Headlines News :

Ali Usman: Pembajakan Terhadap Tuhan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, December 28, 2010 | 1:53 PM



Ia kuliah di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta karena dihantui kegelisaan dan rasa penasaran. Sejak di Aliyah, ia sudah membaca buku pemikiran keagamaan dan filsafat. Jalan terbuka baginya membumikan toleransi melalui karya-karyanya.

Namun tatkala melihat realitas banyak muncul aksi-aksi kekerasan yang kerap bersimbol keagamaan, ia punya penilaian tersendiri. “Menurut saya itu adalah ‘pembajakan’ terhadap agama dan Tuhan itu sendiri,” ujar Ali Usman, intelektual muda Nahdlatul Ulama yang bergiat di Jemaah Masyarakat Nahdliyin Yogyakarta.


Ali, begitu ia akrab disapa, punya alasan mengapa pelaku kerap menggunakan simbol-simbol keagamaan. Padahal, tidak ada agama mana pun menganjurkan umatnya melakukan tindakan kekerasan yang merugikan orang lain.


Indonesia merupakan sebuah negara yang plural baik suku, agama, ras, etnis, dan antargolongan. Kenyataan ini nampak indah. Namun, dalam praktek sepertinya menjadi barang langka. Di sana sini masih terjadi gesekan.


“Saya kira ini adalah persoalan bagaimana kita mestinya bisa ‘mengelola’ perbedaan itu. Sejujurnya, saya menyangsikan konflik atau gesekan yang terjadi di tengah masyarakat murni karena mempermasalahkan perbedaan agama, suku, maupun ras,” jelas Ali.


Ada banyak fakta terungkap kalau konflik seperti di Ambon atau Sambas bermula dari hal sepele. Misalnya, pertentangan antar individu atau kelompok yang setelah dilacak bermotif ekonomi dan politik.


“Namun, konflik itu terkesan ‘seolah-olah’ konflik agama, etnis, dan ras setelah disusupi kepentingan yang dimainkan mereka yang dengan konflik itu mungkin diuntungkan. Jadi faktor ‘luar-lah’ yang menyebabkan konflik akhirnya bergejolak. Apalagi ditambah liputan media yang kurang berimbang,” lanjut Ali.


Masyarakat Sadar


Ia ragu jika konflik disebabkan umat beragama maupun negara belum berperan di sana. Atau konflik bernuansa keagamaan, suku, agama, dan ras, dipicu lemahnya pemahaman masyarakat terhadap perbedaan.


Secara kultural, katanya, masyarakat sadar dan menghargai perbedaan. Karena itu, dengan sendirinya pemahaman terhadap ‘pluralisme’ telah hidup dalam sanubarinya. Pluralisme di tengah masyarakat tidak berbentuk teoritis dan konseptual. Ia (pluralisme) menjadi pemahaman sekaligus perilaku yang mendarahdaging. Kesadaran ini ia sebut living pluralism.


“Menurut saya penyebab konflik bukan semata-mata lemahnya pemahaman masyarakat terhadap perbedaan suku, agama, dan ras. Namun yang perlu diwaspadai adalah ‘faktor luar’,” katanya.


‘Faktor luar’ yaitu kelompok-kelompok tertentu yang berkepentingan membuat seolah-olah dikesankan konflik antar agama, suku, dan ras. Karena itu, masyarakat perlu disadarkan untuk tidak gampang ‘terprovokasi’ oleh bisikan-bisikan tertentu. Apalagi mengatasnamakan agama.


Sebagai warga negara, di situ tugas dan perannya. Kesadaran untuk tidak terprovokasi ‘faktor luar’ penting ditanamkan bagi setiap individu. Sementara negara, jelas Ali, mestinya bertindak tegas dan mengusut tuntas setiap terjadi letusan konflik.


Pengusutan tidak hanya sekadar menangkap pelaku yang ‘kasat mata’, tapi juga harus mengungkap aktor atau otak di balik layar yang ‘tak kasat mata’. Intervensi negara tidak pada wilayah pemahaman keagamaan —kalau pun itu diduga konflik antar-keyakinan/agama— tapi pada wilayah hukum. Bahwa warga bersangkutan telah melangggar stabilitas keamanan dan itu jelas melanggar hukum.


“Seperti pada kasus Jemaah Ahmadiyah. Pemerintah dan kelompok apa pun mestinya tidak perlu menghakimi ‘sesat’ pada ajarannya karena itu hak prerogratif Tuhan. Tugas negara di samping wajib menindak tegas pelaku kekerasan, juga melakukan langkah-langkah preventif,” ujar Ali.


Misalnya mencegah pemicu kekerasan yang salah satunya disebabkan fatwa-fatwa ‘sesat’. Baik dari ormas keagamaan maupun institusi keagamaan yang dibentuk atas inisiatif negara. Di titik ini peran agama dipertarukan.


Posisi dan peran agama-agama secara kelembagaan, kata Ali, penting untuk memberikan injeksi kesadaran kepada umatnya. Pertama, internalisasi terhadap perbedaan dengan cara menghargai keragaman itu. Kedua, kesadaran menjadi diri sendiri yang tidak gampang dipengaruhi. Apalagi terprovokasi memusuhi orang lain hanya karena berbeda.

Dialog

Mestinya, kata Ali, dialog inter maupun antar penganut agama cukup efektif dalam merawat pluralisme. Sayangnya, dialog kadang terjebak pada acara-acara seremonial-formal.


Artinya, kesadaran dialog terkesan hanya ‘pemanis bibir’ di ruang-ruang seminar dan diskusi kalangan elit agama. Namun, setelah itu tidak ada follow up ke grass root, penganutnya. Dengan ini ia tidak mau mengatakan bahwa diskusi yang mengusung tema dialog agama tidaklah penting.


“Justru yang saya gelisahkan adalah selain tidak ada follow up, acara seremonial-formal lebih berorientasi pada pemenuhan ‘proyek’ yang bersifat pragmatis atau bahkan oportunis demi citra diri di hadapan kelompok lain,” katanya


Ali juga menyoroti, saat ini terjadi kesenjangan antara pemuka agama dengan umat kalangan bawah. Kondisi ini jelas berpengaruh signifikan pada tingkat kepercayaan umat.


Ia memberikan contoh keputusan atau fatwa haram rokok yang dikeluarkan Muhammadiyah, pengharaman facebook oleh salah satu cabang atau wilayah NU atau fatwa haram korupsi yang dikeluarkan MUI.


“Fatwa-fatwa itu ternyata tidak cukup efektif diikuti di internal. Apalagi berharap diikuti semua kalangan. Kalau komunikasinya baik, otomatis mestinya fatwa-fatwa itu efektif diikuti. Nyatanya, tidak. Ini juga berlaku untuk persoalan-persoalan lain, termasuk dialog inter dan antar penganut agama,” kritik Ali.


Menurutnya, agama harus dikembalikan pada khittahnya. Meminjam istilah Peter L. Berger, agama sesungguhnya kanopi suci, the secret canopy. Agama ibarat langit suci yang teduh dan melindungi kehidupan.


Ia sebagai penyiram panasnya kehidupan yang dapat menumbuhsuburkan tanaman. Dengan agama, manusia memiliki rasa damai, tempat bergantung, bahagia, dan ketenteraman hidup. Agama juga dapat melindungi manusia dari chaos, ketidakberartian hidup, dan situasi hidup tanpa arti.


“Jika terjadi aksi kekerasan bersimbol agama, itu adalah ‘pembajakan’ terhadap agama dan Tuhan. Tidak ada agama mana pun yang menganjurkan umatnya melakukan tindakan kekerasan yang dapat merugikan orang lain,” tandas Ali.


Kasus teranyar adalah aksi bersimbol keagamaan sebagaimana menimpa penganut Ahmadiyah maupun umat Kristiani di Ciketing, Bekasi, Jawa Barat. Insiden itu, katanya, merupakan wujud ‘faktor luar’. Sangat berbahaya jika tidak ‘dijinakkan’.


“Tak terbayangkan, gara-gara kasus Ahmadiyah atau Ciketing masyarakat yang semula tidak mempermasalahkan keberadaannya mulai terpengaruh ‘stereotip negatif’ setelah terjadi aksi kekerasan,” jelas Ali.


Ia menegaskan, yang kurang memahami arti perbedaan suku, agama, dan ras itu sebenarnya bukan kalangan masyarakat umum. Katakanlah warga yang tinggal di sekitar wilayah konflik.


“Mereka menjadi ‘korban’ dari provokasi isu negatif yang dihembuskan kelompok tertentu untuk memusuhi objek dari aksi kekerasan tersebut. Patut disalahkan adalah kelompok yang mengaku diri paling beriman dan paling taat beragama, yang umumnya mengusung bendera agama berideologi eksklusif dalam setiap aksi kekerasan,” ujar Ali.



Tokoh Pluralisme


Indonesia memiliki tokoh nasional yang getol membumikan semangat toleransi dan pluralisme. Misalnya, cucu pendiri Nahdlatul Ulama yang juga mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Prof Dr Nurcholis Madjid (Cak Nur), Prof Dr Ahmad Syafie Maarif, budayawan dan Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth Tholibin, Rembang, KH Dr Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus).


Atau kolumnis, sastrawan, arsitek, dan budawayan penerima Aga Khan Award Romo Mangunwijaya yang hidup bersama warga di Kali Code, ahli filsafat dan politik Pastor Prof Dr Franz Magnis Suseno atau Pdt Martin Lukito Sinaga, dan lain-lain. Para tokoh di atas mestinya jadi teladan dan panutan. Tapi, mengapa kekerasan bernuansa keagamaan masih terjadi? “Mungkin karena tidak semua orang mengagumi tokoh-tokoh pluralis itu,” ujar Ali.


Kebebasan dan kedamaian akhirnya menjadi barang mahal. Namun, menurut Ali, di situ tantanganya. Semua pihak dituntut memperjuangkannya. Ia optimis. Selama masih ada suara-suara kritis dari masyarakat, baik lewat lembaga swadaya masyarakat, ormas keagamaan, dan lain-lain, kebebasan dalam segala bidang bisa tercapai.


Pengalaman hidup yang mengantarnya menggeluti berbagai isu sosial-kemasyarakatan melalui artikelnya di media massa dan jurnal berangkat dari hal-hal kecil. Terutama dari lingkup tetangga maupun interaksi dengan rekan-rekan lintas agama. Baik Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, dan Penganut Kepercayaan. Begitu pula dengan sahabat-sahabat para intelektual, entah melalui seminar atau diskusi ilmiah.


”Saat kuliah S-2, banyak dosen Katolik. Mereka mengajar materi HAM dari perspektif Kristen. Saya suka baca buku karya penulis besar seperti St Agustinus, Mahatma Gandhi, Romo Mangun, dan lain-lain,” katanya.


Pengalaman perjumpaan itulah yang ikut mematangkan intelektual muda NU ini melahap berbagai tema baik politik, pendidikan, sosial, dan budaya melalui analisanya di berbagai media massa dan jurnal.


“Tema pluralisme itu berangkat dari kegelisahan saya. Mengapa banyak orang bertengkar gara-gara perbedaan agama, suku, dan ras? Lantas, jika memang pluralisme itu baik, mengapa masih terjadi kekerasan? Pertanyaan-pertanyan ini terus menggelayut dalam benak saya hingga saat ini,” ujarnya.


Padahal, sikap menghargai perbedaan sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan dipraktikkan dengan baik oleh Nabi Muhammad. Nah, mengapa perbedaan itu kerap gagal dipraktikkan di negeri dengan mayoritas penduduknya Muslim, diakuinya itu memang problem pelik.


“Menurut saya hal itu sepertinya disebabkan karena ketidakmampuan sebagian orang menggali akar-akar sejarah keislaman. Banyak yang tidak mampu bahkan enggan melakukan kontekstualisasi ajaran-ajaran Islam masa kini,” tandas Ali, pengagum Gus Dur, tokoh pluralisme dan guru bangsa. (Ansel Deri)



Sumber: HIDUP edisi 26 Desember 2010

Profil:


Ali Usman


Lahir : Sumenep, Madura, 20 April 1984

Istri : Lailiyatis
Anak : -
Orangtua : Abd. Rahiem & Ibu Maswiyatun
Saudara : Moh. Zeinudin & Moh. Imamuddin Baharsyah

Pendidikan:

• SDN Kebun Dadap Barat, Sumenep, Sampang, Madura, 1993
• SMP Saronggi, Sumenep, Sampang, Madura, 1999
• Madrasah Al-Ittihad Camplong, Sampang, Madura, 2003
• S-1 Teologi dan Filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003-2007
• S-2 Agama dan Filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008-2010

Organisasi:

• Aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) UIN Yogyakarta
• Aktif di NU & bergiat di Jemaah Masyarakat Nahdliyin Yogyakarta

Buku:


Kebebasan Adalah Nyawa Manusia: Menapaki Jejak-jejak Pemikiran Jean Paul Sartre dalam Ali Usman (ed) Kebebasan, dalam Perbincangan Filsafat, Pendidikan dan Agama, Pilar Media Yogyakarta, tahun 2006

Cinta Sufistik sebagai Kritik Sosial dalam Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah: Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Sebuah Antologi), Suka Press, tahun 2007
• Kontributor buku Masyarakat Berkomunikasi karya YB. Margantoro, tahun 2008.
• Editor Menegakkan Pluralisme: Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh Muhammadiyah karya Moh. Shofan, Ar-Ruzz Media, tahun 2008
• Editor Gus Dur dan Negara Pancasila, tahun 2010
Menjadi Santri (segera terbit)

Menulis esai, opini, dan resensi di berbagai media lokal maupun nasional dan jurnal seperti The Jakarta Post, Jawa Pos, Media Indonesia, Seputar Indonesia, Tempo, Bisnis Indonesia, Kontan, Republika, Sinar Harapan, Suara Karya, Surya, Suara Merdeka, Solopos, Bernas, Kedaulatan Rakyat, Surabaya Post, Kaltim Post, Banjarmasin Post, Bali Post, GATRA, Jurnal STF Driyarkara, Jurnal Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Majalah Gerbong Gerakan Rakyat (GeGeR), Jurnal Universalia, Humanius, dan lain-lain.

Ilmuwan Minus Penelitian

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, December 20, 2010 | 12:46 PM

Oleh Saifur Rohman
Peneliti Filsafat

Survei SCImago melaporkan, publikasi hasil penelitian Indonesia selama 13 tahun (1996-2008) adalah 9.194 tulisan. Angka itu menempatkan negeri ini di urutan ke-64 dari 234 negara yang disurvei. Dibanding negara tetangga, Singapura berada pada peringkat ke-31, Thailand ke-42, dan Malaysia 48.

Data itu tidak signifikan dengan jumlah peneliti di perguruan tinggi yang mencapai 89.022 orang. Menurut Kementerian Pendidikan Nasional, peneliti berpendidikan magister mencapai 71.489 orang, doktor 13.033 orang, dan guru besar 4.500 orang. Jika mengacu data SCImago, berarti dalam rentang lebih dari 10 tahun hanya ada satu dari 10 dosen yang menerbitkan hasil penelitian. Jika interval dipersempit dalam rentang satu tahun, jelas persentase itu sepuluh kali lebih sedikit.

Kenapa jumlah peneliti tidak berbanding lurus dengan hasil penelitian? Apa yang sesungguhnya terjadi dalam kinerja para ilmuwan kita

Ilmuwan tanpa tradisi

Bila mengacu kerangka dasar filsafat ilmu, secara singkat dapat dikatakan pengembangan konsepsi, hipotesis, serta proposisi harus beranjak dari hasil-hasil penelitian sebelumnya. Ilmu diperbarui dengan penelitian. Kendati tradisi penelitian tidak hanya dikembangkan untuk kebutuhan ilmiah, penelitian harus beranjak dari tradisi ilmiah yang diakui, koheren, dan korespondensial.

Dalam sistem sosial, institusi pendidikan merupakan pemangku kepentingan terdepan untuk menjaga tradisi ilmiah. Idealnya, perguruan tinggi adalah pemasok ilmu pengetahuan melalui penelitian di bidang ilmu alam, sosial, dan humaniora. Penelitian merupakan produk dari institusi pendidikan agar sebuah institusi memiliki daya saing tinggi.

Masyarakat adalah pengguna produk yang dihasilkan oleh pendidikan tinggi. Dalam skema distribusi di atas, sebuah perguruan tinggi memiliki tujuan menghasilkan temuan-temuan ilmiah berkualitas. Idealitas itu pernah dirumuskan dengan tiga fungsi tenaga pengajar di institusi pendidikan, yakni penelitian, pengajaran, dan pengabdian.

Kenyataannya, diakui atau tidak, universitas tidak lebih sebagai sebuah mesin penghasil ijazah dan legalisir. Ijazah palsu dan pemberian gelar akademik secara instan adalah contoh ekstrem dari permintaan masyarakat dan penawaran para pedagang gelar. Pendeknya, masyarakat hanya butuh ijazah yang setinggi-tingginya dengan biaya yang serendah-rendahnya. Karena itu, dalam satu dekade terakhir di Indonesia, sivitas akademika tengah berada dalam iklim sosial ekonomi yang tak menguntungkan untuk aktivitas penelitian.

Di tengah persaingan bebas pendidikan tinggi, para dosen hanya memiliki prioritas menghasilkan nilai dari proses belajar-mengajar. Kiranya tak sulit ditemui di sejumlah perguruan tinggi rasio dosen dan mahasiswa tidak masuk akal. Pertambahan mahasiswa tidak diimbangi pertambahan tenaga pengajar.

Fakta di atas memperkuat dugaan, aktivitas penelitian di perguruan tinggi tidak lebih sebagai persyaratan untuk kenaikan jabatan fungsional sebagai tenaga pengajar. Hal itu sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang menuntut adanya jenjang kepangkatan menuju guru besar. Bukti, dosen hanya ”titip nama” dalam sebuah proyek penelitian yang mengharuskan pembentukan tim peneliti. Bila dibutuhkan sebuah publikasi hasil penelitian, seorang dosen cukup memberikan kepada pengelola jurnal ilmiah terbitan perguruan tinggi yang kekurangan naskah.

Jadi tidak aneh manakala jurnal yang memiliki kualitas baik sangat sedikit. Hasil penilaian Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional periode II tahun 2010 terbukti, hanya ada dua jurnal yang mendapatkan predikat akreditasi A atau sangat baik dan 26 jurnal berakreditasi B. Jurnal yang dinilai sangat baik adalah The South East Asian Journal of Management yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Microbiology Indonesia terbitan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia.

Daya saing

Hal itu menunjukkan, publikasi hasil penelitian tidak pernah dikelola sebagai sumber modal yang berdaya saing bagi sebuah institusi pendidikan tinggi di Indonesia. Tindakan yang terkait dengan penelitian dianggap sebagai beban. Karena itu, manajemen yang diterapkan juga bukan bagian prioritas organisasional. Yang terjadi dalam manajemen penelitian adalah involusi. Kiranya tidak perlu ditutup-tutupi sistem pendanaan sebuah proyek penelitian harus melalui alur yang panjang dan hasilnya tidak seberapa.

Sebuah penelitian yang dikerjakan tiga dosen dan lima mahasiswa dalam waktu setengah tahun hanya dapat dana sekitar Rp 1 juta-Rp 3 juta, belum termasuk potongan administrasi, pajak, setoran, dan lain-lain. Hasil penelitian ini tentu saja bisa ditebak, kualitas maupun kuantitas. Wajarlah hasil penelitian yang memiliki mutu tinggi tidak jadi produk andalan universitas. Penelitian telah jadi bagian dari sistem ekonomi produksi.

Produk-produk penelitian berkualitas justru dihasilkan oleh lembaga-lembaga donor luar negeri yang menjanjikan dana lebih besar, perusahaan dagang dan organisasi konsultan yang berorientasi laba. Lembaga donor luar negeri membutuhkan hasil-hasil penelitian yang diproduksi secara langsung oleh para peneliti potensial; mereka tidak melalui birokrasi kampus.

Swasta yang mengatasnamakan corporate social responsibility juga hanya mengambil manfaat langsung dari sebuah hasil penelitian. Contoh, sebuah perusahaan farmasi hanya memberikan dana bagi peneliti yang mengangkat temuan tentang obat-obatan yang bermanfaat bagi peningkatan produknya. Penelitian di luar bidang itu dianggap tak relevan. Organisasi konsultan juga memperlakukan penelitian sebagai barang dagangan yang dijual dengan angka fantastis ke calon pengguna.

Sisanya, hasil-hasil penelitian dikelola oleh para pedagang buku dan jasa konsultan melalui sistem katalogisasi yang modern dan virtual. Ketika seorang peminat datang, mereka tidak langsung dapat membawa pulang hasil penelitian itu, tetapi hanya mendapatkan kopi. Sebab, hasil penelitian asli masih tetap tersimpan di rak pedagang dan akan terus menghasilkan uang.

Ini berbeda dengan pengelolaan hasil penelitian di perguruan tinggi. Skripsi, tesis, dan disertasi akan ”dibersihkan” manakala sudah tidak ada lagi ruang di perpustakaan. Ini membuktikan institusi pendidikan tak memiliki manajemen yang memadai terkait aktivitas penelitian. Penelitian hanya dilakukan sekadarnya, asal jadi. Itulah jawaban kenapa penelitian hanya berada di rak perpustakaan dan pada saaatnya nanti akan dijual kiloan.

Institusi pendidikan tinggi sebagai benteng penghasil penelitian yang bermutu terjebak dalam pragmatisme penelitian. Hukum pragmatisme itu berbunyi: sejauh itu bisa menghasilkan uang yang lebih besar, maka penelitian bisa dilakukan lebih baik. Ternyata penelitian adalah perkara uang, bukan ilmu.
Sumber: Kompas, 20 Desember 2010

Djony Teedens: Pemerhati Teori Musik Tradisi NTT

Banyak jenis musik tradisional yang berkembang di tengah masyarakat Nusa Tenggara Timur tidak memiliki dasar teoretis. Musik tradisi itu muncul di kalangan masyarakat tertentu, berkembang, tetapi ada pula yang punah begitu saja. Padahal, musik lokal itu memiliki latar belakang sejarah, budaya, dan legenda tertentu.

Pemerintah daerah belum memberikan perhatian khusus terhadap musik-musik tradisional. Para seniman lokal mesti berjuang sendiri, membuat kreasi dan mengeluarkan modal pribadi untuk melakukan penelitian, melestarikan, sampai memperkenalkannya kepada publik. Bahkan kemudian menulis buku tentang musik tersebut.

Djony Teedens adalah salah seorang seniman NTT yang memiliki kepedulian besar terhadap musik-musik tradisi di daerah itu. Ia menyebut, ada ratusan jenis musik dan alat musik tradisi di NTT, tetapi yang masih bertahan hanya sekitar 20 jenis alat musik lokal.

Di antara jumlah yang sedikit itu, antara lain sasando dari Rote Ndao, foy doa dari Ngada, sasong dari Flores Timur, ketadomara dari Sabu Raijua, ada pula leku, khobe, dan feku dari Timor, serta jungga dari Sumba.

”Tetapi, dari 20-an alat musik tradisional itu, hanya 2-5 alat musik yang masih sering dilihat warga. Yang lain, meski masih ada, jarang diperdengarkan karena kalah bersaing dengan musik pop,” kata Teedens di Kupang, beberapa waktu lalu.

Menurut pengamatan Teedens, generasi muda tidak lagi meminati musik tradisional karena dianggap ketinggalan zaman, tidak bernilai ekonomis, iramanya tidak enak untuk berdansa, dan nadanya monoton atau membosankan. Kondisi itu menyebabkan banyak musik tradisional punah atau hilang.

Musik tradisional hanya bisa bertahan kalau memiliki nilai– nilai khusus bagi masyarakat penggunanya, seperti nilai mistis-magis, nilai pendidikan, persaudaraan, nilai ekonomis, nilai sejarah, keunikan dan keindahan. Setiap musik tradisional lahir dari kelompok masyarakat tertentu, memiliki legenda khas, seperti asal-usul suku atau kelompok masyarakat itu.

Sejumlah legenda tua di Timor, Flores, dan Sumba menyebutkan, keberadaan musik lokal dari daerah itu terkait kehadiran nenek moyang, yang mengisahkan legenda terbentuknya sebuah pulau, sejarah perang suku, pembentukan suku, dan tradisi beternak atau bertani.

Di Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, dan Belu, misalnya, feku sering digantung di depan rumah, bahkan di leher peternak untuk memanggil ternak sapi, babi, dan kerbau. Jika alat itu sudah dibunyikan, ternak akan bergerak menuju rumah atau mendekati tuannya. Namun, kini feku jarang digunakan. Penggembala ternak lebih suka menggunakan anjing untuk menghalau kawanan ternak.

Teori musik

Selama 51 tahun Provinsi NTT berdiri, musik tradisional tidak berkembang, bahkan cenderung punah. Teedens menyadari pentingnya musik-musik tradisional memiliki dasar teoretis sebagai pegangan dan agar mudah dipelajari, dikembangkan, dilestarikan, dan dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan. Jika suatu jenis alat musik ingin bertahan dan bersaing, ia tidak hanya asal dibunyikan.

Lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini sejak tahun 1990-an menulis sejumlah buku teori dasar musik tradisi NTT, seperti teori alat musik sasando, foy doa, ketadomara, knobe, feku, dan heo.

Buku Teori Dasar Sasando yang disusun Teedens telah mendapat persetujuan Pemerintah Kota Kupang untuk menjadi bahan muatan lokal di sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas di seluruh Kota Kupang mulai tahun ajaran 2011/2012.

Kini, ia sedang memberi kursus sasando kepada para guru musik se-Kota Kupang. Setiap pekan ada lima guru dari setiap sekolah yang mengikuti kursus sasando di pusat kursus musik ”Halelluya” milik Teedens di Kelurahan Naikoten, Kupang. Teedens membuka tempat kursus musik itu tahun 2003. Salah satu tujuannya adalah mempertahankan dan mengembangkan musik-musik tradisi NTT.

Ia berharap melalui para guru itu, sasando dapat berkembang di sekolah-sekolah dan masyarakat Kota Kupang. Suatu saat sasando menjadi mata pelajaran khusus di setiap sekolah di NTT. Saat ini sasando baru dikenal di kalangan warga Kota Kupang dari Suku Rote Ndao.

Di tempat kursus musiknya, tidak hanya warga Kupang yang belajar, tetapi juga warga Jakarta, Yogyakarta, bahkan dari Belanda, Jepang, dan Australia. Biasanya mereka mengikuti kursus kilat sasando selama masa liburan.

Di antara peserta kursus ada anak-anak berkebutuhan khusus. Anak-anak ini, menurut Teedens, memiliki kelebihan di bidang musik dan bidang seni lain sehingga perlu dikembangkan. Selain sasando, Teedens juga memberikan kursus gitar, keyboard, dan piano.

Pembinaan dan pelestarian

Dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, Teedens dipercaya pemerintah daerah untuk membina dan melestarikan musik tradisi NTT. Ia sering mengunjungi sanggar seni dan kerajinan yang tersebar di NTT untuk memberi petunjuk teoretis mengenai alat musik tradisi di daerah itu. ”Kebanyakan pelaku dan penggiat seni tradisi tidak paham mengenai nada-nada yang dihasilkan alat musik itu. Mereka asal membunyikan saja,” katanya.

Teedens ingin mendirikan sekolah tinggi musik NTT sebagai upaya menggali dan mempertahankan musik-musik lokal NTT yang sedang terancam punah. Melalui sekolah tinggi musik, sejumlah musik tradisional yang sudah punah dapat digali dan dilestarikan lagi.

”Pemerintah pusat melalui Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata serta Gubernur NTT sudah memberi lampu hijau. Semoga masyarakat NTT dan teman-teman pencinta seni NTT juga mendukung,” kata Teedens berharap.
Sumber: Kompas, 20 Desember 2010
Djony Teedens sedang membimbing anak autis bermain sasando.

Komang Surata: Penemu Inang Primer Cendana

Written By ansel-boto.blogspot.com on Saturday, December 18, 2010 | 12:34 PM

Cendana atau ”Santalum album Linn” adalah jenis tumbuhan bersifat semiparasit. Oleh karena itu, dalam siklus hidupnya, cendana membutuhkan pohon inang. Krokot atau ”Althernantera sp” adalah jenis tumbuhan lokal yang paling sesuai sebagai inang primer ketika anakan cendana sedang dalam persemaian.

Penggunaan krokot sebagai inang cendana yang kini dipraktikkan di banyak tempat di dunia adalah hasil temuan Komang Surata, peneliti utama Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Nusa Tenggara Timur.

”Saya menikmati menjadi peneliti, tetapi kebahagiaan terasa memuncak ketika hasil penelitian saya diakui dan dimanfaatkan secara luas hingga dunia internasional,” kata Komang Surata di Kota Kupang, lepas siang Kamis (25/11) itu.

Dalam siklus kehidupan cendana, sejak persemaian hingga dipanen pada usia 30 tahun, membutuhkan tiga tahapan inang dari jenis pohon berbeda.

Setelah krokot pada masa persemaian, pertumbuhan cendana membutuhkan inang sekunder dari jenis pohon turi atau gala gala (Sebasnia grandiflora) atau akasia (Acacia villosa) untuk jangka menengah. Selanjutnya, inang johar (Casuarina junghunniana) dibutuhkan untuk pendampingan jangka panjang. Pohon inang itu dibutuhkan guna membantu penyerapan unsur hara dari tanah.

”Penggunaan inang gala gala atau turi sebenarnya hasil temuan saya juga, tetapi yang monumental itu temuan inang krokot karena sekarang menjadi pilihan utama sebagai inang primer dalam pembudidayaan cendana secara internasional,” kata Komang Surata yang menjadi peneliti sejak 1987, dua tahun setelah dia menyelesaikan kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB).

Hampir punah

Cendana adalah jenis pohon endemik NTT. Oleh karena aromanya yang harum, cendana telah mencuatkan kawasan NTT sejak abad ke-4. Pada abad ke-7, cendana asal NTT dilaporkan berhasil menembus pasaran India dan China.

Mulai abad ke-14, para pedagang dari kedua negara tersebut sampai berkunjung langsung ke NTT untuk membeli cendana dan madu. Hingga 1990-an, cendana menjadi penyumbang terbesar Pendapatan Asli Daerah NTT.

Namun, akhir 1990-an, hampir mustahil menemukan pohon cendana di kawasan hutan. Tegakan tersisa hanya bisa dijumpai di kebun dan pekarangan penduduk, itu pun amat jarang. Salah satu penyebab utama kehancuran cendana di Timor dan pulau lain di NTT adalah regulasi yang tidak berpihak kepada masyarakat.

Sejak zaman Belanda hingga Indonesia merdeka, cendana, baik yang tumbuh di kawasan hutan, di kebun, maupun pekarangan penduduk, diklaim menjadi milik pemerintah. Masyarakat diwajibkan menjaga dan merawat cendana, tetapi hanya pemerintah yang berhak memanfaatkannya. Masyarakat yang melalaikan ketentuan itu akan dikenai sanksi. Akibatnya, cendana dianggap masyarakat sebagai pembawa petaka.

Kesadaran nyaris punahnya cendana membuat pemerintah mengubah kebijakan dengan payung Peraturan Daerah No 2/1999 yang berpihak kepada masyarakat.

Gubernur NTT Frans Lebu Raya sejak awal kepemimpinannya pada 2008 mencanangkan pembudidayaan cendana guna mengembalikan NTT sebagai ”provinsi cendana”. Tekad itu sekaligus mencuatkan nama krokot karena dibutuhkan sebagai inang saat persemaian bibit cendana.

Sebelumnya, persemaian cendana menggunakan inang tanaman cabai (Capsicum annum), sebagaimana direkomendasikan peneliti IPB, Jufriansah, pada 1970-an.

Sejak bertugas di Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Komang Surata mencatat sejumlah kelemahan pohon cabai sebagai inang primer cendana. Di antaranya, pohon cabai sulit hidup ketika dipindahkan dari tempat tumbuh awalnya. Kelemahan lain, sulit mendapatkan benih cabai dalam jumlah banyak, terancam mati jika tajuk pohonnya dipangkas, serta tak mampu bertahan hidup di antara rerumputan lain.

Surata lalu berinisiatif melakukan penelitian sejak 1988. Ia melakukan berbagai uji coba guna mendapatkan inang primer pengganti. Dua tahun kemudian ia menemukan krokot sebagai inang primer pengganti tanaman cabai.

”Uji coba itu melibatkan 18 jenis tumbuhan sebagai calon inang, termasuk cabai. Hasil akhirnya menunjukkan, krokot paling cocok sebagai inang primer,” katanya.

Keunggulan krokot

Krokot memiliki sejumlah keunggulan. Menurut Surata, krokot sangat membantu pertumbuhan cendana selama masa persemaian. Krokot juga tidak menimbulkan kompetisi, tajuknya kecil, sistem perakaran sukulen atau lunak, mudah tumbuh setelah dipangkas, berumur panjang, relatif mudah didapat, serta tahan hidup dalam kekeringan.

Hasil temuan inang krokot itu dipublikasikan dalam jurnal ilmiah internasional, Sandalwood Newsletter, di Australia pada 1992. Setelah publikasi, pemanfaatan krokot sebagai inang primer cendana meluas di dunia internasional, antara lain di Australia bagian barat serta di sejumlah negara Pasifik, seperti Fiji, Kaledonia, Solomon, dan Vanuatu.

Kini, Surata sedang menekuni model budidaya cendana melalui regenerasi tunas, yakni memotong beberapa jaringan akar di sekitar kaki pohon cendana dewasa. Jika pemotongan dilakukan secara benar dan tepat waktu, yakni dengan memerhatikan perkembangan akar diikuti pengaturan iklim mikro, bagian akar yang terputus dari induknya akan bertunas sebagai anakan baru.

”Mimpi kami ke depan dalam budidaya cendana di NTT adalah pohon cendana punya anakan alam dari tunas akarnya sendiri, sebelum pohon induk ditebang setelah mencapai usia panen 30 tahun. Proses regenerasi anakan cendana bisa dilakukan secara variatif mengikuti siklus tebangan,” kata Surata, ilmuwan asal Karangasem, Bali, tersebut.
Sumber: Kompas, , 17 Desember 2010
Ket foto: Komang Surata

Ekspedisi Jejak Peradaban NTT: Kekayaan Alam Belum Dioptimalkan

Rata-rata pendapatan per kapita penduduk Nusa Tenggara Timur tahun 2009 Rp 4,88 juta, jauh di bawah rata-rata nasional yang Rp 21,48 juta. Minimnya infrastruktur dan kondisi alam yang kering sering disalahkan atas rendahnya kesejahteraan rakyat Nusa Tenggara Timur.

Kalau kita masuk ke pelosok NTT, payahnya infrastruktur mudah ditemui. Keluar dari jalan penghubung antarkota/kabupaten yang beraspal menuju kampung-kampung, umumnya kita akan langsung menapak jalan tanah yang berdebu di musim kemarau dan licin di musim hujan. Padahal, jalanan itu naik turun tanjakan curam mengikuti topografi NTT yang berbukit-bukit. Tak jarang kendaraan harus menyeberang sungai karena belum ada jembatan atau perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki.

Sarana transportasi laut juga minim. Kebanyakan mengandalkan kapal pelayaran rakyat yang keamanannya tak terjamin dan jumlah penumpang melebihi kapasitas. Penerbangan pun banyak mengandalkan pesawat kecil.

Jangankan di pulau kecil, kondisi seperti itu bertebaran di Pulau Flores, Timor, maupun Sumba yang terhitung besar. Hal itu diakui Bupati Sumba Timur Gidion Mbilijora. ”Jalan dan jembatan baru memadai di jalur utama yang menghubungkan Waingapu, ibu kota Sumba Timur, dengan wilayah sekitarnya. Di wilayah jauh ke selatan serta pegunungan, baru ada jalan tanah yang sulit dilewati di musim hujan,” katanya.

APBD yang terbatas, Rp 552 miliar, lebih dari 60 persen digunakan untuk membayar gaji pegawai negeri, tidak memungkinkan untuk membangun. Sisa APBD diprioritaskan untuk pendidikan, kesehatan, serta pengembangan pertanian. Usulan kepada pemerintah pusat untuk memperluas pelabuhan, membangun bendungan untuk irigasi pertanian, belum mendapat respons. Keluhan serupa diungkapkan kepala daerah lain.

Kondisi alam NTT kering. Musim hujan berlangsung pada bulan November sampai Maret dengan jumlah hari hujan rata-rata 44-61 hari per tahun. Sementara, musim kemarau antara April dan Oktober. Kondisi ini tidak cocok untuk padi atau jagung yang perlu air cukup.

Pengamat pertanian, Viator Parera, berpendapat, Pemerintah Provinsi NTT sebaiknya fokus pada pengembangan pertanian lahan kering yang cocok dengan kondisi geografis dan iklim NTT.

Kinerja pegawai

Bicara tentang kinerja pegawai pemerintah, sudah waktunya dilakukan pembenahan. Terkait hasil yang belum maksimal, Wakil Gubernur NTT Esthon L Foenay mengakui, aparat yang mengelola tidak efektif dan efisien dalam melaksanakan serta tidak disiplin anggaran. Penyebab lain, anggaran turun dekat habis tahun anggaran sehingga program tidak maksimal.

Stepanus Makambombu, Direktur Stimulant Institute, menyatakan, ada kecenderungan pelaksana me-mark up pengadaan barang sehingga mutu atau kualifikasi tidak sesuai akibat kurang pengawasan.

Persoalan lain yang mendasar adalah bagaimana warga memandang kesejahteraan mereka. Marianus Kleden, pengajar antropologi politik Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, menuturkan, ada kecenderungan orang puas dengan apa yang ada. ”Kalau dengan hasil kebun dan ternak yang ada sudah bisa survive, ngapain mencari yang lebih. Untuk itu perlu ada mediasi agar mereka bisa melihat taraf hidup yang lebih layak dan terpacu untuk lebih bergiat mencapainya,” katanya.

Menurut Kleden, etos wirausaha memang baru berkembang. ”Kita banyak belajar dari etnik Tionghoa, Jawa, Padang, dan Sulsel tentang kerja keras. Lewat proses magang, etos ini perlahan-lahan diinternalisasi oleh generasi muda. Satu hal yang amat khas pada orang NTT adalah kecenderungan untuk mendapatkan uang tunai secara cepat dan tidak menempatkan uang dalam manajemen ekonomi jangka panjang,” katanya.

Terkait pesta adat yang menghabiskan banyak biaya, Marianus menyatakan, dalam masyarakat NTT yang berpola pikir sosial kolektif, pesta adat merupakan kesempatan bagi orang untuk mengukuhkan posisi dan status sosialnya di masyarakat.

Agar masyarakat NTT bangkit mengejar ketertinggalan, internalisasi sikap wirausaha perlu ditingkatkan. Di banyak tempat telah tumbuh semangat untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. Warga mengembangkan komoditas perkebunan. Hal ini harus dibantu dengan infrastruktur yang baik sehingga mudah dimobilisasi serta didukung tata niaga yang kondusif. Dengan demikian, nasib orang NTT akan lebih baik.
Sumber: Kompas, 17 Desember 2010
Ket foto: Sekumpulan kerbau dilepas di padang penggembalaan di daerah Kabaru, Desa Patawang, Kecamatan Umalulu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Jumat (29/10).

Cendana: Upaya Mengembalikan Keharuman NTT

Setidaknya ada 14 pohon cendana (Santalum album Linn) berusia belasan tahun di Nunka, kampung di Desa Ponain, Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Hal itu memberi harapan kembalinya kejayaan cendana di wilayah ini.

Sebanyak 13 pohon tumbuh di lahan milik Cornelis Rakmeni. Satu tegakan lagi tumbuh di pekarangan rumah Aleks Rakmeni.

Jajaran cendana muda juga tampak berderet di kebun proyek percontohan di Desa Tesbatan di kecamatan sama, serta tersebar di pekarangan rumah penduduk.

Desa Ponain berjarak sekitar 60 kilometer arah selatan Kota Kupang. Hingga awal 1990-an, Ponain dan Tesbatan dikenal sebagai sentra cendana di Kabupaten Kupang. Akan tetapi, kini cendana di NTT di ambang kepunahan. Hampir mustahil menemukan cendana di kawasan hutan. Tegakan tersisa hanya bisa dijumpai di kebun atau pekarangan rumah; itu pun terbatas.

Kepala Balai Penelitian Kehutanan Kupang Soenarno dan Kepala Seksi Reboisasi dan Pembenihan Dinas Kehutanan NTT Alfons Jehamat mengakui, terjadi penyusutan tegakan cendana sekitar 50 persen. Data Dinas Kehutanan Provinsi NTT menunjukkan, tahun 1987-1990 ada 176.949 tegakan induk dan 388.003 anakan di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU), dan Belu. Tahun 1997-1998 tinggal 51.417 tegakan induk dan 199.523 anakan.

Mendunia

Sejak abad ke-4, NTT dikenal dunia sebagai daerah penghasil jenis kayu beraroma harum dan mahal karena daerahnya yang kering. Cendana yang tumbuh di daerah kering akan menghasilkan kayu berkualitas baik. Nyaris seluruh NTT sangat cocok untuk cendana. Selain di Timor, cendana dijumpai juga di Sumba, Flores, Solor, dan Alor.

Cendana juga tumbuh di negara lain, seperti India, Fiji, Australia, dan Kaledonia Baru.

Jauh sebelum menjadi komoditas perdagangan, cendana dikeramatkan. Para tetua di Timor sering menggelar ritual khusus agar cendana tumbuh subur dan semakin harum. Aroma cendana yang semerbak menjadi isyarat hubungan harmonis antara manusia dan leluhur, alam raya, serta Wujud Tertinggi. Karena itu, cendana selalu terjaga.

”Aroma cendana diyakini sebagai penyubur lahan dan penghalau bala,” kata antropolog, Dr Gregor Neonbasu SVD, Ketua Yayasan Pendidikan Katolik Arnoldus, pengelola Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.

Ketika menyelesaikan studi S-3 bidang Antropologi di Universitas Nasional Canberra, Australia (2005), Neonbasu meneliti akar budaya warga Timor di Biboki, Kabupaten TTU.

Menurut Neonbasu, pada masa lalu, cendana dipersepsikan sebagai gadis cantik yang memancarkan keharuman bagi keluarga, masyarakat, serta tanah Timor. Dalam mitologi, cendana disebut hau meni, gadis sumber keharuman. ”Sang gadis” dijaga kelestariannya. Perusak cendana diyakini akan mengalami musibah, tertimpa kesulitan, hingga menemui ajal.

Neonbasu menyebutkan, pada abad ke-14 cendana NTT sudah memenuhi catatan pedagang China. Masyarakat dunia, terutama China dan India, melukiskan NTT sebagai daerah penghasil cendana berkualitas istimewa.

Keberadaan cendana sebagai pohon keramat mulai bergeser menjadi komoditas perdagangan sejak abad ke-4, seiring kedatangan pedagang perantara dari Gujarat dan kawasan lain. Sekitar abad ke-7, pedagang dunia mencari cendana hingga ke Timor dan pulau-pulau sekitarnya.

Monopoli

Schulte Nordholt (1971) mencatat, pada abad ke-14 cendana, lilin, madu dan budak merupakan barang dagangan dari Timor yang diantarpulaukan ke Jawa, Malaka, dan kawasan lain.

Butje Patty dari Universitas Cendana Kupang mencatat, cendana yang semula dipersepsikan sebagai pohon keramat dan hau meni dalam perkembangannya dianggap sebagai hau plenat (kayu milik pemerintah) atau hau lasi (kayu perkara). Hal itu muncul saat cendana diklaim sebagai milik pemerintah. Masyarakat diharuskan menjaga dan memelihara, tetapi tidak berhak memanen.

Semasa penjajahan Hindia Belanda, seluruh pohon cendana diberi cap sebagai milik pemerintah. Pada masa kemerdekaan, Peraturan Daerah (Perda) NTT Nomor 11 Tahun 1966 dilanjutkan Perda No 16/1986 menegaskan kepemilikan cendana oleh pemerintah, tetapi memicu protes karena bagian rakyat dari hasil penjualan cendana makin turun.

Apabila tahun 1966 rakyat mendapat 50 persen hasil penjualan cendana yang diambil dari tanah milik rakyat, tahun 1986 jatah rakyat tinggal 15 persen. Akibatnya, rakyat enggan menanam cendana sehingga kayu itu nyaris punah setelah dieksploitasi pemerintah dan dijadikan sumber pendapatan asli daerah selama bertahun-tahun (lihat tabel).

Budidaya cendana

Keadaan berubah sejak delapan tahun lalu. Pemerintah Provinsi NTT mencabut monopoli dan mengembalikan cendana sebagai milik masyarakat. Gubernur NTT Frans Lebu Raya dua tahun lalu mencanangkan gerakan mengembalikan NTT sebagai ”Provinsi Cendana”.

Menurut Soenarno, Menteri Kehutanan pada 12 Februari 2009 mencanangkan aksi sebar bibit dan penanaman cendana oleh masyarakat. ”Dalam 10 tahun ke depan yang penting pemulihan dulu. Kalau sudah banyak tegakan, tahun ke-11 baru dipilih bibit unggul. Saat ini ada moratorium penebangan cendana. Diharapkan tahun 2030 cendana siap panen dan menjadi komoditas bebas,” tutur dia.

Dalam melaksanakan bantuan teknis cendana bagi pemda, Balai Penelitian Kehutanan dari Kementerian Kehutanan itu dibantu International Tropical Timber Organization yang bergerak di bidang advokasi kebijakan dan peraturan pemerintah agar berpihak kepada masyarakat. Juga dibantu Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO), badan penelitian dari Australia, untuk memberdayakan masyarakat terkait pembibitan.

Menurut Soenarno, di Australia Barat cendana dibudidayakan sampai 2.000 hektar. Cendana Timor yang dikonservasi Thailand dan Australia hasilnya sangat bagus. Namun, cendana di NTT tetap yang terbaik karena kadar minyak atsiri tinggi, yaitu 5-7 persen dari rendemen terasnya.

”Sulit membangun cendana berskala industri. Kebijakan yang diambil adalah pendekatan agar rakyat mau menanam. Kalaupun ada investor masuk, akan dibuat hutan tanaman rakyat,” ujar Soenarno.

Saat ini, di Desa Ponain dan sekitarnya tumbuh 550 pohon cendana berusia 2-3 tahun hasil penanaman massal sejak tahun 2007. Cendana itu milik 110 keluarga yang tergabung dalam 11 kelompok petani cendana.

Menurut peneliti utama Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Komang Surata, harga cendana di pasaran internasional saat ini sekitar Rp 600.000 per kg. Satu pohon bisa menghasilkan 50 kg-100 kg.

Di tingkat petani, menurut pengakuan Kepala Desa Tesbatan, Kecamatan Amarasi, Dominggus Mnau (46), harga cendana sekitar Rp 250.000 per kg.

Maret 2009, warga desa mendapat pembagian bibit cendana 2.600 batang atau 10 batang per keluarga. Meski awalnya ragu, setelah ada sosialisasi kebijakan masyarakat kini antusias menanam cendana. Kendalanya ketersediaan bibit. Hingga akhir Juli, menurut Kepala Desa Ponain Is Ataupah, penanaman cendana di wilayahnya baru sekitar tiga hektar.

Kini masyarakat NTT bersemangat menanam cendana. Semangat itu perlu dijaga dengan konsistensi kebijakan. Yang penting, sebagaimana dikatakan Soenarno, komitmen birokrat di NTT untuk mengembangkan cendana, termasuk pendanaannya. Dengan demikian, tekad mengembalikan kejayaan NTT sebagai ”Provinsi Cendana” bisa terwujud.
Sumber: Kompas, 17 Desember 2010
Ket foto: Hamzah (46) dan Kepala Desa Tesbatan, Dominggus Mnau (46, kanan) berbincang di samping pohon cendana usia 1,5 tahun yang tumbuh di halaman rumah Hamzah, Kamis (4/11). Desa Tesbatan terletak di Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang, NTT.

Politisi (Bukan) Politisi?

Oleh Boni Hargens
Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia;
Saat Ini Tinggal di Berlin, Jerman

Judul ini terinspirasi kolom gaya hidup Berliner Zeitung (9/12/2010). Tajuknya, ”Wann ist ein Mann ein Mann?” (Kapan Pria itu Pria?), Von Beate Scheder mengangkat cuilan fenomena kosmetik modern yang berhasil meminggirkan konsepsi pria klasik yang macho, tegar, dan berotot dengan kehadiran pria metropolitan yang bening dan lembut.

Scheder tak berkesimpulan. Namun, ia dan seluruh kaum posmodernis tahu bahwa yang terutama bukan determinasi pria-wanita, melainkan kontribusi dari kepriaan maupun kewanitaan terhadap peradaban. Maka, perubahan visual tak ada urusannya dengan substansi.

Seperti konstruksi jender, politik sebagai fakta sosial pun berubah. Akan tetapi, yang dibutuhkan adalah perubahan positif agar mendekatkan konsepsi luhur politik dengan kenyataan. Sayang, ini belum terjadi. Bahkan ketika melihat perkembangan yang buruk, para ahli politik—sebagaimana Joseph Schumpeter (1947)—resah dengan batasan klasik tentang politik sebagai struktur nilai yang mendasarkan visi dan misi pada postulat moral. Schumpeter sendiri meragukan kandungan moral ketika ia melihat politik bekerja seperti pasar yang sekadar meraup untung.

Sekarang kita layak cemas karena sintesis berani Schumpeter tampaknya menjadi kenyataan. Polemik panjang Sultan Hamengku Buwono X dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bukanlah perkara keistimewaan Yogyakarta an sich. Mungkin ada yang tersentak dengan wacana ”monarki di negara demokrasi” menyusul disputasi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kalau mau jujur, ini benturan politik kekuasaan yang ditransendensi ke tataran luas dengan memakai bahasa demokrasi dan monarki untuk memperlihatkan adanya masalah. Agak naif karena terminologi monarki bukan istilah yang tepat menggambarkan kondisi DI Yogyakarta. Kesultanan, seperti dipahami Presiden juga, adalah keistimewaan yang khas seperti halnya syariat Islam di Aceh atau wali kota yang ditetapkan, tidak dipilih, di DKI Jakarta.

Dalam praktik otonomi yang asimetris, Yogyakarta bukanlah masalah, apalagi histori kekhususan Yogyakarta sudah lama. Pada zaman kolonial, privilese Yogyakarta diakui pemerintah Hindia Belanda dan Nippon.

Dengan demikian, mempersoalkan kekhususan DI Yogyakarta tak mudah diterima akal. Kalau intensi kita luhur, ketika membahas status kultural dan politik Sultan, maka yang dipikirkan adalah bagaimana menegakkan otoritas kultural dan politik Sultan agar berdiri di atas segala perbedaan dan mengayomi seluruh keragaman kelompok dan pandangan politik. Konkretnya, boleh atau tidak Sultan berpartai politik?

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, itu hak Sultan sebagai warga negara. Ia boleh berpartai karena ia bukan pegawai negeri. JK tidak salah, tetapi memahami Sultan tak bisa memakai Undang-Undang Partai Politik.

DI Yogyakarta perlu dilihat secara komprehensif, terutama dari aspek sosio-kultural dan politik. Akan lebih bijaksana kalau Sultan tak bergabung dengan partai politik apa pun. Bukan karena banyak elite partai yang resah dengan keberpihakan Sultan pada partai tertentu. Bukan pula karena melihat larangan itu setimpal dengan privilese yang dimilikinya. Pertimbangannya adalah keutuhan Yogyakarta sebagai Gesselschaft, paguyuban kultural yang melampaui segala bentuk pengelompokan politik. Sultan sebagai pemimpin politik sekaligus kultur wajib berdiri di atas pluralisme pandangan politik.

Tesis ini tidak untuk menyenangkan siapa pun atau memberi peluang kelompok politik tertentu mencaplok DI Yogyakarta pada pemilu berikutnya, tetapi untuk menjaga kewibawaan Sultan dan kesultanan, sekaligus memelihara keistimewaan Yogyakarta agar tidak rusak oleh gesekan kekuasaan temporal yang cuma lima tahun, maksimal 10 tahun.

Pasar obral

Sampai di sini, tampak bagi kita bahwa wacana politik yang kelihatannya logis dan demokratis tak selamanya mengandung motivasi luhur. Maka, refleksi tertinggi kita, kapan politisi itu (benar-benar) politisi?

Pertanyaan ini mengandung dua implikasi logis. Pertama, politisi kita belum menjadi politisi dalam makna yang sesungguhnya. Kedua, politik sudah berubah menjadi pasar obral: obral wacana, obral kebohongan, obral manipulasi, obral penampilan.

Dalam The Virtues of Mendacity: On Lying in Politics (2010), Martin Jay dari Universitas California mengatakan, berbohong dibolehkan dalam politik untuk menghindari orang tak bersalah menjadi korban, untuk melindungi negara dari bahaya yang lebih besar, untuk mencegah kebangkrutan ekonomi negara, dan alasan transendental lainnya.

Di sini, berpolitik berbohong sekadar untuk berbohong, tidak karena dan untuk tujuan luhur. Maka benar apa yang dikatakan Mary Alice Gaston dalam The Values of Politics (1998), sambil mengutip omongan ayahnya ketika ia kecil, bahwa tak ada yang salah dengan politik, tetapi dengan orang-orang yang berpolitik.

Dasarnya politik dan moral sulit dipisahkan dan jangan pernah dipisahkan (Vittorio Hoesle, Moral und Politik, Grundlagen einer Politischen Ethnik: 1997). Politik bernilai dan bisa dinilai selama ada kandungan moral sehingga seorang politisi patut disebut politisi kalau ia bermoral.
Sumber: Kompas, 17 Desember 2010

Perlu Kearifan Lokal di Timor

Bupati Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Paul Mella, mengatakan, perlu menghidupkan kembali kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat setempat, sebagai salah satu solusi mengatasi ancaman bagi warga yang bermukim disekitar Daerah Aliran Sungai.

"Kearifan lokal yang dimaksud antara lain, larangan dari tokoh adat setempat bagi masyarakat untuk tidak boleh merusak hutan dan sanksi adat bagi perusak hutan," katanya di Kupang, Jumat (17/12/2010).

Kearifan lokal ini katanya jika dipadukan lagi dengan hukum positif yang ada, maka siapapun akan jera merusak lingkungan.

Ia mengatakan hal ini menanggapi kesepakatan yang dituangkan dalam sebuah naskah kerja sama antardaerah yang ditandatangani dirinya (daeri daerah hulu) bersama Bupati TTU Gabriel Manek (daerah tengah) dan Bupati Belu Joachim Lopez (daerah Hilir DAS Benenai) di Kupang, Kamis (16/12).

Menurut Bupati Mella, masalah DAS Benenai yang terus mengancam masyarakat di hilir karena kearifan lokal mulai ditinggalkan, seiring dengan perkembangan zaman di mana hanya hukum positif yang dapat mengatur aktivitas warga masyarakat yang melanggar.

Akibatnya katanya masyarakat yang bermukim di wilayah Hulu dan tengah DAS tidak lagi sadar akan pentingnya pelestarian lingkungan.

Menurut dia, ke depan untuk mengamankan kelestarian lingkungan di wilayah hilir, penataan ruang untuk kawasan hutan menjadi prioritas sehingga wilayah itu tak akan diizinkan untuk kegiatan apapun. Dan untuk menuntaskannya, Pemerintah Provinsi dan Pusat harus mengambil peran lebih besar.

"Kalau hanya melepas tiga kabupaten menyelesaikan sendiri, tak akan pernah selesai masalahnya, dan Belu akan terus mendapatkan banjir kiriman setiap tahun," katanya.

Ia juga tidak memungkiri perusakan hutan akibat sistem perladangan berpindah-pindah di daerah hulu dan tengah juga berkontribusi kepada ancaman DAS Benenai.

"Untuk menghentikan sistem ini, perlu adanya Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur sistem perladangan menetap, seperti yang sedang dibahas Pemerintah Daerah Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) saat ini.

"Memang sumber daya alam adalah anugerah, tapi jangan sampai pengelolaan sumber daya itu membawa masalah untuk anak cucu ke depan," katanya.

Wakil Gubernur NTT Esthon Foenay mengatakan langkah tepat penyelesaian DAS Benenai adalah membangun hubungan komunikasi yang kompak, baik Pemprov, serta pimpinan wilayah di daerah hulu, tengah dan hilir.

"Karena ini menjadi tanggungjawab bersama, perlu kekompakan dalam hal koordinasi antar daerah, serta pentingnya konsistensi dalam hal sinergitas pembiayaan. Pola koordinasi langsung ke masyarakat sebagai pelaksana juga penting sehingga terwujud yang namanya pola pemberdayaan rakyat.

Pemerintah katanya cukup sebagai fasilitator saja dalam upaya pengelolaan DAS Benain ini. "Saya kira budaya ’Atoin Meto’ (orang dawan) perlu dibangun kembali sebagai upaya membangun kembali Pulau Timor melalui upaya pengelolaan DAS Benevai," katanya.

Dalam upaya ini, demikian Esthon, tetap pada komitmen bahwa menangani DAS Benenai adalah kerja gotong royong, sehingga pemerintah provinsi tak melepas tangan dalam masalah ini.
Sumber: Kompas.com, 18 Desember 2010
Ket foto: Paul Mella

Pertanyaan untuk Presiden di Hari Migran

Oleh Sri Palupi
Ketua Institute for Ecosoc Rights

Hari ini, 18 Desember, diperingati oleh masyarakat internasional sebagai Hari Migran. Negara-negara pengekspor buruh migran memberikan komitmen bagi perlindungan buruh migran di luar negeri dengan meratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya, kecuali Indonesia.

Hari Migran ini mengingatkan kita pada perlakuan kejam yang diderita Sumiyati dan Kikim. Hari Migran ini semestinya juga mengingatkan kita akan jasa jutaan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mempertaruhkan hidup di negeri asing demi keluarga dan devisa. Jutaan TKI itu kini menanti adanya tekad pemerintah untuk tidak lagi menolerir tindak kekerasan terhadap TKI.

Tekad untuk tidak menolerir kekerasan terhadap TKI bisa diukur dari ada tidaknya dua langkah perubahan yang selama ini terus didesakkan para pegiat hak TKI. Pertama, adanya langkah legislasi tiga paket undang-undang, yaitu ratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya, revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, dan Pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT).

Ketiga paket undang-undang ini merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan karena ketiganya menjadi dasar untuk menentukan standar dan membangun sistem perlindungan TKI.

Kedua, adanya evaluasi dan pembenahan mendasar terhadap sistem dan kelembagaan perlindungan TKI. Evaluasi dan pembenahan mendasar ini dibutuhkan mengingat aturan dan kebijakan di bidang migrasi kerja tidak berdampak terhadap kualitas perlindungan TKI. Yang terjadi, aturan dan kebijakan itu justru memfasilitasi perdagangan orang.

Kedua langkah itu adalah niscaya bila disadari bahwa untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan di pedesaan, pemerintah tidak punya banyak pilihan. Memperbanyak jumlah TKI kini telah menjadi jalan utama mengatasi pengangguran dan kemiskinan.

Kegagalan pemerintah dalam mengembangkan sektor pertanian dan dalam memajukan sektor industri berdampak pada minimnya lapangan pekerjaan di dalam negeri dan rendahnya kualitas hidup di pedesaan. Kondisi ini mendorong peningkatan arus migrasi tenaga kerja keluar negeri.

Kegagalan dalam mengembangkan sektor pertanian dan memajukan pedesaan semestinya diimbangi dengan peningkatan kinerja di bidang perlindungan TKI. Kalau dalam perlindungan TKI pun pemerintah gagal, sudah sepantasnya kalau presiden dan menteri mengundurkan diri. Sebab, rakyat telah membayar mahal agar presiden, para menteri, dan birokrasi sungguh berfungsi. Betapa tidak, mayoritas anggaran negara setiap tahunnya digunakan untuk membiayai birokrasi.

Kalau melihat semakin banyak organisasi masyarakat sipil yang memberikan perhatian pada isu TKI, rasanya optimistis bahwa ke depan TKI akan merasakan hasil dari adanya perubahan. Namun, kalau menatap ke atas, optimisme itu terasa jatuh terbentur tembok tebal. Sebab politik pencitraan yang berlangsung selama ini telah membuat para pejabat lebih memilih mencari dalih daripada membongkar akar persoalan.

Cuci tangan

Kita masih ingat bagaimana Presiden dan menteri merespons kasus penganiayaan Sumiyati dan Kikim. Persoalan penganiayaan itu mereka pandang sebagai masalah minor. Bahkan, Presiden sendiri mengulang- ulang pernyataan bahwa kasus TKI yang dianiaya jauh lebih kecil dibandingkan TKI sukses.

Bisa dimengerti kemudian kalau terhadap kasus Sumiyati dan Kikim, Presiden merasa tak perlu turun tangan. Cukup mengirim menteri dan mengajukan solusi ”HP untuk TKI”. Dengan sikap dan cara pandang seperti itu, sulit diharapkan akan ada perubahan di tahun depan. Sebab, Presiden dan menteri cenderung meremehkan persoalan.

Padahal, data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi terkait kinerja Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) menunjukkan, ada persoalan serius dengan nasib para TKI kita ke depan. Betapa tidak. Dari 560 PJTKI yang terdaftar, hanya 36 persen yang berkinerja baik.

Padahal, kebijakan pemerintah di bidang migrasi tenaga kerja menempatkan PJTKI sebagai pihak utama dalam perlindungan TKI. Sementara, demikian banyak tanggung jawab perlindungan yang dibebankan pada PJTKI tidak mereka jalankan. Itulah mengapa penempatan TKI sarat dengan persoalan.

Pemerintah lebih banyak cuci tangan dalam hal perlindungan TKI. Alasannya, penempatan TKI adalah bisnisnya PJTKI dan karena itu masalah TKI sudah selayaknya diurus oleh PJTKI. Bahkan, di saat kekejaman terhadap TKI sudah tidak bisa ditoleransi lagi, pemerintah tetap memilih bersembunyi di balik besaran angka TKI sukses.

Terkait angka statistik, presiden dan menteri memang bisa menghitung berapa jumlah TKI yang sukses dan berapa dollar AS devisa yang mereka hasilkan. Namun, harga yang harus dibayar TKI untuk menjadi sukses tidak akan pernah mereka perhitungkan. Yang disebut sebagai sukses selama ini berarti bahwa TKI dapat menyelesaikan kontrak dan gajinya dibayar.

Padahal, studi Institute Ecosoc terhadap para mantan TKI yang bekerja sebagai PRT di Singapura menunjukkan, sebesar 90,3 persen TKI sukses bekerja lebih dari 14 jam sehari. Mereka tidak mendapatkan libur, tidak boleh berkomunikasi, dan tidak boleh keluar rumah. Tidak sedikit dari mereka yang kurang makan.

Inikah yang kita sebut sukses dalam hal perlindungan TKI? Pantaskah TKI yang nilai devisanya jauh lebih besar dari nilai investasi asing itu mendapatkan perlindungan dengan standar seperti ini? Sebandingkah kinerja pemerintah dalam perlindungan TKI dengan total anggaran yang dibayar rakyat untuk membiayai birokrasi?

Dengan standar perlindungan TKI yang demikian rendah, saya tidak yakin kematian 513 TKI di Malaysia pada tahun 2008 dan derita 998 TKI di Malaysia akibat berbagai bentuk pelanggaran HAM yang terjadi di sepanjang tahun 2009 itu ada artinya bagi Presiden dan menteri.

Ketika Presiden dan menteri menilai bahwa banyaknya kasus kekerasan terhadap TKI belum memasuki tahap kritis, saya jadi ingin tahu, sebenarnya berapa banyak angka kematian dan penganiayaan TKI dibutuhkan untuk membuat Presiden turun tangan dan serius membenahi perlindungan?
Sumber: Kompas, 18 Desember 2010

Dani Ladu Ringgulangu: Penjaga Kampung Adat Waikabubak

Setiap tamu yang melintas dengan kendaraan atau berjalan kaki di Waikabubak, ibu kota Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, biasanya langsung tergoda untuk melihat dari dekat sekelompok bangunan tua tradisional yang terletak di bukit Tarung dan Waitabar.

Bukit yang juga perkampungan adat Tarung dan Waitabar itu sengaja dipertahankan oleh Dani Ladu Ringgulangu sejak tahun 1970-an. Selama empat periode masa pemerintahan bupati Sumba Barat, kampung adat Tarung dan Waitabar itu hendak digusur untuk diganti dengan pertokoan dan perhotelan.

Ketika ditemui di kampung adat Waitabar, awal November, Ringgulangu, Ketua Paguyuban Penganut Kepercayaan Sumba Barat ini mengatakan, dia tidak paham dengan cara berpikir pemerintah daerah setempat. Kampung adat yang jelas-jelas sering dikunjungi para turis asing itu malahan tidak pernah mendapat perhatian serius dari pemerintah.

”Pemerintah Kabupaten Sumba Barat berulang kali ingin menggusur kampung ini karena letaknya di tengah Kota Waikabubak. Sesuai rencana (Pemerintah Kabupaten Sumba Barat), kawasan ini akan dimanfaatkan untuk perhotelan karena pemandangannya cukup menarik. Dari ketinggian ini, hampir seluruh wilayah Waikabubak dapat terlihat,” kata Ringgulangu.

Kampung adat itu, menurut Ringgulangu, ditempati Marapu, leluhur orang Sumba menurut ajaran agama asli Sumba. Pada kayu, batu, bukit, kuburan, dan rumah-rumah adat yang ditempati warga, para leluhur Sumba tetap tinggal.

Kukuh mempertahankan adat

Melengkapi prinsipnya untuk tetap mempertahankan kampung adat tradisional yang sering disebut kampung pariwisata itu, Ringgulangu pun bersumpah tidak akan bersedia dibaptis atau menjadi Kristen sampai mati.

Dia ingin tetap menjadi penganut kepercayaan asli Marapu, yang menghormati leluhur dan roh-roh halus sebagai perantara kepada Sang Pencipta.

Tetapi, Ringgulangu mengizinkan enam dari tujuh anaknya untuk dibaptis dan menganut agama Kristen agar bisa mengikuti pendidikan. Putra bungsunya, Lango Reda Mata (9), tidak dibaptis dengan tujuan agar bisa melanjutkan adat tradisi.

Oleh karena itulah setiap ada upacara adat Marapu, Lango Reda Mata selalu dilibatkan. Bahkan, pada kesempatan tertentu, dia sudah diberi kepercayaan untuk memimpin ritual adat Marapu.

”Di Sumba Barat mayoritas orang beragama Kristen, kecuali Sumba Barat Daya yang beragama Katolik. Di sini, sekolah-sekolah bisa dikatakan mewajibkan anak-anak memiliki surat baptis. Di sekolah negeri pun, yang mengajar guru-guru dari kalangan Kristen,” kata Ringgulangu.

Kampung adat di tengah Waikabubak itu memiliki nilai tersendiri. Di rumah warga, termasuk rumah Ringgulangu, terdapat puluhan rahang babi dan tanduk kerbau. Setiap kali dilaksanakan adat pemulihan kampung, selalu dikorbankan ternak peliharaan kepada Marapu. Tanduk atau rahang hewan korban kemudian dilekatkan di dinding rumah.

Di kampung itu, para turis, budayawan, peneliti, mahasiswa dan para pelajar sering berkunjung. Mereka tak sekadar melihat, tetapi sebagian di antaranya sampai mempelajari budaya dan adat istiadat Marapu.

Ringgulangu bercerita, dia jarang meninggalkan kampung adat itu. Setiap hari dia setia menemani dan menunggu para tamu. Buku tamu pun dia sodorkan, termasuk kesan dan pesan para tamu.

”Umumnya para tamu mendukung perjuangan saya agar kampung adat ini dipertahankan, terutama tamu-tamu asing. Mereka bahkan mengusulkan agar dibangun semacam homestay agar mereka juga bisa menginap dan menyaksikan kehidupan tradisional masyarakat,” kata Ringgulangu.

Segala sesuatu yang bernilai mistis, magis, dan mengandung nilai-nilai kepercayaan asli masih dianut oleh sekitar 300 warga di dua kampung berdekatan itu. Kampung itu pun dibangun sesuai konstruksi asli yang dikehendaki para leluhur.

”Semua bahan bangunan di sini dari hutan, tidak ada bahan bangunan dari bahan besi, aluminium atau produk pabrik. Jika ada bahan produk pabrik, nenek moyang tidak setuju, penghuni bangunan tidak aman tinggal, selalu sakit, dan bangunannya cepat rusak,” katanya.

Ringgulangu berharap, pemerintah turut memerhatikan kampung adat pariwisata itu, bukan sebaliknya berupaya menggantikannya dengan hotel. Kemajuan suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh bangunan–bangunan modern, tetapi juga oleh keberadaan tradisi-tradisi lokal yang masih dipertahankan.

Ringgulangu juga mempertahankan keberadaan kubur batu tua peninggalan para raja di kampung itu. Setiap ada kegiatan adat di Kampung Tarung dan Waitabar, Ringgulangu kerap kali tampil sebagai penggerak.

Kodrat manusia

Ringgulangu bercerita, dia sudah beberapa kali mengikuti seminar, pertemuan atau pembahasan mengenai aliran kepercayaan di tingkat nasional. Ternyata semua agama di dunia ini mengakui adanya suatu kekuatan yang luar biasa, dan mereka memberi nama berbeda-beda, termasuk aliran kepercayaan Marapu.

”Marapu, sama dengan aliran kepercayaan lain di Jawa, memiliki nilai religius dan kuasa besar yang terealisasi lewat perlindungan, hukuman, kegagalan, kutukan, pertolongan, keselamatan, dan bencana alam. Dalam bahasa adat Marapu disebut Ina papa nuku, ama papa sara, artinya semua manusia dan segala isi bumi terlahir dari sumber yang sama. Semua manusia sesuai kodratnya adalah sama,” katanya.

Menurut kepercayaan Marapu, hutan-hutan di sekitar kampung itu, termasuk seluruh daratan Sumba, memiliki penjaga dari leluhur. Hutan tidak boleh ditebang sebelum dibuat ritual adat, meminta izin kepada leluhur.

Sumber mata air yang keluar di kaki Bukit Tarung dan Waitabar pun diyakini sebagai pemberian dari Yang Kuasa, dan bagi masyarakat Sumba diyakini sebagai pemberian Marapu.
Sumber: Kompas, 18 Desember 2010
Ket foto: Dani Ladu Ringgulangu

Sesat Pikir soal PRT Migran

Oleh Wahyu Susilo
Analis kebijakan Migrant CARE &
Program Manager INFID

TANGGAL 18 Desember 2010 adalah Hari Buruh Migran Sedunia bertepatan dengan 20 tahun kelahiran Konvensi Internasional untuk Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Momentum ini merupakan saat yang tepat untuk menegaskan kembali agenda perlindungan hak-hak buruh migran saat kekerasan terhadap buruh migran, terutama pekerja rumah tangga migran Indonesia, terus terjadi.

Dalam menghadapi kekerasan yang dialami oleh pekerja rumah tangga (PRT) migran Indonesia di luar negeri, setiap kali pula muncul tuntutan agar Indonesia menghentikan penempatan PRT migran Indonesia keluar negeri.

Alasannya bisa bermacam- macam: karena mereka berpendidikan rendah dan tidak berketerampilan, masuk kategori sektor informal, hingga argumentasi moralis bahwa ”mengirim babu keluar negeri merendahkan martabat bangsa”. Tulisan ini mencoba menyikapi secara kritis tuntutan-tuntutan tersebut dalam perspektif penegakan hak asasi manusia, khususnya hak perempuan dan hak buruh migran.

Dalam konstruksi sosial yang patriarkis, penghargaan terhadap kerja sangatlah diskriminatif. PRT migran mengalami diskriminasi yang berlapis-lapis sehingga kerentanan yang dihadapinya bertumpuk-tumpuk.

Sebagai perempuan, PRT migran distigma sebagai pekerja yang penurut, didiskriminasi dalam skema pengupahan, dan rentan mengalami kekerasan berbasis jender (pelecehan seksual dan perkosaan).

Sebagai pekerja asing, PRT migran berhadapan dengan sistem keimigrasian yang restriktif dan politik xenophobia yang semakin hari semakin berkembang.

Sebagai pekerja di sektor yang belum terlindungi dalam hukum perburuhan, PRT migran berhadapan dengan situasi kerja yang tidak layak, tak bisa berserikat, dan sulit untuk menikmati hari libur.

Kehilangan argumen

Dengan mengupas akar masalah yang sedemikian kompleks yang dihadapi oleh PRT migran Indonesia, kita didorong untuk mencari jalan keluar yang komprehensif tanpa harus turut serta menghakimi dan menjatuhkan vonis melarang perempuan-perempuan Indonesia bekerja sebagai PRT migran keluar negeri.

Bekerja keluar negeri adalah hak asasi manusia yang harus dihargai dan merupakan kewajiban dari negara untuk memastikan pelaksanaan hak tersebut terpenuhi dan terlindungi.

Pemerintah punya peran penting dalam mengonstruksi sesat pikir soal PRT migran. Keengganan pemerintah (bersama parlemen) untuk menyusun Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga semakin memperpanjang kerentanan pekerja rumah tangga karena tak tercakup dalam skema perlindungan hukum perburuhan. Dalam diplomasi perlindungan PRT migran, Indonesia juga akan kehilangan argumen jika ditantang balik mengenai perlindungan PRT di Indonesia sendiri.

Konstruksi sesat pikir yang juga terus dibangun oleh pemerintah adalah dengan menyebut PRT migran sebagai pekerja tak berketerampilan (unskilled) dan informal. Dikotomi skilled dan unskilled dikritik kalangan feminis sebagai bentuk diskriminasi pekerjaan yang mempunyai implikasi pada pengupahan. Sementara konsep informal tak beda jauh sebenarnya dengan konsep tak resmi (ilegal). Ini merupakan bentuk penghindaran negara dalam memenuhi hak-hak normatifnya. Dalam demografi angkatan kerja, mayoritas pekerja yang dikonstruksikan sebagai unskilled dan informal itu adalah perempuan.

Di negara-negara yang memberikan pengakuan kesetaraan pada pekerja rumah tangga (baik dalam UU Perburuhan maupun UU Perlindungan PRT), tak ada lagi penyebutan diskriminatif terhadap pekerja rumah tangga sebagai pekerja unskilled dan informal.

Dalam berbagai kesempatan, para pejabat negara selalu menyatakan bahwa Indonesia bertekad untuk mengurangi penempatan buruh migran yang unskilled dan nonformal dan berupaya meningkatkan penempatan buruh migran skilled di sektor formal untuk meningkatkan penerimaan remitansi. Pernyataan ini jelas merupakan ancaman terhadap pemenuhan hak kaum perempuan Indonesia untuk bekerja.

Ironisnya (atau lebih tepat kurang ajarnya), selama lebih kurang 40 tahun Pemerintah Indonesia menikmati remitansi jerih keringat PRT migran Indonesia yang merupakan wajah utama buruh migran Indonesia. Kebijakan resmi pertama Pemerintah Indonesia dalam penempatan buruh migran adalah pengiriman PRT migran ke Arab Saudi pada dekade 1970-an. Kebijakan ini memanfaatkan keresahan Pemerintah Arab Saudi dalam menghadapi PRT migran asal Filipina yang menuntut kondisi kerja dan upah layak.

Kondisi ini dijadikan peluang oleh Pemerintah Indonesia untuk menawarkan ”keunggulan komparatif” PRT migran Indonesia. Keunggulan komparatif itu adalah: bersedia dibayar murah dan penurut. Dengan modal keunggulan komparatif itulah sampai sekarang Indonesia mendominasi pasar tenaga kerja sektor PRT migran di kawasan Timur Tengah dan Asia Pasifik.

Realitas ini memperlihatkan bahwa Pemerintah Indonesia sendiri menginginkan agar PRT migran Indonesia ”tetap layak jual” sehingga tak perlu memperjuangkan adanya standar upah yang layak serta tuntutan pemenuhan hak-hak normatif sebagai pekerja.

Memberi pengakuan

Sudah saatnya Pemerintah Indonesia mengakhiri eksploitasi terhadap PRT migran Indonesia sebagai komoditas yang memiliki keunggulan komparatif serta berhenti mendiskriminasi mereka sebagai pekerja unskilled dan informal. Pemenuhan hak-hak PRT migran harus dimulai dengan memberikan pengakuan bahwa pekerja rumah tangga (bukan pembantu rumah tangga) adalah pekerja yang dilindungi oleh hukum perburuhan.

Dengan adanya pengakuan tersebut, negara memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas kerja pekerja rumah tangga, menjamin upah yang layak, serta memiliki hak untuk berserikat. Dalam hal penempatan PRT migran keluar negeri, negara dituntut untuk memaksimalkan diplomasi perlindungan dan memastikan PRT migran bekerja di tempat yang aman.

Pada bulan Juni 2011, Organisasi Buruh Internasional (ILO) akan menyelenggarakan International Labour Conference dengan agenda utama penetapan Konvensi ILO tentang Pekerja Rumah Tangga. Konvensi ini menjadi penegas bahwa pekerja rumah tangga adalah profesi yang diakui dalam hukum perburuhan dan setara dengan profesi-profesi yang lain.

Untuk mengakhiri sesat pikir soal PRT migran yang selama ini melegitimasi eksploitasi dan diskriminasi PRT migran, Indonesia mutlak harus meratifikasi Konvensi ILO tentang Pekerja Rumah Tangga dan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya.
Sumber: Kompas, 18 Desember 2010
 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger