Headlines News :
Home » » Menulis, tuntutan pengembangan profesi guru

Menulis, tuntutan pengembangan profesi guru

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, January 22, 2008 | 3:28 PM

Oleh Thomas A Sogen
guru dewasa Tk I pada SMPN 2 Sulamu, Kabupaten Kupang

Setelah dilakukan uji coba di sejumlah sekolah di Indonesia pada tahun pelajaran 2003/2004, pemerintah bertekad untuk meresmikan pemberlakuan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun pelajaran 2004/2005. Sekolah-sekolah uji coba tersebut dikenal dengan sebutan Sekolah Pelaksana KBK Terbatas. Di NTT ada SMP Negeri 1 Kupang Tengah di Kabupaten Kupang, SMP Katolik Frater di Kota Kupang dan SMP Negeri 2 Lobalain di Kabupaten Rote Ndao untuk tingkat SMP. Ada pula SMA Negeri 1 Kupang dan SMA Katolik Giovanni, keduanya di Kota Kupang untuk tingkat SMA. Sementara sekolah-sekolah lain terus dilakukan sosialisasi tentang KBK. Cukup gencar upaya sosialisasi, hingga ke pelosok-pelosok, kendati diakui, belum seluruh wilayah terjangkau.

Pemberlakuan KBK merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki mutu pendidikan di negeri ini. Selama ini, atau tepatnya kurikulum sebelum KBK, kata para pakar, hanya mengutamakan aspek kognitif. Sementara aspek-aspek lainnya seperti afektif dan psikomotor malah diabaikan. Selain itu KBK juga memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk menyusun dan mengembangkan silabus mata pelajaran sesuai dengan potensi sekolah, kebutuhan dan kemampuan peserta didik serta kebutuhan masyarakat setempat.

KBK memiliki memiliki sejumlah karakteristik seperti (1) menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa, baik secara individual maupun klasikal, (2) berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman, (3) penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, (4) sumber belajar bukan hanya guru tetapi juga sumber lain yang memenuhi unsur edukasi, dan (5) penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi (Depdiknas dalam Mulyasa, 2003:42) Konsekuensi dari karakteristik ini adalah bahwa dalam proses pembelajaran muncul beberapa ciri khusus, yakni (1) sistem belajar dengan modul, (2) menggunakan keseluruhan sumber belajar, (3) pengalaman lapangan, (4) strategi individual personal, (5) kemudahan belajar, dan (6) belajar tuntas.

Konsekuensi lanjutan dari sistem belajar dengan modul adalah sangat diperlukannya sarana belajar yang sesuai dengan kebutuhan belajar dan karakteristik tersebut. Satu hal yang tak dapat dipungkiri adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat membuat semua informasi di dalam buku-buku menjadi cepat basi dan karenanya para guru dituntut untuk mencari sumber belajar alternatif. Salah satunya adalah dengan menulis bahan ajar.

Bahan ajar yang hendak ditulis sebaiknya dirancang dan ditulis dengan prinsip-prinsip pembelajaran yang baik. Dengan demikian para guru tidak lagi mengandalkan buku teks yang ada, seperti yang terjadi selama ini, yang nota bene ditulis oleh orang lain yang belum tentu sesuai dengan potensi sekolah, kebutuhan dan kemampuan peserta didik dan kebutuhan masyarakat setempat. Bahan ajar yang dimaksud dalam konteks pembelajaran di sekolah bisa berwujud diktat pelajaran atau modul/buku pelajaran.

Memang tidak semudah yang dibayangkan untuk bisa menulis sebuah bahan ajar, entah dengan cara menulis sendiri, mengemas kembali, atau dengan cara mengemas kembali (kompilasi). Beban mengajar guru yang cukup berat, keterbatasan keterampilan menulis, Undang-undang Hak Cipta dan kebiasaan menggunakan sumber belajar yang ditulis oleh orang lain adalah beberapa faktor penyebab yang menghadang ketika para guru hendak menulis (bahan ajar). Namun tak ada salahnya bila dicoba karena guru dipercaya telah memiliki pengalaman belajar dan mengajar yang diasumsi sudah memiliki kecakapan yang cukup dalam bidangnya dan sekaligus bisa menulis bahan ajar.

Menulis dan kredit poin
Selain sebagai rangkaian konsekuensi dari pemberlakuan KBK, menulis (termasuk bahan ajar) merupakan sebuah tuntutan bagi guru terutama dalam hubungan dengan pengembangan profesi. Dengan diterapkannya sistem kredit poin dalam penentuan kenaikan pangkat atau jabatan guru, maka para guru mau tak mau harus melakukan kegiatan pengembangan profesi, apalagi sudah berada di golongan IV. Untuk bisa memperoleh kenaikan pangkat atau jabatan setingkat lebih tinggi seorang guru yang golongan IV harus mengumpulkan 12 kredit poin dalam bidang pengembangan profesi (Juknis Kepmen No. 025/O/1995, hlm.15). Sedangkan bagi guru-guru golongan II dan III yang mampu atau berprestasi dalam melakukan kegiatan pengembangan profesi, maka kredit poinnya tetap diperhitungkan (Juknis hlm. 56) untuk memperoleh kenaikan pangkat atau jabatan guru.

Kegiatan pengembangan profesi tidak hanya mencakup penulisan bahan ajar. Ada beberapa jenis kegiatan lain dari menemukan teknologi tepat guna, menciptakan karya seni, mengikuti kegiatan pembaharuan kurikulum hingga membuat alat peraga, serta melaksanakan kegiatan karya tulis/karya ilmiah di bidang pendidikan. Dari semua jenis ini kegiatan karya tulis/karya ilmiah di bidang pendidikan merupakan salah satunya yang saban hari akrab dengan kegiatan guru sebagai kaum intelektual. Bagi seorang guru berlatar belakang pendidikan sarjana, kegiatan meneliti dan kemudian menuliskan hasilnya tentu tidak asing lagi. Karena ketika menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi, mereka pernah melakukan hal itu yakni dengan tugas akhir menulis skripsi. Yang asing tentu adalah bagi para guru yang bukan sarjana.

Dari segi kesamaan tampilannya karya tulis ilmiah di bidang pendidikan dapat dikelompokkan dalam beberapa jenis antara lain laporan hasil kegiatan ilmiah berupa buku laporan yang hanya didokumentasikan di perpustakaan sekolah atau buku yang diedarkan secara luas, dan tulisan ilmiah, baik berupa ringkasan laporan hasil, ungkapan atau gagasan/pemikiran ilmiah berupa artikel ilmiah atau tulisan ilmiah populer. Jenis-jenis karya tulis ilmiah ini tentu lebih tinggi tingkatannya sehingga kredit poin yang diperoleh pun tidak kecil bila dibanding hanya menulis diktat pelajaran.

Karya ilmiah hasil penelitian, pengkajian, survai dan atau evaluasi di bidang pendidikan yang dipublikasikan dalam bentuk buku yang diterbitkan dan diedarkan secara nasional, misalnya, dihargai dengan 12,5 kredit poin. Sedangkan bila buku tersebut tidak dipublikasikan tetapi hanya didokumentasikan di perpustakaan sekolah maka dihargai dengan delapan kredit poin. Atau, bila seorang guru bisa menulis karya ilmiah populer tentang pendidikan dan kebudayaan yang disebarluaskan melalui media masa (termasuk jenis opini seperti ini), maka dihargai dengan dua kredit poin. Pertanyaan yang bakal muncul adalah sanggupkah para guru kita di NTT melakukan/menulis karya ilmiah ini?

Masih belum lekang dari ingatan, ketika Kepala Lembaga Penelitian (Lemlit) Undana, Ir. Frans Umbu Datta, Ph.D melansir pernyataan tentang rendahnya minat para dosen di perguruan tinggi negeri tersebut mempublikasikan karya tulis ilmiah mereka dalam jurnal ilmiah (Pos Kupang, 23 Juli 2003). Ketika menyampaikan materi dalam Pelatihan Penulisan Artikel Jurnal bagi sejumlah dosen di lingkungan Undana, Datta begitu prihatin dengan kondisi ini, paling tidak dalam lima tahun terakhir. Ia kemudian memerinci, dari 742 dosen Undana hanya sekitar 25-30% atau 200-an orang yang melakukan penelitian dan menuliskan hasilnya. Dari jumlah tersebut pun 70% adalah orang yang sama dari waktu ke waktu (Pos Kupang, 21 Sept. 2003). Rektor Undana, Prof. Dr. August Benu, M.S, bahkan mensinyalir, ada dosen Undana yang sudah 20 tahun mengabdi, namun belum pernah menulis artikel baik di jurnal maupun media masa. "Ini sangat memrihatinkan. Saya tidak tahu gejala apa ini?" ujar sang rektor retoris ketika membuka pelatihan itu.

Pernyataan dan data di Undana ini sempat membuat bulu kuduk para guru (baca: pengajar TK - SMA/SMK) berdiri. Lha mengapa? "Bila para dosen yang rata-rata berpendidikan magister saja demikian, bagaimana dengan kita-kita ini?" Begitu gumam para pahlawan tanpa nama ini dalam hati. Tapi jangan dulu apriori berlebihan. Karena kualifikasi pendidikan ternyata tidak menjadi garansi bagi seseorang untuk bisa menghasilkan tulisan, terutama yang berlabel ilmiah. Berbagai faktor di luarnya seperti bakat, lingkungan kerja, penghargaan, dan lain-lain, menurut Leta, justru bisa menghantar seseorang mejadi penulis (Pos Kupang, 7 Agustus 2003). Agus Semiun juga menyebut-nyebut beberapa faktor seperti kebiasaan dan latihan pun bisa menghantar seseorang menjadi penulis (Kupang News, 8 Okt. 2003). Karena itu, tidaklah mengherankan bila Sehandi secara lebih ekstrim mengklaim bahwa tulisan seorang sarjana atau doktor bisa sama bobotnya dengan tulisan seorang yang bukan sarjana atau doktor (Pos Kupang, 17 April 2000). "Dalam rubrik opini surat kabar atau majalah, tulisan seorang profesor bisa bersanding dengan tulisan seorang yang tamat sarjana atau bahkan tamat SMP atau SMA", tulis mantan dosen Unflor dan editor buku pada Penerbit Nusa Indah yang kini anggota DPRD NTT itu, sekadar memacu minat dan semangat para calon penulis atau penulis pemula.

Lalu, bagi seorang guru? Dengan diberlakukannya KBK, hasrat untuk menghasilkan tulisan, baik berupa bahan ajar atau karya ilmiah jenis lainnya, mau tak mau harus dilaksanakan. Dengan demikian maka kreativitas para guru tidak hanya sebatas sebuah slogan belaka, namun dapat diwujudnyatakan. Melaksanakan kegiatan pengembangan profesi selain untuk tujuan pembelajaran (terutama dari penulisan bahan ajar) sekaligus mempertajam dan memperluas wawasan. Di sisi lain, kredit poin pun sekaligus direngkuh dalam pelukan untuk urusan kenaikan pangkat/jabatan. Belum termasuk honorarium atau royalti bila karya ilmiah kita bisa diterbitkan atau disebarluaskan di media masa. Karena itu, tak ada salahnya bila harus mencoba dari sekarang ‘kan? Atau masih diperlukan sejenis pelatihan bagi para guru ala Lembaga Penelitian Undana?
Sumber: Pos Kupang, 20 Juli 2004
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger