Oleh Agus Noor
Direktur Kreatif Indonesia Kita
HARI ini, seorang
koruptor keluar dari Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi dengan santai dan
tenang. Kepada kerumunan wartawan yang menunggu, ia memberi pernyataan berikut.
Saya bersyukur
kepada Tuhan karena hari ini saya telah resmi ditetapkan menjadi koruptor. Ini
sebuah kehormatan bagi saya karena, bagaimanapun, menjadi koruptor itu butuh
keberanian mengorbankan nama baik. Tak semua orang berani melakukan pengorbanan
itu. Kedua, terima kasih atas semua dukungan, terutama rekan-rekan politisi di
Senayan, yang begitu heroik memperjuangkan hak angket DPR.
Banyak yang
menganggap koruptor musuh bersama yang harus dipenjarakan. Saya kira itu
pikiran keliru. Karena, apa jadinya kalau semua koruptor dipenjarakan? Negara
ini bisa lumpuh sebab semua pejabat dan aparat masuk penjara. Bahkan, penjara
pun tak bisa berjalan dengan baik karena semua sipirnya akan masuk penjara.
Karena itu, ide
memenjarakan semua koruptor adalah ide yang bertentangan dengan semangat
pemerintah untuk memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat. Maka, biarlah para
koruptor bebas agar pelayanan kepada rakyat tetap bisa berjalan.
Trias koruptika
Banyak yang benci
koruptor meski saya rasa kebencian itu juga keliru dan tidak pada tempatnya.
Sebagai koruptor yang baik dan bertanggung jawab, saya akan menjelaskan
beberapa hal.
Pertama, korupsi
itu bukan soal kesempatan, melainkan soal giliran. Pada akhirnya semua akan
korupsi. Membenci koruptor hanya akan menghabiskan energi bangsa ini. Lebih
baik kita mulai memikirkan cara terbaik bagaimana agar keahlian dan kepintaran
kita dalam bidang korupsi jadi keunggulan bangsa sehingga bisa bersaing di
tingkat global.
Kedua, jika ada
kesalahan yang dilakukan koruptor, haruslah itu kita lihat sebagai kesalahan
oknum. Jangan gebyah-uyah, menyamaratakan, bahwa semua koruptor itu busuk.
Masih ada koruptor yang baik, setidaknya seperti saya. Ingat, kalau ada polisi
berbuat salah, tidak berarti semua polisi salah bukan?
Itu hanya oknum.
Begitu juga hakim, jaksa, anggota Dewan, bupati sampai lurah, jika ada yang
bersalah, itu hanyalah oknum. Oknum, tetapi merata. Soal "merata"
inilah yang sesungguhnya menjadi prinsip dasar dalam korupsi.
Oleh karena itu,
yang ketiga, sungguh keliru anggapan kalau koruptor itu mementingkan diri
sendiri. Ia juga mementingkan partai politiknya, rekan-rekan sejawat, juga
kroni-kroninya. Itulah sebabnya korupsi berlangsung secara merata dan dilakukan
berjamaah. Anggap saja ini semangat goyong royong yang diimplementasikan dalam
korupsi.
Bagaimana korupsi
terjadi secara merata juga sesuai prinsip dasar politik yang kita anut. Dalam
politik dikenal trias politika, pembagian kekuasaan yang merata antara
eksekutif, legislatif, yudikatif. Begitu pula dalam korupsi, ada pembagian
keuntungan yang merata antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Itu disebut
trias koruptika. Itulah bukti bahwa koruptor tidak pernah mementingkan diri
sendiri.
Anggaran korupsi
Di Kompas (7 Juli
2017), ahli hukum Todung Mulya Lubis menulis bahwa "korupsi bukanlah soal
jumlah". Saya setuju! Uang hasil korupsi yang dikembalikan kepada negara
tidak sebanding dengan biaya penyelenggaraan pemberantasan korupsi.
Itu sebabnya
kawan-kawan saya di DPR dengan hak angketnya ingin agar KPK efektif. Apabila
perlu, KPK dibubarkan dan seluruh biaya yang seharusnya digunakan untuk
pemberantasan korupsi itu diberikan kepada anggota Dewan, atau ditambahkan pada
anggaran kenaikan dana bantuan partai politik, agar para wakil rakyat bisa
memiliki dana cukup untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dan terutama
kepentingan-kepentingannya sendiri.
