan
KMP ini terlihat dari selarasnya rekomendasi yang dihasilkan dengan dukungan
"kubu KMP" di Partai Golkar dan PPP, yaitu kepengurusan Partai Golkar
kubu Aburizal Bakrie dan PPP kubu Djan Faridz. Keduanya mendukung penuh
rekomendasi DPR. Kedua kubu ini pun mayoritas di parlemen dibanding seterunya.
Dengan kata lain,
rekomendasi DPR agar KPU mengikuti putusan terakhir jika sampai tahap
pendaftaran calon belum ada putusan hukum tetap, tampak bias kepentingan kubu
KMP. Hal ini tak mengherankan karena kekuatan dominan di DPR adalah pendukung
KMP, baik dilihat dari sisi fraksi Partai Golkar dan PPP ataupun dari sisi
komposisi keseluruhan anggota DPR.
Mesti mampu
bersikap
Sebagai institusi
penyelenggara pemilu yang mandiri, KPU hendaknya mampu mengambil sikap sendiri.
KPU juga tidak perlu menjadi mediator konflik. Dalam kondisi yang terjepit dua
kepentingan politik yang berlawanan, penyelenggara pemilu, yakni KPU dan Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu), jangan terbawa irama pertikaian. Penyelenggara pemilihan
harus memiliki "orkestra" sendiri
Jika mengikuti
rekomendasi yang membahayakan di atas, yaitu apabila belum ada putusan hukum
tetap KPU berpegang pada putusan hukum terakhir, selain akan melanggar
undang-undang juga bisa menjadi masalah di kemudian hari. Jika putusan yang
berkekuatan hukum tetap nantinya berbeda daripada putusan terakhir sekarang
ini, maka akan menjadi sengketa dengan lokus kesalahan ada di KPU.
Oleh karena itu,
dalam mengambil keputusan ini KPU harus mengedepankan upaya menjunjung
supremasi hukum. Karena itu, KPU-yang akan memutuskan paling lambat 30 April
2015 ini-sebaiknya berpegang pada UU dan menjalankan perintah UU yang ada. Jika
pengesahan Menkumham sedang dalam proses hukum, hendaknya KPU berpegang kepada
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan kepengurusan parpol
tersebut telah disahkan Menkumham. Dengan demikian, selain tidak melanggar
hukum, KPU juga tidak akan terseret ke dalam konflik internal parpol.
Idealnya,
pengadilan mempercepat proses hukum untuk menyelesaikan sengketa kepengurusan
ganda Partai Golkar dan PPP tersebut. Dengan demikian, pada tahap pencalonan
sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Kemungkinan ideal lain, partai
bersengketa menyelesaikan sengketa di internalnya masing-masing.
Masalahnya, tidak
ada jaminan bahwa permasalahan ini bisa selesai sebelum tahap pendaftaran
calon. Jika sampai masa pendaftaran calon belum ada putusan hukum tetap atau
belum ada penyelesaian lain, sebaiknya parpol bersengketa tidak diikutsertakan
dalam pilkada pada Desember 2015.
Lentera penerang
jalan
Sikap rigid KPU
seperti ini diperlukan agar penyelenggara tidak terjebak ke dalam konflik
politik dan penyelenggaraan pilkada pada kondisiderail, tergelincir keluar dari
rel. Sementara bagi calon yang sedianya akan menggunakan parpol yang tidak bisa
ikut dalam pilkada, masih terbuka kesempatan melalui jalur perseorangan.
Bagaimana dengan
sikap Bawaslu? Badan ini seolah tidak terkait langsung dengan permasalahan
PKPU, tetapi hendaknya Bawaslu tidak hanya diam dalam persoalan ini. Jika
terjadi sengketa di kemudian hari akibat KPU salah mengambil sikap, Bawaslu
juga yang akan sibuk.
Dengan demikian,
sebagai bagian dari penyelenggara pemilu yang memiliki otoritas penyelesai
sengketa pemilu, Bawaslu memiliki kepentingan langsung. Karena itu, Bawaslu
harus mengingatkan KPU untuk memutuskan jalan terbaik, yaitu jalan yang tidak
berpotensi memunculkan masalah dan tidak membuat pilkada tergelincir dalam
kondisi keluar dari relnya.
Di tengah kondisi
ketegangan politik yang diwarnai partai bersengketa, KPU dan Bawaslu perlu
teguh pada kemandiriannya. Kedua penyelenggara pemilu ini harus mampu menjadi
lentera penerang jalan agar proses politik republik tidak tergelincir dari rel
yang semestinya.
Sumber: Kompas, 30 April 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!