Bagi orang Papua, Diaz Gwijangge bukan dikenal sebagai anggota DPR RI dari Partai Demokrat. Ia lebih kondang dengan kegiatannya sebagai aktivis hak asasi manusia (HAM). Diaz berjuang membela HAM rakyat Papua pada masa Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua saat dia masih duduk di bangku Universitas Cenderawasih, juga ketika ia menjadi aktivis Lembaga Studi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua.
Bahkan, ia sempat meregang nyawa akibat konsistensinya membela HAM masyarakat Papua. Pada pertengahan tahun 2000, sepeda motor milik pemuda kelahiran Mapnduma, 27 November 1974 ini ditabrak tentara. Teman aktivis yang memboncengnya, tewas seketika. Diaz selamat, meskipun separuh tulang paha kanannya remuk. Hingga kini dia harus berjalan menggunakan tongkat.
Namun, jauh sebelum itu, sebenarnya warga Pegunungan Tengah Papua mengenalnya bukan sebagai aktivis HAM, melainkan sebagai tukang becak. Anak pendeta pedalaman Nduga ini memang menghabiskan masa sekolahnya sebagai tukang becak. “Orangtua tidak mampu membiayai saya sekolah. Jadi saya harus mencari uang untuk bayar sekolah,” ujar Diaz kepada SP di kantornya di Gedung DPR, Senayan, baru-baru ini.
Profesi sebagai tukang becak ia lakoni sejak SMP. Saat lulus dari SMP YPK di Sentani tahun 1990, ia melanjutkan pendidikannya ke STM Negeri Kotaraja, Jayapura. Namun, baru berjalan beberapa bulan, Diaz mendapat skorsing karena tidak membayar SPP. Ia tidak diizinkan mengikuti ulangan karena memiliki tunggakan sebesar Rp 300.000. “Uang kiriman dari orangtua tidak ada, saya pun kembali menarik becak. Tetapi, lebih dari dua seminggu menarik becak saya hanya dapat uang Rp 200.000, tidak cukup bayar SPP dan tidak bisa ikut ulangan. Terpaksa saya keluar dari sekolah karena malu,” ujarnya.
Selama menganggur, Diaz tetap mengumpulkan uang lewat banyak cara. Di antaranya dengan menarik becak, menjadi kuli panggul, dan menjadi buruh angkut kayu di hutan. Diaz kembali ke Wamena dan bertekad tahun depan akan sekolah kembali. Ternyata berhasil. Anak kedua dari delapan bersaudara ini bisa mengumpulkan uang dan mendaftar masuk SMA Negeri Wamena.
Namun, biaya hidup tetap sulit dipenuhi. Diaz terpaksa harus mengisi waktu sekolahnya dengan menarik becak. Tekadnya untuk belajar memang tinggi. Lulus SMA tahun 1994, Diaz berniat kuliah. Dia ikut tes masuk perguruan tinggi negeri. Dia berhasil diterima di Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih. “Walau lulus, saya tetap bingung dari mana uang tiket pesawat dari Wamena ke Jayapura. Terpaksa selama libur menjelang kuliah, saya menarik becak dan berhasil mengumpulkan uang Rp 500.000 untuk tiket saja. Persoalan uang bayar kos dan hidup di Jayapura belum saya pikirkan,” tutur Diaz.
Selama di Jayapura, dia kembali menjadi kondektur untuk membayar uang kuliah dan kos. Belakangan, Diaz mendaftarkan diri masuk menjadi sukarelawan kemanusiaan dan advokasi HAM di Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa. Lumayan, ia mendapat gaji Rp 150.000 per bulan. Dan pada 2009 lalu, banyak warga Papua memintanya menjadi anggota DPR. Diaz terpilih sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan Papua dengan perolehan suara tertinggi. “Menjadi anggota DPR tidak perlu memiliki kekayaan. Rakyat kecil bisa, asal punya konstituen dan perjuangan yang jelas buat masyarakat,” katanya.
Pemerintah Tak Peduli
Bagi Diaz, perjuangannya untuk Papua tidak akan berhenti. Meskipun dia wakil rakyat dari Partai Demokrat, Diaz tidak berhenti mengkritik pemerintah. “Partai hanya kendaraan politik. Saya tidak akan pernah berhenti berteriak saat rakyat Papua masih tertindas,” ujarnya.
Menurut Diaz, pemerintah hanya mengklaim Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tetapi pembangunan tidak masuk ke Papua.
“Dalam sekian banyak pidato Presiden, realisasi tidak jelas. Sasaran yang bisa dirasakan ke mana? Uang Otsus triliunan rupiah, sangat besar jumlahnya. Namun, semua hanya angka di pidato, uangnya tidak jelas ada atau tidak. Tidak jelas digunakan untuk apa dan infrastruktur masih tertinggal. Buktinya, sejak Indonesia merdeka, jalan dari Jayapura ke Wamena saja tidak pernah ada. Belum lagi kesehatan, pendidikan, SDM, semuanya masih tertinggal,” tuturnya.
Bukti dana tidak jelas, lanjutnya, adalah dengan tidak jelasnya dokter, doktor, dan pilot dari putra Papua yang berhasil ‘dicetak’ pemerintah. Kalaupun ada, mereka adalah hasil pendidikan yang dibiayai gereja. Menurutnya, Papua merupakan wilayah kaya. Freeport puluhan tahun mengeruk kekayaan itu dan membawanya ke luar negeri. Sebagian kecil dinikmati petinggi di Jakarta. Sementara, rakyat Papua masih miskin di tanahnya yang kaya. Jangankan membantu rakyat, mendukung tim sepakbolanya pun tidak pernah. Kalau terus begitu, tidak heran banyak warga Papua terus protes dan ingin merdeka.
Diaz Gwijangge
Tempat/Tanggal Lahir:
Mapnduma, 27 November 1974
Istri:
Heriana Nirigi, AMD. PAR
Anak:
1. Desiana V Nuinindi Gwijangge
2. Mathreecia R Sarafina Gwijangge
3. Grace Ester Imanuella Gwijangge
Pendidikan:
- S-1 Antropologi Fisip
Universitas Cenderawasih 2002
Riwayat Pekerjaan:
- Koordinator Advokasi, Litigasi, dan Nonlitigasi Elsham Papua, sejak 2007
- Koordinator Kantor Penghubung Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme–Komoro (LPMAK) Papua di Jayapura
- Anggota DPR RI 2009-2014
Sumber: Suara Pembaruan, 4 Oktober 2010
Ket foto: Anggota DPR RI Diaz Gwijangge (gbr 1) bersama Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Malarangeng di kantor Menpora, kompleks Senayan, Jakarta
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!