Oleh Doni
Koesoema A
Pemerhati Pendidikan &
Pengajar di Universitas Multimedia
Nusantara
TAK ada masa yang begitu memprihatinkan dibandingkan situasi guru
zaman sekarang. Banyak citra buruk telah mencoreng profesi guru, seperti
perilaku kekerasan yang viral di media, tindak ketidakjujuran, inkompetensi
profesional dan pedagogis, serta kesejahteraan hidup para guru. Mengembalikan
martabat guru semestinya jadi prioritas kebijakan pendidikan.
Citra guru buruk
bukan semata-mata terjadi karena kelemahan internal dalam diri guru. Guru zaman
now menghadapi persoalan kompleks yang berasal dari dalam dan dari luar.
Dua tantangan
Persoalan yang
berasal dari dalam adalah tantangan profesionalisme guru. Kata kunci di sini
adalah integritas pendidik. Bagaimana guru sendiri mencerminkan bahwa
profesinya adalah sebuah panggilan hidup yang bermartabat? Marak dan viralnya
kasus kekerasan oleh guru yang terjadi di lingkungan sekolah maupun di luar
kompleks sekolah, banalitas ketidakjujuran dalam melaksanakan kinerja
profesionalnya, hanyalah beberapa fakta yang dapat kita sebutkan.
Yang dari luar
adalah tuntutan negara, masyarakat, dan kemajuan zaman. Tuntutan negara
mengambil bentuk dalam pelbagai macam peraturan yang memasung kreativitas guru.
Tuntutan masyarakat bisa berupa harapan, cita-cita, dan keinginan orangtua akan
kehadiran guru yang sungguh dapat menjadi mitra bagi pembentukan karakter
anak-anak mereka. Sementara tuntutan kemajuan lingkungan sosial dan budaya
sebuah masyarakat tecermin dari semakin canggihnya kemajuan di bidang teknologi
informasi dan komunikasi, yang dengan sendirinya tentu saja menuntut guru untuk
selalu memperbarui pengetahuan dan keterampilannya agar tidak tersingkir dari
cepatnya kemajuan zaman.
Pasungan regulasi
dan supervisi yang mengobyekkan guru sebagai obyek evaluasi dan penilaian
melalui sistem penyeliaan yang sistematis, teknis, dan mekanis meredusir
pekerjaan guru pada kegiatan administratif. Kinerja guru menjadi semacam
kegiatan proses produksi ala pabrik yang harus dikontrol standar kualitasnya
oleh pihak luar.
Tuntutan pekerjaan
administratif yang harus dilakukan oleh guru begitu banyaknya sehingga guru
tidak memiliki waktu lagi untuk mengembangkan dirinya secara profesional, atau
bahkan untuk fokus pada pekerjaan utamanya, yaitu mendidik dan mengajar siswa.
Tuntutan dan harapan masyarakat tidak dapat diabaikan oleh guru. Adanya
tuntutan yang tinggi dari masyarakat terhadap kinerja seorang guru sesungguhnya
menunjukkan bahwa profesi ini masih dianggap sebagai profesi yang bermartabat
dan mulia. Alhasil, adanya kekerasan yang dilakukan oleh guru akan melukai hati
masyarakat, terutama orangtua.
Orangtua
mengharapkan bahwa guru bisa hadir bagi anak-anak mereka sebagai pengganti diri
mereka yang tidak bisa selalu bersama anak dalam proses pendidikan. Orangtua
masih banyak menaruh kepercayaannya pada pekerjaan guru untuk mendidik dan
membentuk karakter anak-anak mereka.
Kemajuan teknologi
yang begitu cepat menuntut guru untuk selalu mau belajar dan memperbarui
pengetahuan dan keterampilannya agar ia dapat mengikuti derap dan dinamika
kehidupan peserta didik. Peserta didik yang merupakan generasi milenial ini
sejak kecil sudah merasakan bahwa peralatan teknologi telah menjadi bagian dari
hidupnya, bukan lagi sekadar alat untuk komunikasi.
Sayangnya, para
guru kita masih cenderung untuk mengagungkan apa yang ia rasakan sebagai hal
yang baik di masa lampau. Sebagian besar para guru belum atau bahkan tidak
berani keluar dari zona nyamannya untuk mencari jalan-jalan alternatif dalam
mendidik agar apa yang dilakukan di kelas menjadi semakin efektif dan bermakna,
bukan hanya bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi peserta didik.
Kemuliaan profesi
Martabat guru
memang terbentuk dari kemuliaan profesi guru. Tidak ada profesi yang langsung
begitu memperoleh penghargaan dan rasa hormat dari publik dengan begitu cepat
selain guru. Ketika seseorang menjadi guru, ia memiliki kekuasaan dan
kewenangan yang tidak membedakan pangkat, derajat, dan martabatnya.
Seorang presiden,
menteri, jenderal berbintang lima yang paham akan makna martabat guru pasti
akan datang ke sekolah ketika seorang guru memanggilnya, tidak peduli apakah
itu guru novis yang baru lulus kemarin sore, atau guru senior yang telah
mengajar puluhan tahun. Untuk berjumpa langsung dan dapat berbicara dengan
seorang menteri, profesi lain membutuhkan waktu bertahun-tahun. Hal ini tidak
berlaku bagi seorang guru. Begitu ia menyandang profesi sebagai seorang guru,
ia memiliki kekuasaan dan kewenangan mendidik yang sangat luar biasa.
Sayangnya, kekuatan
kemartabatan profesi guru ini sering kali tidak dipahami oleh guru sebagai
modal awal bagi pembentukan profesionalisme dirinya. Bahwa, kekuatan
kemartabatan itu selalu harus diikuti dengan belajar dan menimba pengetahuan
dan keterampilan secara terus- menerus. Hanya dengan begitu kemartabatan yang
telah disematkan masyarakat kepada guru sungguh menjadi bentuk kemartabatan
yang dimiliki oleh guru sebagai pribadi.
Langkah memulihkan
martabat
Mengembalikan
martabat guru tidak bisa hanya dilakukan satu pihak, apakah itu dari guru saja
atau dari masyarakat dan negara, melainkan membutuhkan kolaborasi dan kerja
sama yang baik antara sekolah, keluarga, dan masyarakat yang menjadi trisentra
pendidikan seperti digagas Ki Hajar Dewantara. Untuk itu, ada beberapa hal yang
perlu dipertimbangkan oleh masing-masing pihak agar profesi guru dapat
menemukan kembali kemartabatannya sehingga menjadi profesi yang sungguh mulia
dan berharga bagi masyarakat.
Pertama, dari sisi
guru sendiri, ia perlu memiliki keterbukaan baik dalam hal wawasan dan
pemikiran sehingga ia semakin dapat memahami esensi profesionalismenya sebagai
sebuah proses pembentukan kemartabatan guru yang akan berlangsung sepanjang
hayat.
Setiap guru perlu
memiliki sikap untuk senantiasa berani memperbaiki diri, mengevaluasi
kekurangan, dan kelemahannya dengan memperkuatnya melalui berbagai macam bentuk
kegiatan yang mengembangkan profesionalismenya. Sebutlah seperti mengikuti
kegiatan-kegiatan pengembangan, pelatihan, dan pengayaan individu melalui
bacaan dan refleksi rutin. Kekuasaan dan otoritas yang dimiliki oleh guru
bukanlah berasal dari diri individu pribadi guru, melainkan karena status
profesionalnya sebagai guru. Karena itu, guru perlu terus-menerus
mengintegrasikan status profesionalnya ini dengan pembentukan diri secara
terus-menerus.
Kedua, dari sisi
kebijakan dan regulasi, pemerintah perlu memangkas berbagai macam regulasi dan
birokrasi yang membatasi kreasi dan inovasi guru dengan membuat kebijakan yang
lebih dinamis, ramah, dan membantu pengembangan profesional guru secara
natural. Berbagai peraturan rumit, seperti akreditasi, sertifikasi, uji
kompetensi guru, dan pekerjaan-pekerjaan administratif guru perlu ditinjau dan
ditata ulang. Dengan demikian, hanya aturan yang fundamental yang membantu
pembentukan kemartabatan guru sajalah yang dituntutkan oleh pemerintah terhadap
guru.
Ketiga, melawan
zaman kita tidak bisa. Yang bisa dilakukan guru adalah mengintegrasikan
kemajuan zaman itu dalam reksa profesionalnya sebagai pendidik sehingga ia
tidak tergerus oleh kemajuan zaman dan semakin ditinggalkan oleh para muridnya.
Guru perlu menanggapi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sebagai
tantangan bagi pengukuhan kemartabatan profesinya sebagai pendidik. Di zaman yang
semuanya serba teknologi seperti sekarang, martabat profesi guru akan semakin
kuat karena hanya gurulah satu-satunya profesi yang sangat efektif membentuk
karakter melalui perjumpaan-perjumpaan yang unik, khas, dan menginspirasi yang
tidak bisa dilakukan oleh perangkat teknologi.
Mengembalikan
martabat guru menjadi langkah awal untuk menumbuhkan rasa percaya diri guru
sebagai pendidik bangsa, merealisasikan harapan masyarakat dalam merealisasikan
harapan dalam diri putra-putrinya di masa depan. Masalahnya, sanggupkah guru
mulai dari dirinya sendiri untuk mengembalikan martabat profesinya?
Sumber: Kompas,
25 November 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!