Headlines News :
Home » » Berlalunya ”Tahun Komunikasi”

Berlalunya ”Tahun Komunikasi”

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, July 14, 2017 | 9:48 AM

Oleh R Kristiawan
Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong

PADA 2015, pemerintahan Joko Widodo memulai lagi revisi dua undang-undang komunikasi. Keduanya adalah UU tentang Penyiaran dan UU tentang Informasi Transaksi Elektronik. Pemerintah kemudian merencanakan pembuatan undang-undang baru: UU tentang Radio dan Televisi Republik Indonesia.

Banyak kalangan menyebut 2015 sebagai "tahun komunikasi" karena revisi itu diharapkan akan menyentuh substansi sistem komunikasi massa kita.

Sebelumnya, pada 2010 DPR mencanangkan revisi UU No 32/2002 tentang Penyiaran. Inisiatif DPR itu membuahkan naskah RUU Penyiaran yang relatifdemokratis. Namun, upaya itu gagal membuahkan undang-undang baru karena Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) waktu itu memberi ratusan butir hal dalam Daftar Isian Masalah. Revisi UU Penyiaran tidak selesai sampai 2014. UU tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) direvisi pada November 2016 atau mundur setahun dari rencana Kemenkominfo.

Revisi UU Penyiaran dan pembuatan UU Radio dan Televisi Republik Indonesia (RTRI) sampaisaat ini belum selesai dan masih berada dalam pembahasan di DPR. Tahun komunikasi 2015 yang dimulai dengan optimisme atas perubahan sistem komunikasi lewat Nawacita nomor 9 ternyata tak mampu mencapai target waktu seperti yang direncanakan.

Episteme dan aktor

Ketaklekasan penyelesaian revisi UU Penyiaran bisa dijelaskan dengan melihat sejarah pembuatan regulasi komunikasi di Indonesia. Sejak kemerdekaan tak pernah ada narasi tunggal yang menjadi payung bagi pembuatan kebijakan. Dalam konteks kebebasan berpendapat pada UU ITE, misalnya, ada dua paradigma hukum: kriminalisasi menyatakan pendapat dan kebebasan berpendapat. Walau kontradiktif, keduanya punya legitimasi sejarah, yaitu KUHP dan UUD 1945.

Ketiadaan narasi tunggal yang menjadi basis produksi kebijakan itu berakibat pada pembuatan kebijakan komunikasi selanjutnya menjadi sangat bergantung pada episteme dominan pada ruang dan waktu aktual. Episteme adalah formasi wacana yang membedakan bagaimana cara dunia dipahami. Akibatnya, regulasi komunikasi sering tidak konsisten satu sama lain, tumpang tindih, atau malah saling kontradiktif. Secara historis demokrasi ternyata tidak serta-merta menjadi acuan normatif dalam produksi kebijakan.

Episteme dikendalikan oleh aktor yang memiliki kepentingan. Dalam pembuatan regulasi, tiga aktor yang berperan adalah negara, swasta, dan masyarakat sipil. Dalam konteks pembahasan UU Penyiaran kali ini, negara harus dibedakan antara Kemenkominfo dan DPR.

Pada era Orde Baru, stabilitas politik dan pembangunan menjadi episteme dominan sehingga banyak kebijakan komunikasi berorientasi pada kedua kekuatan itu. Negara menjadi aktor dominan dalam mengendalikan.

Selepas 1998, episteme keterbukaan dan demokratisasi menguat dengan masyarakat sipil sebagai aktor utama. Dalam habitat semacam itulah, UU No 40/1999 tentang Pers berhasil disemaikan dan tumbuh dengan baik. Dalam proses pembuatan UU Pers itu relatif tidak ada kompetisi sengit antarepisteme sehingga Presiden BJ Habibie tak perlu banyak waktu mengesahkannya yang didukung oleh Menteri Penerangan Yunus Yosfiah yang pensiunan tentara.

Beda epistemik

UU No 32/2002 tentang Penyiaran dibuat dalam suasana epistemik yang agak berbeda. Peran industri penyiaran cukup kuat sebagai warisan dari kapitalisme semu Orde Baru ketika industri penyiaran awalnya tumbuh. Kontestasi diskursus demokratisasi penyiaran pada titik ini mulai kompetitif, terutama antara kekuatan masyarakat sipil dan swasta. Pada era ini, negara lebih banyak melayani kepentingan industri. Di sini bisa dijelaskan mengapa pemerintah justru menjegal usul revisi UU Penyiaran versi DPR periode 2009-2014 lewat Daftar Isian Masalah yang tidak masuk akal.

Secara legal diskursus dari pihak swasta menjadi dominan sejak judicial review UU Penyiaran tahun 2005 meski menelikung demokrasi penyiaran. Episteme penyiaran selanjutnya banyak dikendalikan industri penyiaran yang cenderung melawan demokrasi penyiaran seperti termanifestasi lewat konsentrasi kepemilikan, gagalnya sistem siaran berjaringan, hingga afiliasi pemilik stasiun televisi pada kekuatan politik. Kepentingan utamanya: akumulasi finansial.

Menguatnya legitimasi politik Joko Widodo-Jusuf Kalla mengubah konstelasi aktor dan episteme dalam demokratisasi penyiaran. Nawacita jelas-jelas mengkritik praktik industri penyiaran yang oligopolis dan bias politik. Dalam hal ini, Nawacita memiliki banyak kesamaan pandangan dengan masyarakat sipil. Sebelum itu, masyarakat sipil sudah melakukan konsolidasi, misalnya lewat Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP), Sahabat untuk Informasi dan Komunikasi yang Adil (SIKA), dan jaringan intelektual lewat Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP). Pihak swasta terutama diwakili oleh Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI).

Arena utama kontestasi epistemik adalah perumusan UU Penyiaran. Pembuatan UU RTRI relatif tidak memunculkan kompetisi pengetahuan yang signifikan karena tidak melibatkan kepentingan.Hanya pemerintah yang sempat malu-malu kucing hendak menggunakan RTRI sebagai sarana propaganda politik. Sementara itu, pembahasan UU Penyiaran terasa pelik karena melibatkan banyak pengetahuan beserta kepentingan yang mengikuti.

Yang terjadi saat ini adalah kontestasi epistemik yang setara antar-aktor: pemerintah, swasta, dan publik. Inilah yang membuat revisi UU Penyiaran lebih lama dari yang ditargetkan. Secara normatif demokrasi penyiaran yang banyak disuarakan masyarakat sipil sebenarnya memiliki legitimasi paling kuat karena bersandar pada konstitusi dan norma kehidupan bersama. Episteme yang dibangun swasta sebenarnya tidak lebih dari upaya melanggengkan praktik industri penyiaran yang destruktif demi konsentrasi keuntungan.

Wacana teknis yang muncul seperti pengaturan pengelola frekuensi tidak secara tunggal demi demokratisasi tidak lebih dari sekadar pelintiran logika yang kuyup contradictio in terminis. Dalam situasi seperti sekarang ini, otoritas publik yang diwakili oleh Kemenkominfo dan DPR seharusnya menggunakan perspektif normatif konstitusional agar tidak terseret oleh kepentingan di luar kepentingan penyiaran demokratis. 
Sumber: Kompas, 14 Juli 2017
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger