Oleh Umbu T.W. Pariangu
Dosen Fisipol Undana, Kupang
BARU enam
bulan masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) berjalan,
kabinetnya sudah diganggu oleh wacana reshuffle. Ini merupakan buah kebijakan
pemerintah yang dianggap bergeser dari platform kampanye, seperti naik-turunnya
harga BBM, yang mendorong kenaikan liar harga kebutuhan pokok, elevasi dolar
yang menggerus rupiah pada level Rp 13 ribu, kecolongan Presiden dalam
penandatanganan beleid penaikan tunjangan mobil pejabat, hingga opini sepihak
beberapa menteri yang mendistorsi lalu lintas informasi dari Istana, misalnya
soal "obral" remisi koruptor.
"Kecap
pahit" tersebut mutlak dibersihkan dari "piring pemerintah" jika
tak ingin rakyat kesal berkepanjangan. Survei Poltracking Institute (April,
2015) menunjukkan hanya 44 persen publik yang puas terhadap pemerintah Jokowi.
Artinya, mesin pacu kereta pemerintah Jokowi tak sinkron dengan spirit utama
pembentukan kabinet yang berbasis kerja dan kerja. Memang, penurunan ekspektasi
tak berarti lemahnya dukungan rakyat terhadap Jokowi. Simulasi Indobarometer
beberapa waktu lalu menunjukkan dukungan politik terhadap Jokowi masih lebih
tinggi (45 persen) daripada Prabowo (30 persen) jika diadakan pilpres ulang
saat ini. Artinya, bulan madu kedua Jokowi masih bisa terjadi jika kinerjanya
tegak lurus dengan kehendak rakyat.
Reshuffle bisa
menjadi kunci untuk meresidu inefektifitas kinerja dengan menempatkan
figur-figur kompeten yang menjiwai target, visi, dan misi pemerintah. Namun
realisasi hal tersebut membutuhkan pertimbangan jernih sembari memperhitungkan
risiko politik ke depan. Lemahnya perimbangan dukungan politik
eksekutif-parlemen terhadap pemerintah sejauh ini merupakan variabel yang
membuat kerja pemerintah terdegradasi oleh tarik-menarik kepentingan, seperti
berlarut-larutnya konflik pengisian komposisi pimpinan DPR ataupun pencalonan
Kapolri.
Ironisnya,
tarik-menarik kepentingan lebih didasari bobot politis ketimbang konsolidasi
gagasan konstruktif. Bahkan, sumber ketegangan justru datang dari partai
pengusung Presiden. Protes bertubi-tubi PDIP terhadap pembatalan pencalonan
Budi Gunawan sebagai Kapolri hingga inisiasi angket, terutama oleh politikus
PDIP Effendi Simbolon, terhadap pemerintah dalam kaitan dengan kenaikan harga
BBM pada 28 Maret lalu seakan menegaskan PDIP terjebak dalam politik
kohabitasi: sebagai pendukung tapi merangkap pula sebagai oposan pemerintah.
Tampaknya
pelbagai intrik politik belum meredup dalam tubuh pemerintah ke depan. Pada
sisi yang lain, reshuffle bisa jadi hanya bagian dari intrik ketimbang
ketulusan mendapatkan "darah segar" bagi pemerintah. Wacana tersebut
didesain demi mempertajam skeptisisme publik terhadap pemerintah. Yang
berkepentingan soal ini tentu saja Koalisi Merah Putih (KMP). KMP menghendaki
reshuffle supaya tercipta instabilitas di lingkup internal parpol pendukung
pemerintah. Ini strategi untuk membalas manuver KIH sebelumnya terkait dengan
keputusan Menkumham yang dianggap merecoki kekuatan KMP soal kisruh di lingkup
internal Partai Golkar dan PPP.
Untuk
mereduksi pelbagai manuver tersebut, tak ada cara lain. Ke depan, pemerintah
harus bekerja secara impresif, terutama pada aspek ekonomi, stabilitas harga
kebutuhan pokok, serta eliminasi korupsi.
Sumber: Koran Tempo, 6 Mei 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!