Oleh Ignas Kleden
Sosiolog
PERGOLAKAN politik yang sempat memanas menjelang pemilihan gubernur Jakarta
April 2017, khususnya antara mereka yang dianggap sektarian dalam sikap
politiknya dan mereka yang dinamakan kelompok nasionalis, dari segi politik makro,
dapat dipandang sebagai salah satu versi dari kecanggungan yang masih kita
alami di Indonesia menghadapi soal hubungan agama dan negara.
Pergolakan-pergolakan itu lebih mirip
gelombang permukaan atau epiphenomenon dari suatu gejala yang lebih mendasar,
yaitu kebingungan para warga negara menghadapi hierokrasi dan demokrasi,
kehendak Tuhan dan kehendak rakyat, vox Dei dan vox populi, yaitu agama dan
negara. Fenomen kebingungan ini patut diusahakan terus-menerus untuk dibereskan
agar percikan gejala-gejala permukaan sebagaimana yang sering kita alami dapat
dihindari sebagai hal-hal yang tidak perlu dan bahkan merugikan, baik untuk
kehidupan agama maupun untuk perkembangan politik.
Seorang tokoh agama, Salahuddin Wahid,
pengasuh Pesantren Tebuireng, dalam tulisannya di harian Kompas (16/5/2017),
menunjukkan tujuh fakta historis dalam sejarah politik kita semenjak Indonesia
merdeka, berupa tujuh usaha yang berhasil merumuskan dan melegalkan beberapa
bentuk hubungan antara keindonesiaan dan keislaman dalam kesepakatan atau modus
vivendi yang dapat diterima masing-masing pihak.
Ketujuh fakta historis yang diuraikan oleh
penulis tersebut sangat patut mendapat perhatian untuk memahami ketegangan yang
berpotensi muncul dalam penghayatan tentang pentingnya agama dan
tak-terhindarkannya negara dalam kehidupan bersama pada masa sekarang, dan
bagaimana ketegangan itu dapat dicarikan jalan keluarnya yang sedapat mungkin
memberi keadilan (do justice) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam perbedaan
paham dan pendirian.
Sekalipun demikian, keindonesiaan dan
keislaman hanyalah salah satu contoh soal dari masalah besar menyangkut
perlunya dan batas-batas peranan agama dan negara dalam suatu masyarakat yang
menganut demokrasi sebagai sistem politiknya. Karena agama-agama lain juga,
meski dalam skala dan intensitas berbeda, tetap menghadapi pertanyaan sama
mengenai bagaimana bersikap terhadap negara dan agama dalam politik yang
demokratis.
Kita tahu agama mana pun selalu memuat ajaran
luhur tentang moralitas, dan hubungan manusia dengan apa yang diyakininya
sebagai Tuhan semesta alam. Agama membuat seseorang berpandangan dan bertindak
menurut suatu orientasi transendental dan memberi makna transendental kepada
tindakan-tindakannya. Di pihak lain, kekuasaan politik negara merupakan suatu
yang harus ada untuk menjaga ketertiban masyarakat yang hidup dalam negara itu,
khususnya agar ada kemampuan pada negara memaksakan ketaatan kepada hukum dan
UU yang telah disahkan. Agama memberikan bonum maximum (kebaikan tertinggi untuk
para penganutnya), sedangkan kekuasaan politik negara adalah minus malum atau
the lesser evil (sesuatu yang belum tentu baik, tetapi tak dapat dihindari agar
kehidupan bersama dalam suatu masyarakat terhindar dari kekacauan akibat perang
semua melawan semua), atau bellum omnium contra omnes sebagaimana diajarkan
oleh filosof Thomas Hobbes.
Politisasi agama
Dengan posisi agama dan kekuasaan politik
seperti itu, dapat dikatakan bahwa setiap politisasi agama (yang dijalankan
kelompok agama mana saja) adalah tindakan tak menghormati dan bahkan
merendahkan martabat agama, karena ajaran dan nilai-nilai moral yang luhur
telah diturunkan harkatnya dan dijadikan alat untuk mendapat kekuasaan politik
yang fana. Dengan kata lain, suatu bonum maximum direndahkan martabatnya menjadi
alat bagi suatu minus malum.
