Headlines News :
Home » » Wakil Rakyat Bersumpah

Wakil Rakyat Bersumpah

Written By ansel-boto.blogspot.com on Sunday, September 06, 2009 | 2:27 PM

Oleh Dr. Paul Budi Kleden, SVD
staf pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores

PARA wakil rakyat kita di propinsi dan di sebagian besar kabupaten telah bersumpah. Dengan ini mereka secara resmi memulai masa legislasinya untuk periode 2009-2014. Dapat dibayangkan, perasaan macam apa yang bergejolak di dalam diri masing-masing wakil rakyat itu. Sekurang-kurangnya pada saat diucapkan sebuah sumpah dapat menggentarkan.

Sumpah atau janji tidak asing dari perjalanan politik bangsa ini. Kita kenal dari sejarah apa yang disebut sebagai Sumpah Majapahit yang dilakukan oleh Gajah Mada. Delapan puluh tahun yang lalu, pada tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda/i Indonesia itu bersumpah, mengukuhkan tekad untuk bertanah air, berbangsa, berbahasa, satu: Indonesia. Bangsa, negara dan bahasa yang satu adalah projek yang terbentang di depan, yang hendak diwujudkan dengan melibatkan seluruh diri dan komitmen kaum muda.

Mereka merasa perlu bersumpah, supaya kekuatan mereka terpadu, karena tantangan yang dihadapi dalam memperjuangkan satu bangsa, satu negara dan satu bahasa adalah sangat besar. Para pemuda/i yang mencetuskan sumpah pemuda adalah para pemuda/i yang masih memiliki cita-cita.

Biasanya orang bersumpah kalau orang sungguh menganggap sesuatu itu penting. Orang perlu bersumpah dalam memberikan sebuah kesaksian karena kebenaran kesaksian itu mempunyai makna penting bagi harga dirinya dan bagi kelangsungan sebuah perjuangan. Saya bersumpah bahwa apa yang saya katakan itu benar, sebab saya merasa perlu diterima dan dihargai sebagai orang yang berbicara benar, dan karena saya sadar bahwa apa yang saya katakan akan sangat mempengaruhi pandangan orang tentang seseorang atau sesuatu, tentangnya saya memberikan kesaksian. Orang bersumpah ketika memulai sebuah jabatan publik, karena pelaksanaan yang benar dan bertanggung jawab dari jabatan itu sangat penting bagi kesejahteraan seluruh masyarakat.

Dengan bersumpah orang membuat janji publik. Orang berjanji kepada diri sendiri dan kepada semua rakyat bahwa orang akan memenuhi semua kewajiban dan melaksanakan semua tugasnya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Kadang-kadang, orang diminta untuk bersumpah kalau hendak menjadi anggota satu perkumpulan. Dengan ini orang mengikat diri pada visi dan misi dari kelompok tersebut.

Kiranya menjadi jelas bahwa sumpah diucapkan kalau ada tujuan yang penting yang hendak dicapai. Dengan bersumpah seorang mengikat dirinya demi pemenuhan tujuan itu. Karena demi pemenuhan tujuan itu, tugas yang saya emban sangat penting, maka saya mempunyai komitmen untuk melaksanakan tugas itu. Tidak akan ada sumpah tanpa kesadaran akan pentingnya tujuan itu dan tanpa komitmen yang jelas. Sebuah sumpah jabatan hanya akan merupakan satu sandiwara, kalau orang sama sekali tidak melihat pentingnya tugas itu atau kalau saya sama sekali tidak mempunyai komitmen untuk melaksanakan tugas itu dengan baik. Selain itu, sumpah mengandaikan penghargaan yang tinggi terhadap orang-orang, di hadapannya saya bersumpah. Saya merasa perlu meyakinkan mereka akan kebenaran komitmen saya. Tanpa penghargaan serupa ini, sebuah sumpah hanya menjadi sebuah penghinaan.

Selanjutnya, masih ada dua elemen lain yang melekat pada sumpah, yakni saksi dan sanksi pelanggaran. Untuk menegaskan kedalaman dan kesungguhan sumpah, orang memanggil atau menghadirkan saksi. Semakin penting sesuatu yang menjadi isi sumpah, semakin tinggi pula instansi atau kewibawaan pribadi yang dipanggil sebagai saksi. Kalau saya bersumpah bahwa saya tidak mencuri kambing, mungkin cukup kalau yang dipanggil sebagai saksi adalah ketua RT. Namun, untuk menegaskan kesungguhan sumpah seseorang terhadap pilihan hidupnya, maka yang dihadirkan sebagai saksi adalah orang-orang yang sungguh dipercaya, dan nama Tuhan pun diserukan sebagai saksi. Juga dalam sumpah DPRD, yang dipanggil sebagai saksi adalah Tuhan sendiri.

Sumpah adalah ikatan tekad terhadap satu niat yang dipandang penting dan benar. Sebab itu, pelanggaran atas atau pengingkaran sumpah membawa sanksi. Sanksi bisa berupa hukuman secara legal yang diatur dalam peraturan perundangan, atau sanksi moral karena orang kehilangan kredibilitas di tengah masyarakat, atau akibat lain yang diucapkan sendiri: kalau ternyata saya bersumpah palsu, akan terjadi ini dan itu dengan saya. Kesungguhan orang pada sumpah ditunjukkan oleh keberaniannya menerima konsekuensi dari pelanggarannya. Semakin jelas sanksi dan mekanisme pemberian sanksi, semakin hati-hati orang membuat sanksi. Sebaliknya, ketidakjelasan sanksi dan ketidaktegasan mekanismenya akan bermuara pada pembuatan sumpah asal-asalan.

Regulasi Indonesia mewajibkan adanya sumpah bagi anggota DPRD pada awal pelaksanaan tugasnya. Pelaksanaan tugas sebuah lembaga demokrasi seperti DPRD harus diawali dengan sumpah, karena tugas ini penting dan penuh tantangan. Adanya lembaga ini merupakan ekspresi dari cita-cita besar seluruh masyarakat akan satu kehidupan yang semakin demokratis dan beradab. Nilai ini menjadi dasar dari adanya sumpah para anggota DPRD.

Kalau kita perhatikan isi dari sumpah, maka ada empat hal yang penting dalam sumpah tersebut. Pertama, para anggota DPRD bersumpah untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Mereka tidak bersumpah untuk menuntut hak mereka seteliti mungkin, tetapi melaksanakan tugas mereka. Kualitas yang diberikan untuk pelaksanaan tugas yang demikian adalah sebaik-sebaiknya dan seadil-adilnya. Sebuah tugas dilaksanakan dengan baik apabila tugas itu sungguh memenuhi tujuan adanya tugas itu. Itu berarti, melaksanakan tugas sebagai anggota DPRD dengan baik berarti memenuhi tujuan adanya lembaga DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat.

Selain baik, kualifikasi lain adalah adil. Pelaksanaan tugas yang adil memperlakukan semua orang secara adil dan memperhatikan proporsionalitas antara kewajiban dan hak. Saya berlaku adil dalam tugas saya apabila saya memperlakukan secara benar semua pihak yang terlibat di dalam bidang tugas saya, dan saya memperhatikan semua bidang dan kelompok dengan porsi perhatian yang memadai. Mengutamakan satu kelompok atau satu bidang khusus tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan adalah satu hal yang tidak adil. Anggota DPRD yang hanya memperjuangkan kepentingan kelompok orang tertentu atau satu wilayah tertentu adalah anggota DPRD yang tidak adil dalam melaksanakan tugasnya.

Pengertian adil pun menyangkut relasi antara hak dan kewajiban. Anggota DPRD yang hanya menuntut hak sambil mengabaikan kewajiban tidak melaksanakan tugasnya dengan adil.

Kedua, untuk memegang teguh perangkat perundangan yang berlaku di negara ini. Orientasi dasarnya adalah Pancasila dan UUD 1945. Itu berarti, para anggota DPRD dalam melaksanakan tugasnya harus memperhatikan agar Pancasila dan DPRD 1945 ditegakkan. Dewasa ini, Pancasila dan UUD 45 diancam secara serius oleh bahaya sektarianisme dan politik identitas dalam bentuk perangkat-perangkat perundangan yang cenderung memaksakan satu pola pikir ke tengah kemajemukan yang ada. Anggota DPRD yang mensinyalir adanya tendensi ini harus bersuara menentang tendensi ini, juga apabila perangkat perundangan yang mengandung benih sektarianisme itu berada pada tingkat pusat.

Ketiga, untuk menegakkan kehidupan demokrasi. Inti dari demokrasi adalah rakyat sebagai sumber dan sasaran kekuasaan. Untuk mewujudkan kedaulatan rakyat tersebut dibentuk DPRD. Sebab itu, ukuran dari peran seorang anggota DPRD adalah kesadaran para warga bahwa apa yang terjadi di dalam lembaga DPRD sungguh merupakan akumulasi kepentingan mereka. Kehancuran demokrasi akan terjadi apabila rakyat merasa tersingkir dari proses yang terjadi di dalam mekanisme kerja DPRD. Misalnya, apabila anggota DPRD memilih dijamu dan dijamin perusahaan tambang sementara rakyat yang diwakilinya sedang resah karena terancam tergusur dari tanahnya.

Keempat, untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya dalam rangka mewujudkan tujuan negara dan bangsa. Peran ini menuntut tiga hal dari setiap DPRD. Pertama, kemampuan menangkap apa yang menjadi kepentingan masyarakat. Kepekaan ini hanya terjadi apabila seorang anggota DPRD memang dekat dengan masyarakat dan mampu membaca permasalahan yang sedang terjadi di dalam masyarakat. Kedua, adalah kemampuan mengartikulasikan permasalahan tersebut. Di sini dibutuhkan kesanggupan berbicara seorang DPRD. Seorang anggota DPRD harus berbicara dan mesti bisa berbicara secara meyakinkan.

Berbicara adalah hakikat dari seorang anggota parlemen. Sebab itu, seorang anggota yang tidak bisa berbicara, sebenarnya mengkhianati jati dirinya sebagai anggota parlemen. Ketiga, menggalang kekuatan untuk memperjuangkan apa yang dipandangnya sebagai kepentingan bersama. Seorang anggota DPRD tidak bisa berjuang sendiri. Dia harus mampu bekerja sama dengan sesama anggota dalam fraksi dan lintas fraksi. Dia perlu menjadikan apa yang dipandangnya penting sebagai isu bersama sekurang-kurangnya sejumlah anggota DPRD sehingga bisa diperjuangkan. Tidak cukup apabila seorang anggota parlamen hanya mengetahui dan turut merasakan penderitaan rakyat yang diwakilinya. Kecakapan mengartikulasikan diperlukan, karena untuk dapat mengusung sebuah gagasan atau satu kepentingan, diperlukan penggalangan kekuatan politis. Seorang wakil rakyat harus sanggup meyakinkan sesama wakil rakyat akan penting dan mendesaknya pikiran yang dianjurkan dan kepentingan yang diperjuangkannya. Ini adalah kualitas politik.

Para anggota DPRD sudah atau akan bersumpah dalam waktu dekat. Kita harapkan agar peristiwa publik ini tidak hanya merupakan sebuah kesempatan untuk merayakan kemenangan, tetapi sebagai tindakan politis yang membekas dalam ingatan.
Sumber: Pos Kupang, 5 September 2009
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger