Oleh Zainal Arifin Mochtar
Pengajar Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Uiversitas Gajah Mada
RASANYA tak ada yang
berlebihan dengan kata-kata lama yang menarik bahwa "demokrasi itu
riuh". Bahkan sering kali harus diimbuhi dengan frasa kata "amat
sangat". Semua keriuhan itu memiliki nada berbeda, mengikuti setiap
tahapan. Pasca-pemilu dan putusan Mahkamah Konstitusi, salah satu keriuhan
utama adalah membangun koalisi dan adanya oposisi bagi pemerintahan.
Semuanya bermuara
pada permintaan bagi-bagi kursi kabinet Joko Widodo-Ma'ruf Amin
(Jokowi-Ma'ruf). Baik partai-partai pendukung Jokowi dalam pemilu maupun partai-partai
yang berlawanan dengannya di pemilu, meminta jatah kursi menteri sebagai syarat
untuk berkoalisi.
Partai pendukung
Jokowi dalam pemilu pasti memiliki logika yang berbeda dalam alasannya meminta
jatah menteri dan berkoalisi jika dibandingkan dengan alasan partai pendukung
Prabowo dalam pemilu. Jika kesemua partai menghendaki berkoalisi bersama
pemerintahan yang terpilih, maka siapa oposisinya? Pentingkah membangun koalisi
dan oposisi yang kuat dalam pemerintahan?
Sistem pemerintahan
Sejujurnya, salah
satu yang paling penting dibicarakan dalam perdebatan tentang membangun koalisi
dalam pemerintahan adalah keniscayaan berkaitan dengan sistem pemerintahan.
Pasalnya, kebiasaan yang terbangun dalam sistem pemerintahan presidensial
sebenarnya berbeda dengan langgam yang biasa terjadi dalam sistem parlementer.
Tradisi keduanya memang berbeda jauh, bahkan mungkin secara diametral.
Dalam sistem
parlementer, khususnya Westminster system, koalisi menjadi amat sangat penting,
terkhusus jika partai gagal memperoleh dukungan lebih besar dari 50 persen.
Karena setelah sistem pemilu tunggal —yang hanya pemilu legislatif— melahirkan
parlemen, maka perdebatan utamanya adalah bagaimana membangun pemerintahan,
apalagi ketika tak ada penguasaan mayoritas partai. Maka, siapa primus
interpares yang akan didaulat sebagai kepala pemerintahan (perdana menteri/PM)
sangat bergantung kemampuan membangun koalisi. Kegagalan membangun koalisi
sangat mudah berujung pada kegagalan mendapatkan kursi PM. Begitu pun ketika
menjalankan kekuasaan selaku PM. Alat ukur yang "hanya" dari
kebijakan, membuat PM amat sangat mudah jatuh, kecuali jika didukung sangat
kuat oleh koalisi yang dibangun.
Makanya, dalam
sistem parlementer, baik koalisi dalam membentuk pemerintahan maupun dalam
menjalankan pemerintahan, menjadi sangat penting. Walaupun sebenarnya, bahasa
mengganti PM dalam sistem parlementer, sering bukan karena tarik-menarik
politik semata tetapi juga untuk menguatkan kepercayaan publik pada
pemerintahan. Makanya, selain Margareth Thatcher di Inggris, rasanya tak ada
perdana menteri yang bisa bertahan dengan rentang waktu yang sangat lama.
Berbeda dengan
parlementer, dalam sistem presidensial, presiden dan anggota parlemen terpilih
secara terpisah dalam dua pemilu (legislatif-eksekutif) yang berakibat daulat
kuasa antara keduanya relatif sama secara langsung lahir dari rakyat. Karena
setara lahir dari rakyat secara langsung, untuk menjatuhkannya juga tidak
"sesederhana" sistem parlementer. Presiden tidak dijatuhkan karena
pilihan kebijakan, tetapi lebih karena pelanggaran atas impeachment articles
yang dicantumkan di dalam konstitusi.
Oleh karena
presiden berposisi cukup kuat, serta dipilih langsung oleh rakyat, tidak ada
kewajiban membangun koalisi dalam membentuk pemerintahan. Karenanya, koalisi
dalam membentuk pemerintahan nyaris tidak perlu. Sedikit berbeda dengan ketika
menjalankan pemerintahan. Biasanya, geliat politik dan perimbangan checks and
balances, membuat dan menuntut Presiden harus membangun hubungan mesra dengan
parlemen, dan disitulah mengapa biasanya para ahli politik dan hukum
ketatanegaraan mengatakan ada keperluan untuk membangun koalisi dalam rangka
memuluskan kerja-kerja Presiden.
Semisal, dalam
penyusunan anggaran yang dilakukan oleh presiden, sangat sulit berhasil dengan
mudah jika tak didukung partai-partai pendukung pemerintah di parlemen. Bahkan,
jika tak ada dukungan itu, akan mudah berakibat pada cita-cita kerja yang
ditawarkan oleh presiden bisa berantakan karena tidak didukung oleh politik
anggaran di parlemen.
Koalisi di sistem
presidensial
Artinya sebenarnya
sangat jelas, tak ada kebutuhan mendasar Presiden untuk membangun koalisi dalam
membentuk pemerintahan. Wilayah prerogatif Presiden dalam menunjuk
menteri-menteri kabinet tidaklah perlu dikaitkan dengan dukungan pada pemilu.
Ini sebabnya, mengapa sedari awal sebenarnya kita harus menolak model threshold
yang mengada-ada ala presidential threshold.
Selama ini, ambang
batas bagi partai atau gabungan partai untuk mengajukan capres atau cawapres
(presidential threshold) dipakai dengan seakan-akan menyamakan kepentingan
koalisi dalam membentuk pemerintahan dan menjalankan pemerintahan. Jebakan
logika ini sangat terlihat, sehingga bahkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
No.53/PUU-XV/2017 dalam perkara pengujian presidential threshold pun mengikuti
tabuhan genderang kepentingan politik ini. Sehingga menyamakan pengajuan syarat
menjadi capres dengan cita-cita sistem presidensial.
Padahal, logika
tersebut tak berhubungan secara langsung. Hal ini bahkan dibahas secara sangat
baik dalam dissenting opinion pada putusan itu. Hakim Saldi Isra dan Suhartoyo
mengatakan, rezim ambang batas dalam pencalonan yang menggunakan hasil pemilu
legislatif sesungguhnya tidak relevan, dan logika mempertahankan dukungan besar
pada presiden malah bisa menjadi perangkap menjadi pemerintahan otoriter.
Sekali lagi, ada
kebutuhan berbeda antara koalisi menjalankan pemerintahan dan membentuk
pemerintahan. Jika pun ada kebutuhan membangun koalisi untuk menjalankan
pemerintahan maka tak berarti harus dipaksa dan dikaitkan dengan membentuk kabinet
pemerintahan. Biarkan kebutuhan berbeda itu dijawab Presiden dengan jawaban tak
tunggal melalui bagi-bagi kursi menteri. Lagi pula dalam bagi-bagi menteri,
kesan kualitas akan sangat mungkin ditinggalkan.
Dan tanpa terasa,
logika seperti itu sebenarnya merusak kepercayaan publik atas pemerintahan,
terlebih atas janji-janji yang selama ini dibahasakan oleh Presiden dengan
keinginan membangun kabinet yang zaken. Dan rongrongan partai untuk meminta
jabatan menteri sebenarnya adalah gangguan atas prerogatif itu sendiri. Lagi
pula, hal yang tak mungkin dilupakan adalah bahaya implikatif dari sistem
presidensial jika dikaitkan dengan dukungan di parlemen. Logika sistem
presidensial sebenarnya berjalan di jalur yang tak boleh mendapatkan dukungan
terlalu tinggi di parlemen, walau pada saat yang sama tak layak juga
mendapatkan dukungan terlalu rendah di parlemen.
Sederhananya,
dukungan terlalu rendah di parlemen, sangat mungkin membuat akan mati gaya dan
tidak dapat melaksanakan kebijakan-kebijakannya dengan mudah. Persis yang
dicontohkan di atas, semisal dalam wilayah penganggaran. Tanpa dukungan
mayoritas sederhana, sulit bagi pemerintah untuk bisa dengan mudah menjalankan
cita-cita pembangunan yang diidamkan. Presiden sangat mudah diganggu dengan
berbagai tindakan tidak perlu sebagai akibat dari sistem pengawasan di
Indonesia yang memang bercorak terlalu kuat, memiliki kekuatan pengawasan dalam
sistem presidensial.
Kita punya
contohnya. Presiden Gus Dur yang dengan mudah dijatuhkan saat itu. Memang,
sistem ketatanegaraan berubah dan lebih memperkuat sistem Presidensial sehingga
presiden tak semudah itu lagi untuk dijatuhkan. Tetapi, ingatan kita juga bisa
dengan mencontohkan Presiden Jokowi di awal pemerintanan 2014-2019 yang
untungnya dapat dengan cepat memeluk beberapa partai oposisi lainnya yang
diubah menjadi koalisi mayoritas sederhana dalam menjalankan pemerintahan.
Sebaliknya, jika
dukungan terlalu besar ke presiden, secara mayoritas absolut atau lebih,
presiden sangat tergoda untuk menjadi tak terawasi dengan baik serta berpeluang
jadi otoriter. Trauma kita pada sejarah Orde Baru sebenarnya memperlihatkan
ini. Soeharto menguasai birokrasi, partai dan tentara membuatnya tergoda
menjadi otoriter sungguhan. Mengapa demikian? Oleh karena sistem presidensial
memang dibangun dengan nuasa pendulum kekuasaan yang berayun amat jauh dan
sangat kuat bagi Presiden. Alexander Hamilton dalam The Federalist Paper ketika
membentuk konstitusi Amerika Serikat sudah menyatakan bahwa presiden dalam
sistem presidensial ini mirip kuasa daulat raja yang hanya kemudian coba kita
batasi melalui konstitusi. Ia menjamak kekuasaan sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan.
Dengan kuasa yang
besar dan ditopang dukungan yang sangat besar oleh lembaga yang seharusnya
menjadi pengawas, akan sangat mudah membuat presiden tak akan terkawal dengan
baik. Apalagi jika ada gejala dukungan TNI dan Kepolisian yang amat kuat.
Sangat mungkin, apapun yang dikehendaki presiden akan dengan mudah dijalankan
bahkan dengan menggunakan kekuasaan hukum dalam menegakkan ketertiban dan
kedaulatan negara. Di tengah sudah dikeluarkannya Peraturan Presiden No 37
Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional TNI yang sudah seakan membangkitkan
"Dwi Fungsi" ABRI, mestinya ketakutan akan ancaman godaan menuju
otoritarian harus dihindarkan dengan lebih dini.
Dan memang, itulah
"penyakit" utama dalam sistem presidensial yakni relasi antara presiden
dan parlemen yang diukur dengan kadar pengawasannya. Artinya, koalisi tak boleh
kuat-kuat amat sehingga membunuh konsep pengawasan melalui oposisi. Pada saat
yang sama oposisi tak boleh terlalu kuat sehingga presiden tak dapat bergerak
leluasa.
Koalisi "pas
terbatas"
Oleh karena itu,
jika pun akan dibangun koalisi, koalisi yang terukur secara "pas
terbatas" jauh lebih baik dibanding memaksakannya menjadi gemuk dan tak
terkendali. Bagaimana "pas terbatas" itu, sesungguhnya sangat mungkin
diukur dengan jaminan adanya jumlah kuantitas dan kualitas oposisi yang
memadai. Kualitas-kuantitas oposisi yang masih dapat menentukan berjalannya
konsep-konsep pengawasan seperti interpelasi, angket dan hak menyatakan
pendapat. Jika semua merapat ke Presiden, maka dapat dipastikan bahkan untuk
kuorum mengajukan hak-hak tersebut bisa-bisa tidak terpenuhi.
Menteri yang
dipilih harus memiliki integritas, kapabilitas dan akseptabilitas. Integritas
dengan rekam jejak yang jelas tanpa keraguan. Kapabilitas berupa kemampuan dan
kemauan bekerja dengan keahliannya. Pada saat yang sama juga akseptabel di
hadapan publik dan politik. Ketiga unsur itu jauh lebih penting dibicarakan
dibanding hanya sekadar bersandar pada partai mana ia bernasab, dan ke mana ia
melabuhkan koalisi kepartaiannya. Bahwa ada kebutuhan membangun keharmonisan
pasca-keriuhan pilpres, sebenarnya tidaklah wajib ditunjukkan dengan bagi-bagi
kursi jabatan menteri dan memaksa masuk ke kabinet. Terlebih lagi kita semua
paham, keriuhan politik di Indonesia tidaklah sama dengan keriuhan di akar
rumput.
Politik jauh lebih
cepat menemukan kesetimbangan di banding di akar rumput. Kerja-kerja Presiden
dalam membangun republik ini lebih dibutuhkan untuk merekatkan kembali
keharmonisan akar rumput. Jika pun harus membangun koalisi, bangunlah secara
pas demi menyokong cita-cita pembangunan, dan terbatas yang tetap bisa membuat
Presiden leluasa dan tak tergoda menuju otoriter. Jika memaksakan koalisi gemuk
yang semuanya bergabung dengan pemenang pemilu, sekali lagi, pemerintah akan
mudah terperosok ke otoriter. Jika kata otoriter dianggap berlebihan, maka
setidaknya bisa menjebak ke rezim zonder kontrol.
Sumber: Kompas, 10 Juli 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!