Headlines News :
Home » » Ende, Ibu Kota Provinsi NTT

Ende, Ibu Kota Provinsi NTT

Written By ansel-boto.blogspot.com on Saturday, December 21, 2019 | 8:44 PM

TEMPO doeloe ada dua nama Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) paling dihafal bapa saya. Dua gubernur itu adalah Gubernur El Tari dan Gubernur Ben. Ben yang dimaksud adalah Ben Mboi; tapi bapa saya hanya tahu sebatas Gubernur Ben. Jadi, kalau saya sekolah malas, ancaman bapa saya akan melapor Gubernur El Tari atau Gubernur Ben. "Nanti soldadu (tentara) bawa engko ke Ende ketemu Gubernur Ben dan pagar praja suruh engko pompa dada (push up). Gubernur Ben itu juga soldadu. Nanti di Ende, soldadu lepas engko baru hilang di Ende. Engko akan kesasar di tengah kota. Ibu kota propinsi itu banyak oto macam semut. Jadi pasti engko bisa hilang di sana," kata bapa saya. 

Saat bermain bola bertelanjang kaki di plein (lapangan bola) Boto, bapa saya suruh berhenti. Ada kabar orang meninggal. Semua kami berhenti. Kemudian bertanya-tanya siapa warga Boto, kampung kami, yang meninggal. Kata bapa saya, ada radiogram, Gubernur El Tari meninggal. Radiogram dari siapa? Untuk siapa? Lalu kenapa radiogram itu ditujukan untuk orang di kampung saya. "Tadi saya dengar di radio transistor dari rumah kepala desa. Suaranya jelas. Dorang radiogram bahwa Gubernur El Tari mati (meninggal, maksudnya). Mungkin pagar praja sudah bawa jenazah ke Ende. Untung dulu Presiden Sukarno tidak mati di Ende pas kompeni penjarakan dia di sana. Kalau tidak dia punya mayat dorang taro di Ende," kata bapa saya.

Kabar meninggalnya El Tari geger. Seorang ibu hamil saat itu melahirkan bersamaan dengan hari kematian Gubernur El Tari. Bayi baru itu belakangan diberi nama El Tari di depan nama baptis. Ibu itu kerabat kami dari pihak ibu saya. Ibu ini saat masih kecil digendong ibu saya. Hari itu kami mengalami dua peristiwa sedih dan gembira. Peristiwa kematian Gubernur El Tari dan kelahiran seorang anak laki-laki yang segera ditambah nama belakang nama baptis: El Tari. Padahal, dalam kebiasaan nama kakek akan disematkan pada cucu yang baru lahir. Tapi dengan anak ini tidak. Kedua orangtua sepakat namanya ditaro El Tari, nama yang diambil dari Gubernur El Tari, orang Sabu. Jadi, nama marga El Tari di Sabu sudah "merantau" sampe Boto. Bangga juga. Siapa tau orang Sabu kira ada kerabatnya di kampung saya. Padahal, pinjam sa. Begitu, ina dan ama tana di Sabu, tanah Rai Hawu.

Lalu kenapa ibu kota NTT itu ada di Ende? Dan mungkin satu-satunya "kota provinsi" dalam benak saya sebagai anak kecil. Menyebut Kupang mungkin belum sampai ke telinga bapa saya. Ende kala itu adalah kota Pembantu Gubernur NTT Wilayah Utara. Dan kota provinsi itu tertanam kuat dalam benak kami anak-anak. Pak Yan Lele Mudaj, kerabat kami dalam suku, mengajar kami mata pelajaran IPS. Nah, kami diwajibkan menulis dan menghafal semua nama desa gaya baru di Kecamatan Nagawutun, Wilayah Pembantu Bupati Flores Timur Wilayah Lembata berkedudukan di Lewoleba. Plus dengan nama-nama pejabat kepala desa gaya baru. Ende adalah salah satu pengetahuan kami bahwa kota bekas pengasingan Bung Karno itu adalah kota Provinsi NTT. "Jadi kalau engko tidak sekolah, nanti soldadu bawa engko ke Ende. Tugas kamu di sana tofa rumput, potong pisang, buat pematang, petik padi dan jagung atau pegang lampu gas agar Bung Karno dan orang Ende main sandiwara macam dulu kompeni suruh Bung Karno pas dia di Ende," kata bapa saya. Dalam hati saya bingung. Bapa saya bikin saya takut; beliau gara-gara saja. Itu pikiran saya. Dari mana bapa saya tau Bung Karno petik padi dan jagung di Ende? Saya dengar sambil ketawa. Cuma dalam hati ada benar juga; siapa tau saya disuruh belajar banyak hal selain di dalam kelas.

Belakangan saya menyadari betul. Ayah saya sekadar mengingatkan bahwa anak-anaknya harus tahu banyak infornasi melalui bertanya, belajar, dan mendengar dari banyak sumber pula. Sejarah menjadi sangat penting bagi bapa dan ibu saya. Bapa utamanya, beliau akan cerita dengan bangga bahwa Boto, kampung kami, pernah menjadi kota Kecamatan Nagawutun. Boto adalah pusat pemerintahan kecamatan sebelum pindah ke Loang. Kala itu kabel telepon warisan Pemerintahan Kabupaten Flores Timur sambung-menyambung melewati atau tertancap di batang kemiri agar komunikasi dari kota kabupaten ke desa-desa bisa lancar. Cerita bapa saya, kalau ada warga tidak ikut rodi (kerja bakti) sesuai instruksi kecamatan maka dihukum dengan kerja kebun desa atau hormat bendera di depan kantor camat di Boto. Karena itu, kalau camat sudah kasi tau ada rodi, semua warga akan dengan senang hati ikut rodi untuk kemajuan kecamatan.

Ende sebagai "kota provinsi" juga menguras rasa ingin tahu bapa saya. Padahal, ia hanya drop out sekolah rakyat (SR). Ayah saya tanggalkan sekolah karena kedua orangtua neninggal saat dia dan adik-adiknya masih kecil. Kakak sulung ayah saya mengambil alih tugas orangtua mereka sebagai pengasuh. Dari sekadar mendengar nama-nama Gubernur NTT via radio transistor, ia juga diberitahu kepala desa dan para kepala kampung siapa gubernur NTT sejak provinsi itu terbentuk tahun 1958. "Tapi bapa cuma tau Gubernur El Tari dan Gubernur Ben (Ben Mboi). Gubernur Ben itu orang Ende. Dia soldadu dan biasa suntik orang sakit. Gubernur Ben itu mantri. Kalau Gubernur Ben datang bawa senjata sebaiknya engko pigi sembunyi di kebun. Tapi kalo engko belajar rajin dan Gubernur Ben tanya engko jawab benar, pasti dia kasi hadia," kata bapa saya.

Kisah bapa saya ini terasa menjadi pintu masuk saya belajar dan tahu siapa-siapa para Gubernur NTT sejak provinsi itu dibentuk tahun 1958. Saya beruntung. Sejak sekolah di SMP Lamaholot Boto, SMA Kawula Karya hingga kuliah di Kupang tahun 1991, saya mengenal sosok para Gubernur NTT melalui berbagai sumber. Mulai dari William Johanes (WJ) Lalamentik (1958-1966), Mayor TNI-AL El Tari (1966-1978), Kol TNI-AD dr Ben Mboi (1978-1988), dr Hendrik Fernandez (1988-1993), Brigjen TNI-AD Herman Musakabe (1993-1998), Piet A Tallo SH (1998-2008), Drs Frans Lebu Raya (2008-2018) hingga Viktor Bungtilu Laiskodat SH, yang berpasangan dengan Wakil Gubernur Drs Josef A Nae Soi (2018 hingga saat ini).

Dari semua Gubernur NTT di atas, ada kisah tersendiri. Saya pernah bertemu dan mewawancarai bahkan membantu mereka masing-masing saat saya tinggal di Kupang bahkan setelah meninggalkan Kupang akhir 1998. Minus Gubernur WJ Lalamentik dan El Tari. Dua nama ini saya hanya tahu dari cerita dan buku-buku literatur. Saat masuk Jakarta, nama El Tari saya dengar dari Pak Cypri, salah seorang ASN di kantor Penghubung Pemda NTT Jakarta yang sering membantu mengkomunikasikan kepentingan NTT di kementerian dan lembaga terkait di Jakarta. Pa Pri ini juga menjadi supir pribadi Pak Gubernur Piet A Tallo saat berada di Jakarta. "Pak Tari itu orang hebat. Gubernur yang disiplin dan pekerja keras," kata Pa Pri, biasa disapa Pa Piet Tallo.

Lewat Pak Cypri Botoor, saya juga akrab dengan Gubernur Piet A Tallo. Ini setelah saya memutuskan menjadi jurnalis di Jakarta awal Oktober 1998. Dalam suatu kesempatan saya dan rekan Konrad Mangu mewawancarai Gubernur Piet A Tallo di kantor Penghubung Pemda NTT di Tebet Timur Dalam, Jakarta. Setelah melapor diri di Pak Valens Bura dan Pak Pri, berdua rekan ini masuk ruang Pak Tallo. Wawancara berlangsung lancar. Ia menasehati agar jadi wartawan yang taat etika dan tata krama, tidak boleh peras orang karena nanti nama rusak. "Tunggu sebentar. Bapa ke toilet dulu baru kamu dua pamit. Kamu tinggal di mana? Naik apa ke rumah," tanya Pa Piet Tallo sekembali dari tolet. "Dari sini naik Metro Mini atau Bajaj ke Kampung Melayu," kata saya. Pa Piet mengeluarkan dua amplop. Dibuka di depan kami. Rosario beliau sodorkan. "Ingat berdoa Rosario, ya, Nak. Rosario ini oleh-oleh Bapa Paus jadi kita bagi-bagi. Kamu doakan bapa juga agar urus NTT dengan hati. Kalau teman-teman wartawan asal NTT yang Muslim, bapa kasi mereka oleh-oleh Tasbih," kata Piet Tallo. Tiba-tiba saya jatuh air mata. Seorang Gubernur penganut Protestan taat tapi mengingatkan saya berdoa dan mendoakan pemimpin dan tanah tumpah darah, NTT.

Sedang Gubernur Ben saya jumpai saat peluncuran buku Melawan Penindasan & Diskriminasi di Papua karya tuang John Jonga di Jakarta tahun 2012. Saya beranikan diri menyalami Ben. Sekalian kenalkan nama dan asal. "Engko dari desa apa? Dari Waiteba kah?," tanya Ben Mboi. "Bukan, bapa Ben. Saya dari Boto. Dekat Loang," kata saya. "Loang itu dulu Wakil Presiden Adam Malik turun liat pengungsi dari Waiteba. Sekolah TK Nely Adam Malik masih ada kah," tanya Pak Ben. Wah, saya kelabakan. Ingatan Ben sangat kuat. Sejak itu, ada kontak dengan kerabat Ben. Tatkala kelangkaan obat terjadi di RSUD Lewoleba, saya menyampaikan langsung ke isterinya, dr Nafsiah Mboi, yang saat itu jadi Menteri Kesehatan. "Nanti saya kontak Pak Bupati dan Kadis Kesehatan Lembata agar segera diambil langkah mengatasi kelangkaan obat di RSUD Lewoleba," kata Ibu Naf. Senang juga sebagai orang kampung, meski ini omongan informal.

Herman Musakabe saya jumpai di Bandung. Saya meluangkan waktu ke rumahnya setelah bersiap menghadiri Pak Rikar, adik ibu saya yang tengah mempersiapkan diri nenyelesaikan studi Magister Teknik Arsitektur di Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, kawasan Ceumbeuleuit (Cembuluit). "Adik bisa ke rumah sebentar. Pas saya ada di rumah. Kita bisa ngobrol santai," kata Pak Herman, mantan Komandan Sekolah Staf Angkatan Darat (Seskoad). Saya menyalami Pak Herman dan Ibu Agnes Musakabe. Saat jadi Gubernur, ia mewajibkan ASN mengenakan produk tenun ikat lokal masing-masing daerah. "Isteri adik orang Jakarta atau Jawa?," tanya Pak Herman. "Produk lokal, bapa. Sama-sama sepulau Mengikuti kebijakan mengenakan tenun lokal jaman bapa jadi Gubernur," kata saya. Kami tertawa sembari menikmati kopi panas di tengah udara Bandung, kota jumbo di tatar Sunda, tanah Parahyangan.

Sedang Lebu Raya, pernah bertemu saat ia berkunjung ke Jakarta. Tapi saat itu beliau sebagai Wakil Gubernur. Kami bertemu di Hotel Borobudur, Lapagan Banteng dan ngobrol ke sana kemari (baca: https://ansel-boto.blogspot.com/…/lebih-jauh-dengan-frans-l…). Saat jadi Gubernur pernah bersua di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Jarang juga bertemu karena beliau sibuk dengan tugas-tugas dinas. Awal tahun lalu, saat libur di kampung halaman, saya diberitahu seorang sahabat. Pak Frans lagi berada di Lembata. "Selamat malam, kaka. Apa kabar? Saya dengar lagi di Lembata?," saya bertanya kepada beliau. Saya sengaja buka speaker hape. "Saya lagi di kampung Pak Viktor Mado. Ade lagi Lembata?," ujar Pak Frans. Frans sangat welcome. Ia pemimpin dan politisi dengan jam terbang tinggi. Dari anggota DPRD NTT, ia menjadi wakil Gubernur mendampingi Piet A Tallo dan sepuluh tahun jadi Gubernur. Lama kan? Tapi dukungan Lembata dalam anggaran bersumber APBD 1 minim. Jalan-jalan babak belur terutama ruas Lewoleba-Lamalera, meski bukan jalan provinsi. Sampai saat ini, kubangan di tengah jalan, seperti semut.