Sosiologi agama sudah menunjukkan dengan
berbagai bukti, selama berada di dunia ini, baik agama maupun politik tak
terhindar dari godaan, khususnya kekuasaan. Agama dapat tergoda memperluas
pengaruh dan kekuasaannya ke bidang politik, dan sebaliknya, kekuasaan politik
dapat melakukan ekspansi ke dalam kehidupan agama. Keadaan akan jadi damai dan
tenteram kalau kedua jenis kekuasaan ini membatasi diri dalam kawasan pengaruh
masing-masing secara tertib.
Saya berpendapat tak ada salahnya kita
mengambil bahan pelajaran dari negara lain yang telah mendudukkan persoalan ini
secara proporsional dengan menghormati aspirasi politik dan aspirasi keagamaan
para warga negaranya, untuk menjaga agar agama dan politik negara tak saling mempersulit
melalui komplikasi, dengan akibat yang mengabaikan agama atau mengabaikan
negara. Robert Bellah adalah pensiunan Guru Besar Universitas Harvard. Oleh
banyak sarjana ilmu sosial, ia dianggap sosiolog agama terbaik pada masanya dan
penulis paling prolifik tentang hubungan agama dan negara di AS.
Awalnya dia melakukan penelitian mendalam
tentang agama Tokugawa di Jepang, kemudian bersama Soedjatmoko dari Indonesia
memimpin proyek tentang hubungan agama dan pembangunan ekonomi di Asia.
Selanjutnya mendalami berbagai persoalan di AS tentang hubungan agama dan
negara, khususnya tentang sentralnya peran agama dalam politik AS dengan
semboyan in God we trust, tetapi sekaligus dijaga agar agama tak menentukan
jalannya politik nasional.
AS adalah negara bermayoritas penduduk agama
Kristen dari berbagai denominasi dan berbagai gereja dengan ajaran dan paham
teologi bermacam-ragam. Bellah mencoba meneliti pidato-pidato pengukuhan
presiden AS dari George Washington ke Abraham Lincoln hingga John F Kennedy.
Dia menemukan kenyataan penting dan menarik: dalam sumpah pengukuhan jabatan
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, setiap presiden AS selalu
menyatakan bersumpah di depan rakyat dan di depan Tuhan yang Mahakuasa (to
swear before the people and Almighty God) tanpa sekali pun menyebut nama Yesus
Kristus yang jadi inti iman semua gereja Kristen yang ada di sana.
Hal ini sejak awal dilakukan dengan sengaja
untuk menghormati kelompok-kelompok minoritas yang tak beragama Kristen.
Kepercayaan kepada Yesus dianggap urusan privat setiap komunitas Kristen,
tetapi sumpah dalam suatu jabatan politik cukup menyebut Tuhan yang Mahakuasa,
sebagai seruan dan doa yang dapat diterima semua kelompok warga negara AS,
Kristen atau bukan Kristen. Atas cara itu, agama tak jadi isu sektarian dalam
politik nasional.
Sudah sejak awal mula pemerintah dan
masyarakat AS mengakui bahwa agama tak dapat diabaikan dalam politik nasional,
tetapi sekaligus dengan penuh kewaspadaan dijaga posisi dan peranan agama agar
tak mengintervensi jalannya politik nasional. Kelompok republikan sangat
menekankan pentingnya agama, sedangkan kelompok demokrat menekankan pentingnya
peranan rakyat AS sendiri dalam membangun negara mereka.
Kaum republikan seakan melihat negara muncul
dari kehendak Tuhan, yang memberikan beberapa hak yang tak dapat diganggu gugat
(inalienable rights), seperti hak hidup, hak kemerdekaan, dan hak mengejar
kebahagiaan. Pemerintah dibentuk untuk menjamin dan menjaga realisasi hak-hak
itu. Partai Demokrat melihat negara sebagai perwujudan kehendak bebas rakyat
yang diejawantahkan dalam hukum dan UU yang sudah disahkan, sedangkan negara
dan masyarakat harus tunduk kepada hukum dan UU itu. Yang satu seakan berkata
kehendak Tuhan kehendak rakyat (vox Dei est vox populi), sedangkan yang lain
menekankan kehendak rakyat adalah kehendak Tuhan (vox populi est vox Dei).
Kedua pihak akhirnya sepakat AS harus berpegang pada dua pilar terpenting:
warisan kaum republikan berupa Declaration of Independence dan warisan kaum
demokrat berupa Konstitusi AS.
Konsensus ini dicatat dengan baik bahkan oleh
pengamat asing. Alexis de Tocqueville adalah bangsawan Perancis yang meninjau
Amerika dan menulis buku Democracy in America yang dibaca hingga sekarang dalam
pelajaran ilmu politik dan sosiologi karena melukiskan berbagai aspek kehidupan
sosial dan politik Amerika secara relatif tepat. Dia meninjau negara itu selama
sembilan bulan (11 Mei 1831-20 Februari 1832) dan menjelajah 7.000 mil kawasan
negara itu hingga ke Kanada.
Tentang agama dia menulis: "Di AS pengaruh
agama tak hanya terbatas pada perilaku yang baik, tetapi juga menyentuh
intelijensi rakyat. Di antara orang-orang Anglo-Amerika ada yang mengakui
ajaran Kristen dan percaya secara tulus akan ajaran itu, tetapi ada juga yang
melakukan hal sama karena takut dicurigai sebagai tak beriman (suspected of
unbelief). Karena itu, kekristenan menjadi agama utama oleh kesepakatan umum,
dengan konsekuensi, sebagaimana yang saya amati sebelumnya, bahwa setiap
prinsip moral sudah ditetapkan dan bersifat pasti, sekalipun dunia politik
diserahkan kepada debat dan eksperimen manusia. Dengan demikian, pikiran
manusia tak pernah dibiarkan mengembara ke bidang tanpa batas dengan segala apa
yang menjadi pretensinya, tetapi diawasi dari waktu ke waktu oleh batas-batas
yang tak dapat dilampaui".
Pengamatan itu rupanya menjadi dasar baginya
menarik kesimpulan bahwa di AS "setiap orang diizinkan bebas mengikuti
jalan yang menurut anggapannya akan membawa dia ke surga, seperti hukum
mengizinkan setiap orang untuk punya hak memilih pemerintahnya sendiri".
Mendalamnya akar agama dalam agama dan
masyarakat AS diakui banyak presiden dari George Washington hingga John F
Kennedy. Presiden Dwight Eisenhower misalnya berkata, "Our government has
no sense unless it is founded in a deeply felt religious faith---and I don't
care what it is."(Pemerintah kita tak ada maknanya kalau tidak didasarkan
iman yang mendalam—dan saya tak peduli apa wujudnya).
Presiden pertama George Washington, dalam
pidato perpisahannya ketika mengakhiri jabatannya pada 1797, berkata dengan
jelas sekali, "Hendaklah kita waspada menerima begitu saja anggapan bahwa
moralitas dapat dipertahankan tanpa agama. Apa pun boleh diserahkan kepada
pengaruh pendidikan yang beradab atas pikiran manusia dengan susunannya yang
unik, tetapi akal dan pengalaman melarang kita berharap bahwa moralitas nasional
dapat bertahan dengan mengesampingkan prinsip-prinsip keagamaan."
Posisi negara
Beberapa praktik itu memperlihatkan,
sekalipun agama demikian penting dalam psikologi masyarakat AS, negara berusaha
menjaga posisinya sendiri dalam memperlakukan agama-agama dalam masyarakat AS.
Negara berusaha melihat agama atas cara yang berbeda dari cara tiap komunitas
agama dan pemimpin-pemimpin komunitas agama melihat agama mereka masing-masing.
Tiap komunitas agama jelas punya ajaran yang berbeda, teologi berbeda, ritual
berbeda, dan praktik yang berbeda, dan perbedaan ini menjadi hak tiap komunitas
keagamaan sebagai wilayah privat yang dijamin oleh negara.
Namun, jelas juga bahwa negara tak dapat mengetahui
dan juga tak mengurus seluk-beluk setiap agama yang berhak dapat perlindungan
daripadanya. Inilah sebabnya, negara memberi perhatian kepada sifat-sifat pokok
yang dapat dikenakannya pada setiap agama dan menjadi pegangan bagi negara
dalam menentukan kebijakannya terhadap agama. Kita ingat kembali perkataan
Presiden Eisenhower yang menekankan, pemerintah tak punya makna kalau tak
didasarkan pada iman yang mendalam, tetapi, ditegaskannya pula, I don't care,
bagaimana iman itu dilaksanakan dan dihayati dalam setiap komunitas agama.
Hubungan agama dan negara ini sejak lama
memasuki juga pemikiran filsafat di Barat. Filosof Perancis, Jean-Jacques
Rousseau, dalam bukunya tentang kontrak sosial, berbicara tentang suatu gagasan
yang kemudian dalam sosiologi agama diistilahkan dengan civil
religion. Dikatakan secara singkat istilah itu menunjukkan sikap negara dalam
"menyederhanakan" pengertian agama yang memudahkan negara menentukan
kebijakannya terhadap agama. Menurut Rousseau, agama dalam pengertian civil religion
memuat beberapa ajaran dan kepercayaan yang dianggap mewakili semua agama yang
ada, yaitu kepercayaan akan adanya Tuhan, adanya kehidupan di akhirat, adanya
pahala untuk kebajikan yang dilakukan seseorang selama hidupnya dan hukuman
untuk kejahatan, dan penolakan terhadap sikap intoleran terhadap agama lain.
Sangat mungkin pengertian agama yang demikian
disederhanakan tak memuaskan para ahli agama dan ditolak para teolog
profesional. Namun, menurut Rousseau, negara bukanlah ahli agama, sementara negara
berkewajiban menjaga dan mengatur kehidupan agama, jadi segala detail yang
bersifat spesifik untuk tiap komunitas agama sebaiknya tak perlu merepotkan
negara dalam menentukan kebijakannya terhadap agama yang harus dilindunginya
sebagai suatu kewajiban politik. Dari latar belakang sejarah Eropa, hal ini
mudah dipahami karena untuk waktu yang cukup lama Eropa menderita banyak
peperangan yang bersifat perang agama.
Sebuah contoh yang dapat disebut dan patut
disesali adalah Perang Tiga Puluh Tahun (1618-1648) antara Reformasi yang
diwakili Jerman dan Kontrareformasi yang diwakili Spanyol yang Katolik. Perang
yang demikian lama membawa banyak kerugian dan kehancuran untuk kedua negara,
seperti perang-perang agama sebelum dan sesudahnya, tanpa ada pihak yang menang
dan kalah. Pengalaman-pengalaman pahit itu akhirnya membuat negara-negara Eropa
dengan berbagai usaha mencapai kesepakatan mengenai pemisahan agama dari
negara, dan atas cara itu menghindari perang agama antarnegara yang tak
henti-hentinya.
Ketika para migran dari Eropa mulai datang ke
Benua Amerika, mereka membawa serta semangat dan resolusi untuk membangun suatu
dunia baru, suatu kebudayaan baru, dengan kekristenan yang lebih dimurnikan
dari segala cacat yang ada dalam sejarah Eropa. Sejarah negeri asal mereka tak
dilupakan dan ditinggalkan, tetapi semua hendak diperbarui, dan mendapat
atribut baru atau new. Ada New England di bagian timur laut AS yang melingkupi
daerah seperti Vermont, Massachusetts, Rhode Island, dan Connecticut dan
dikenal sebagai kawasan dengan penduduk makmur dan berpendidikan baik.
Ada New Haven, sebuah kota pelabuhan di
Connecticut yang semula menjadi tempat tinggal migran Inggris yang puritan, dan
sekarang menjadi terkenal karena Universitas Yale didirikan di sana sebagai
salah satu dari universitas tertua dan terbaik di AS. Ada New York, sebagai
kota dan pelabuhan terbesar di AS, dan berbagai contoh lain. Dengan semangat
baru yang cenderung puritan, penduduk Amerika tak gampang melepaskan diri dari
kekristenan yang hendak dimurnikan, dan yang hendak dijadikan ciri yang
membedakan Amerika sebagai benua baru dari Eropa sebagai benua lama. Akar agama
dalam kekristenan ternyata mempunyai sejarah yang panjang dan rumit.
Teori tentang pemisahan agama dan negara
diterapkan di AS atas cara yang khas, yaitu dengan tetap mempertahankan agama
sebagai sumber utama moralitas nasional, tetapi sekaligus ditetapkan
batas-batas keterlibatan dan peranan agama dalam politik nasional, dan
diusahakan agar agama yang dianut mayoritas penduduk tidak mengabaikan atau
menjadi ancaman bagi kelompok minoritas.
Kasus Indonesia
Uraian singkat tentang hubungan agama dan
negara, khususnya kekristenan di AS dalam politik nasional, tak dimaksudkan
sebagai contoh yang bisa dijiplak begitu saja di Indonesia atau negara lain.
Uraian dibuat sebagai perbandingan berdasarkan kasus yang kebetulan diketahui
serba sedikit oleh penulis ini, yang tidak punya keahlian profesional dalam
comparative politics atau comparative religion.
Indonesia sebagai negara dan bangsa selayaknya
mencari jalan sendiri untuk menetapkan hubungan yang serasi antara agama dan
negara, antara kesalehan religius dan tindakan yang politically correct, antara
solidaritas kelompok dan kesetiaan nasional, antara dorongan membela agama dan
kewajiban menghormati sesama warga negara dan sesama manusia. Semua perkara itu
mendapat landasannya yang kokoh dalam filsafat-dasar negara Indonesia,
Pancasila, yang telah diterima dengan suara bulat ketika ditawarkan
penggagasnya, Bung Karno, pada 1 Juni 1945.
Itulah konsensus nasional yang jadi batu
sendi bangunan negara baru bernama Republik Indonesia. Konsekuensinya sampai
sekarang: Indonesia yang bersatu hanya mungkin bersatu jika semua warga negara
bersatu dalam Pancasila. Antropolog AS yang dikenal luas di Indonesia, Clifford
Geertz, dalam studinya tentang agama memperkenalkan dua konsep penting untuk
penelitian sosiologi agama. Kedua konsep dinamakannya the force of religion
berupa mendalamnya tingkat internalisasi nilai dan ajaran agama dalam diri
penganutnya dan the scope of religion berupa luasnya konteks sosial di mana
agama dianggap relevan dan perlu. Konsep pertama menunjuk hubungan suatu agama
dengan penganutnya, konsep kedua menunjuk hubungan agama dengan seluruh konteks
sosial politik yang meliputi semua orang.
Dalam kasus AS, sudah ditunjuk bahwa negara
didorong untuk memajukan the force of religion sebagaimana tampak dalam
semangat Declaration of Independence, sambil mengatur dengan waspada the scope
of religion berupa batas-batas dalam politik nasional yang tak boleh dilanggar
oleh agama dan negara sebagaimana ditetapkan dalam Konstitusi AS. Penyelesaian
ketegangan agama dan negara dalam kasus AS ditegaskan oleh John F Kennedy dalam
pidato pengukuhan 20 Januari 1961: "Dengan hati nurani yang tenang sebagai reward
yang pasti, dengan sejarah sebagai hakim terakhir bagi segala apa yang kita
lakukan, hendaklah kita tampil memimpin negeri yang kita cintai, sambil memohon
berkah-Nya dan pertolongan-Nya, karena kita tahu bahwa di sini, di dunia ini,
karya Tuhan harus benar-benar menjadi karya kita sendiri (knowing that here on
earth God's work must truly be our own)".
Sumber: Kompas, 30 Mei 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!