Oleh Syafiq Hasyim
Mengajar pada Fisip UIN Jakarta;
Dr Phil dari Freie Universitaet Berlin, Jerman
PRESIDEN Joko Widodo secara resmi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Begitu perppu ini ditandatangani pada 10 Juli 2017, komentar publik langsung terpecah menjadi dua. Kelompok pertama adalah mereka yang mendukung penerbitan perppu, dan kelompok kedua adalah mereka yang menolaknya. Salah satu argumen yang dibangun oleh pihak kontra adalah perppu ini secara substantif akan menghalangi proses demokrasi di negara kita karena salah satu hak dasar manusia, yakni hak berserikat dan berpendapat, terhalangi untuk dilaksanakan. Namun, bagi mereka yang mendukung, penerbitan perppu dianggap sebagai jalan demokrasi karena demokrasi intinya adalah ketaatan pada aturan hukum (rule of law) negara.
Dalam bahasa Muhammadiyah, Indonesia adalah dar al-ahdi wa al-syahadah (negara perjanjian dan kesaksian). Karena itu, jika ada kelompok masyarakat yang perjuangannya tidak hanya melawan hukum, tetapi juga melawan ideologi dan konstitusi negara, organisasi tersebut bisa dinyatakan terlarang oleh pemerintah karena melanggar perjanjian dan kesaksian. Pertanyaannya adalah "mungkinkah sebuah rezim demokratis seperti Indonesia membubarkan atau melarang beroperasinya kelompok yang antidemokrasi?"
Tipe demokrasi
Pertanyaan tersebut mengingatkan pada perdebatan di kalangan filosof dan ilmuwan sosial yang belum tuntas, bahkan tak akan tuntas sampai kapan pun, tentang konsep political tolerance (toleransi politik). Sebelum menuju jawaban atas pertanyaan itu, mari kita tilik varian demokrasi terlebih dulu. Jorgen Moller dan Svend-Erik Skaaning dalam bukunya, Requisites of Democracy: Conceptualization, Measurement, and Explanation (2011), membagi demokrasi dalam empat tipe.
Pertama, demokrasi minimalis, di mana sistem kompetisi untuk kepemimpinan politik melalui pemilu yang reguler sudah dilaksanakan. Dalam sistem minimalis ini, yang terpenting adalah penyelenggaraan pemilu lebih pada aspek proseduralnya.
Kedua, demokrasi elektoral, di mana kompetisi untuk kepemimpinan politik melalui pemilu yang terbuka, jujur, dan adil. Pada tahap ini, keterbukaan, kejujuran, dan keadilan sebagai kualifikasi yang membedakan tipe kedua dengan tipe pertama.
Ketiga, demokrasi poliarkhi (polyarchy), yakni demokrasi yang melaksanakan pemilu yang rutin, terbuka, jujur, serta menaruh hormat atas sebagian kebebasan sipil, seperti hak berbicara dan berkumpul.
Keempat, demokrasi liberal, yakni demokrasi yang memiliki karakter dalam demokrasi poliarkhi, tetapi ditambahkan dengan penghargaan terhadap aturan hukum. Dalam tipe ketiga dan keempat, rezim demokrasi biasa menoleransi beroperasinya kelompok yang memiliki agenda yang mengancam dan bahkan akan merusak sistem demokrasi itu sendiri. Selama masih sebatas ide, negara tak boleh melarang.
Di negara kita, sistem yang sudah disepakati adalah pelaksanaan demokrasi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (demokrasi Pancasila). Di dalam demokrasi Pancasila disepakati adanya batasan-batasan yang ditentukan oleh sila-sila Pancasila dan pasal-pasal di dalam UUD untuk berdemokrasi. Kebebasan berkeyakinan, berbicara, dan berkumpul diakomodasi dan dijamin dalam demokrasi Pancasila, tetapi tidak seluas yang diakomodasi dan dijamin oleh negara yang menganut sistem demokrasi poliarkhi dan liberal.
Demokrasi Pancasila tak bisa menoleransi hal-hal yang merusak Pancasila dan UUD, seperti penistaan agama dan kebebasan kaum Islamis yang ingin mewacanakan negara yang tak berdasarkan Pancasila. Di dalam demokrasi liberal, hal-hal itu bisa ditoleransi.
Dalam kenyataan yang kita hadapi, banyak dari kita yang berpikir secara paradoks dalam memaknai demokrasi Pancasila. Pada satu sisi, kita menghendaki pelarangan kelompok non-mainstream, seperti Ahmadiyah dan Syiah, meskipun mereka tidak mengancam negara Pancasila, tetapi pada sisi lain kita menuntut satu paham radikal politik Islam yang jelas-jelas ingin mengganti Pancasila agar ditoleransi keberadaannya.
Toleransi politik
Di dalam sistem rezim demokrasi liberal, organisasi seperti Hizbut Tahrir boleh hidup meskipun setiap hari organisasi ini menyerang sistem negara di mana mereka dibolehkan hidup sebagai perwujudan dari doktrin toleransi politik. Di dalam teori ini, segala bentuk kebebasan diperbolehkan untuk hadir dan diperjuangkan oleh pengikutnya, seperti komunisme, LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transjender), kesukuan, organisasi keagamaan, dan rasisme, kecuali hal yang menyangkut kekerasan (violence).
Prinsip dasarnya adalah demokrasi liberal sebagai pasar untuk menjajakan ide yang berakar pada pemikiran filosof John Stuart Mills dalam esainya bertajuk "On Liberty". Dalam pemikirannya, kebebasan berbicara itu bukan hal bagus dalam demokrasi, melainkan ini cara mencari kebenaran (discovery of truth), sehingga harus dilindungi.
Di Amerika Serikat, pada masanya, kebencian terhadap komunisme sangat tinggi di kalangan orang AS, tetapi ideologi komunisme tetap boleh hidup. John Sullivan dan teman-teman mengatakan, "Tolerance is putting up with that with which one disagrees." Seorang yang memiliki toleransi yang tinggi membolehkan lawan atau pihak yang menentangnya untuk turut berkompetisi dalam arena politik. Negara yang toleran adalah negara yang mengizinkan semua pihak untuk menjual aspirasinya, meskipun merusak, kepada warga negara.
Batas demokrasi
Kembali menjawab pertanyaan soal rezim demokrasi liberal, manakah di dunia yang melarang kelompok radikal? Pemerintah Jerman melarang Hizbut Tahrir sejak 2003 karena berlawanan dengan UU Anti-semitisme dan mempropagandakan kekerasan. Rusia pada tahun yang sama juga melarang Hizbut Tahrir. Tidak hanya Pemerintah Jerman dan Rusia, Belanda juga melarang organisasi ini beroperasi.
Denmark juga merencanakan pengusulan pelarangan Hizbut Tahrir sejak 2005. Tahun 2005, Perdana Menteri Inggris Tony Blair ingin membubarkan Hizbut Tahrir, tetapi tidak jadi karena para politisi di negara tersebut menolak. David Cameron pada tahun 2010 juga mengusulkan pembubaran Hizbut Tahrir meskipun sampai saat ini belum terwujud. Dari contoh ini, meskipun beberapa negara yang diklaim sebagai penerap demokrasi liberal berbeda sikap soal eksistensi, mereka sama-sama menganggap Hizbut Tahrir dan sejenisnya bisa menjadi ancaman bagi demokrasi di negara masing-masing.
Jika kita ingin melihat ormas seperti Hizbut Tahrir hidup dan berkembang, tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali demokrasi liberal sebagai jalannya. Demokrasi liberal sampai saat ini merupakan satu-satunya tipe demokrasi yang tidak boleh pilih-pilih. Segala ide, baik yang bersumber dari agama maupun nilai-nilai sekuler dan bahkan mungkin anti-agama seperti kaum komunis dan ateis yang dianggap menantang dan mengancam negara, tidak boleh dilarang sebagaimana di AS, Inggris, Australia, dan lainnya.
Mampukah kita memilih itu sebagai jalan kita? Ketika kita sudah sepakat bahwa demokrasi Pancasila sebagai bentuk demokrasi kita, kita sesungguhnya sudah membuat batas. Karena itu, jika kita tak setuju adanya perppu ormas ini, batas tersebut harus dilampaui melalui proses amendemen. Masalahnya adalah maukah kita melewati batas itu?
Sumber: Kompas, 18 Juli 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!