Lain lagi Gubernur NTT saat ini Viktor Bungtilu Laiskodat. Tahun 2014, saya membantu Viktor Laiskodat sebagai salah satu staf saat beliau menjabat anggota DPR RI. Nama Viktor saya hanya dengar selama menjadi wartawan di Jakarta sejak akhir 1998 (http://ansel-boto.blogspot.com/…/viktor-bungtilu-laiskodat-…). Saya bertemu beliau dalam sebuah seminar tentang pola kebijakan pembangunan pariwisata masa depan di NTT di Hotel Borobudur. Dari situ saya mulai kenal baik beliau sebagai politisi dan pengusaha sukses (https://ansel-boto.blogspot.com/…/viktor-bungtilu-laiskodat…). "Kalau tak keberatan kau bisa ikut bantu Pak Veki (Viktor Laiskodat) sebagai staf di DPR. Tapi beliau agak disiplin dan tegas dalam urusan kerja," kata teman, sesuai arahan Pak Viktor. "Kalau tegas, saya juga tegas. Apalagi biasa bekerja di media. Narasumber saja saya tunggu sampe matahari terbenam," kata saya sambil tertawa.

Sejak 2014, saya resmi menjadi staf Viktor Laiskodat. Tugas kian berat setelah beliau dipercaya menjabat Ketua Fraksi NasDem DPR RI. Kami, para staf, mesti gesit berbagi tugas agar aman dan lancar. Panggilan kampung halaman memaksa Viktor Laiskodat masuk dalan bursa Pilgub NTT tahun 2018. Sebagai staf, saya juga turun gunung memenangkan si bos jadi orang nomor 1 NTT. Terbang dari Jakarta ke Kupang. Bertemu beliau melapor diri kemudian terbang lagi ke Labuanbajo, kota Kabupaten Manggarai Barat, memulai safari politik. "Mas ga ada nama dalam daftar rombongan Victory Joss. Jadi cari penginapan sendiri," kata sorang staf tim pemenangan. "Kita dua tidur di emperan hotel atau di pagar dekat hotel. Soalnya kalau besok pagi bos bangun, saya harus sudah stand by karena harus dokumentasikan kegiatan beliau," kata saya kepada seorang staf Pak Jos Nae Soi. Dari Labuanbajo hingga Larantuka, saya paling mudah tidur di emperan hotel. Saya juga tak mau beritahu kalau saya staf Viktor di DPR RI.

Hari ini, Nusa Tenggara Timur merayakan HUT ke-61. Warga NTT tentu merasa bersyukur karya Tuhan sungguh Agung untuk tanah Flobamora. Kita patut bersyukur dan berterima kasih kepada para Gubernur NTT yang sudah memimpin daerah ini hingga memasuki usia 61 tahun. Dirgahayu NTT. Kita doakan para Gubernur terdahulu, baik yang sudah berpulang maupun yang masih hidup. Kita dukung Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat dan Wakil Gubernur Josef A Nae Soi agar di bawah keduanya, NTT makin maju, sejahtera, aman, dan damai. Kita satukan tekad bersama para pemimpin memajukan tanah Flobamora. "Selamat HUT ke-61 NTT Tahun 2019". Tuhan berkati kita semua. Salam dari rantau tuk Pak Gubernur & Wakil Gubernur NTT. 
Jakarta, 20 Desember 2019 
Ansel Deri
 mengenang HUT ke-61 Provinsi NTT, Jumat, 20 Desember 2019. 
Ket foto: Para gubernur yang pernah dan sedang memimpin NTT.
Ayah saya (alm. sebelah kiri) Petrus Samong Mudaj dan rekannya, (alm. sebelah kanan) Wilhelmus Pati Mudaj. 
Sumber foto: google.co.id & dok. pribadi
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger