Oleh Bagong Suyanto
Guru Besar Sosiologi Fisip Universitas
Airlangga
DI tengah iklim kontestasi politik yang makin rigid, tampaknya makin
sulit memastikan mana hoaks dan mana pula realitas yang bisa dipercaya.
Kebohongan demi kebohongan terus membanjiri ranah publik, yang menyebabkan
masyarakat tidak bisa lagi membedakan dan menempatkan di posisi mana mereka
harus bersikap. Di tahun politik, kebenaran sepertinya menjadi barang langka
yang makin susah untuk didapat. Sementara itu, bak air hujan, kebohongan demi
kebohongan justru makin deras menetes di bumi politik kita.
Masyarakat yang
seharusnya menjadi subjek utama pesta demokrasi kini dihadapkan pada pilihan
yang serbagamang. Jangan dibayangkan berbagai kabar bohong yang beredar di
media sosial di-upload mentah-mentah apa adanya. Hoaks yang terus-menerus
dilontarkan, pelan tetapi pasti, akan diterima masyarakat sebagai kebenaran.
Masyarakat di tahun politik seperti sekarang ini menjadi makin sulit mengenali
apakah sebuah berita politik itu bohong atau tidak sebab pihak yang
menyebarkan hoaks pun ternyata para profesional yang sudah terbiasa mengolah
informasi sebagai senjata menjatuhkan reputasi lawan politik.
Tim Cyber Patrol
Polda Jatim, misalnya, dilaporkan baru saja menindak puluhan akun medsos
penyebar informasi politik yang tidak jelas kebenarannya. Akun-akun penipu itu
menyebut ada 10 juta nama dalam daftar pemilih tetap (DPT) asal Tiongkok untuk
Pilpres 2019. Polisi telah menonaktifkan atau men-take down 32 akun medsos
penyebar kabar bohong itu. Akun-akun itu dari berbagai medsos seperti
Instagram, Facebook, dan Twitter. Apakah setelah berbagai akun itu ditutup
dijamin tidak ada lagi akun politik lain yang menebar kabar bohong? Tentu tidak.
Setiap satu akun penebar kabar bohong ditutup, dalam detik yang sama muncul
akun bohong lain.
Kabar bohong
(hoaks) ibaratnya jamur di musim hujan. Terus bermunculan dan diproduksi secara
sengaja untuk berbagai kepentingan.
Salah satu kabar
bohong lain yang kini ramai menjadi perbincangan warganet ialah berita tentang
adanya tujuh kontainer surat suara yang sudah tercoblos di Pelabuhan Tanjung
Priok, Jakarta Utara.
Kabar hoaks yang
mendiskreditkan salah satu kontestan pemilu ini awal mulanya dipicu lontaran
Wasekjen Partai Demokrat Andi Arief di akun Twitter-nya.
Memang dalam
cicitannya Andi meminta agar kabar adanya tujuh kontainer surat suara yang
sudah dicoblos di Tanjung Priok itu dicek. Secara hukum, barangkali tidak ada
yang salah dari apa yang dicicitkan Andi di akun Twitter-nya. Tetapi, di tahun
politik, cicitan semacam ini sebetulnya rawan dipolitisasi dan ditafsirkan
secara berbeda oleh masyarakat.
Berbeda masalahnya
jika cicitan Andi tidak dikemukakan dalam akun yang terbuka seperti Twitter yang
bisa diakses masyarakat luas. Jika pertanyaan Andi dikemukakan langsung ke
aparat kepolisian, tentu interpretasi akan lain. Meski dari segi tata bahasa
cicitan Andi wajar saja dikemukakan orang yang memiliki kepedulian terhadap
persoalan politik, karena ini adalah tahun politik, dan Andi termasuk tim
sukses salah satu kontestan, wajar pula jika di masyarakat muncul pertanyaan
ada-tidaknya motif politik di balik cicitan Andi itu.
Menebar kabar
bohong dan menjatuhkan reputasi lawan melalui narasi-narasi yang menohok kini
memang makin populer dan diyakini efektif untuk meraih simpati masyarakat.
Kombinasi antara menebar kabar bohong dan pernyataan yang mendramatisasi
masalah tampaknya ialah instrumen yang diandalkan untuk meraup dukungan suara.
Alih-alih bersaing
menawarkan program-program andalan yang bisa dipercaya masyarakat untuk
menimbulkan daya ungkit bagi masa depan bangsa Indonesia, memasuki tahun
politik 2019 kampanye yang berkembang sepertinya jauh dari ideal. Atas nama
kepentingan ekonomi, di dunia politik makin lazim bermunculan orang-orang yang
membajak reputasi pemilu sebagai pesta demokrasi yang bisa dipercaya menjadi
ajang persaingan yang dangkal.
Anggapan bahwa
masyarakat belum sepenuhnya berpendidikan dan sadar akan makna demokrasi menjadikan
sebagian pihak memilih jalan pintas. Sembari tetap berkeliling di sejumlah
daerah untuk menebar janji dan menawarkan solusi, menebar berita bohong
tampaknya menjadi pilihan pragmatis yang diyakini lebih menguntungkan. Orasi
yang tidak berbasis data, narasi-narasi yang lebih banyak bermuatan kebencian,
dan drama-drama yang hiperbola serta kontroversional ialah kiat yang acap kali
menjadi pilihan para pendukung, tim sukses, bahkan tak jarang didemonstrasikan
kontestan itu sendiri.
Apakah strategi
mencoba meraih dukungan melalui tebaran kabar bohong, ujaran kebencian, dan
pernyataan kontroversional akan terbukti efektif, tentu waktu yang akan
menjawabnya. Tetapi, menabur hoaks yang berlebihan dan bahkan cenderung
melewati batas-batas wilayah kriminal, bukan tidak mungkin strategi itu justru
akan menjadi bumerang.
Siapa pun kontestan
yang kini berlaga meraih suara terbanyak dan menang dalam pemilu, masih ada
waktu yang tersisa untuk kembali ke koridor yang demokratis dan beretika. Ketika
masyarakat makin kritis dan pintar, jangan harap strategi menebar kebohongan
politik bakal efektif untuk meraup dukungan suara. Bagaimana pendapat Anda?
Sumber: Media Indonesia, 4 Januari 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!