Jadi, berikanlah
anggaran pemberantasan korupsi itu untuk anggota Dewan agar para anggota Dewan
bisa ikut memberantas korupsi. Apabila nantinya anggaran untuk pemberantasan
korupsi itu pun tetap dikorupsi, barangkali itulah prestasi tertinggi koruptor:
mengorupsi anggaran pemberantasan korupsi.
Demokrasi korupsi
Di alam demokrasi,
beda pendapat itu wajar. Yang penting, seperti prinsip anggota Dewan: boleh
beda pendapat, asal jangan beda pendapatan. Demokrasi menjamin setiap warga
negara menyampaikan pendapatnya. Maka, yang setuju atau menolak pemberantasan
korupsi harus sama-sama dihormati. Menyitir penyair Chairil Anwar, "semua
layak dicatat, semua dapat tempat".
Koruptor juga harus
dihormati sebagai bagian penting dari pembangunan demokrasi di negeri ini. Asas
demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Koruptor yang baik
selalu memegang teguh asas itu. Karena itulah, setiap kali korupsi selalu
mengatasnamakan rakyat dan untuk kepentingan rakyat. Contohnya, korupsi
pengadaan Kitab Suci, jelas itu untuk kepentingan rakyat. Karena Kitab Suci-nya
tidak hanya untuk diri sendiri.
Selama ini kita
selalu mengatakan, korupsi menyebabkan kemiskinan. Itu cara berpikir keliru.
Tidak pernah ada orang yang melakukan korupsi jadi miskin! Jumlah orang miskin
memang meningkat, tetapi menurut saya hal itu memang diperlukan. Bagaimanapun,
para politisi itu sangat butuh orang miskin agar bisa dimanfaatkan ketika
pemilu atau pilkada. Orang-orang miskin itu diperlukan untuk mendulang
perolehan suara.
Lagi pula, menjadi
rakyat miskin itu tidak bertentangan dengan undang-undang. Jadi, tidak perlu
dipersoalkan. Lebih baik kita mempersoalkan intoleransi dan ancaman bahaya
radikalisme.
Bubarkan KPK
Maka dari itu, kita
tak perlu lagi mempersoalkan koruptor. Masih banyak koruptor yang taat hukum.
Buktinya, banyak koruptor yang kooperatif dan jadi justice collaborator.
Koruptor selalu menghormati proses hukum. Apabila ditetapkan sebagai tersangka
atau terdakwa korupsi, tidak perlu melarikan diri. Biarlah yang menjadi buron
hanya orang yang terkena perkara pornografi.
Harkat dan martabat
koruptor harus kita jaga sebaik-baiknya agar kita tetap berguna bagi bangsa dan
negara. Bagaimanapun, koruptor juga punya tanggung jawab untuk membangun dan
memperbaiki bangsa, dengan cara yang mereka bisa.
Dalam konteks
inilah sesungguhnya koruptor tak pernah mengambil uang negara, tetapi justru
menyelamatkan uang negara, yakni dengan cara menyimpan di rekening pribadi.
Kalau ketahuan, kan, uang itu tetap utuh dan tinggal dikembalikan. Bayangkan
kalau uang negara itu tidak "diselamatkan sementara" di rekening para
koruptor, bisa-bisa uang negara itu habis untuk proyek-proyek yang pada
akhirnya terbengkalai.
Daripada uang
negara dihambur-hamburkan, lebih baik gunakan uang negara untuk keluarga atau
anak-anak yang membutuhkan. Tentu saja, yang dimaksud keluarga dan anak-anak
itu adalah keluarga dan anak-anak koruptor sendiri. Jika semua keluarga
koruptor makmur, itu berarti membantu pemerintah mengurangi jumlah keluarga
miskin.
Sebagai koruptor
sejati, mari kita berjuang melawan stigma buruk para koruptor. Rawe-rawe
rantas, malang-malang putung, korupsi kita berantas, yang penting kita tetap
untung! Maka, hari ini, secara resmi dan aklamasi, KPK kita bubarkan!
Saya terbelalak
kaget, terbangun. Cuma mimpi. Benarkan itu cuma mimpi? Bagaimana kalau itu
benar terjadi, atau sebentar lagi terjadi….
Sumber: Kompas, 15 Juli 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!