Oleh
Zacky Khairul Umam
Wakil Kepala
Abdurrahman Wahid Center
for Peace and Humanities di Universitas Indonesia
MENTERI
Agama RI yang pertama, Wahid Hasyim, menamai anaknya Abdurrahman ad-Dakhil,
lahir pada 4 Syakban 1359 Hijriah atau 9 September 1940 Masehi. Nama kecil
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ini tak populer. Namun, memperingati haul Gus
Dur ke-10 bulan ini, nama kecil itu perlu dimaknai kembali dalam ruang
kehidupan sosial-politik kita hari ini.
Nama, yang
dipercaya orang tua sebagai doa, juga merupakan harapan yang ditanam kepada
sang anak. Abdurrahman ad-Dakhil ialah seorang cucu dari khalifah dinasti
Umayyah, Hisyam bin Abdul Malik, memerintah pada paruh pertama abad ke-8 M.
Ayahnya, Pangeran Mu’awiyah bin Hisyam, berperan sebagai jenderal yang terlibat
perang melawan Romawi Timur. Dinasti Umayyah tumbang karena revolusi dari dinasti
Abbasiyah yang berlangsung pada tahun 750. Saat itu umur Abdurrahman 20 tahun.
Ia bersama sebagian
kecil keluarganya dan seorang bekas budak Yunani eksil dari Damaskus, ibu kota
Dinasti Umayyah, menempuh perjalanan panjang dan selamat dari kejaran tentara
dan pembunuh bayaran Abbasiyyah. Lima tahun kemudian, Abdurrahman mencapai
Maghreb, sebutan dari Maroko dan sekitarnya saat itu. Mereka lalu menyeberangi
lautan untuk mencapai Andalusia, negeri yang sebagiannya sudah diduduki
penguasa Muslim selama beberapa dekade.
Dengan darah
setengah suku Berber Maroko dari ibunya, ia mudah memupuk kekuatan baru. Dengan
bantuan loyalis lama dari Gus Dur yang berada di kawasan itu dan dengan
strategi politik untuk menguasai kawasan Semenanjung Iberia, ia berhasil jadi
penguasa dinasti Umayyah di Andalusia, terhitung sejak 756. Karena itu, ia
masyhur sebagai ad-Dakhil, artinya ‘yang memasuki (Andalusia)’ atau ‘sang
imigran’.
Itulah mengapa ia
disebut Abdurrahman ad-Dakhil. Ia mendeklarasikan diri khalifah Umayyah yang
baru di Andalusia, khalifah yang merindukan Damaskus sepanjang kekuasaannya di
ranah perantauan. Ia juga dikenal sebagai Abdurrahman I, sebagai yang pertama
memimpin dinasti yang baru itu.
Secara metaforis,
kita bisa membacanya dengan Abdurrahman Wahid, pemimpin nomor satu dan
menyuburkan Andalusia dengan gairah pengetahuan dan memberi landasan pada
masyarakat majemuk era Islam klasik. Nama asli Gus Dur, Abdurrahman ad-Dakhil,
ataupun nama resminya di kemudian hari, Abdurrahman Wahid —terlepas nama
‘Wahid’ ini dinukil dari ayahnya— berkelindan dengan figur khalifah itu.
Cerita tentang
khalifah masa lalu bukan melulu cerita tentang jihad dan perebutan kekuasaan
semata. Demikian juga, cerita tentang Andalusia juga bukan kisah mengenai convivencia yang di dalamnya umat
Muslim, Yahudi, dan Kristen hidup berdampingan selama ratusan tahun. Kisah
toleransi dan ko-eksistensi masa lalu ialah tarik ulur kekuatan dan dominasi
kelas penguasa, elite, dan pendukungnya yang tidak selamanya hidup rukun
bertetangga, tetapi kerap diwarnai oleh getir pahit pembunuhan dan kekerasan
massal.
Cara baru membaca
sejarah masa lalu ini mesti kita pakai untuk menengahi antara romantisasi jihad
penaklukan dan elegi tentang Islam yang harmonis dan toleran. Para sejarawan
Andalusia era mutakhir lebih bertumpu ke pengalaman sejenis ini. Pada intinya,
suatu toleransi dan ko-eksistensi lahir dan berkembang bukan dari ruang
nir-kekerasan, melainkan suatu upaya menyeimbangi berbagai potensi
eksklusivisme dan intoleransi dengan memperbesar potensi sebaliknya.
Abdurrahman I
berjasa besar memberikan fondasi atas sebuah masyarakat plural pada masa Islam
klasik. Fondasi ini bukan dibangun sekali jadi dan periode setelahnya merupakan
periode toleransi yang tanpa celah. Meski banyak dari kalangan Yahudi dan
Kristen jadi orang penting selama Andalusia berjaya, sebagai perdana menteri,
pebisnis atau ilmuwan ternama, selalu ada cerita mengenai sensor dan intimidasi
pada sang liyan tergantung konteks masanya.
