Headlines News :
Home » » Mantan Presiden dari Pulau Sumba

Mantan Presiden dari Pulau Sumba

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, December 17, 2019 | 9:36 PM

ADA nama Herson Gubertus Gerson Poyk atau Gerson Poyk. Ada juga Gregorius Perawin Keraf, ada Umbu Wulang Landu Paranggi, Marcel Beding, Bosko Beding, dan beberapa lagi nama besar kala itu. Saat saya masih di kampung. Masih duduk di bangku SDK Boto hingga SMP Lamaholot Boto tahun 1980-an. Dua sekolah Katolik ini kala itu berada di bawah naungan Yayasan Persekolahan Umat Katolik Flores Timur (Yapersuktim) milik Keuskupan Larantuka. SMP swasta itu kini diambil alih pemerintah dan berubah nama jasdi SMP Negeri 2 Nagawutun.

Keterangan di belakang nama mereka masing-masing bisa disebut bolak balik. Maklum masih jauh dari buku-buku sumber ajar bapa dan ibu guru. Keterangan tambahan dari para pesohor asal kampung halaman di NTT itu sebatas dari mulut guru di depan kelas. Gerson Poyk itu penyair. Gorys Keraf itu sastrawan. Marcel Beding itu guru di Jakarta. Bosko Beding itu pastor orang Lamalera, kampung nelayan, tempat ikan paus bisa dilihat mondar mandir.

Sedang Umbu Landu Paranggi itu mantan Presiden. (Nama) terakhir ini bikin bingung. Sejak kapan Umbu Landu Paranggi jadi Presiden Republik Indonesia? Tapi kala itu saya mulai bangga karena ada orang NTT pernah jadi Presiden. Belakangan "jabatan" yang dimaksud untuk Umbu itu tanggal. Jadinya, Umbu mantan Presiden. Bukan orang nomor 1 Indonesia. Tapi mantan Presiden Malioboro. Ya, itulah resikonya kala itu bagi kami anak-anak kecil yang jarang bersentuhan dengan buku. Sumber ilmu hanya dari bapa dan ibu guru yang rata-rata tamat SLTA.

Tentang Umbu Landu Paranggi juga tak banyak saya tahu. Cuma lewat beberapa catatan dan cerita lepas. Belakangan, baru tahu siapa sosok penyair Umbu. Umbu dijuluki penyair Kuda Kayu dan mantan Presiden Malioboro. Mengapa ia dijuluki mantan Presiden Malioboro, karena ia banyak menghabiskan waktu di Jalan Malioboro Jogjakarta tempo doeloe bersama para seniman untuk mengekspresikan jiwa seninya. Konon, Umbu adalah guru yang baik bagi para seniman muda kala itu. Budayawan dan penyair Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dan Linus Suryadi AG adalah segelintir dari penyair Indonesia yang pernah bersama Umbu jadi "penghuni" Jalan Malioboro, Jogjakarta.

Tatkala mengantar seorang adik untuk melanjutkan kuliah di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jogjakarta, saya juga menelusuri Jalan Malioboro. Sebentar saja karena segera balik Jakarta. Sekadar mengingat kembali Umbu atau Gerson, dua nama asal NTT yang sudah mewarnai perjalanan sejarah sastra di Indonesia. "Nama Umbu Landu Paranggi sudah melegenda di Jogja. Umbu itu guru bagi banyak penyair Indonesia. Kita putar-putar dulu sekalian mengingat kembali Umbu. Beliau penyair hebat," kata rekan Cahyo, warga Condongcatur, Sleman.

Pagi ini, rekan Gabi Sola, mantan wartawan anggota grup whatsapp Peduli NTT dan NKRI mengirim pesan soal Umbu. "Selamat kepada Pinisepuh Puisi, Umbu Wulang Landu Paranggi, yang hari ini dianugerahi Penghargaan Akademi Jakarta 2019," kata teman jurnalis itu. Gabi menulis sekilas sosok Umbu Landu Paranggi, penyair berjuluk mantan Presiden Malioboro. Saya mengutip kembali catatan rekan Gabi itu di bawah ini.

Umbu Wulang Landu Paranggi, lahir di Kananggar, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, 10 Agustus 1943. Setelah lulus SMP, Umbu melanjutkan sekolah di SMA BOPKRI I Yogyakarta. Kemudian Umbu kuliah di Jurusan Sosiatri, Fakultas Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada dan Fakultas Hukum, Universitas Janabadra.

Umbu senang menulis puisi sejak SMP. Saat di SMA BOPKRI, Umbu menemukan guru yang mendukungnya menulis puisi dan memengaruhi jalan hidupnya. Guru dari Bantul, Yogyakarta, itu bernama Lasiyah Soetanto, pernah menjabat sebagai Menteri Negara Peranan Wanita Indonesia (1983 – 1987). Guru bahasa Inggris tersebut banyak mendorong Umbu untuk mengirimkan puisi-puisinya ke media massa.

