Oleh Masdar Hilmy
Guru Besar & Wakil Direktur
Pascasarjana UIN
Sunan Ampel Surabaya
MEMASUKI 72 tahun
RI merdeka, ada baiknya kita memperkokoh formula Islam kebangsaan yang
eksistensinya mulai digerogoti sekelompok kecil masyarakat kita yang dilanda
kelimbungan dan disorientasi ideologis akibat keterpesonaan mereka pada
ideologi transnasional.
Memang pemerintah
telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor
2 Tahun 2017 yang berisi larangan penyebaran berbagai bentuk ideologi yang
bertentangan dengan dasar-dasar kenegaraan kita (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan
Bhinneka Tunggal Ika). Namun, pelarangan semata tanpa dibarengi penguatan
fondasi falsafah bernegara yang rasional, legitimate, dan otoritatif tidak akan
mampu menahan derasnya laju kritisisme publik atas konsep dan praktik
kenegaraan kita, baik yang bernuansa ideologis maupun non-ideologis.
Harus diakui,
sejumlah persoalan serius masih membelit bangsa ini yang pada gilirannya dapat dijadikan
sebagai sasaran empuk kritisisme publik, seperti wabah korupsi, tingginya rasio
gini, angka kemiskinan, pengangguran, dan sejumlah persoalan lainnya. Melalui
berbagai persoalan inilah, perlawanan terhadap formula Islam kebangsaan
dibangun dengan "membajak" narasi agama untuk memperkuat argumentasi
ideologis mereka.
Kontradiksi abadi?
Konsep
kebangsaan-kenegaraan Indonesia, dalam derajat tertentu, sebenarnya
merepresentasikan antitesis terhadap PJ Vatikiotis (2016) yang menyebut konsep
negara-bangsa (nation-state) di dunia Islam sebagai enduring contradiction
(kontradiksi abadi). Melalui pengamatannya terhadap dinamika pemikiran Islam
dan pergolakan geopolitik Timur Tengah, Vatikiotis menyebut negara-bangsa
sebagai konsep yang khas Barat sekaligus asing di dunia Islam. Oleh karena itu,
menjadi bisa dipahami jika transplantasi konsep negara-bangsa di dunia Islam
memantik terjadinya gelombang resistensi.
Gelombang
resistensi terhadap konsep negara-bangsa di dunia Islam dapat dibaca dan
diidentifikasi sebagai penolakan umat Muslim atas berlakunya pemikiran yang
tidak merepresentasikan autentisitas kedirian (al-asalah al-nafsiyah). Menurut
sebagian besar Islamis, seperti Sayyid Qutb dan Hasan al-Banna, Islam adalah
din (agama) dan dawlah (negara) sekaligus yang tidak bisa dipisah-pisahkan.
Dalam konteks ini, konsep negara-bangsa cenderung memisahkan antara realitas
agama dan realitas negara melalui paham sekularisme yang dianggap sebagai satu
paket dengan konsep negara-bangsa.
Terlepas dari
realitas penentang konsep negara-bangsa, pandangan Vatikiotis itu jelas
kontradiktif dengan apa yang tengah terjadi dan diterapkan di negeri ini,
sebuah eksperimentasi pemikiran dan aksi politik yang dapat menyandingkan
antara Islam dan konsep negara-bangsa secara elegan melalui formula "Islam
kebangsaan".
Melalui sentuhan
"tangan dingin" para pendiri bangsa (founding fathers), konsep dan
rancang bangun negara-bangsa kita terbukti sangat relevan dengan, sekaligus
mewadahi, nilai-nilai universal agama-agama yang ada. Akibatnya, semakin dalam
nilai-nilai agama digali dari konsep negara-bangsa kita, sebenarnya semakin
religius bangunan kenegaraan kita.
Oleh karena itu,
pengalaman Indonesia jelas berbeda, dan bahkan bertentangan dengan apa yang
terjadi di Timur Tengah pada umumnya yang terus dilanda pergolakan, konflik dan
instabilitas politik tiada henti. Hal ini terjadi akibat tarik-menarik dua
kutub pemikiran yang berlawanan: kaum tekstualis-literalis dan kaum
kontekstualis-progresif dalam memaknai konstruksi kenegaraan mereka. Dalam
konteks inilah, penguatan Islam kebangsaan diharapkan dapat memantapkan konsep
dan praktik negara-bangsa yang khas Indonesia dan dapat menular ke
negara-negara Islam di Timur Tengah.
Jebakan
terminologis
Hal utama yang
harus dilakukan dalam rangka menguatkan formula Islam kebangsaan adalah
mengidentifikasi jebakan-jebakan yang sering menjadi point of dispute di
kalangan umat Muslim tentang formula bernegara paling otentik. Setelah berhasil
diidentifikasi, barulah kita menyusun strategi keluar untuk meminimalkan
pertengkaran-pertengkaran yang tidak perlu agar kita bisa fokus mengejar
berbagai ketertinggalan. Dari sekian banyak jebakan yang ada, salah satu
jebakan paling "mematikan" yang sering menjadi titik pertengkaran
bangsa adalah jebakan terminologis.
Yang dimaksud
dengan jebakan terminologis adalah permainan kata-kata sebagai bentuk ekspresi
politik identitas bagi kelompok keagamaan tertentu yang kemudian membentuk
epistemic block yang bersifat memecah dan fragmentatif secara sosiologis. Selama
ini, istilah-istilah yang sering memicu pertengkaran publik adalah negara
agama, negara Islam, syariat Islam, negara khilafah dan semacamnya.
Istilah-istilah tersebut terbukti telah menyedot energi bangsa ini ke dalam
labirin perdebatan publik yang panjang dan tak berujung.
Dalam konteks
negara-bangsa, formula Islam kebangsaan yang terjiwai dalam Pancasila, UUD
1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika sebenarnya merupakan manifestasi dari
nilai-nilai universal yang berlaku di semua agama. Tak ada satu pun butir-butir penjelasan dari keempat "pilar" di atas yang bertentangan
dengan nilai-nilai universal agama. Oleh karena itu, dengan segala kekurangan
dan ketidaksempurnaannya, umat Muslim di negeri ini harus berani menyatakan
bahwa Indonesia adalah negara paling Islam(i) di dunia.
Sayangnya,
kebanyakan dari kita sudah telanjur "alergi" dengan berbagai istilah
pejoratif di atas. Bahkan, kebanyakan tokoh kita selalu merepetisi dua jenis
kesalahan kolektif berikut; pertama, Indonesia bukanlah negara agama (Islam) dan
bukan negara sekuler. Ketidakjelasan posisi ini jelas menyisakan ruang kosong
yang mendorong munculnya sikap-sikap resistan dari sekelompok kecil Islamis
yang selalu ingin mendirikan sebuah bentuk negara yang dianggapnya lebih
menjamin sense of authenticity, yakni "negara Islam" dalam pengertian
yang klasik, literal, dan tekstual.
Kelompok kecil
inilah yang secara terus-menerus berusaha untuk mengislamkan (kembali)
masyarakat dan struktur negara yang dianggapnya telah melenceng dari syariat
Allah. Mereka menyebut Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika
sebagai taghut (sesembahan selain Allah) yang bisa mendangkalkan akidah. Selain
itu, mereka juga menyebut sistem politik demokrasi sebagai bentuk pemberontakan
atas kedaulatan Tuhan. Padahal, dilihat dari substansi ajaran, Indonesia adalah
(salah satu) negara paling Islami di dunia. Umat Muslim dapat menjalankan
segala bentuk ibadah (lima rukun Islam) tanpa ada kendala dan tekanan dari
siapa pun. Karena itu, tidak ada lagi yang perlu diislamkan.
Kesalahan kedua
adalah penegasan bahwa agama tidak mengatur bentuk final negara, hanya karena
kitab suci tidak menyebut secara definitif-literal bentuk negara yang
dikehendaki agama. Penegasan semacam ini hanya akan mengesankan bahwa apa yang
dipraktikkan Indonesia tidaklah Islami karena tidak ada panduannya dalam kitab
suci, sekaligus mendorong kaum literalis untuk mencomot satu-dua ayat untuk
melegitimasi jalan pikiran mereka.
Mestinya, para
tokoh bangsa perlu menegaskan sebaliknya bahwa realitas kehidupan
berbangsa-bernegara yang dipraktikkan di negeri ini -meminjam Clifford Geertz
(1973)- merupakan representasi dari model of bernegara sebagaimana diidealkan
oleh kitab suci; sementara itu, kitab suci merupakan model for bernegara bagi
negeri ini. Hal demikian dimaksudkan untuk menutup peluang bagi kaum literalis
agar tidak lagi mencari-cari model yang bersifat harfiah tentang formula
bernegara-berbangsa.
Sumber: Kompas, 11 September 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!