Islam kosmopolitan
Demikian halnya Gus
Dur dan apa yang ia sebut Islam kosmopolitan. Pada kunjungannya tahun 1979 ke
Maroko, ia menangis kala menemui sebuah manuskrip Ibnu Rusyd (w 1198), seorang
filsuf dan hakim Andalusia ternama, berjudul Talkhis Akhlaq Aristu atau Ikhtisar
atas Ethica Nicomachea karya Aristoteles. Ketika ditanya mengapa menangis,
ia menjawab, “Kalau bukan karena kitab ini, saya tidak akan menjadi Muslim.”
Gus Dur memahami, hanya dengan etos kosmopolitanlah peradaban Muslim masa lalu
bisa mencerap pengetahuan dan teknologi.
Etos ini pula yang
menjadikan umat agama lain, khususnya Yahudi dan Kristen di Andalusia,
misalnya, mampu bekerja sama untuk di Granada, Kordoba, dan kota lainnya.
Dan gagasan yang
beredar di antara masyarakat majemuk ini cepat menyebar menjadi suatu titik
temu, meski prosesnya tak selalu linear. Sejarawan di Universitas Ibrani,
Yerusalem, Sarah Stroumsa, menyebutnya dengan efek pusaran air dalam
menggambarkan pergumulan bersama ini. Sebab ada proses hilir-mudik dalam
pergumulan intelektual dan politik antara umat muslim dan umat lain. Maka,
elegi Gus Dur yang terharu ketika menemui karya Ibnu Rusyd itu perlu diiringi
apresiasi historis semacam ini.
Dalam wacana
politik Indonesia pascakolonial, soal convivencia
itu sama dengan ideal Islam Indonesia yang senyum, toleran, harmonis, dan
damai. Seolah kita tak memiliki masa lalu kelam, seperti peristiwa 1965. Jika
sejarawan Oxford, Kevin Fogg, menyebut revolusi kemerdekaan RI sebagai
‘revolusi Islam,’ maka kekerasan 1965 bisa pula disebut dengan ‘kekerasan
Islam’ mengingat pelaku dan pendorongnya dari kalangan Muslim. Gus Dur, sebagai
humanis sejati, bahkan menyerukan rekonsiliasi 1965 untuk masa depan yang lebih
terang.
Islam yang ramah
dan damai yang sering dibanggakan di berbagai forum internasional itu lebih
merupakan perpanjangan tangan dari corong kolonial untuk melumpuhkan kekuatan
Islam di masa prakemerdekaan. Meski citra ini tak salah 100 persen, tapi
seiring dengan pemahaman kita akan ko-eksistensi Andalusia masa silam, kita
harus mengarahkannya pada rel wacana yang benar.
Yakni, suatu
kondisi yang tak menafikan unsur kontroversi dan konfrontasi dalam melihat
kolaborasi kebangsaan antarberbagai suku, golongan, dan umat beragama. Gus Dur
dalam pengalaman hidupnya tak pernah lelah untuk memahami hal ini dan
menjadikannya strategi dan pemikiran politiknya yang, bagi banyak kalangan,
sulit dipahami atau rawan disalahpahami. Ia pula yang paling terdepan dalam
menggandeng kekuatan lintas-agama untuk soal kebangsaan dan kemanusiaan.
Gus Dur adalah
suara demokrasi di puncak kekuasaan otoriter pada masanya. Ia pula yang
berusaha menenangkan sang penguasa ketika kekuasaannya akan jatuh. Ketika ia,
pada akhirnya mengikuti ‘nasib’ seperti Abdurrahman I meski singkat, menduduki
kepresidenan, ia membuat fondasi konstitusional dan kebijakan publik yang
perkokoh kekuatan sipil serta toleransi di masyarakat plural. Ia juga tak
pernah lelah menjumpai masyarakat kecil, bahkan ketika sudah dilengserkan.
Bahkan hingga mengorbankan kesehatannya, ia aktif membela yang benar dan
menyuarakan keislaman yang jernih dari sekadar pamrih kekuasaan.
Abdurrahman I sudah
berhasil memberikan fondasi bagi pengalaman Andalusia yang plural. Sebelum
pengujung milenium kedua, Abdurrahman Wahid juga meletakkan dasar yang baik
bagi keindonesiaan yang majemuk. Apakah pengalaman Indonesia akan sama dengan
Andalusia ratusan tahun mendatang di mana aspek ko-eksistensi patut
diperjuangkan dengan konteks ruang dan waktu yang berbeda, atau bahkan
melampaui teladan masa lalu? Atau malah berbeda sama sekali? Generasi pemimpin
muda saat inilah yang ikut menentukan.
Sumber:
Kompas, 18 Desember 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!