TEMPO doeloe ada dua nama Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT)
paling dihafal bapa saya. Dua gubernur itu adalah Gubernur El Tari dan Gubernur
Ben. Ben yang dimaksud adalah Ben Mboi; tapi bapa saya hanya tahu sebatas
Gubernur Ben. Jadi, kalau saya sekolah malas, ancaman bapa saya akan melapor
Gubernur El Tari atau Gubernur Ben. "Nanti soldadu (tentara) bawa engko ke
Ende ketemu Gubernur Ben dan pagar praja suruh engko pompa dada (push up). Gubernur
Ben itu juga soldadu. Nanti di Ende, soldadu lepas engko baru hilang di Ende.
Engko akan kesasar di tengah kota. Ibu kota propinsi itu banyak oto macam
semut. Jadi pasti engko bisa hilang di sana," kata bapa saya.
Saat bermain bola
bertelanjang kaki di plein (lapangan bola) Boto, bapa saya suruh berhenti. Ada
kabar orang meninggal. Semua kami berhenti. Kemudian bertanya-tanya siapa warga
Boto, kampung kami, yang meninggal. Kata bapa saya, ada radiogram, Gubernur El
Tari meninggal. Radiogram dari siapa? Untuk siapa? Lalu kenapa radiogram itu
ditujukan untuk orang di kampung saya. "Tadi saya dengar di radio
transistor dari rumah kepala desa. Suaranya jelas. Dorang radiogram bahwa
Gubernur El Tari mati (meninggal, maksudnya). Mungkin pagar praja sudah bawa
jenazah ke Ende. Untung dulu Presiden Sukarno tidak mati di Ende pas kompeni
penjarakan dia di sana. Kalau tidak dia punya mayat dorang taro di Ende,"
kata bapa saya.
Kabar meninggalnya
El Tari geger. Seorang ibu hamil saat itu melahirkan bersamaan dengan hari
kematian Gubernur El Tari. Bayi baru itu belakangan diberi nama El Tari di
depan nama baptis. Ibu itu kerabat kami dari pihak ibu saya. Ibu ini saat masih
kecil digendong ibu saya. Hari itu kami mengalami dua peristiwa sedih dan
gembira. Peristiwa kematian Gubernur El Tari dan kelahiran seorang anak
laki-laki yang segera ditambah nama belakang nama baptis: El Tari. Padahal,
dalam kebiasaan nama kakek akan disematkan pada cucu yang baru lahir. Tapi
dengan anak ini tidak. Kedua orangtua sepakat namanya ditaro El Tari, nama yang
diambil dari Gubernur El Tari, orang Sabu. Jadi, nama marga El Tari di Sabu
sudah "merantau" sampe Boto. Bangga juga. Siapa tau orang Sabu kira
ada kerabatnya di kampung saya. Padahal, pinjam sa. Begitu, ina dan ama tana di
Sabu, tanah Rai Hawu.
Lalu kenapa ibu
kota NTT itu ada di Ende? Dan mungkin satu-satunya "kota provinsi"
dalam benak saya sebagai anak kecil. Menyebut Kupang mungkin belum sampai ke
telinga bapa saya. Ende kala itu adalah kota Pembantu Gubernur NTT Wilayah Utara.
Dan kota provinsi itu tertanam kuat dalam benak kami anak-anak. Pak Yan Lele
Mudaj, kerabat kami dalam suku, mengajar kami mata pelajaran IPS. Nah, kami
diwajibkan menulis dan menghafal semua nama desa gaya baru di Kecamatan
Nagawutun, Wilayah Pembantu Bupati Flores Timur Wilayah Lembata berkedudukan di
Lewoleba. Plus dengan nama-nama pejabat kepala desa gaya baru. Ende adalah
salah satu pengetahuan kami bahwa kota bekas pengasingan Bung Karno itu adalah
kota Provinsi NTT. "Jadi kalau engko tidak sekolah, nanti soldadu bawa
engko ke Ende. Tugas kamu di sana tofa rumput, potong pisang, buat pematang,
petik padi dan jagung atau pegang lampu gas agar Bung Karno dan orang Ende main
sandiwara macam dulu kompeni suruh Bung Karno pas dia di Ende," kata bapa
saya. Dalam hati saya bingung. Bapa saya bikin saya takut; beliau gara-gara
saja. Itu pikiran saya. Dari mana bapa saya tau Bung Karno petik padi dan
jagung di Ende? Saya dengar sambil ketawa. Cuma dalam hati ada benar juga;
siapa tau saya disuruh belajar banyak hal selain di dalam kelas.
Ende sebagai
"kota provinsi" juga menguras rasa ingin tahu bapa saya. Padahal, ia
hanya drop out sekolah rakyat (SR). Ayah saya tanggalkan sekolah karena kedua
orangtua neninggal saat dia dan adik-adiknya masih kecil. Kakak sulung ayah
saya mengambil alih tugas orangtua mereka sebagai pengasuh. Dari sekadar
mendengar nama-nama Gubernur NTT via radio transistor, ia juga diberitahu
kepala desa dan para kepala kampung siapa gubernur NTT sejak provinsi itu
terbentuk tahun 1958. "Tapi bapa cuma tau Gubernur El Tari dan Gubernur
Ben (Ben Mboi). Gubernur Ben itu orang Ende. Dia soldadu dan biasa suntik orang
sakit. Gubernur Ben itu mantri. Kalau Gubernur Ben datang bawa senjata
sebaiknya engko pigi sembunyi di kebun. Tapi kalo engko belajar rajin dan
Gubernur Ben tanya engko jawab benar, pasti dia kasi hadia," kata bapa
saya.
Kisah bapa saya ini
terasa menjadi pintu masuk saya belajar dan tahu siapa-siapa para Gubernur NTT
sejak provinsi itu dibentuk tahun 1958. Saya beruntung. Sejak sekolah di SMP
Lamaholot Boto, SMA Kawula Karya hingga kuliah di Kupang tahun 1991, saya
mengenal sosok para Gubernur NTT melalui berbagai sumber. Mulai dari William
Johanes (WJ) Lalamentik (1958-1966), Mayor TNI-AL El Tari (1966-1978), Kol
TNI-AD dr Ben Mboi (1978-1988), dr Hendrik Fernandez (1988-1993), Brigjen
TNI-AD Herman Musakabe (1993-1998), Piet A Tallo SH (1998-2008), Drs Frans Lebu
Raya (2008-2018) hingga Viktor Bungtilu Laiskodat SH, yang berpasangan dengan
Wakil Gubernur Drs Josef A Nae Soi (2018 hingga saat ini).
Dari semua Gubernur
NTT di atas, ada kisah tersendiri. Saya pernah bertemu dan mewawancarai bahkan
membantu mereka masing-masing saat saya tinggal di Kupang bahkan setelah
meninggalkan Kupang akhir 1998. Minus Gubernur WJ Lalamentik dan El Tari. Dua
nama ini saya hanya tahu dari cerita dan buku-buku literatur. Saat masuk
Jakarta, nama El Tari saya dengar dari Pak Cypri, salah seorang ASN di kantor
Penghubung Pemda NTT Jakarta yang sering membantu mengkomunikasikan kepentingan
NTT di kementerian dan lembaga terkait di Jakarta. Pa Pri ini juga menjadi
supir pribadi Pak Gubernur Piet A Tallo saat berada di Jakarta. "Pak Tari
itu orang hebat. Gubernur yang disiplin dan pekerja keras," kata Pa Pri,
biasa disapa Pa Piet Tallo.
Lewat Pak Cypri
Botoor, saya juga akrab dengan Gubernur Piet A Tallo. Ini setelah saya
memutuskan menjadi jurnalis di Jakarta awal Oktober 1998. Dalam suatu
kesempatan saya dan rekan Konrad Mangu mewawancarai Gubernur Piet A Tallo di
kantor Penghubung Pemda NTT di Tebet Timur Dalam, Jakarta. Setelah melapor diri
di Pak Valens Bura dan Pak Pri, berdua rekan ini masuk ruang Pak Tallo. Wawancara
berlangsung lancar. Ia menasehati agar jadi wartawan yang taat etika dan tata
krama, tidak boleh peras orang karena nanti nama rusak. "Tunggu sebentar.
Bapa ke toilet dulu baru kamu dua pamit. Kamu tinggal di mana? Naik apa ke
rumah," tanya Pa Piet Tallo sekembali dari tolet. "Dari sini naik
Metro Mini atau Bajaj ke Kampung Melayu," kata saya. Pa Piet mengeluarkan
dua amplop. Dibuka di depan kami. Rosario beliau sodorkan. "Ingat berdoa
Rosario, ya, Nak. Rosario ini oleh-oleh Bapa Paus jadi kita bagi-bagi. Kamu
doakan bapa juga agar urus NTT dengan hati. Kalau teman-teman wartawan asal NTT
yang Muslim, bapa kasi mereka oleh-oleh Tasbih," kata Piet Tallo.
Tiba-tiba saya jatuh air mata. Seorang Gubernur penganut Protestan taat tapi
mengingatkan saya berdoa dan mendoakan pemimpin dan tanah tumpah darah, NTT.
Sedang Gubernur Ben
saya jumpai saat peluncuran buku Melawan Penindasan & Diskriminasi di Papua karya tuang
John Jonga di Jakarta tahun 2012. Saya beranikan diri menyalami Ben. Sekalian
kenalkan nama dan asal. "Engko dari desa apa? Dari Waiteba kah?,"
tanya Ben Mboi. "Bukan, bapa Ben. Saya dari Boto. Dekat Loang," kata
saya. "Loang itu dulu Wakil Presiden Adam Malik turun liat pengungsi dari
Waiteba. Sekolah TK Nely Adam Malik masih ada kah," tanya Pak Ben. Wah,
saya kelabakan. Ingatan Ben sangat kuat. Sejak itu, ada kontak dengan kerabat
Ben. Tatkala kelangkaan obat terjadi di RSUD Lewoleba, saya menyampaikan
langsung ke isterinya, dr Nafsiah Mboi, yang saat itu jadi Menteri Kesehatan.
"Nanti saya kontak Pak Bupati dan Kadis Kesehatan Lembata agar segera
diambil langkah mengatasi kelangkaan obat di RSUD Lewoleba," kata Ibu Naf.
Senang juga sebagai orang kampung, meski ini omongan informal.
Herman Musakabe
saya jumpai di Bandung. Saya meluangkan waktu ke rumahnya setelah bersiap
menghadiri Pak Rikar, adik ibu saya yang tengah mempersiapkan diri
nenyelesaikan studi Magister Teknik Arsitektur di Universitas Katolik
Parahyangan (Unpar) Bandung, kawasan Ceumbeuleuit (Cembuluit). "Adik bisa
ke rumah sebentar. Pas saya ada di rumah. Kita bisa ngobrol santai," kata
Pak Herman, mantan Komandan Sekolah Staf Angkatan Darat (Seskoad). Saya
menyalami Pak Herman dan Ibu Agnes Musakabe. Saat jadi Gubernur, ia mewajibkan
ASN mengenakan produk tenun ikat lokal masing-masing daerah. "Isteri adik
orang Jakarta atau Jawa?," tanya Pak Herman. "Produk lokal, bapa.
Sama-sama sepulau Mengikuti kebijakan mengenakan tenun lokal jaman bapa jadi
Gubernur," kata saya. Kami tertawa sembari menikmati kopi panas di tengah
udara Bandung, kota jumbo di tatar Sunda, tanah Parahyangan.
Sedang Lebu Raya,
pernah bertemu saat ia berkunjung ke Jakarta. Tapi saat itu beliau sebagai
Wakil Gubernur. Kami bertemu di Hotel Borobudur, Lapagan Banteng dan ngobrol ke
sana kemari (baca: https://ansel-boto.blogspot.com/…/lebih-jauh-dengan-frans-l…).
Saat jadi Gubernur pernah bersua di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Jarang
juga bertemu karena beliau sibuk dengan tugas-tugas dinas. Awal tahun lalu,
saat libur di kampung halaman, saya diberitahu seorang sahabat. Pak Frans lagi
berada di Lembata. "Selamat malam, kaka. Apa kabar? Saya dengar lagi di
Lembata?," saya bertanya kepada beliau. Saya sengaja buka speaker hape.
"Saya lagi di kampung Pak Viktor Mado. Ade lagi Lembata?," ujar Pak
Frans. Frans sangat welcome. Ia pemimpin dan politisi dengan jam terbang
tinggi. Dari anggota DPRD NTT, ia menjadi wakil Gubernur mendampingi Piet A
Tallo dan sepuluh tahun jadi Gubernur. Lama kan? Tapi dukungan Lembata dalam
anggaran bersumber APBD 1 minim. Jalan-jalan babak belur terutama ruas
Lewoleba-Lamalera, meski bukan jalan provinsi. Sampai saat ini, kubangan di
tengah jalan, seperti semut.
Lain lagi Gubernur
NTT saat ini Viktor Bungtilu Laiskodat. Tahun 2014, saya membantu Viktor
Laiskodat sebagai salah satu staf saat beliau menjabat anggota DPR RI. Nama
Viktor saya hanya dengar selama menjadi wartawan di Jakarta sejak akhir 1998
(http://ansel-boto.blogspot.com/…/viktor-bungtilu-laiskodat-…). Saya bertemu
beliau dalam sebuah seminar tentang pola kebijakan pembangunan pariwisata masa
depan di NTT di Hotel Borobudur. Dari situ saya mulai kenal baik beliau sebagai
politisi dan pengusaha sukses (https://ansel-boto.blogspot.com/…/viktor-bungtilu-laiskodat…).
"Kalau tak keberatan kau bisa ikut bantu Pak Veki (Viktor Laiskodat)
sebagai staf di DPR. Tapi beliau agak disiplin dan tegas dalam urusan
kerja," kata teman, sesuai arahan Pak Viktor. "Kalau tegas, saya juga
tegas. Apalagi biasa bekerja di media. Narasumber saja saya tunggu sampe
matahari terbenam," kata saya sambil tertawa.
Sejak 2014, saya
resmi menjadi staf Viktor Laiskodat. Tugas kian berat setelah beliau dipercaya
menjabat Ketua Fraksi NasDem DPR RI. Kami, para staf, mesti gesit berbagi tugas
agar aman dan lancar. Panggilan kampung halaman memaksa Viktor Laiskodat masuk
dalan bursa Pilgub NTT tahun 2018. Sebagai staf, saya juga turun gunung
memenangkan si bos jadi orang nomor 1 NTT. Terbang dari Jakarta ke Kupang.
Bertemu beliau melapor diri kemudian terbang lagi ke Labuanbajo, kota Kabupaten
Manggarai Barat, memulai safari politik. "Mas ga ada nama dalam daftar
rombongan Victory Joss. Jadi cari penginapan sendiri," kata sorang staf
tim pemenangan. "Kita dua tidur di emperan hotel atau di pagar dekat
hotel. Soalnya kalau besok pagi bos bangun, saya harus sudah stand by karena
harus dokumentasikan kegiatan beliau," kata saya kepada seorang staf Pak
Jos Nae Soi. Dari Labuanbajo hingga Larantuka, saya paling mudah tidur di
emperan hotel. Saya juga tak mau beritahu kalau saya staf Viktor di DPR RI.
Hari ini, Nusa
Tenggara Timur merayakan HUT ke-61. Warga NTT tentu merasa bersyukur karya
Tuhan sungguh Agung untuk tanah Flobamora. Kita patut bersyukur dan berterima
kasih kepada para Gubernur NTT yang sudah memimpin daerah ini hingga memasuki
usia 61 tahun. Dirgahayu NTT. Kita doakan para Gubernur terdahulu, baik yang
sudah berpulang maupun yang masih hidup. Kita dukung Gubernur Viktor Bungtilu
Laiskodat dan Wakil Gubernur Josef A Nae Soi agar di bawah keduanya, NTT makin
maju, sejahtera, aman, dan damai. Kita satukan tekad bersama para pemimpin
memajukan tanah Flobamora. "Selamat HUT ke-61 NTT Tahun 2019". Tuhan
berkati kita semua. Salam dari rantau tuk Pak Gubernur & Wakil Gubernur
NTT.
Jakarta, 20 Desember 2019
Ansel
Deri
mengenang HUT ke-61 Provinsi NTT, Jumat, 20 Desember 2019.
Ket foto: Para gubernur yang pernah dan sedang memimpin NTT.
Ayah saya (alm. sebelah kiri) Petrus Samong Mudaj dan rekannya, (alm. sebelah kanan) Wilhelmus Pati Mudaj.
Sumber foto: google.co.id & dok. pribadi
Ayah saya (alm. sebelah kiri) Petrus Samong Mudaj dan rekannya, (alm. sebelah kanan) Wilhelmus Pati Mudaj.
Sumber foto: google.co.id & dok. pribadi
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!