Oleh Didik
Supriyanto
Kolumnis & Pendiri Perludem
KORUPSI di lingkungan kepala daerah
sudah akut. Bahkan, sumpah kepala daerah oleh Presiden Jokowi ditambahi
kalimat, "Demi Allah saya bersumpah bahwa saya tidak menerima hadiah atau
suatu pemberian berupa apa saja, dari siapa pun juga yang saya tahu atau patut
dapat mengira bahwa dia mempunyai hal yang bersangkutan atau mungkin
bersangkutan dengan jabatan dan pekerjaan saya," tidak berarti apa-apa.
Tingginya biaya pilkada yang ditanggung
calon kepala daerah diyakini menjadi penyebab utama korupsi. Mereka
mengumpulkan uang untuk bayar utang pilkada sebelumnya, lalu memupuk modal
untuk pilkada berikutnya. Para kepala daerah menukar keputusan dan kebijakan
dengan uang. Menyadari ini, DPR dan pemerintah selaku pembuat UU telah mengubah
banyak ketentuan untuk menurunkan biaya yang ditanggung calon kepala daerah.
Namun, setelah keluarnya Perppu Nomor 1
Tahun 2014 yang selanjutnya ditetapkan menjadi UU No 1/2015, lalu UU ini diubah
dua kali oleh UU No 8/2015 dan UU No 10/2016, korupsi kepala daerah tak
berhenti.. Ketentuan-ketentuan baru itu gagal mencapai tujuannya. Pengalaman
penyelenggaraan selama ini menunjukkan ada beberapa pos pengeluaran, baik legal
maupun ilegal, yang ditanggung calon kepala daerah: promosi diri, mahar
pencalonan, kampanye, pembelian suara, bekal saksi, dan suap petugas. Jika
calon hanya mengeluarkan biaya legal, dana yang dikeluarkannya tak banyak.
Apalagi UU No 8/2015 mengharuskan sebagian biaya kampanye dibebankan ke APBD.
Tetapi, nyaris tak ada calon yang percaya diri hanya mendanai kegiatan legal
mereka bisa memenangi pilkada.
Mahar pencalonan, pembelian suara, dan
suap petugas dilarang UU. Tentang pembelian suara dan suap petugas,
peraturannya jelas, pelaku bisa dikenai sanksi pidana. Kita hanya bisa berharap
kepada pengawas pemilu dan polisi berhasil menangkap pelakunya, jaksa menyeret
ke pengadilan, dan hakim memberikan hukuman setimpal. Yang perlu dapat
perhatian adalah mahar pencalonan. UU No 8/2015 mengatur, pemberian uang dalam
pencalonan dikenai sanksi pidana sekaligus sanksi administrasi, berupa
pembatalan calon. Namun, praktik mahar ini tak berhenti. Jika ke parpol sendiri
saja harus setor, sebagaimana diakui Ketua DPD Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi,
tentu kepada parpol lain, calon tidak bisa menolak.
Meski semua partai menyatakan menolak
mahar dalam pencalonan, pernyataan resmi partai berbeda dengan perilaku
pengurusnya.. Transaksi pencalonan ini berlangsung di ruang-ruang tertutup,
melibatkan elite partai dengan calon. Kegiatan ilegal ini terdengar, tetapi
sulit dibuktikan. Akibatnya, elite partai maupun calon tak takut dengan sanksi
yang diancamkan UU.
Padahal, di antara pengeluaran ilegal
lain, mahar pencalonan ini sangat membebani calon. Bahkan, beban berlanjut saat
calon terpilih menjabat: memberikan layanan khusus kepada elite partai
pendukung, mulai dari memenangkan tender, memberikan izin, sampai membuat
kebijakan yang menguntungkan perusahaan yang dibawa elite partai.
Solusi sistemik
Pendekatan normatif, dalam arti
melarang mahar pencalonan dengan memberikan sanksi pidana dan pembatalan calon
kepada para pelaku, terbukti tak efektif. Harus dilakukan pendekatan sistemik:
mengubah beberapa variabel teknis pemilihan agar mendorong elite partai dan
calon menjauhi praktik jual beli berkas pencalonan. Pertama, membuka
seluas-luasnya mekanisme pencalonan. Ketentuan calon diajukan oleh partai atau
koalisi partai yang punya 20 persen kursi DPRD atau meraih 25 persen suara pada
pemilu terakhir harus dihapus. Peraturannya diubah, setiap partai yang punya
kursi di DPRD bisa mengajukan pasangan calon. Persyaratan dukungan buat calon
independen juga diturunkan untuk memudahkan mereka yang mengajukan diri lewat
jalur nonpartai.
Mekanisme pencalonan seperti itu bisa
saja memperbanyak jumlah calon. Namun, kemungkinan itu sudah dicegah oleh UU No
8/2015 yang menerapkan prinsip pluralitas sederhana dalam menentukan pemenang.
Artinya tak ada pilkada putaran kedua karena peraih suara terbanyak (berapa pun
persentasenya) ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Formula ini dapat
mencegah spekulasi politik sekaligus mendorong partai berkoalisi mengusung
calon yang peluang terpilihnya paling besar.
Hadirnya calon yang banyak juga bisa
dicegah dengan penerapan denda bagi calon yang meraih suara tak signifikan.
Setiap calon wajib memberikan uang deposit dalam jumlah tertentu kepada KPU.
Apabila raihan suara calon tak mencapai angka tertentu, misal 5 persen, uang
deposit masuk ke kas negara. Ketentuan ini akan menutup hadirnya petualangan
politik atau orang iseng untuk jadi calon.
Kedua, penyelenggaraan pilkada harus
dibarengkan dengan pemilu anggota DPRD dalam satu hari pemilihan. Pemilu
serentak eksekutif dan legislatif ini, di satu pihak, mendorong partai
membangun koalisi solid sekaligus untuk pencalonan gubernur dan bupati/wali
kota; di lain pihak juga akan memaksa partai politik, calon kepala daerah, dan
calon anggota DPRD untuk melakukan kampanye bersama sehingga bisa menekan biaya.
Sumber: Kompas, 9 Oktober 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!