guru besar Filsafat & Ketua STFT Widya Sasana Malang
"Each consciousness purses the death of the other." - Hegel
Lagi-lagi tenaga kerja wanita Indonesia dianiaya majikan di Arab Saudi. Ia Sumiati. Kakinya hampir lumpuh. Mukanya sembab. Bibirnya digunting. Foto wajahnya mengenaskan.
Yang tak terekam dalam foto itu adalah hujatan, hinaan, dan kata-kata yang melecehkan. Sumiati merintih karena martabat dan keluhurannya sebagai manusia dilenyapkan. Filsuf Hegel menegur, setiap kesadaran manusia hampir selalu mengharapkan kematian liyan. Majikan menganiaya pembantu. Bangsa ini kasihan kepada korban, tapi menampilkan nurani acuh, sepi. Seolah kita melihatnya dan berkata, itu sekadar sebuah nasib. Kesadaran kita pun telah tumpul.
Paradoksal benar perlakuan kita terhadap TKI. Ia atau mereka baru kita kenali sesudah wajahnya babak belur, terpampang di surat kabar. Pengetahuan kita tentang mereka seolah post factum penganiayaan. Jika tidak dianiaya, mereka anonim, tanpa wajah, tanpa nama. Padahal, mereka penyumbang besar perekonomian negeri ini. Kehadiran mereka di tanah asing jadi berkah negara. Menurut Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, sumbangan devisa TKI 2008 Rp 130 triliun (13 miliar dollar AS).
Sebelum penganiayaan seolah tak pernah ada seorang Sumiati. Sumiati tertindas di era poskolonialisme (baca: pasca-penindasan). Ia dianiaya majikan di negeri orang, serta terdepak dari penghargaan dan perlindungan negeri sendiri. Mungkin logikanya demikian: di negeri sendiri tak dihargai, apalagi di negeri orang. Di negara kita TKI identik dengan yang tersisihkan. Mereka tak mendapat pembekalan memadai, tak bisa berbahasa asing, tak difasilitasi secara manusiawi, tak bisa membela diri.
Dia liyan
Liyan adalah konsep ontologis etis. Dalam liyan dipertaruhkan nilai keluhuran manusia. Dalam buku Second Sex, filsuf Simone de Beauvoir menulis, ”One is not born, but made a woman”.
Ungkapan ini mengatakan sebuah protes keras terhadap perlakuan societas kepada perempuan. Menurut De Beauvoir, perempuan itu tak (pernah) ada sampai dia ”dibuat demikian” oleh societas. Perempuan telah lama terdiskriminasi. Perempuan tidak terlahir, tapi ”dicetak”.
Artinya, perempuan sebenarnya teraniaya, terpenjara, terdepak dari segala pengakuan kesederajatan luhur dan indah. Tubuh perempuan bukan miliknya, tetapi milik societas. Ia harus bertindak seturut keinginan societas (laki-laki), untuk sopan santun, menjaga nafsu, dan yang semacamnya. Demikianlah, tubuh Sumiati, seorang nakerwan, seolah bukan lagi miliknya. Societas keji, bukan hanya karena telah menganiaya, melainkan karena tak menghormati kehadiran, kebebasan, keluhuran, dan kesederajatan martabatnya. Tubuhnya seolah jadi pelampiasan kekesalan dan kekejian societas maskulinistik yang arogan.
Ia tak dapat lari dari penindasan, tak seperti laki-laki. Sampai kini, berapa puluh (atau ratus) TKI perempuan yang telah dan sedang dihajar majikannya. Yang paling dramatis penganiyaan keji di Malaysia, Arab Saudi (dan Timur Tengah). Kita mendapati mereka seolah makhluk lemah, menyerah, pasrah.
Analisis De Beauvoir menegur kita. Perempuan telah cukup lama dalam keterkungkungan. Pendidikan pun seolah bukan hak mereka. Kebebasan dan otonomitas jadi barang terlarang. Dengan mudah mereka dimaksudkan societas jadi manusia-manusia yang harus segera mencari laki-laki. Sesudah mendapatkan, mereka kita maksudkan jadi pendamping suami.
Selanjutnya, menjadi manusia yang tak pernah mandiri, melainkan tergantung dan terikat. Mereka ada seakan-akan berada di pinggiran kehidupan sehari-hari. Belum lagi, mereka rentan subyek (tunduk) pada kekerasan, manipulasi, perbudakan, dan penganiayaan di dalam rumah tangga. Tidakkah societas ini telah kejam terhadap perempuan? Lihatlah penganiayaan Sumiati oleh majikannya. Lihatlah reaksi masyarakat yang sepi protes. Tidak seperti kalau merebak isu agama (sekalipun hanya isu kecil). Lihatlah pandangan mata societas. Kita hanya berkata, kasihan. Tidak ada kemarahan protes atas perlakuan yang menginjak-injak kemanusiaan.
Sungguh sebuah ironi. Ironi peradaban negara di mana Sumiati dianiaya. Ironi peradaban juga di negara dari mana Sumiati berasal. Ia teraniaya dan makin parah penganiayaannya oleh kealpaan dan netralitas sikap hati bangsa ini yang tak jelas.
Media pun ramai-ramai menempatkan di berita utama. Sayangnya, mereka telah melupakan wajah Sumiati, produk dari societas korup yang luar biasa. Sosok yang telah jadi penyumbang devisa bagi negara ini telah terkubur wajahnya. Kita mengenalinya baru setelah wajah itu berlumuran darah penganiayaan. Sumiati tampil, hadir, terluka. Ia berjasa. Ia memiliki segala perasaan bangga untuk disebut sebagai manusia, sebagai warga yang bermartabat mulia. Semoga bangsa ini tidak lupa, ada enam juta ”sumiati” lain. Sumiati adalah ”self” (diri) kita, bukan liyan.
Sumber: Kompas, 24 November 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!