Oleh AKH Muzakki
Guru Besar serta Dekan Fisip &
FEBI UIN Sunan Ampel
KEKHUSYUKAN
shalat Isya itu tidak berlangsung lama. Hanya hitungan detik dari usainya
shalat itu, terdengar teriakan keras seseorang dari saf paling belakang.
"Allahu Akbar!" begitu teriak orang itu melafalkan takbir. Sejurus
kemudian, dia pun mengeluarkan pisau dan menyerang seorang anggota Brimob yang
berada tepat di saf depannya seraya mengeluarkan kata umpatan.
Berhamburanlah
jemaah shalat Isya di masjid itu untuk menyelamatkan diri. Kejadian itu
berlangsung begitu cepat pada Jumat petang tanggal 30 Juni 2017. Ironisnya,
aksi teror tersebut terjadi di Masjid Falatehan, Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan, yang jaraknya hanya 100 meter dari gedung kompleks Mabes Polri
(Kompas, 1/7/).
Aksi teror yang
menyasar personel kepolisian memang bukanlah kasus baru. Empat hari sebelum
kejadian di Masjid Falatehan itu, penyerangan juga terjadi di Polda Sumatera
Utara (25/6). Seorang anggota Polri tewas karena terpapar serentetan tusukan.
Bahkan, dalam
catatan Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi), tak kurang
dari 41 anggota Polri meninggal akibat serangan teroris sejak 2002. Sementara
81 anggota lainnya mengalami luka berat akibat serangan hebat teroris.
Sukses menuai
dendam
Pertanyaannya,
mengapa polisi menjadi sasaran aksi teror kalangan teroris? Ada sejumlah
argumentasi yang penting dikemukakan untuk memahami serentetan teror kepada
polisi.
Pertama, aksis
teror kepada polisi merupakan serangan balik oleh kalangan teroris. Konteksnya,
kalangan teroris sedang melakukan aksi balas dendam atas tindakan tegas yang
diambil Polri dalam menangani tindak terorisme di negeri ini sejak 2002.
Keberhasilan Polri
dalam melakukan penanganan atas tindak kejahatan terorisme memang jadi catatan
besar dalam sejarah antiterorisme, baik domestik Indonesia maupun global.
Diawali keberhasilan Polri dalam penanganan terhadap pelaku aksi Bom Bali I
pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan ratusan orang, cerita sukses Polri
kemudian diikuti keberhasilan serupa dalam menangani aksi Bom Bali II pada 1
Oktober 2005 di tiga tempat: satu di Kuta dan dua di Jimbaran, yang menewaskan
23 orang dan melukai 196 lainnya. Cerita keberhasilan Polri dalam menyelesaikan
aksi terorisme terus berlanjut hingga pada 10 Desember 2016 berhasil
menggagalkan rencana peledakan bom di Istana Negara oleh Nur Solihin, Agus
Supriyandi, dan Dian Yulia Novi.
Serangkaian cerita
sukses Polri inilah yang menimbulkan dendam luar biasa di kalangan teroris kepada
Polri. Apalagi, dendam yang mendalam ini beriringan dengan semakin diperkuatnya
konsep jihad fardi (jihad individual) oleh mentor dan ideolog mereka. Jihad
jenis ini dianggap alternatif penting karena jihadjama'i (jihad kolektif)
dipandang memiliki keterbatasan akibat mekanisme keamanan yang semakin ketat
oleh aparat Polri yang dibantu TNI. Maka, muncullah serangan individual oleh
individu teroris ke personel Polri, seperti aksi penusukan di Masjid Falatehan,
Kebayoran Baru.
Basis keyakinan
Kedua, serentetan
aksi serangan teror kepada anggota Polri ini membuktikan bahwa terorisme tidak
bisa dilawan hanya dengan pendekatan keamanan. Beririsan dengan pendekatan
keamanan adalah tindakan hukum. Pendekatan keamanan yang disempurnakan dengan
tindakan hukum memang sudah benar karena terorisme adalah bentuk kejahatan.
Akan tetapi,
penting dicatat, terorisme terbangun di atas sebuah ideologi dan atau keyakinan
dasar (faith). Tidak di atas kepentingan sesaat yang bersifat jangka pendek.
Memang, mungkin saja ada kepentingan material, tetapi semua itu diderek oleh
keyakinan dasar dimaksud.
