Oleh Boni Hargens
Direktur Lembaga Pemilih Indonesia
MELALUI
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017, pemerintah telah membentuk Unit Kerja
Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Unit ini adalah modus baru membumikan
Pancasila (Kompas, 8/6/2017), yang tugasnya merumuskan arah kebijakan umum
pembinaan ideologi Pancasila dan melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan
pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Singkatnya, UKP-PIP bertugas untuk merumuskan garis-garis haluan pembinaan
ideologi Pancasila.
Sebagai roh,
falsafah, sekaligus Weltanschauung, cara kita melihat dan memaknai dunia,
Pancasila semestinya menjiwai dan menghidupi kita sebagai Indonesia.
Pancasilalah yang memampukan kita, dalam istilah Benedict Anderson (1983), untuk
terus membayangkan diri sebagai satu keluarga besar Indonesia.
Implikasinya,
segala ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG) terhadap eksistensi
Pancasila serentak merupakan ATHG terhadap eksistensi ontologis kita sebagai
Indonesia.
Turbulensi belakangan,
terutama sejak paruh akhir 2016, bukanlah perkara sepele, seperti dipahami
sebagian "politisi (masa) bodoh" yang berpura-pura menyederhanakan
semuanya dalam bingkai pilkada atau sekadar pemanasan (warming-up) menuju
Pemilu Presiden 2019. Kengawuran yang rumit itu adalah preseden dari
kebangkitan politik identitarian (identity politics) dalam batasan buruk.
Orang turun
bergelombang ke jalan, mengibarkan bendera kelompok dan berteriak
mempertanyakan Pancasila-bahkan berpretensi mendekonstruksi dasar negara.
Jelas, itu melampaui urusan kalah-menang dalam pilkada. Di Minahasa, Sulawesi
Utara, gerombolan anak muda mengobarkan semangat separatis. Mereka mengaku
gerah dengan kelompok radikal yang merusak demokrasi Pancasila.
Ekses buruk semacam
ini, di satu sisi, bakal mengeskalasi jika kelompok garis keras tak
ditertibkan. Namun, di lain sisi, negara tak mudah bertindak. Kelompok garis
keras acap kali memakai simbol agama-meski itu afiliasi sosial yang kabur dan
tak jelas batasnya, tetapi berpotensi merusak agama secara fatal.
Garis keras dan
ormas agama
Untuk itu, harus
ada kesepakatan sosial untuk tidak memakai label agama dalam mendiskusikan
ormas garis keras. Sebab, seperti ditegaskan Kepala Badan Intelijen Negara
(BIN) Jenderal (Pol) Budi Gunawan, mereka bukan gerakan dakwah (keagamaan),
melainkan gerakan politik.
Yang melakukan
persekusi juga mesti dilarang memakai simbol agama dalam keseluruhan perjuangan
dan praktik organisasi mereka yang tidak berjuang dalam radius keindonesiaan.
Sebagai upaya pelembagaan
komitmen dan penyatuan kepingan ingatan kolektif tentang Pancasila sebagai roh
bersama, UKP-PIP memikul misi besar, yaitu bagaimana mendarahdagingkan
Pancasila dalam diri anak bangsa.
Namun, dalam
kerjanya, perlu ada analisis yang berimbang dan menyeluruh. Sebab, kebangkitan
politik identitas tak selalu bermakna buruk. Secara teoretis, tak sedikit ahli
secara positif mendefinisikan "politik identitas" sebagai model
pengorganisasian diri di kalangan kaum tertindas (Fanon, 1968; Young, 1990;
Gutmann, 1994; Brown, 1995; Alcoff, 1997; Butler, 1999; Laden, 2001; Allen,
2008).
Ia dilihat sebagai
perjuangan politik menuntut pengakuan terhadap hak dan keberadaan mereka yang
disebut the disinherited oleh Frantz Fanon (1925-1961) atau mustadafin oleh Ali
Syari'ati (1933-1977). Fenomena ini berkembang luas setelah hegemoni politik
liberal melahirkan ketidakadilan struktural dengan segala keturunannya di
segala level. Makanya, Wendy Brown (1995) menegaskan politik identitas lahir
sebagai risiko dari demokrasi liberal. Mereka yang menjadi korban dari
liberalisme mengalami apa yang dalam bahasa kaum feminis disebut "subversi
identitas" (Judith Butler, 1999).
Semangat
fundamental yang diperlihatkan kaum puritan yang radikal belakangan perlu juga
dibaca dalam beragam perspektif: (1) negara perlu memahami kebutuhan dan isi
hati mereka, (2) barangkali masih banyak di antara kita yang belum ikhlas
"menjadi Indonesia" karena alasan multikausal, dan/atau (3) mungkin
gerakan radikal sudah menjadi bentuk komunikasi politik kontemporer yang tak
cukup direspons secara linear.
Poin ketiga di atas
menegaskan bahwa rekayasa politik selalu ada. Campur tangan iblis dalam
kekacauan seperti ini tak pernah absen. Namun, ini diagram Fenn yang kompleks
dalam matematika politik karena irisan yang tumpang-tindih antara rendahnya
pendidikan, lemahnya ekonomi, indoktrinasi yang keliru, ketidakadilan sosial
yang endemik, dan rekayasa politik iblis. Maka, ini catatan keras tentang
kematangan proses kita berbangsa.
Proyek membangsa
Selain itu, proyek
membangsa bukanlah proyek bongkar-pasang seperti tukang bengkel membuang
onderdil rusak dan memasang yang baru. Membangsa adalah membangun keutuhan
sebagai komunitas di atas dasar-dasar yang beragam dan mewujudkan melting pot
sebagai koeksistensi multikultural yang harmonis.
Konsekuensi lurus
dari pemahaman ini adalah bahwa menjadi Indonesia memerlukan kebersediaan yang
sadar dan ikhlas. Perjuangan dimulai dari diri sendiri. Maka, benar apa yang
dikampanyekan Presiden Jokowi: Saya Indonesia, Saya Pancasila! Sebab, Indonesia
adalah "kumpulan saya" yang dengan sadar membayangkan dan mengakui
diri sebagai kita dalam keutuhan sebagai bangsa.
Konsekuensi
terbaliknya, tiap orang yang menolak keberagaman dus sama dengan menolak
Indonesia. Untuk itu, perlu pembinaan dari negara dalam rangka menumbuhkan
kesadaran keindonesiaan. Pada level yang ekstrem, ketika pembinaan tak lagi
efektif, negara boleh memakai kewenangan koersif. Dengan catatan, aturan hukum
ditegakkan supaya tidak ada celah bagi pelanggaran hak asasi dan kebebasan
sipil.
Sumber: Kompas, 30 Juni 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!