pengajar CB Unika Atma Jaya dan Binus University
Enam puluh lima tahun PT Kereta Api Indonesia (KAI) menyimpan borok manajemen yang kronis berakibat banyak nyawa rakyat melayang sia-sia. Sabtu 2 Oktober 2010, pukul 03.00 dini hari WIB, di Stasiun Petarukan Pemalang-Jateng, terjadi tabrakan kereta antara KA Argo Bromo Anggrek trayek Jakarta-Surabaya/Pasar Turi dengan KA Senja Utama Semarang. Sampai Sabtu (2/10) malam sudah 36 orang tewas, puluhan lain luka berat dan dirawat intensif di RS Santa Maria dan RSUD Pemalang (Metrotvnews.com). Petugas Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dan Polda Jateng mengumpulkan data termasuk dari blackbox kereta. Hari yang sama KA Bima jurusan Jakarta-Surabaya menyerempet KA arah Malang di Solo, akibatnya seorang penumpang meninggal.
Mengapa kecerobohan terus terjadi? Padahal baru saja (29 Juni 2010) KA Logawa mengalami kecelakaan di Madiun-Jatim, menewaskan 6 orang, puluhan luka berat dan ringan. Tanggal 18 Agustus 2010, KA Rapih Dhoho jurusan Surabaya-Blitar, tergelincir di dekat Stasiun Jombang/ Jatim, beruntung tidak ada korban jiwa. Sayangnya, korban paling banyak justru rakyat kecil, para pengguna setia KA ekonomi dan bisnis. Sejak tahun 2007 (keterangan pemerintah), terjadi 274 kecelakaan, dengan kategori: tabrakan antara kereta api 2 kasus, anjlok atau terguling 85 kasus (2007), 86 kasus (2008), 52 kasus (2009) dan 34 kasus (2010).
Sementara tahun 2004-2006 dari rilis Koran Tempo 1/2/2007 (wikipedia.org/Sep/2010), menyatakan bahwa periode itu terjadi tabrakan antar-KA sebanyak 21 kasus, KA dengan kendaraan lain 63 kasus, anjlok dan terguling 241 kasus, serta kereta terjebak longsoran tanah 14 kasus. Dan kasus lain yang berhubungan dengan kereta api tiga tahun itu berjumlah 880 kasus. Sudah ratusan nyawa anak bangsa yang sebagian besar rakyat kecil telah melayang sia-sia, sekalipun tidak seberat kasus KA Bintaro Jaya tahun 1987 yang menelan korban tewas 156 orang. Kenyataan itu menggambarkan formula kebijakan politik transportasi kita khusus kereta api, tidak berpihak pada rakyat kecil. Belum lagi kecelakaan penerbangan, pelayaran dan ASDP, bis, dan sepeda motor. Persoalannya, mengapa borok politik transportasi, khususnya perkeretaapian tidak kunjung ada perbaikan?
Buruk manajemen dan pendanaan
Setiap kasus, tidak ada penyebab tunggal. Penyebab menonjol selama ini adalah manajemen, human error, dan usia sarana dan prasarana (infrastruktur). Manajemen seperti penjadwalan tugas masinis, pengaturan sepur, persinyalan, sistem komunikasi, time-schedule, standar kecepatan agar tidak terjadi over-speed (kecepatan tinggi) mengejar waktu seperti kasus KA Logawa. Sebab 3 (tiga) jenis penataan speed KA, yakni di bawah 60km/jam, 60-80km/jam dan 80-120km/ jam disesuaikan dengan kondisi sarana seperti lokomotif, gerbong dan prasarana seperti rel, bantalan, lebar sepur, dan lain. Sementara human error menyangkut kompetensi, kondisi fisik, etos dan disiplin diri, termasuk jaminan kesejahteraan yang layak.