Inilah yang
membedakan terorisme dengan bentuk kejahatan lain, termasuk narkoba dan
perampokan yang diikuti dengan unsur pemberatan. Ini pulalah yang menyebabkan
terorisme disebut sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Level
luar biasanya bukan hanya kepada korban yang ditimbulkan yang cenderung masif,
melainkan juga karakter pendorong kejahatan itu yang sangat khas dengan
melibatkan ideologi dan atau keyakinan dasar sebagai basis aksi kejahatannya.
Salah satu doktrin
penting dalam struktur ideologi dan atau keyakinan dasar dimaksud adalah konsep
takfir(mengafirkan yang lain/yang berbeda). Dalam keyakinan itu, mereka yang
tidak mendasarkan kebijakan pada apa yang mereka sebut sebagai hukum Allah
disebut kafir. Konsekuensi dari takfir ini, mereka dalam kategori dimaksud
dinyatakan halal darahnya, dan karena itu harus diperangi.
Apalagi, mereka
menyempurnakan konsep takfir itu dengan konsep thaghut, di mana mereka memaknai
thaghutdengan setan atau berhala, atau sesembahan sesat. Mereka memegangi
secara kuat tafsir yang mereka kembangkan secara harfiah terhadap Al Quran
Surat Al-Nisa (4) Ayat 76. Terjemahan ayat itu lebih kurang begini: "Dan,
orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah; Dan, orang-orang kafir
berperang di jalan thaghut;maka perangilah wali-wali setan itu."
Nah, bagi mereka,
Polri adalah jelmaanthaghut itu. Karena, dalam pandangan mereka, Polri sebagai
pemegang kuasa keamanan sosial alih-alih mendukung jihad versi mereka justru
memerangi para pejuang jihad. Bahkan, Polri menangkapi hingga membunuh dan
menewaskan mereka. Karena itu, mereka menganggap anggota Polri kafir. Maka,
label berikutnya yang mereka kenakan kepada anggota Polri adalah thaghutyang halal
dibunuh.
Basis keyakinan
yang demikian ini tecermin kuat pada kasus penusukan anggota Brimob seusai
melaksanakan shalat Isya di Masjid Falatehan, Kebayoran Baru. Seperti
dilaporkan luas sejumlah media, seusai meneriakkan takbir, pelaku teror melalui
aksi penusukan terhadap anggota Brimob di atas menyebut anggota Brimob sebagai
kafir. Lalu, penusukan pun dilakukan setelah teriakan takbir dan penyebutan
kafir dimaksud.
Opsi pengganti
Ketiga, pelaku aksi
teror kepada anggota Polri berada dalam provokasi dan indoktrinasi yang hebat
oleh mentor dan ideolog mereka. Provokasi dan indoktrinasi dimaksud diwujudkan
melalui pesan singkat, sederhana, tetapi efektif. Salah satunya, termasuk yang
belakangan juga dilakukan oleh pentolan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS)
Indonesia, Bahrun Naim, berisi begini: "Jika pintu hijrah tertutup, maka
jihadlah di tempat Anda berada." Jika untuk pergi ke wilayah konflik,
seperti Irak dan Suriah, tidak memungkinkan, melakukan tindak terorisme di
daerah masing-masing di Indonesia adalah opsi pengganti.
Opsi pengganti itu
sangat bersifat lokal dan kontekstual, bergantung pada perkembangan dan
dinamika daerah masing-masing. Ketika yang mungkin mereka serang pada lokasi
dan keberadaan yang paling dekat adalah personel Polri, maka di sinilah letak
argumentasi mengapa anggota Polri menjadi sasaran balas dendam melalui serangan
teror fisik oleh kalangan teroris.
Serangan kepada
anggota Polri, dalam pandangan kalangan teroris, semakin memungkinkan dilakukan
saat konsentrasi aparat Polri secara khusus dan publik secara umum pada ancaman
terorisme terpecah oleh urusan lainnya. Lebaran Idul Fitri salah satunya, yang
menuntut energi besar pihak keamanan.
Saat penekanan
konsentrasi itu terbelah, energi pengamanan terhadap potensi serangan teror
kelompok teroris pun terpecah. Di titik inilah teror kepada anggota Polri
memastikan jalannya untuk terjadi. Para pelaku akan memilih kesempatan itu
sebagai momentum penting untuk melakukan aksi balas dendam melalui serangan
teror balik.
Sumber: Kompas, 17 Juli 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!