Kota tua di pinggir laut Baltik seperti merekah. Sudah beberapa hari ini matahari tiada henti bersinar, menghangatkan lorong-lorong dan bangunan klasik.
Menara-menara tua bergaya gotik seperti tersenyum kepada setiap pengunjung dan penghuni kota, seakan mengisyaratkan bahwa musim gugur lupa datang.
Demikian juga menara gereja Trinitas pada hari Minggu tanggal 26 September 2010 yang sejak abad ke-15 menjadi saksi perputaran sejarah dan peradaban Eropa.
Hari itu dengan anggun dan megahnya dia menyambut umat beriman dan para artis yang merayakan liturgi meriah penuh musik, tari dan bebungaan. Missa Flores edisi III dalam rangka Festival Jendela Dunia pun sebentar lagi dimulai.
Apa yang baru?
Seperti pada edisi I, kali ini diawali dengan kata sambutan Direktur Pusat Kebudayaan Kota Gdansk, Lawrence Oke Ugwu. Setelahnya, pemandu acara Fr. Slawek Wojtanowski, SVD memberikan aba-aba, supaya perarakan masuk dimulai.
Perarakan ini diiringi dengan tari Likurai dari Timor oleh para penari sanggar Sendratari Damai. Tabuhan tifa-tifa kecil disemaraki dengan irama takitu dari Manggarai.
Bacaan-bacaan dan doa umat dibawakan dalam berbagai bahasa. Missalnya dalam bahasa Indonesia oleh Sr. Maria Yosefina Neno, SSpS dan Fr. Vincent Taji, SVD. Ada bahasa Malagasi oleh P. Krzysztof Kolodynski SVD, bahasa Kaszebi, bahasa Perancis, Inggris, Tagalog dan tentu saja bahasa Polandia.
Mazmur antarbacaan diiringi oleh orkes angklung-kolintang, yang dipadu dengan gamelan, yang dimainkan oleh anak-anak sanggar dengan dibantu oleh Fr. Adipati Manek, SVD. Alleluja dengan gegap gempita dinyanyikan oleh grup band Ikenga Drummers dalam bahasa Nigeria.
Kemudian untuk menghantar persembahan (bunga-bunga, roti, madu, buah-buahan dan ikan salmon seberat 8 kg) para penari menarikan tari Dewi dari Jawa Timur dengan orkes angklung dan gamelan yang mengiringi lagu Sembahan Sudra dari Bali.
Tepuk tangan meriah terdengar saat para penari membawakan tari Gensam setelah komuni. Gensam adalah perpaduan antara tari dan lagu Genjek dari Bali dan tari Saman dari Sumatra Utara.
Pada saat tari berlangsung, para penari juga menyanyikan lagu dalam bahasa Indonesia "Damailah, hai damai dunia" (bergaya Bali ciptaan P. Vincent Adi GM, SVD) dan serangkaian panjang seruan lantang naratif dalam bahasa Polandia. Koreografi dipersiapkan oleh artis penari Jadwiga Mozdzer dan P. Vincent.
Sebagai pengiring perarakan penutup ditampilkan seperti biasa tari Ja'i dari Ngadha. Setelah Missa, lagi-lagi umat yang hadir menjadi saksi kepiawaian anak-anak sanggar Sendratari Damai dalam memainkan berbagai alat musik: saksofon, angklung, kolintang, gamelan dan genderang. Bersama grup Ikenga Drummers, mereka membawakan lagu "When all the Saints go marching in", dipalu oleh P. Vincent, dan dengan tempo yang dipercepat sampai belasan kali.
Meskipun bingkai Missa Flores tetaplah yang sama, kali ini perubahan dapat dilihat dari segi instrumentarium, personal dan tari Gensam yang betul menimbulkan decak kagum di antara para hadirin.
Menilik nama Missa Flores
Flores adalah salah satu dari sekian banyak pulau di Nusa Tenggara Timur. Nama Missa Flores pun dikonotasikan dengan segala sesuatu yang bergaya Flores. Namun banyak pertanyaan dan kontroversi yang timbul dari nama tersebut, mengingat Missa tidaklah hanya berisi motif-motif daerah dari Flores.
Sejak awal inisiator Missa Flores, Jadwiga Mozdzer dan P. Vincent Adi Gunawan Meka, SVD, tidak berniat mengeksklusifkan tradisi Flores di dalamnya. Nama Flores dipakai secara spontan, mengingat sejak awal banyak tarian dan lagu-lagu berasal dari sana. Namun nama Flores (yang dalam bahasa Portugis dan Spanyol berarti bunga-bunga) harus dikaitkan dengan corak umum dari event tersebut.
Liturgi ekaristi dipoles dan dibungkus dengan sejuta warna dan bebungaan aneka ragam yang harum mewangi. Dengan demikian, Missa Flores harus dimengerti sebagai misteri ekaristi yang penuh dengan warna dan bebungaan. Tari, musik dan lagu-lagu juga menjadi pewarna otentik bagi momen sakral tersebut.
Orkes perdamaian
Missa Flores sudah mendapat tempat tersendiri dalam rangkaian kegiatan dan kehidupan budaya ataupun sakral baik bagi masyarakat Trikota Gdansk-Sopot-Gdynia maupun sekitarnya. Dari tahun ke tahun umat yang hadir selalu membeludak.
Siapa pun yang pernah hadir, pasti akan memberitahukan dan mengundang sahabat kenalannya, di samping iklan dan pengumuman yang terpancang dalam koran-koran dan di billboard kota.
Missa Flores selalu dikaitkan dengan intensi perdamaian dunia. Dalam kotbahnya, P. Kolodynski menegaskan bahwa perdamaian tidak akan tercapai kalau tidak tertanam dan terperi dalam hati manusia.
Pejabat sementara Duta Besar Republik Indonesia di Warszawa, Budiman Gultom yang sempat hadir, dalam kata sambutannya menegaskan, Indonesia menjadi salah satu pelopor perdamaian, karena memang latar belakang kehidupan bermasyarakatnya sangat pluralis.
"Kebudayaan dan agama harus menjadi pembentuk (formator) manusia toleran dan pencinta damai," demikian Gultom.
Menarik juga untuk menyimak isi dari kata sambutan dosen psikologi P. Dr. Michal Studnik SVD yang juga hadir dalam Missa Flores.
Menurut beliau, seorang seniman harus mencintai Tuhan dan berjuang mencapai perdamaian. Missa Flores, menurut beliau, adalah hasil karya para seniman yang beriman mendalam.
Sebab, jika tidak demikian, umat yang hadir menjadi bingung akan esensi Missa Flores: liturgi dengan bingkai seni ataukah pementasan seni semata? (P. Vincent Adi Gunawan Meka SVD, Mahasiswa tahun terakhir S3 Etnomusikologi The John Paul II University Lublin-Polandia)
Sumber: Pos Kupang, 4 Oktober 2010
Ket foto: Tarian Likurai saat Missa Flores di Polandia
Ket foto: Tarian Likurai saat Missa Flores di Polandia
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!