Persoalan lain yang sangat menentukan ialah pendanaan. Pengelolaan dana untuk pembelanjaan KAI dilakukan dalam 3 (tiga) cara, yakni: PSO (public service obligation), IMO (infrastructure maintenance and operation fund) dan TAC (track access charge). PSO sebagai kompensasi biaya yang wajib dikeluarkan pemerintah selaku regulator dari utang beban operasional yang dikeluarkan operator (PT KAI) dalam merawat dan mencari laba (profit). Tetapi untuk tarif KA ekonomi pemerintah menetapkan tarif sesuai daya jangkau masyarakat, subsidi bagi pelayanan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Tetapi dalam praktik sehari-hari masyarakat mengeluhkan buruknya pelayanan KA bahkan indikasi melakukan korupsi, dengan aneka cara seperti membiarkan penumpang berjubel sampai ruang toilet pun ditempati dan dipungut biaya saat kereta berjalan atau menggunakan jasa calo. Sementara IMO adalah pengeluaran wajib oleh pemerintah untuk operasional infrastruktur seperti rel yang dibangun pemerintah sebagai public goods (barang publik). Perawatan rutin rel yang sampai tahun 2009 sepanjang 4.780 km, membutuhkan biaya besar termasuk pergantian bantalan kayu menjadi beton. Sementara PT KAI sebagai operator bertanggung jawab atas maintenance kereta, gerbong, stasiun dan lain. Sementara TAC sebagai kewajiban operator (PT KAI) membayar atas penggunaan prasarana (infrastruktur) KA yang disediakan pemerintah.
Kenyataan, kita masih backlog pemeliharaan atas kurangnya alokasi anggaran dan perawatan sarana dan prasarana (Bappenas, 2009), yang sangat berpengaruh terhadap kualitas sarana-prasarana bahkan operasional. Selain itu, tidak dipisahkan pembiayaan untuk pelayanan (serving) dengan tujuan bisnis, menunjukkan kontrak antara PT KAI dan Kementerian Perhubungan tidak wajar. Persoalannya, apakah pelaksanaan peran pemerintah (Ditjen Perkeretaapian) sebagai regulator dan PT KAI sebagai operator sudah berjalan sesuai UU No 23/2007 tentang perkeretaapian? Dan pertanyaan fundamental, ke mana arah politik transportasi khusus perkeretaapian kita, profit, servis atau keduanya sesuai amanat UU Perkeretapian dan di sisi lain UU No 19/2003 tentang BUMN dan UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Karena itu, hasil investigasi KNKT harus ditindaklanjuti baik pidana maupun audit kinerja Menteri Perhubungan, Dirjen Perkeretapian dan Direktur PT KAI.
Penemuan misi
Direktur PT KAI Ignatius Jonan berjanji membarui pelayanan PT KAI, setidaknya dalam tiga hal, yakni: membangun contact center untuk melayani masyarakat selama 24 jam, pelayanan ramah lingkungan seperti pembaruan sistem, seperti pelayanan toilet kereta, dan peningkatan kualitas SDM dengan mengadakan latihan bagi masinis, kepala stasiun, kondektur dan staf lain (Media Indonesia, 28/9/2010). Apresiasi buat Ignatius, tetapi apa arti perubahan teknis kalau tidak jelas arah dasar pelayanan BUMN ini. Sebab apakah dengan 1.342 buah kereta yang kita miliki, dengan 3.311 gerbong yang ditarik 316 lokomotif yang sebagian berusia tua bahkan warisan Belanda, dapat mewujudkan welfare people dalam politik transportasi khusus perkeretaapian?
Karena itu, pemerintah dan PT KAI harus menemukan kembali misi dan pembagian peran yang jelas sesuai ketiga UU di atas. Pemerintah harus memperbaharui kinerja sebagai regulator, pengendali penganggaran dan pengawasan. Semua fungsi itu harus transparan dan disampaikan ke publik, sebab Kereta Api Indonesia bukan milik swasta atau privat, tetapi public goods. Dengan itu moda yang sudah berusia 134 (sejak diluncurkan pertama kali tahun 1876, trayek Kemijen-Tanggung-Semarang oleh Gubernur Hindia Belanda, Mr LAJ Baron Sloet van den Beele) ini, mampu memerdekakan rakyat dari beban biaya, ketidakamanan, keterlambatan, dan ketidaknyamanan perjalanan. Itulah ciri 'pemerintahan milik masyarakat dan digerakkan misi', dalam tesis David Osborne dan Ted Gaebler (Reinventing Government, 1996).
Sumber: Media Indonesia, 6 Oktober 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!