Oleh Adjie Suradji
Alumnus Fakultas Sains
Universitas Karachi,
Pakistan
JIKA ada serigala (Canis lupus) di kandang domba, segera bunuh
serigala tersebut. Membiarkan serigala di kandang domba adalah konyol. Seekor
serigala bisa mencerai-beraikan kawanan domba. Dan, domba yang terpisah dari
kelompoknya akan menjadi mangsa serigala.
Ungkapan di
atas menggambarkan bahwa dalam mengelola suatu komunitas, faktor keamanan
mutlak harus dijaga. Melindungi komunitas dengan melakukan penangkalan,
pencegahan, dan penanggulangan dari segala bentuk ancaman anasir jahat penting
dilakukan.
Sayang, dalam
bernegara, mengelola komunitas rakyat seperti di Indonesia ternyata adagium
better safe than sorry belum jadi budaya. Politik pembiaran, menganggap sepele
permasalahan sosial, atau kurangnya antisipasi masih menjadi epidemi sistem
ketatanegaraan kita.
Lebih
berbahaya
Kebangkitan
gerakan radikal di Indonesia muncul sejak era reformasi ketika semua ideologi
"dibiarkan" masuk atas nama demokrasi. Gerakan (radikal) yang di
negara asal dilarang, justru menyebar dan mempunyai banyak pengikut di
Indonesia (Tajuk Rencana, Kompas, 21/3).
Kondisi
tersebut mengisyaratkan bahwa penguatan gerakan radikal di Indonesia terjadi
tidak tiba-tiba. Keinginan mengganti sistem ketatanegaraan, karena Pancasila
"thogut" dan demokrasi "kuffar", sudah dipropagandakan
secara masif sejak satu dekade lalu. Kesuksesan penyelenggaraan Konferensi
Khilafah Internasional di Jakarta (2007) digunakan sebagai batu pijakan.
Ketika slogan
"saatnya khilafah memimpin dunia" yang dipropagandakan Negara Islam
di Irak dan Suriah (NIIS) bergema, bangsa Indonesia seakan baru tersadar dari
mimpinya. Lantas apakah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
No 2/2017 —senjata untuk mencabut SK badan hukum ormas yang anti-Pancasila— mampu
mengeliminasi gerakan radikal di Indonesia?
Membubarkan
gerakan radikal sangat mudah, tetapi tidak dengan ideologinya. Ideologi adalah
ide atau gagasan manusia yang menawarkan perubahan melalui proses pemikiran
normatif (Ideology Strictly Defined, Antoine Destutt de Tracy, 1818). Ideologi
radikal adalah pemikiran yang mendasarkan pada konsep kekerasan untuk mengubah
suatu keadaan. Dengan penjelasan ini bisa dikatakan ideologi radikal memiliki
derajat lebih berbahaya.
Ada dua alasan
yang melatari kenapa ideologi radikal memiliki derajat lebih berbahaya.
Pertama, dalam konteks duniawi, secara fisik (kasatmata) ideologi radikal bisa
dijadikan senjata politik mematikan. Segala bentuk kegaduhan gerakan
"anarkisme" massa jalanan hingga konflik bersenjata, seperti di
kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang dikemas dengan bungkus agama,
sesungguhnya hanya mengekspresikan persoalan syahwat atau libido politik
manusia.
Kedua, secara
psikis, ideologi radikal memiliki dampak buruk bagi kehidupan sosial manusia
karena bisa mengubah perilaku. Propaganda manipulatif NIIS lewat sosial media
sukses merekrut puluhan ribu kombatan, termasuk dari Indonesia, yang
"berjihad" sebagai "war tourism" —turis perang, di Suriah.
Tak hanya itu. Taktik siber— nonkonvensional (teknologi internet) yang menyerang
korbannya lewat aspek psikologis —juga sukses merekrut jutaan warga Indonesia
untuk menjadi simpatisan— sel tidur NIIS yang mematikan.
Tak bisa
dimungkiri, ideologi radikal adalah pembangkit gerakan radikal. Egon Bittner,
Radicalism and the Organization of Radical Movements (1963), merumuskan bahwa
gerakan radikal tetap menjadi ancaman sepanjang ideologi radikal dibiarkan
tumbuh dan berkembang.
Jadi, apa
gunanya membubarkan gerakan radikal jika ideologi radikal —pemikiran yang
mendasarkan pada doktrin atau konsep kekerasan untuk mengubah suatu
keadaan— tetap dijadikan sebagai ajaran dan diterapkan serta dipropagandakan
dalam kehidupan sosial masyarakat? Bukankah ini masih identik dengan ungkapan
membiarkan serigala di kandang domba?
Musuh dalam
selimut
Banyaknya
warga bangsa yang tidak lagi memandang kehidupan dengan optimistis, tetapi
hanya mendambakan kematian yang dianggap syahid dan mulia lewat
"bom-jihad-bunuh diri", merupakan bukti tak terbantahkan bahwa ajaran
radikal masih menjadi musuh dalam selimut bangsa Indonesia. Mengadopsi strategi
perang Sun Tzu (544-496 SM) bahwa dalam perang harus ada strategi untuk
memenanginya, lantas apakah hanya dengan membubarkan gerakan radikal secara
formal berdasarkan Perppu No 2/2017 sudah menjamin bahwa ideologi radikal akan
tereliminasi dari Indonesia?
Dalam
sosiologi hukum, ada terminologi mobilisasi hukum. Perppu No 2/2017 hanya
huruf-huruf mati dan hanya akan berfungsi apabila ada mobilisasi dari para
pemangku kepentingan. Artinya, tanpa implementasi yang melibatkan seluruh
komponen bangsa untuk menolak ideologi radikal, Perppu No 2/2017 tersebut tak
ada artinya.
Sebagaimana
disampaikan Sun Tzu bahwa mengetahui pasukan dapat menggempur, tetapi tak
mengetahui bahwa musuh tak dapat digempur berarti separuh kemenangan telah
diperoleh. Mengetahui bahwa musuh dapat digempur, tetapi tak mengetahui bahwa
pasukan tak dapat menggempur juga memperoleh separuh kemenangan. Mengetahui
bahwa musuh dapat digempur, mengetahui bahwa pasukan dapat menggempur, tetapi
tak mengetahui bahwa bentuk bumi tak dapat digunakan untuk bertempur juga hanya
memperoleh separuh kemenangan.
Di sini muncul
logika seni berperang: bahwa perang dengan setengah hati tak mungkin bisa
menang. Mengenali musuh, menyadari kemampuan sendiri, mengetahui di mana kita
berada, memahami apa yang sedang terjadi, dan berperang dengan sepenuh hati
adalah kunci memenangi pertempuran.
Jika ada
serigala di kandang domba, ada dua cara bertindak: memindahkan kandang domba
atau membunuh serigalanya. Alternatif pertama, memindahkan kandang domba, yang
bisa diartikan "memindahkan rakyat" adalah mustahil dilakukan. Maka,
untuk mewujudkan social equilibrium —tatanan kehidupan masyarakat yang
harmonis— tak ada cara lain kecuali membunuh serigalanya.
Dan, Sun Tzu
juga mengatakan, tempuh jarak seribu li dan bunuhlah jenderalnya. Meminjam
istilah Presiden Joko Widodo, bisa dibaca, "gebuk" para
inspiratornya —tokoh radikalis atau tokoh pemilik pemikiran radikal— niscaya
gerakan radikal di Indonesia dapat dieliminasi.
Ideologi
radikal, pembangkit gerakan radikal yang sering mewujud ke dalam bentuk sikap
intoleran, ujaran kebencian, hingga anarkisme dan terorisme bersifat
destruktif: mengganggu keamanan, memecah belah kesatuan dan persatuan. Tak
hanya itu. Gerakan radikal juga mengancam tatanan negara, terutama tiga aspek
kehidupan, yaitu keadilan, kesejahteraan, dan kebebasan.
Maka, jangan
biarkan serigala berada di kandang domba. Jika ada, segera bunuh. Kemudian,
jangan pernah lagi memberi ruang atau kesempatan ideologi radikal untuk tumbuh
berkembang dan tampil mengeksploitasi diri.
Sumber: Kompas, 28 Juli 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!