ADA nama Herson Gubertus Gerson Poyk atau Gerson Poyk. Ada
juga Gregorius Perawin Keraf, ada Umbu Wulang Landu Paranggi, Marcel Beding,
Bosko Beding, dan beberapa lagi nama besar kala itu. Saat saya masih di
kampung. Masih duduk di bangku SDK Boto hingga SMP Lamaholot Boto tahun 1980-an.
Dua sekolah Katolik ini kala itu berada di bawah naungan Yayasan Persekolahan
Umat Katolik Flores Timur (Yapersuktim) milik Keuskupan Larantuka. SMP swasta
itu kini diambil alih pemerintah dan berubah nama jasdi SMP Negeri 2 Nagawutun.
Keterangan di belakang
nama mereka masing-masing bisa disebut bolak balik. Maklum masih jauh dari
buku-buku sumber ajar bapa dan ibu guru. Keterangan tambahan dari para pesohor
asal kampung halaman di NTT itu sebatas dari mulut guru di depan kelas. Gerson
Poyk itu penyair. Gorys Keraf itu sastrawan. Marcel Beding itu guru di Jakarta.
Bosko Beding itu pastor orang Lamalera, kampung nelayan, tempat ikan paus bisa
dilihat mondar mandir.
Sedang Umbu Landu
Paranggi itu mantan Presiden. (Nama) terakhir ini bikin bingung. Sejak kapan
Umbu Landu Paranggi jadi Presiden Republik Indonesia? Tapi kala itu saya mulai
bangga karena ada orang NTT pernah jadi Presiden. Belakangan
"jabatan" yang dimaksud untuk Umbu itu tanggal. Jadinya, Umbu mantan
Presiden. Bukan orang nomor 1 Indonesia. Tapi mantan Presiden Malioboro. Ya,
itulah resikonya kala itu bagi kami anak-anak kecil yang jarang bersentuhan
dengan buku. Sumber ilmu hanya dari bapa dan ibu guru yang rata-rata tamat
SLTA.
Tentang Umbu Landu
Paranggi juga tak banyak saya tahu. Cuma lewat beberapa catatan dan cerita
lepas. Belakangan, baru tahu siapa sosok penyair Umbu. Umbu dijuluki penyair
Kuda Kayu dan mantan Presiden Malioboro. Mengapa ia dijuluki mantan Presiden
Malioboro, karena ia banyak menghabiskan waktu di Jalan Malioboro Jogjakarta
tempo doeloe bersama para seniman untuk mengekspresikan jiwa seninya. Konon,
Umbu adalah guru yang baik bagi para seniman muda kala itu. Budayawan dan
penyair Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dan Linus Suryadi AG adalah segelintir dari
penyair Indonesia yang pernah bersama Umbu jadi "penghuni" Jalan
Malioboro, Jogjakarta.
Tatkala mengantar
seorang adik untuk melanjutkan kuliah di Universitas Pembangunan Nasional (UPN)
Veteran Jogjakarta, saya juga menelusuri Jalan Malioboro. Sebentar saja karena
segera balik Jakarta. Sekadar mengingat kembali Umbu atau Gerson, dua nama asal
NTT yang sudah mewarnai perjalanan sejarah sastra di Indonesia. "Nama Umbu
Landu Paranggi sudah melegenda di Jogja. Umbu itu guru bagi banyak penyair
Indonesia. Kita putar-putar dulu sekalian mengingat kembali Umbu. Beliau
penyair hebat," kata rekan Cahyo, warga Condongcatur, Sleman.
Pagi ini, rekan
Gabi Sola, mantan wartawan anggota grup whatsapp Peduli NTT dan NKRI mengirim
pesan soal Umbu. "Selamat kepada Pinisepuh Puisi, Umbu Wulang Landu
Paranggi, yang hari ini dianugerahi Penghargaan Akademi Jakarta 2019,"
kata teman jurnalis itu. Gabi menulis sekilas sosok Umbu Landu Paranggi,
penyair berjuluk mantan Presiden Malioboro. Saya mengutip kembali catatan rekan
Gabi itu di bawah ini.
Umbu Wulang Landu
Paranggi, lahir di Kananggar, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, 10
Agustus 1943. Setelah lulus SMP, Umbu melanjutkan sekolah di SMA BOPKRI I
Yogyakarta. Kemudian Umbu kuliah di Jurusan Sosiatri, Fakultas Sosial Politik,
Universitas Gadjah Mada dan Fakultas Hukum, Universitas Janabadra.
Umbu senang menulis
puisi sejak SMP. Saat di SMA BOPKRI, Umbu menemukan guru yang mendukungnya
menulis puisi dan memengaruhi jalan hidupnya. Guru dari Bantul, Yogyakarta, itu
bernama Lasiyah Soetanto, pernah menjabat sebagai Menteri Negara Peranan Wanita
Indonesia (1983 – 1987). Guru bahasa Inggris tersebut banyak mendorong Umbu
untuk mengirimkan puisi-puisinya ke media massa.
Sejak 1960,
puisi-puisi Umbu tersebar di banyak media massa, antara lain Mimbar Indonesia,
Gadjah Mada, Basis, Gema Mahasiswa, Mahasiswa Indonesia, Majalah Pusara,
Gelanggang, Pelopor Yogya, Bali Post, Jurnal CAK, Majalah Kolong. Beberapa
puisinya juga terangkum dalam antologi bersama, antara lain Manifes (1968),
Tonggak III (1987), Teh Ginseng (1993), Saron (2018), Tutur Batur (2019).
Atas prakarsa
sahabat karib Umbu, Tjie Jehnsen, dan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), pada 2019
diterbitkan sebuah buku berjudul “Metiyem, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu
Landu Paranggi”. Buku mewah tersebut berisi sejumlah tulisan tentang kiprah
Umbu dalam kesusastraan, foto kenangan, dan juga puisi-puisi Umbu.
Umbu pernah
mengasuh ruang sastra di mingguan Pelopor Yogya yang bermarkas di Jalan
Malioboro. Dan, pada tanggal 5 Maret 1969, bersama Iman Budhi Santosa, Teguh
Ranusastra Asmara, Ragil Suwarno Pragolopati, Suparno S Adhy, Ipan Sugiyanto
Sugito, Mugiyono Gitowarsono, Umbu memproklamasikan berdirinya komunitas sastra
Persada Studi Klub (PSK). Pada masa itulah Umbu dijuluki sebagai Presiden Malioboro.
Pelopor Yogya dan PSK melahirkan ratusan bahkan ribuan penyair yang tersebar di
seluruh Indonesia, di antaranya adalah Linus Suryadi AG, Emha Ainun Nadjib,
Korrie Layun Rampan, dan sebagainya. Pada 1975 Umbu pergi meninggalkan
Yogyakarta dan sempat pulang ke kampung halamannya di Sumba.
Sejak 1978 Umbu
menetap di Bali dan pada Juli 1979 menjadi redaktur sastra di harian Bali Post.
Seperti yang dilakukannya di Pelopor Yogya, di ruang sastra Bali Post Umbu
dengan setia, tekun, dan telaten, menyemai dan merawat benih-benih sastrawan
hingga tumbuh menjadi sosok-sosok yang dikenal dalam kesusastraan Indonesia.
Umbu sesunguhnya
tidak mencetak barisan penyair, namun memberikan sentuhan puisi kepada jiwa
setiap muridnya. Bagi Umbu, menjadi penyair atau bukan, itu adalah soal pilihan
hidup. Umbu selalu menekankan, profesi apa pun yang ditekuni murid-muridnya,
maka wawasan dan apresiasi puisi wajib hadir dalam diri mereka, sehingga terbit
jiwa-jiwa kreatif dalam menjalani kehidupan puisi.
Atas dedikasinya
pada dunia kesusastraan, Umbu pernah dianugerahi beberapa penghargaan. Antara
lain Anugerah Kebudayaan 2018 dari Fakultas Ilmu Budaya, Univestitas Indonesia,
Anugerah Dharma Kusuma 2018 dari Pemerintah Provinsi Bali, Penghargaan
Pengabdian pada Dunia Sastra dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan pada
tahun 2019. Namun, Umbu tidak pernah mau hadir pada saat penganugerahan
penghargaan tersebut. Hingga kini Umbu menetap di Bali dan aktif membina
komunitas Jatijagat Kampung Puisi.
Begitu catatan
rekan saya. Tentang orang-orang hebat dari kampung seperti sastrawan asal Ba'a,
Pulau Rote, (alm) Gerson Poyk, ahli Bahasa Indonesia (alm) Goris Perwin Keraf,
wartawan Kompas (alm) Marcel Beding atau (alm) Bosco Beding, pastor dan
Pemimpin Redaksi Dian kala itu, adalah orang-orang kecil yang punya semangat
juang tinggi. Mereka ditempah dari kerasnya batu karang, hutan, jalanan terjal,
gunung, dan pantai di tanah Flobamora. Semangat mereka dalam meraih sukses dan
berarti bagi dunia adalah warisan berharga bagi anak-anak Indonesia, utamanya
dari kampung halaman di NTT. Meski hidup di jaman berbeda dengan fasilitas
berbeda pula, toh satu hal pasti bahwa mereka punya niat menjadi hebat di masa
depan: sesuatu yang mesti merasuk dalam sanubari anak-anak kampung semisal
anak-anak dari kampung saya.
Jakarta, 17
Desember 2019
Ansel Deri
catatan wong
deso untuk urang kampung dari tanah Merapu, Umbu Landu Paranggi, si penyair
kuda kayu.
Ket foto: Umbu
Landu Paranggi saat berbagi cerita di perayaan dua tahun Jatijagat Kampung
Puisi di Denpasar, Bali, 26 Mei 2016. TEMPO/Bram Setiawan (Copas Tempo.co).
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!