Oleh R Kristiawan
Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara,
Serpong
PADA 2015, pemerintahan Joko Widodo memulai lagi revisi dua
undang-undang komunikasi. Keduanya adalah UU tentang Penyiaran dan UU tentang
Informasi Transaksi Elektronik. Pemerintah kemudian merencanakan pembuatan
undang-undang baru: UU tentang Radio dan Televisi Republik Indonesia.
Banyak kalangan menyebut 2015 sebagai "tahun komunikasi" karena revisi itu diharapkan akan menyentuh substansi sistem komunikasi massa kita.
Sebelumnya, pada
2010 DPR mencanangkan revisi UU No 32/2002 tentang Penyiaran. Inisiatif DPR itu
membuahkan naskah RUU Penyiaran yang relatifdemokratis. Namun, upaya itu gagal
membuahkan undang-undang baru karena Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kemenkominfo) waktu itu memberi ratusan butir hal dalam Daftar Isian Masalah.
Revisi UU Penyiaran tidak selesai sampai 2014. UU tentang Informasi Transaksi
Elektronik (ITE) direvisi pada November 2016 atau mundur setahun dari rencana
Kemenkominfo.
Revisi UU Penyiaran
dan pembuatan UU Radio dan Televisi Republik Indonesia (RTRI) sampaisaat ini
belum selesai dan masih berada dalam pembahasan di DPR. Tahun komunikasi 2015
yang dimulai dengan optimisme atas perubahan sistem komunikasi lewat Nawacita
nomor 9 ternyata tak mampu mencapai target waktu seperti yang direncanakan.
Episteme dan aktor
Ketaklekasan
penyelesaian revisi UU Penyiaran bisa dijelaskan dengan melihat sejarah
pembuatan regulasi komunikasi di Indonesia. Sejak kemerdekaan tak pernah ada
narasi tunggal yang menjadi payung bagi pembuatan kebijakan. Dalam konteks
kebebasan berpendapat pada UU ITE, misalnya, ada dua paradigma hukum:
kriminalisasi menyatakan pendapat dan kebebasan berpendapat. Walau
kontradiktif, keduanya punya legitimasi sejarah, yaitu KUHP dan UUD 1945.
Ketiadaan narasi
tunggal yang menjadi basis produksi kebijakan itu berakibat pada pembuatan
kebijakan komunikasi selanjutnya menjadi sangat bergantung pada episteme
dominan pada ruang dan waktu aktual. Episteme adalah formasi wacana yang
membedakan bagaimana cara dunia dipahami. Akibatnya, regulasi komunikasi sering
tidak konsisten satu sama lain, tumpang tindih, atau malah saling kontradiktif.
Secara historis demokrasi ternyata tidak serta-merta menjadi acuan normatif
dalam produksi kebijakan.
Episteme
dikendalikan oleh aktor yang memiliki kepentingan. Dalam pembuatan regulasi,
tiga aktor yang berperan adalah negara, swasta, dan masyarakat sipil. Dalam
konteks pembahasan UU Penyiaran kali ini, negara harus dibedakan antara
Kemenkominfo dan DPR.
Pada era Orde Baru,
stabilitas politik dan pembangunan menjadi episteme dominan sehingga banyak
kebijakan komunikasi berorientasi pada kedua kekuatan itu. Negara menjadi aktor
dominan dalam mengendalikan.
Selepas 1998,
episteme keterbukaan dan demokratisasi menguat dengan masyarakat sipil sebagai
aktor utama. Dalam habitat semacam itulah, UU No 40/1999 tentang Pers berhasil
disemaikan dan tumbuh dengan baik. Dalam proses pembuatan UU Pers itu relatif
tidak ada kompetisi sengit antarepisteme sehingga Presiden BJ Habibie tak perlu
banyak waktu mengesahkannya yang didukung oleh Menteri Penerangan Yunus Yosfiah
yang pensiunan tentara.
Beda epistemik
UU No 32/2002
tentang Penyiaran dibuat dalam suasana epistemik yang agak berbeda. Peran
industri penyiaran cukup kuat sebagai warisan dari kapitalisme semu Orde Baru
ketika industri penyiaran awalnya tumbuh. Kontestasi diskursus demokratisasi
penyiaran pada titik ini mulai kompetitif, terutama antara kekuatan masyarakat
sipil dan swasta. Pada era ini, negara lebih banyak melayani kepentingan
industri. Di sini bisa dijelaskan mengapa pemerintah justru menjegal usul
revisi UU Penyiaran versi DPR periode 2009-2014 lewat Daftar Isian Masalah yang
tidak masuk akal.
Secara legal
diskursus dari pihak swasta menjadi dominan sejak judicial review UU Penyiaran
tahun 2005 meski menelikung demokrasi penyiaran. Episteme penyiaran selanjutnya
banyak dikendalikan industri penyiaran yang cenderung melawan demokrasi
penyiaran seperti termanifestasi lewat konsentrasi kepemilikan, gagalnya sistem
siaran berjaringan, hingga afiliasi pemilik stasiun televisi pada kekuatan
politik. Kepentingan utamanya: akumulasi finansial.
Menguatnya
legitimasi politik Joko Widodo-Jusuf Kalla mengubah konstelasi aktor dan
episteme dalam demokratisasi penyiaran. Nawacita jelas-jelas mengkritik praktik
industri penyiaran yang oligopolis dan bias politik. Dalam hal ini, Nawacita
memiliki banyak kesamaan pandangan dengan masyarakat sipil. Sebelum itu,
masyarakat sipil sudah melakukan konsolidasi, misalnya lewat Koalisi Independen
untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP), Sahabat untuk Informasi dan Komunikasi
yang Adil (SIKA), dan jaringan intelektual lewat Koalisi Nasional Reformasi
Penyiaran (KNRP). Pihak swasta terutama diwakili oleh Asosiasi Televisi Swasta
Indonesia (ATVSI).
Arena utama
kontestasi epistemik adalah perumusan UU Penyiaran. Pembuatan UU RTRI relatif
tidak memunculkan kompetisi pengetahuan yang signifikan karena tidak melibatkan
kepentingan.Hanya pemerintah yang sempat malu-malu kucing hendak menggunakan
RTRI sebagai sarana propaganda politik. Sementara itu, pembahasan UU Penyiaran
terasa pelik karena melibatkan banyak pengetahuan beserta kepentingan yang
mengikuti.
Yang terjadi saat
ini adalah kontestasi epistemik yang setara antar-aktor: pemerintah, swasta,
dan publik. Inilah yang membuat revisi UU Penyiaran lebih lama dari yang
ditargetkan. Secara normatif demokrasi penyiaran yang banyak disuarakan
masyarakat sipil sebenarnya memiliki legitimasi paling kuat karena bersandar
pada konstitusi dan norma kehidupan bersama. Episteme yang dibangun swasta
sebenarnya tidak lebih dari upaya melanggengkan praktik industri penyiaran yang
destruktif demi konsentrasi keuntungan.
Wacana teknis yang
muncul seperti pengaturan pengelola frekuensi tidak secara tunggal demi
demokratisasi tidak lebih dari sekadar pelintiran logika yang kuyup
contradictio in terminis. Dalam situasi seperti sekarang ini, otoritas publik
yang diwakili oleh Kemenkominfo dan DPR seharusnya menggunakan perspektif
normatif konstitusional agar tidak terseret oleh kepentingan di luar kepentingan
penyiaran demokratis.
Sumber: Kompas, 14 Juli 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!