Sejak 1960, puisi-puisi Umbu tersebar di banyak media massa, antara lain Mimbar Indonesia, Gadjah Mada, Basis, Gema Mahasiswa, Mahasiswa Indonesia, Majalah Pusara, Gelanggang, Pelopor Yogya, Bali Post, Jurnal CAK, Majalah Kolong. Beberapa puisinya juga terangkum dalam antologi bersama, antara lain Manifes (1968), Tonggak III (1987), Teh Ginseng (1993), Saron (2018), Tutur Batur (2019).

Atas prakarsa sahabat karib Umbu, Tjie Jehnsen, dan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), pada 2019 diterbitkan sebuah buku berjudul “Metiyem, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi”. Buku mewah tersebut berisi sejumlah tulisan tentang kiprah Umbu dalam kesusastraan, foto kenangan, dan juga puisi-puisi Umbu.

Umbu pernah mengasuh ruang sastra di mingguan Pelopor Yogya yang bermarkas di Jalan Malioboro. Dan, pada tanggal 5 Maret 1969, bersama Iman Budhi Santosa, Teguh Ranusastra Asmara, Ragil Suwarno Pragolopati, Suparno S Adhy, Ipan Sugiyanto Sugito, Mugiyono Gitowarsono, Umbu memproklamasikan berdirinya komunitas sastra Persada Studi Klub (PSK). Pada masa itulah Umbu dijuluki sebagai Presiden Malioboro. Pelopor Yogya dan PSK melahirkan ratusan bahkan ribuan penyair yang tersebar di seluruh Indonesia, di antaranya adalah Linus Suryadi AG, Emha Ainun Nadjib, Korrie Layun Rampan, dan sebagainya. Pada 1975 Umbu pergi meninggalkan Yogyakarta dan sempat pulang ke kampung halamannya di Sumba.

Sejak 1978 Umbu menetap di Bali dan pada Juli 1979 menjadi redaktur sastra di harian Bali Post. Seperti yang dilakukannya di Pelopor Yogya, di ruang sastra Bali Post Umbu dengan setia, tekun, dan telaten, menyemai dan merawat benih-benih sastrawan hingga tumbuh menjadi sosok-sosok yang dikenal dalam kesusastraan Indonesia.

Umbu sesunguhnya tidak mencetak barisan penyair, namun memberikan sentuhan puisi kepada jiwa setiap muridnya. Bagi Umbu, menjadi penyair atau bukan, itu adalah soal pilihan hidup. Umbu selalu menekankan, profesi apa pun yang ditekuni murid-muridnya, maka wawasan dan apresiasi puisi wajib hadir dalam diri mereka, sehingga terbit jiwa-jiwa kreatif dalam menjalani kehidupan puisi.

Atas dedikasinya pada dunia kesusastraan, Umbu pernah dianugerahi beberapa penghargaan. Antara lain Anugerah Kebudayaan 2018 dari Fakultas Ilmu Budaya, Univestitas Indonesia, Anugerah Dharma Kusuma 2018 dari Pemerintah Provinsi Bali, Penghargaan Pengabdian pada Dunia Sastra dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan pada tahun 2019. Namun, Umbu tidak pernah mau hadir pada saat penganugerahan penghargaan tersebut. Hingga kini Umbu menetap di Bali dan aktif membina komunitas Jatijagat Kampung Puisi.

Begitu catatan rekan saya. Tentang orang-orang hebat dari kampung seperti sastrawan asal Ba'a, Pulau Rote, (alm) Gerson Poyk, ahli Bahasa Indonesia (alm) Goris Perwin Keraf, wartawan Kompas (alm) Marcel Beding atau (alm) Bosco Beding, pastor dan Pemimpin Redaksi Dian kala itu, adalah orang-orang kecil yang punya semangat juang tinggi. Mereka ditempah dari kerasnya batu karang, hutan, jalanan terjal, gunung, dan pantai di tanah Flobamora. Semangat mereka dalam meraih sukses dan berarti bagi dunia adalah warisan berharga bagi anak-anak Indonesia, utamanya dari kampung halaman di NTT. Meski hidup di jaman berbeda dengan fasilitas berbeda pula, toh satu hal pasti bahwa mereka punya niat menjadi hebat di masa depan: sesuatu yang mesti merasuk dalam sanubari anak-anak kampung semisal anak-anak dari kampung saya. 
Jakarta, 17 Desember 2019 
Ansel Deri
catatan wong deso untuk urang kampung dari tanah Merapu, Umbu Landu Paranggi, si penyair kuda kayu. 
Ket foto: Umbu Landu Paranggi saat berbagi cerita di perayaan dua tahun Jatijagat Kampung Puisi di Denpasar, Bali, 26 Mei 2016. TEMPO/Bram Setiawan (Copas Tempo.co).
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger