Anggota Badan Anggaran Fraksi PDI Perjuangan DPR RI
"Tahun 2010 ini, guru honorer yang sudah memenuhi syarat sesuai PP 48/2005 juncto PP 43/2007 ini yang diutamakan untuk diangkat, yaitu ada sekitar 105.000 orang. Untuk mereka yang belum diangkat, kami mengimbau segera mendatakan namanya di Dinas Pendidikan terkait.
Setelah ledakan bom atom di Hirosima-Nagasaki tahun 1945, Jepang menempatkan pendidikan sebagai prioritas. Pendidikan dijadikan isu politik utama. Alhasil, dalam satu dasawarsa berikutnya, jumlah kelas menengah intelektual Jepang meningkat. Pengembangan teknologi, ekonomi, dan politik berjalan secara pesat. Itulah strategi politik pendidikan ala Jepang.
Politik pendidikan adalah langkah strategis untuk mencapai tujuan perbaikan pendidikan seperti yang diharapkan. Paulo Freire (1921-1997) di Amerika Latin, pemikir dan ahli pendidikan Brasil ini patut kita jadikan teladan. Freire menulis dirinya sebagai pendidik sekaligus agen politik. Ia mau mengatakan bahwa antara pendidikan dan “politik pendidikan” tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain.
Dua ranah ini melekat secara integral karena konsepsi pendidikan tanpa politik pendidikan tidak akan menghasilkan suatu kebijakan pembangunan manusia (humaniora) yang efektif untuk jangka panjang. Dengan demikian, sesungguhnya politik pendidikan adalah strategi politik untuk memperbaiki pendidikan di wilayah decision-makers, agar gagasan itu memanifestasi dalam kenyataan (Mi’raj Dodi Kurniawan, 2009).
Problem kualitas pendidikan Indonesia seperti membutuhkan langkah radikal seperti yang dilakukan pemerintah Jepang. Bahwa pendidikan diprioritaskan sebagai syarat bagi pembangunan manusia dan pembangunan demokrasi. Lagipula di dalam pembukaan UUD 1945 dikatakan, bahwa tujuan kita berbangsa adalah mencerdaskan manusia Indonesia.
“Untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” (Alinea ke-4 UUD 1945).
Di dalam batang tubuh, Bab XIII, Pasal 31, tertulis, bahwa tiap-tiap Warga negara berhak mendapat pengajaran (Pasal 1) dan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan Undang-undang (Pasal 2).
Pasal ini mengimplikasikan dua hal, yakni bahwa pendidikan adalah hak tiap warga negara dan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas pendidikan warganya. Terkait dengan dua hal ini, amendemen UUD 1945 membawa satu perubahan penting yaitu meningkatnya alokasi anggaran pendidikan dalam APBN sebesar 20 persen. Komisi X DPR RI sudah berupaya merealisasikan ketentuan ini.
Rasio Anggaran Pendidikan
Salah satu pokok-pokok kebijakan belanja negara dalam APBN 2010 adalah mempertahankan rasio anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN. Total belanja negara adalah sebesar Rp 1.047,6 triliun sehingga anggaran pendidikan mencapai Rp 209,5 triliun.
Anggaran pendidikan yang dikelola melalui belanja pusat adalah Rp 83,1 triliun dan yang dikelola melalui belanja daerah (transfer ke daerah) sebesar Rp 126,3 triliun. Untuk belanja negara di pusat, anggaran pendidikan yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan Nasional sebesar Rp 54,7 triliun, Departemen Agama sebesar Rp 23,6 triliun, dan kementerian/lembaga lain yang menangani fungsi pendidikan sebesar Rp 4,8 triliun.
Sedangkan, anggaran pendidikan yang dikelola melalui belanja daerah terdiri dari: (1) Dana Bagi Hasil untuk pendidikan sebesar Rp 617,0 miliar; (2) Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan sebesar Rp 9,3 triliun; (3) Dana Alokasi Umum Pendidikan (DAU) Pendidikan sebesar Rp 95,9 triliun yang mencakup DAU non-gaji sebesar Rp11,3 triliun dan DAU gaji guru sebesar Rp 84,5 triliun; (4) DAU untuk tunjangan perbaikan penghasilan guru Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) sebesar Rp 5,8 triliun; (5) DAU untuk tunjangan profesi guru sebesar Rp 10,9 triliun; (6) Dana Otonomi khusus pendidikan (untuk Provinsi Nangro Aceh Darussalam dan Provinsi Papua) sebesar Rp 2,3 triliun; dan (7) DAU penyesuaian insentif pendidikan untuk pemerintah kabupaten/kota tertentu sebesar Rp 1,3 triliun.
Tapi, lepas dari masalah dana ini, yang penting adalah bagaimana kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pengajaran. Ini yang mau saya tekankan dalam tulisan ini. Salah satu itu yang mendesak adalah status para guru honorer. Tahun ini kita sudah berjuang sehingga 105.000 guru honorer diangkat menjadi guru tetap (pegawai negeri).
Waktu menerima rombongan Komisi E DPRD Sumatera Utara dan Dinas Sosial Pemerintahan Provinsi Sumut serta Forum Komunikasi Tenaga Honorer Sekolah Negeri (FKTHSN) Sumatera Utara di Gedung DPR RI, saya telah menjelaskan tiga jenis seleksi yang pantas diterapkan mengingat besarnya jumlah guru honorer yang diproses menjadi PNS. yakni reguler melalui tes ujian penerimaan CPNS formasi 2010, tanpa tes sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 48/2005 juncto PP 43/2007 tentang sistem pengangkatan tenaga honorer, dan seleksi yang dilakukan oleh sesama guru honorer.
Kami telah menyelesaikan permasalahan ini secara keseluruhan dengan membentuk panitia gabungan antara Komisi II, VIII dan X yang bekerjasama dengan beberapa departemen yaitu Departemen Pendidikan, Kesehatan, Pertanian, Kepegawaian dan beberapa lainnya. Berdasarkan data yang kami terima, di tahun 2010 totalnya 946.000 guru honorer yang diangkat jadi CPNS.
Mereka yang direkrut tanpa tes adalah para guru honorer yang memenuhi syarat sesuai PP 48/2005 juncto PP 43/2007, di mana guru honorer tersebut harus sudah memiliki masa kerja satu tahun pada 31 Desember 2005, dibuktikan dengan surat keputusan (SK) pengangkatan oleh instansi pemerintah (kepala sekolah negeri dan/atau kepala dinas pendidikan), baik yang honorariumnya dibiayai oleh APBD maupun APBN, dan usia maksimal 48 tahun.
Sebenarnya, untuk kategori tanpa tes ini telah dilakukan secara bertahap sejak 2005. Namun karena ada manipulasi data yang dilakukan oleh pemerintah kota/kabupaten, di mana data awal seluruh tenaga honorer hanya 800.000-an orang membengkak menjadi 920.000-an orang, dan telah disertai dengan SK pengangkatan yang diberlakukan surut.
Ini penyebab tertundanya penuntasan pengangkatan tenaga honorer, sehingga sampai sekarang terselesaikan. Tapi masih ada guru honorer yang belum diangkat karena masalah administrasi. Di DKI misalnya, ada guru honorer yang belum bisa diangkat karena NIP belum bisa dikeluarkan, karena guru yang bersangkutan belum melengkapi syarat administrasi secara keseluruhan.
Tahun 2010 ini, guru honorer yang sudah memenuhi syarat sesuai PP 48/2005 juncto PP 43/2007 ini yang diutamakan untuk diangkat, yaitu ada sekitar 105.000 orang. Untuk mereka yang belum diangkat, kami menghimbau segera mendatakan namanya di Dinas Pendidikan terkait.
Sumber: Suara Pembaruan, 17 September 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!