Headlines News :

Anas Urbaningrum: Doa Para Pinisepuh Itu Tajam

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, May 31, 2010 | 4:42 PM

Lewat persaingan seru, Anas Urbaningrum berhasil menjadi ketua umum partai. Dia menyi sihkan Andi Mallarangeng, Menteri Negara Urusan Pemuda dan Olahraga, yang semula difavo rit -kan karena dianggap mengantongi "restu" Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Begitu pula Marzuki Alie, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat sekaligus mantan sekretaris jenderal partai, yang dianggap lebih senior.

Kendati berusia muda, 41 tahun, Anas sudah banyak mengecap pengalaman politik. Dia dibesarkan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang melahirkan banyak tokoh nasional. Namun, di arena kongres, riwayat itu sempat muncul dalam nada miring. Anas dianggap disokong tokoh HMI, Akbar Tandjung, bekas Ketua Umum Golkar. Namun dia menepis semua tudingan itu. "Benar-benar fiksi," ujarnya.

Rabu pekan lalu, didampingi beberapa anggota tim suksesnya, Anas berkunjung ke kantor majalah Tempo. Selama dua jam lebih dia bercerita seputar Kongres Partai Demokrat dan menjawab semua pertanyaan dengan tangkas, meski beberapa kali dia meminta jawabannya diperlakukan sebagai informasi latar.

Anda siap untuk posisi lebih tinggi, misalnya menjadi presiden?
Posisi tak selalu menjadi definisi sukses. Definisi substantif dari keberha silan adalah ketika tugas dilaksanakan dengan baik. Jadi, yang paling penting, amanat kongres saya tunaikan sebaik mungkin. Selebihnya berjalan sesuai dengan aturan alam.

Apa karena pemilihan presiden masih jauh?
Tugas pokok ketua umum adalah menyukseskan pemilu legislatif dan presiden. Kongres mematok target 30 persen pemilu legislatif. Angka serius dan sangat tinggi dalam ukuran pemilu multipartai di Indonesia. Kalau pemilu le gislatif berhasil, saya kira itu prestasi sangat luar biasa. Jadi saya berkonsentrasi di sana. Soal siapa calon presiden kan ada rumus standar yang dipahami publik, yakni popularitas dan elektabilitas. Tak mungkin mengajukan calon presiden kalau tak dikenal, disukai, dan dipercaya publik. Siapa orangnya, partai akan menentukan yang tepat dan terbaik melalui kewenangan majelis tinggi.

Apa kunci keberhasilan Anda menjadi ketua umum?
Pelajaran yang bisa dipetik dari kong res adalah dukungan politik kuat serta otentik tak diperoleh secara ins tan. Kalau Anda datang tiba-tiba, dukungan lebih cair dan pertimbangannya bukan otentisitas. Saya merasakan bahwa dukungan itu merupakan kelanjutan atau fungsi kerja politik. Proses itu berlangsung selama lima tahun sehingga ada pertemuan gagasan, pemi kiran, dan cita-cita.

Anda sudah lama menggarap dewan pimpinan cabang?
Kalau dalam arti menggarap untuk kongres, baru tiga bulan menjelang hari-H. Tapi kerja politik berlangsung sejak musyawarah daerah dan cabang. Saya menjalin komunikasi, interaksi, dan silaturahmi, lalu memberikan solusi kalau ada persoalan di tingkat lokal. Dalam bahasa teman-teman di cabang disebut "ada ikatan hati". Ungkapan dari berbagai cabang itu kami sambut dengan tagline, "memimpin dengan hati".

Berapa dana yang Anda keluarkan untuk bertarung di arena kongres?
Saya tak menghitung, karena bagian saya menjadi pengantin. Sebetulnya publik dengan mudah bisa membaca peta, modal Anas pasti tidak besar.

Ada dukungan dari pengusaha?
Ada sahabat membantu, tapi tak punya agenda menagih rekening.

Apa yang membuat Anda berani maju terus pantang mundur, sedangkan sinyal ketua dewan pembina jelas mengarah ke Andi Mallarangeng?
Saya yakin betul apa yang saya kerjakan dalam rangka loyalitas kepada SBY dan kemajuan partai ke depan. Dukungan dewan pimpinan daerah dan cabang juga sudah sampai pada level desakan. Bahkan banyak yang mengancam saya. "Awas kalau mundur dan tak melanjutkan pencalonan, berarti tak sayang dan tak berpikir tentang masa depan partai." Lalu sikap SBY juga jelas. Silakan berkompetisi secara demokratis. Silakan pilih sesuai dengan hati nurani. Yang penting kompetisinya baik. Jadi pegangannya itu.

Ada yang menyebutkan bahwa faktor yang membuat SBY mengerucut ke Andi Mallarangeng adalah ada yang menghubungkan Anda dengan HMI atau Akbar Tandjung?
Ah, itu hanya fantasi, betul-betul fiksi.

Anda menggunakan jaringan HMI untuk menang dalam kongres?
Faktor itu dalam Kongres Partai Demokrat sangat kecil. Bagaimana menjelaskan mayoritas warga Papua mendukung saya; Bali, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur? Atau Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Selatan yang memperoleh suara penuh. Jadi warna-warni.

Dalam suasana paternalistik, orang biasa maju dengan restu. Anda maju sebagai ketua umum karena melihat belum ada pernyataan Ketua Dewan Pembina yang memberikan restu kepada satu calon tertentu?
Karena saya tak dilarang untuk maju. Saya dipersilakan maju.

Anda punya modal sosial untuk menjadi presiden: Jawa, NU, dan HMI, sehingga dianggap "bahaya", dengan asumsi Yudhoyono ingin meneruskan kepemimpinan melalui Ibu Ani....
Pak SBY mempunyai sikap jelas dan tegas soal kepemimpinan 2014. Beliau menegaskan tak akan berpikir untuk maju lagi, bahkan dengan ide amendemen konstitusi. Memang ada pikiran dan aspirasi ke beliau untuk menjaga momentum. Beliau diharapkan tak berhenti pada periode kedua, toh ada jalan konstitusional bernama amendemen konstitusi. Tapi sikap beliau cukup tegas: no, cukup dua periode. Beliau menegaskan yang penting bekerja dengan baik dan meninggalkan legasi kuat. Menjawab aspirasi agar Ibu Negara maju pada 2014, beliau juga mengatakan "tidak", sama seperti alasan pertama.

Ibu Ani belum pernah menyatakan langsung penolakannya?
Ibu Ani dalam pertemuan terbatas malah menyampaikan terima kasih kepada Pak Mubarok yang membuat pernyataan di media. Pak Mubarok menyatakan mustahil Ibu Ani mau. Ibu Ani menyampaikan, "Terima kasih Pak Mubarok sudah membela saya." Itu pernyataannya. Jadi dinamika kongres jauh dari terawangan konstelasi politik dan kepemimpinan 2014.

Ada kabar Anda dipanggil Ketua Dewan Pembina Yudhoyono yang meminta Anda menjadi sekretaris jenderal dengan ketua umum Andi Mallarangeng?
Sebelum deklarasi, saya menghadap beliau, mohon izin dan doa restu. Arahan beliau, silakan maju dan berkompetisi dengan baik. Jangan saling menyerang. Jangan melakukan kampanye hitam. Kongres harus menjadi sarana konsolidasi partai. Itu sikap beliau. Jadi tak pernah dilarang untuk maju. Tak pernah dihalangi berkompetisi. Walaupun beliau punya pendapat.

Anda bertemu dengan mertua Presiden Yudhoyono, Sunarti Sri Hadiyah atau Ibu Ageng?
Saya baru sowan ke Ibu Sepuh pagi hari ini (Rabu pekan lalu). Kurang etis melibatkan keluarga dalam kompetisi kongres, walaupun saya percaya beliau ikut mendoakan. Dan doa beliau terkonfirmasi. Pesan moral Ibu Ageng (sapaan lain Sunarti): jalankan amanah dengan ikhlas. Laksanakan tugasmu sebagai ketua umum dengan lurus.

Anda melihat Ibu Ageng menjadi faktor menentukan?
Doa para pinisepuh itu kan tajam sekali.

Mengapa Anda mundur dari fraksi dan DPR?
Ada prinsip moral dalam memegang amanat yang menjadi pendirian. Saya harus berkonsentrasi penuh waktu, tak boleh sambilan dan setengah-setengah. Karena itu, saya akan berkonsentrasi penuh menjalankan tugas sebagai ketua umum dan konsekuensinya harus berhenti dari Senayan.

Anda cuma menjadi ketua partai, dari mana memperoleh penghasilan?
Saya percaya ajaran yang mengatakan bahwa rezeki dari langit dan bumi sering kali datang tak terduga. Tentu saya punya persiapan pribadi untuk kebutuhan subsisten, rasanya cukup.

Apakah ada mekanisme insentif untuk ketua umum?
Tidak ada ketua umum partai yang digaji. Tapi Demokrat ingin merintis tradisi baru. Minimal memadai secara finansial. Itu sudah menjadi garis kebijakan partai. Rasanya cukup untuk menjamin bahwa roda organisasi partai akan berjalan. Contohnya, dengan pasukan 148 orang di DPR, dengan iuran bulanan sudah cukup untuk biaya operasional DPP.

Urusan partai kan bisa didelegasikan ke sekretaris jenderal. Ada yang menyebutkan Anda mundur dari DPR untuk mempersiapkan pencalonan presiden?
Prinsip moral keputusan ini adalah berkonsentrasi pada tugas. Soal lain, yakni kurang elok ada ketua umum partai menjadi ketua fraksi atau anggota DPR. Sehari-hari harus menjalankan tugas sebagai anggota DPR, berarti sering bolos. Saya tak mau daftar absen di DPR kosong.

Atribut yang selalu melekat pada Anas adalah tokoh muda. Padahal orang memi lih karena kualitas intelektualnya. Anda terganggu selalu dianggap tokoh muda tanpa memandang kualitas?
Kadang muda dalam politik Indo nesia bermakna peyoratif. Dalam dinamika kompetisi di kongres, terasa makna peyoratif itu. Masih terlalu muda, belum berpengalaman, nanti saja, dan seterusnya. Saya lebih nyaman dengan substansi spirit meritokrasi bahwa usia biologis tak selalu menggambarkan usia politik. Jadi sudah waktunya ditanam bibit meritokrasi dalam politik Indonesia. Bagaimana politikus harus tekun dan bekerja. Mau berpayah-payah dari bawah dan berkeringat. Bibit seperti itu harus ditanam dan dipupuk.

Dengan konsep meritokrasi itu, apakah nanti komposisi pengurus partai akan dirombak?
Partai Demokrat memiliki banyak stok kader dengan kompetensi cukup baik di bidangnya. Nah, yang harus di-upgrade sungguh-sungguh adalah jam terbang politik. Saya yakin jam terbang politik tak bisa dibeli di supermarket, tapi butuh proses dan pengalaman lapangan. Dengan stok kader yang ada, rasanya tak akan banyak berubah, justru bertambah. Apalagi struktur dewan pimpinan pusat akan makin besar. Bukan gemuk gembrot, melainkan gemuk sehat dan berisi karena struktur disusun berdasarkan isu dan agenda.

Kalau memilih anak Ketua Dewan Pembina sebagai sekretaris jenderal, apakah yakin konsep meritokrasi itu diterapkan?
Mas Ibas (Edhie Baskoro Yudhoyono) itu punya potensi, kemampuan, dan karakternya humble. Karena itu, potensial untuk didorong dengan cepat. Saya bergaul dua tahun terakhir ini dan merasakan akselerasi kemampuan tinggi. Mas Ibas mudah menyambungkan chemistry dengan banyak teman.

Apakah tak berisiko menaruh orang sangat muda di posisi sekretaris jenderal?
Saya kira sama sekali tak berisiko. Justru kalau kami bisa mengemas dengan baik akan mencerminkan optimisme Partai Demokrat ke depan.

Apakah pasti Ibas akan menjadi sekretaris jenderal?
Saya tak ingin mendahului kerja formatur. Tapi pikiran, gagasan, dan aspirasi Mas Ibas untuk menjadi sekretaris jenderal nyata adanya. Tapi tentu saya harus bicara dengan Mas Ibas. Saya harus bicara dengan Ketua Dewan Pembina dan tim formatur.

Benarkah di arena kongres Ibas pernah mengatakan tak mau menjadi sekretaris jenderal di bawah Anas?
Tim kami belum pernah melakukan pembicaraan atau negosiasi posisi dengan siapa pun. Tapi pikiran menjadikan Mas Ibas sebagai sekretaris jenderal itu berkembang di tim serta peserta kongres.

Ketua tim pemenangan Yahya Sacawirya membelot tapi tak berpengaruh pada hasil....
Sebab, kami tahu ukuran. Misalnya, cabang di Jawa Barat itu intensif komunikasi dengan siapa. Dalam tim kami ada koordinator wilayah dan lapangan di tiap provinsi. Jadi presisi tentang angka itu akurat.

Ada yang menganggap, dengan hasil itu, SBY kalah dua kali. Tafsirnya pada putaran pertama dan kedua?
SBY menang karena Anas kan anaknya juga.

Beberapa anak muda di lingkungan Istana cium tangan kepada SBY. Anda juga melakukannya?
Saya cium tangan pada saat-saat tertentu. Kalau di depan publik tidak, nanti membuat beliau kurang nyaman. Baru kalau pertemuan empat mata. Menurut saya, itu kesantunan Timur. Saya melakukan kepada siapa pun orang tua yang saya hormati. Itu juga bagian dari tradisi kultural yang saya serap sejak kecil.

Kalau ada kritik terhadap SBY, apa kritik Anda?
Kritik dan saran langsung saya sampaikan ke beliau. Saran, masukan, dan kritik bukan hal yang aneh. SBY tak alergi dengan itu. Tapi tentu ada cara yang disebut teknologi politik.
Sumber: Tempo, 31 Mei 2010
Ket foto: Ketua Umum DPP Partai Demokrat 2010-2015 Anas Urbaningrum (gbr 1) bersama keluarga (gbr 2). Foto: dok. google.co.id

Otonomi Daerah NTT: Bangun Kembali NTT yang Tandus (5)

Usaha mengangkat harkat masyarakat Nusa Tenggara Timur dari belenggu kemiskinan tidak cukup dengan mengandalkan peran pemerintah daerah dengan segala keterbatasannya. Persoalan itu hanya bisa diatasi melalui pemberdayaan masyarakat. Jangan terus mengandalkan bantuan. Rakyat juga harus diajak menghadapi kenyataan, diajak memberdayakan diri, bangkit, dan lebih percaya diri untuk melepaskan diri dari belenggu kemiskinan,” kata Frans Amanue, mantan Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Larantuka.

Alam NTT yang cenderung panas memang memberikan tantangan tersendiri. Hampir setiap tahun daerah itu dilanda bencana kekeringan, gagal panen, hingga kekurangan pangan. Sepintas memang tak ada yang bisa dilakukan untuk menaklukkan kondisi alam yang demikian gersang dan tandus itu. Nada pasrah dan menerima bencana yang makin dianggap lumrah itu tersirat dari ungkapan masyarakat NTT tentang singkatan daerahnya, ”Nanti Tuhan Tolong”.

Di tengah kepasrahan yang jamak itu, gerakan pemberdayaan perempuan melalui pengembangan usaha tenun tradisional yang dirintis Yovita Meta (54) seperti menggugah kesadaran sebagian masyarakat NTT untuk bangkit. Mata dunia, semoga juga termasuk mata birokrat dan masyarakat NTT, menjadi terbuka saat kiprah Yovita yang dimulai sejak 1989 itu menuai penghargaan Prince Claus Award dari Kerajaan Belanda pada awal 2004.

”Orang melihat NTT alamnya susah, tanah tandus, panasnya sangat terik, dan selalu saja mengeluh. Saya ingin orang melihat bagaimana panas ini menjadi potensi. Dengan mengembangkan usaha tenun, panas merupakan berkah,” katanya saat ditemui di Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara, pertengahan Mei lalu.

Keprihatinan akan kemiskinan yang dihadapi warga Desa Matabei di Boboki, Kabupaten Timor Tengah Utara, justru mendorong Yovita untuk memberdayakan perempuan di sana melalui usaha tenun kain tradisional. Inisiatif ini muncul karena ia melihat hampir semua kaum perempuan dewasa di sana memiliki keterampilan menenun. Berawal dari pendampingan kepada delapan perempuan, usaha tenun masyarakat di sana pun terus berkembang.

Setelah sekian lama, usaha masyarakat itu berkembang menjadi 34 kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 8-20 perajin. Usaha tenun itu makin berkembang dan telah menghidupi lebih dari 1.700 keluarga atau 4.000 jiwa di tiga kecamatan. Hasil yang bisa dinikmati masyarakat dari usaha tenun itu di antaranya terpenuhinya kebutuhan untuk menyekolahkan anak dan bahkan ada yang bisa digunakan untuk membangun rumah.

Selain mendatangkan manfaat terkait pelestarian budaya, usaha tenun itu secara tidak langsung juga mendorong penghijauan kembali alam yang sebagian tandus. Pasalnya, kelompok penenun juga melakukan penghijauan kembali dengan tanaman yang diperlukan sebagai bahan baku usaha tenun, seperti kapas, mengkudu, dan lamtoro. Kapas untuk bahan baku benang, sedangkan mengkudu dan lamtoro untuk bahan baku pewarna alami. Sedikitnya kelompok penenun dampingannya telah melakukan reboisasi di lahan kritis seluas 50 hektar.

”Potensi daerah ini sebenarnya banyak yang bisa dikembangkan, misalnya periuk tanah serta kerajinan dari daun lontar dan kayu jati. Masyarakat tinggal diajak untuk menggali dan mengembangkan potensi itu serta membantu memasarkannya,” kata Yovita.

Selain Yovita, ada pula kelompok tani di Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, yang berhasil memberdayakan diri dan keluar dari belenggu kemiskinan melalui usaha ternak sapi australia. Memang, sapi yang mereka budidayakan itu awalnya bantuan dari pemerintah. Namun, tanpa inisiatif mengelola secara kolektif, bantuan sapi itu dipastikan tidak akan berkembang, layaknya bantuan serupa yang gagal di daerah lain.

”Sama sekali tak ada pelatihan tentang pemeliharaan sapi. Petugas datang hanya mengirim sapi, ya sudah begitu saja,” kata Ketua Kelompok Ternak Sapi Desa Dikesare Amir Raya (55).

Bantuan 10 ekor sapi betina dan seekor sapi jantan yang diterima akhir 2002 itu dikelola lima warga. Kelompok tani itu bersepakat memelihara sapi dalam satu kawanan karena mereka berpikir tidak mungkin memelihara dan mengembangbiakkan secara terpisah mengingat sapi yang jantan hanya satu. Berbeda dengan kelompok tani lain yang langsung membagi bantuan itu untuk dipelihara masing-masing dan akhirnya tak berkembang dan gagal.

”Setiap anggota diberi tanggung jawab menjaga dan menggembalakan sapi setiap hari secara bergantian,” kata Amir.

Dengan inisiatif pembudidayaan seperti itu, sapi-sapi yang tingginya melebihi orang dewasa itu telah beranak-pinak dan menghasilkan 25 keturunan, 15 ekor di antaranya telah dijual. Saat ini sapi yang dipelihara itu ada 17 ekor.

Soal hasil dari pembudidayaan sapi itu tidak perlu diragukan. Salah seorang anggota kelompok tani, Rahman Boli (62), bisa menguliahkan satu anaknya untuk menempuh pendidikan diploma III di Universitas Cendana (Undana), Kupang, serta satu anaknya yang lain bisa menempuh strata 1 di Undana.

Peran masyarakat sipil

Inisiatif pemberdayaan juga dilakukan sejumlah lembaga nonpemerintah. Lembaga kemanusiaan World Vision Indonesia (WVI), misalnya, lebih dari satu dekade mendampingi kelompok masyarakat di sembilan kabupaten di NTT. Mereka terlibat aktif dan membangkitkan partisipasi warga untuk mengatasi masalah kesehatan, pendidikan, agrikultur, pemenuhan kebutuhan air bersih, infrastruktur, dan pertanahan. Mereka juga memberikan pelatihan kepemimpinan, jender, dan pengolahan pendapatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Gereja juga mengambil peran yang cukup besar dalam pemberdayaan masyarakat NTT. Di Kabupaten Sumba Tengah dan Kabupaten Sumba Barat, Pusat Pembinaan Pastoral dan Sosial (Puspas) Keuskupan Weetebula lebih dari 20 tahun memberikan perhatian kepada putri Sumba yang putus sekolah. Lebih dari 600 putri Sumba, tanpa membeda-bedakan agamanya, dilatih keterampilan tata boga dan busana.

Hasilnya, banyak di antara mereka yang kemudian berwirausaha. Sebagian lagi bekerja di Pulau Bali dan Jawa dengan keterampilan yang lebih memadai.

”Kami prihatin banyak putri Sumba bekerja merantau ke luar pulau tanpa keterampilan memadai. Yang terjadi, tidak jarang mereka kemudian mendapat perlakuan kasar,” kata Wakil Direktur Puspas Romanus Dansus Pr. Sayangnya, program pemberdayaan putri Sumba yang putus sekolah ini terhenti tahun 2008 karena keterbatasan dana yang dimiliki Puspas.

Pelibatan masyarakat dan lembaga nonpemerintah dalam mengatasi persoalan kemiskinan di NTT, seperti dikemukakan Direktur Eksekutif Yayasan Timor Membangun Marthen Duan dan Manajer Program Walhi NTT Herry Naif, menjadi penting di tengah keterbatasan yang dimiliki pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu mendukung inisiatif-inisiatif pemberdayaan yang selama ini dilakukan kelompok masyarakat sipil.

”Kebijakan peningkatan ekonomi daerah melalui program kehutanan, misalnya, jangan sampai justru mengabaikan kedaulatan komunitas adat. Sumber daya alam yang ada perlu dikelola secara bersama untuk kesejahteraan masyarakat, bukannya justru memarjinalkan mereka dari tanah ulayatnya,” kata Marthen.

Di sisi lain, menurut Herry, diperlukan kebijakan pembangunan dari pemerintah setempat yang lebih konsisten memerhatikan kelestarian ekologi NTT. Program kesejahteraan melalui pengembangan pertanian dan peternakan, misalnya, sulit disandingkan dengan kebijakan mengeksploitasi barang tambang.

”Tidak bisa menggalakkan jagung di satu sisi, tetapi di sisi lain pemerintah juga membuka investasi tambang di daratan yang sama, sementara wilayah NTT yang sangat kecil ini rentan bencana. Kalau mau meningkatkan kesejahteraan, intensifkan pertanian dan perbaiki ekologi dengan pelibatan aktif masyarakat,” katanya.

Masyarakat NTT memang perlu diberdayakan. Sejalan dengan itu, Manajer Hubungan Eksternal Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng mengatakan, pemerintah daerah juga perlu meningkatkan kapasitasnya. Pemerintah daerah harus bisa memanfaatkan momentum otonomi untuk memberikan pelayanan yang lebih baik bagi rakyatnya.

Otonomi daerah di NTT memang sepatutnya tidak menjadikan birokrat setempat malah layaknya raja yang berkuasa dengan perilaku korup di tengah derita rakyatnya yang miskin. (C Wahyu Haryo PS/Kornelis Ama Kewa)
Sumber: Kompas, 31 Mei 2010
Ket foto: Kelompok tani di Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, berhasil keluar dari belenggu kemiskinan melalui usaha ternak sapi asal Australia. Ternak sapi itu awalnya bantuan dari pemerintah yang mereka kelola secara kolektif. Tampak warga tengah membenahi pagar untuk kandang sapi, pertengahan Mei lalu.

Rekonstruksi Budaya Politik Baru

Oleh Viktus Murin
Tim Asistensi Kemenpora RI

Gemuruh demokrasi berskala lokal menandai perjalanan tahun 2010 ini di seantero negeri. Sebanyak 244 daerah di sebaran wilayah 32 propinsi, termasuk NTT, akan melangsungkan pemilihan kepala daerah (pemilu kada) pada tahun ini, terdiri dari 237 daerah kabupaten/kota untuk memilih bupati-wakil bupati dan walikota-wakil walikota, selebihnya tujuh propinsi melaksanakan pilkada gubernur dan wakil gubernur. Jumlah pilkada sebanyak ini tentu saja memberikan resonansi politik yang cukup bergemuruh, namun tidak otomatis menjadi indikator keberhasilan proses pelembagaan demokrasi di negeri ini.

Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India, Indonesia masih perlu menata lakon berdemokrasi menuju budaya demokrasi yang lebih bermartabat. Pilkada langsung yang untuk pertama kalinya digelar pada tahun 2005, harus diakui merupakan loncatan dalam sistem demokrasi Indonesia sebagai buah dari reformasi (Lihat buku Geliat Demokrasi di Kampung Halaman; Kado 10 Tahun Otonomi Lembata; Viktus Murin; 2009; halaman 20).

Seiring dengan semakin banyaknya pemekaran daerah propinsi dan kabupaten/kota, maka bertambah semarak pula penyelenggaraan pemilu kada, kendati muara dari pemilu kada itu belum mampu menghantar rakyat memasuki gerbang kesejahteraan. Otonomi daerah yang diikuti pemilu kada langsung, dalam banyak contoh kasus justru muncul sebagai hal yang ironis, mengingat kesejahteraan rakyat tidak beranjak naik. Di banyak daerah, lebih-lebih di kawasan timur Indonesia, pemerintahan hasil pemilu kada justru tampak asyik melayani dirinya sendiri, terbukti dengan alokasi anggaran yang timpang di mana anggaran belanja pemerintah jauh lebih besar dibandingkan dengan belanja publik.

Kendati gemuruh pilkada terus terdengar di seantero negeri ini, namun dari perspektif demokrasi substansi, praksis pemilu kada di negeri ini belum benar-benar merepresentasikan kemajuan budaya berdemokrasi. Ironisnya, yang justru lahir dari sebagian besar pemilu kada adalah kecenderungan munculnya raja-raja kecil di daerah, perkoncoan penguasa dengan pelaku bisnis berbau kronisme, politisasi sentimen wilayah berbasis sub-sub etnik, oligarki partai politik, dan tingkah pola elite penguasa yang bertentangan dengan akal sehat publik. Hal ini tentu saja ironis lantaran bertentangan dengan tekstur politik demokratis yang menjadi cita-cita reformasi.

Ironi yang tidak kalah 'hebatnya' adalah fenomena mengguritanya rezim keluarga atau dinasti politik kekuasan berbau nepotis. Hari-hari ini kita mendapati berbagai fenomena rezim keluarga yang agak menggelikan terkait dengan gawean pemilu kada di sejumlah daerah. Ada bupati yang sudah dua periode menjabat, mulai pasang ancang-ancang untuk 'turun kelas' menjadi wakil bupati demi menghantar anaknya menjadi bupati. Ada istri bupati petahana (incumbent) yang maju menjadi lawan tanding suaminya. Ada istri bupati yang maju melawan istri lainnya dari sang bupati yang sama. Ada kakak-beradik maju ke arena pemilu kada sebagai lawan tanding. Ada anak maju berhadapan dengan ibundanya demi meraih kekuasaan bergengsi sebagai kepala daerah (Kompas, 19 April 2010; Rezim Keluarga di Pilkada).

Hari-hari ini, kita pun mendapati fenomena artis yang mengandalkan popularitas tanpa kompetensi. Sejumlah artis, termasuk artis yang suka tampil 'panas' di panggung hiburan ikut meramaikan bursa pemilu kada. Tren artis yang menyeberang ke politik memang tidak terhindarkan di era reformasi sekarang ini, karena euforia membuat siapa pun merasa bisa menjadi apa saja. Benarlah bahwa setiap warga negara, termasuk artis, memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Namun, apakah artis yang tidak punya kompetensi di bidang pemerintahan, katakanlah kompetensi berorganisasi, secara serta-merta berhak menjadi kontestan pemilu kada? Kemunculan artis 'panas' di panggung pemilu kada membuat Mendagri Gamawan Fauzi harus mewacanakan aspek moral sebagai salah satu syarat bagi kontestan pemilu kada, mengikuti syarat kompetensi di bidang pemerintahan (Kompas, 17 April 2010 halaman 3; "Calon Kepala Daerah Tidak Cacat Moral").

Kiranya dipahami bahwa setiap jabatan publik yang disandang selalu mengandung konsekuensi pertanggungjawaban total kepada publik. Hal mana demi menegakkan akuntabilitas publik, mengingat dana publik yang telah digunakan negara untuk membayar gaji setiap pejabat publik. Untuk itu, seorang artis yang sudah menjadi pejabat publik harus total melakoni tugas-tugas publiknya sesuai periodisasi jabatan yang melekat pada jabatannya. Dengan demikian, ia harus rela melepaskan job-job keartisannya di panggung hiburan. Ketidakpatuhan artis pada panggilannya sebagai pejabat publik, tentunya akan merusak kewibawaan lembaga publik yang sedang menaunginya. Publik akan memandang sinis artis yang sudah menjadi pejabat publik tetapi masih nyambi di panggung hiburan, karena seolah-olah gaji yang diperoleh dari negara tidaklah cukup sebagai penghasilan.

Bertalian dengan fenomena artis yang muncul dadakan di pentas politik, kita patut menggugat pola kaderisasi di tubuh partai politik. Kebiasaan partai-partai yang cuma mengandalkan popularitas artis merupakan perjudian politik yang amat berisiko. Popularitas memang diperlukan dalam kompetisi politik, namun popularitas tanpa kompetensi adalah kenaifan. Mengobral ketokohan artis sambil berasumsi bahwa hal itu akan mendongkrak perolehan suara, tidak hanya telah merusak sistem kaderisasi partai, tetapi telah mengerdilkan partai sebagai infrastruktur politik yang bertugas merekrut calon-calon pemimpin bangsa.

Krisis etika

Sejak reformasi bergulir, muncul gejala masif yang menghantui perilaku kehidupan bangsa Indonesia, yakni gejala krisis etika. Euforia yang muncul akibat terbukanya kotak pandora reformasi membuat bangsa ini terjebak dalam situasi benang kusut penegakan etika, sehingga nyaris tak tahu dari mana lagi harus mengurai benang kusut yang membelit pranata etika itu. Dalam buku Etika Politik; Pandangan Seorang Politisi Islam; Faizal Baasir, Sinar Harapan 2003, pada kolom pengantar, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA menulis: "Hampir tidak ragu lagi, kemerosotan etika politik merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia sejak bermulanya masa 'reformasi' menyusul jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya pada Mei 1998. Kemerosotan etika politik pada masa reformasi itu bisa dilihat dalam berbagai kecenderungan dan indikasi, mulai dari semakin meluasnya tindakan-tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), money politics, sampai demonstrasi-demonstrasi massa yang tidak mempedulikan etika politik, yang kemudian bukan tidak sering out of control berubah menjadi anarkhi.

Semua gejala ini tambah memrihatinkan ketika suara-suara yang mengimbau penegakan kembali etika politik 'seperti batu jatuh ke lubuk', hilang tanpa bekas." Ada pun krisis etika dalam konteks politik kekuasaan itu lazim tergambar dalam wujud pragmatisme politik. Sosiolog, Ignas Kleden, pun menulis demikian: "Pragmatisme politik terjadi ketika politik kekuasaan mencari kesibukannya sendiri, sambil tidak mengindahkan pada tujuan perkembangan masyarakat yang berdasarkan pada nilai-nilai yang bersifat azasi. Pada saat seperti inilah politik menjadi pragmatis" (Lihat buku Masyarakat Indonesia Abad XXI, Peringatan 36 Tahun Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia; Editor A.Muhaimin Iskandar; 1996, Halaman 41).

Di tengah era modernitas yang terus bergerak, para politisi dituntut selalu mengedepankan rasionalitas politik berbasis etika. Artinya, etika harus melandasi setiap tindakan politisi di ruang publik guna menginternalisasi pendidikan politik dan pencerahan demokrasi, bukan hanya untuk masyarakat, tetapi sekaligus untuk para politisi sendiri. Di tengah masyarakat moderen yang mensyaratkan pranata kehidupan yang lebih rasional, tertib, dinamis, dan elegan, tidak boleh ada lagi lahan bagi praktek politik machiavelian, yakni politik yang menghalalkan segala cara alias tujuan menghalalkan cara.

Money politics

Penghayatan terhadap etika politik seharusnya merupakan hal prinsip bagi setiap pelakon demokrasi, tidak terkecuali bagi para kontestan pemilu kada. Pertarungan politik dalam pemilu kada hendaknya dilihat sebagai kompetisi demokrasi yang wajar, normal, dan biasa-biasa saja (Lihat buku Geliat Demokrasi di Kampung Halaman; Kado 10 Tahun Otonomi Lembata; halaman 6). Dalam pada itu, pemilu kada hendaknya tidak dilakoni sebagai pertarungan politik yang bersifat habis-habisan guna menggapai puncak kekuasaan, melainkan sebagai pintu masuk pengabdian total kepada rakyat.

Keruntuhan etika politik sebagaimana dirasakan sejak awal reformasi hingga sekarang ini, mengharuskan kita untuk kembali berjuang untuk melakukan rekontruksi (membangun kembali) budaya politik baru, dengan mencontohi budaya politik yang telah ditumbuhsuburkan oleh para pendiri bangsa (the founding fathers), pada era generasinya Bung Karno-Bung Hatta, yang selalu menjunjung tinggi prinsip keimanan (religiositas), patriotisme, sikap moderat, toleran pada perbedaan, kecerdasan ide, kebesaran jiwa dalam bermusyawarah, dan memegang teguh prinsip kearifan-kearifan lokal di nusantara.

Seiring munculnya politisi-politisi muda usia dari generasi baru, akankah lahir pula budaya politik baru sebagai antitesa budaya politik lama yang konservatif, feodal, dan hegemonik sebagaimana diperankan politisi-politisi tua dari generasi lama? Kehendak kolektif untuk melahirkan budaya politik baru, sudah seharusnya tumbuh dari kesadaran kolektif para politisi muda, yang eksistensinya tidak tersangkut langsung dengan budaya politik lama yang kontraproduktif. Politik, baik itu politik kekuasaan maupun kondisi sosial politik bukanlah sesuatu yang berada dalam ruang hampa sosial. Oleh sebab itu, setiap pelakon politik seharusnya menyadari bahwa politik selalu berkorelasi dengan suatu keseluruhan (totalite), bahkan bersenyawa dengan denyut kehidupan kolektif masyarakat.

Sehubungan dengan penyelenggaraan pemilu kada di 244 daerah sepanjang tahun 2010 ini, masyarakat tentu berharap agar seluruh proses pemilu kada dapat berlangsung secara bermartabat dalam koridor budaya politik baru. Dalam konteks inilah, pemartabatan pemilu kada itu dapat diejawantahkan oleh setiap kontestan pemilu kada melalui sikap-sikap berikut. Pertama, menghargai hak setiap orang untuk maju mengikuti kompetisi pemilu kada sebagai penjelmaan hak untuk memilih dan dipilih yang dimiliki oleh semua warga negara tanpa kecuali. Kedua, mematuhi seluruh persyaratan dan tahapan resmi pemilu kada dengan cara tidak melakukan kampanye dini atau mencuri start, apalagi dengan menyalahgunakan fasilitas pemerintahan atau kedinasan. Ketiga, menjauhkan diri dari model persaingan yang tidak sehat seperti melakukan kampanye hitam (black campaign) dan pembunuhan karakter (character assassination) terhadap kompetitor atau lawan tanding. Keempat, menolak politik uang (money politics) karena tindakan tersebut tidak hanya mencederai substansi demokrasi, tetapi justru telah merendahkan martabat rakyat mengingat kedaulatan rakyat seolah-olah bisa dibeli seharga lembaran-lembaran uang. Kelima, memaknai bahwa kekuasaan adalah sarana untuk mengabdi pada kepentingan publik, dan bukannya menjadi tujuan untuk penikmatan kekuasaan itu sendiri.
Sabtu, 29 Mei 2010 | 20:43 WIB

Mgr. J Pujasumarta, Pr: Pergi dan Layani yang Lain

Written By ansel-boto.blogspot.com on Saturday, May 29, 2010 | 3:34 PM


Pergilah dan layanilah seorang akan yang lain! Hal itu disampaikan Uskup Keuskupan Bandung Mgr J Pujasumarta, Pr dalam Perayaan Ekaristi Tahbisan 24 diakon di Kapel St Paulus, Seminari Tinggi St Paulus Kentungan, Yogyakarta, Sabtu, 10/4.

Para diakon berasal dari beberapa keuskupan, ordo, dan kongregasi seperti Keuskupan Agung Semarang, Keuskupan Purwokerto, Ordo Serikat Jesus (SJ), Kongregasi Para Misionaris Keluarga Kudus (MSF), Kongregasi Cordis Mariae Filius/Para Misionaris Claretian (CMF), dan Kongregasi Sacrorum Cordium Iesu et Mariae (SSCC).

Perayaan ekaristi tahbisan bertema Layanilah Seorang Akan yang Lainnya (1 Petrus 4:10), Mgr Pujasumarta menjadi selebran utama. Ia didampingi Rektor Seminari Tinggi St Paulus, Romo Fl Hartosubono, Pr dan Rektor Kolese Ignatius, Romo Fl Hasto Rosariyanto, SJ. Sekitar 500 umat ikut ambil bagian.

Menurut Mgr Pujasumarta, para diakon telah menyatakan kesediaannya untuk mewartakan karya keselamatan Tuhan. Hal ini dibuktikan dengan kesediaan mereka untuk mau ditahbiskan dalam perayaan tersebut.

“Allah menghendaki agar karya keselamatan-Nya terus berlangsung melalui orang-orang yang Ia panggil demi pelayanan satu sama lain,” ujar Mgr Pujasumarta. Mantan Vikaris Jenderal (Vikjen) Keuskupan Agung Semarang ini menambahkan, pelayanan adalah buah dari rahmat Roh Kudus yang mengorbankan hidup seseorang dalam persekutuan dengan Kristus dan dengan sesama. Oleh karena itu, seorang diakon harus bisa melayani umat dan orang-orang yang ia jumpai.

“Menjadi diakon adalah hidup yang bersekutu dengan dan menyerupai Kristus, Sang Diakon Agung demi pelayanan kepada sesama. Dalam pelayanan seorang kepada yang lain itulah hidup Ilahi menjadi nyata di tengah-tengah kehidupan dunia ini,” katanya lebih lanjut.

Keteguhan dan Iman

Pada bagian lain, menurut Mgr Pujasumarta, dewasan ini dunia sedang dilanda oleh berbagai cobaan dan pergolakan. Menyikapi kenyataan tersebut maka dibutuhkan keteguhan dan iman yang kuat untuk bisa bertahan melayani umat dan sesama.

Oleh karena itu, Mgr Pujasumarta juga berpesan agar para diakon yang baru ditahbiskan ini bisa melaksanakan dan mewartakan karya keselamatan-Nya di tempat di mana mereka berkarya. Umat yang hadir juga diajak untuk selalu mendoakan dan menyapa para diakon agar bisa menjalankan tugas-tugas mereka semaksimal mungkin.

Perayaan ekaristi tahbisan membawa sukacita bagi keluarga dan para diakon. Diakon Yosep Pati Mudaj, MSF, misalnya, mengungkapkan rasa syukur dan gembira kepada Tuhan karena cinta dan Karya Agung-Nya menyata dalam keluarganya.

Tahbisan diakon, ujar diakon dari kampung Kluang, Desa Belabaja, Dekanat Lembata, NTT, sungguh merupakan karunia Allah yang sangat besar yang telah bekerja atas dirinya selama ini.

“Sungguh sukacita Tuhan telah kami terima pada hari ini. Tugas pelayanan telah kami terima dan akan kami wartakan untuk sesama. Saya akan melanjutkan misi saya di Kalimantan. Semoga saya dapat menjalankan semua tugas dan karya saya dengan baik,” ujar diakon Yosep, anak sulung pasangan petani kecil Paulus Raden Mudaj dan Kristina Tige, ini.

Diakon Yosep menyampaikan terima kasih kepada para imam yang telah membimbing dan mendidiknya selama ini. Ia berharap agar semua diakon yang ditahbiskan dapat menjalankan tugas dan karya mereka untuk mewartakan Karya Agung ini. “Sapaan doa tentu menjadi kekuatan bagi kami dalam menunaikan tugas kami selanjutnya demi Keagungan nama-Nya,” katanya.

Suasana tahbisan menjadi semarak dengan koor dan iringan musik dari Kongregasi MSF, Seminari Tinggi Angin Mamiri, dan Seminari Tinggi St Paulus Kentungan, Yogyakarta. (Ansel Deri/Pius Lima Klobor)

Ket foto: Mgr J Pujasumarta, Pr didamping Romo Fl Hartosubono, Pr dan Rektor Kolese Ignatius, Romo Fl Hasto Rosariyanto, SJ berfoto bersama para diakon tertahbis usia Misa Tahbisan. Foto: HIDUP/Pius Lima Klobor

24 diakon yang ditahbiskan:

Keusukupan Agung Semarang

Fr. Vincentius Bondhan Prima Kumbara
Fr. Yuvensius Denny Sulistiawan
Fr. Yoseph Nugroho Tri Sumartono
Fr. Agustinus Agus Widodo
Fr. Aloysius Dwi Prasetyo
Fr. Yohanes Gunawan
Fr. Antonius Hadi Cahyono
Fr. Dominikus Sukristiono
Fr. Aloysius Triyanto

Keuskupan Purwokerto
Fr. Yohanes Deddy Setiawan
Fr. Vincensius Ferrer Dimas Martin Yuniar

Ordo Serikat Yesus
Fr. Stefanus Bagus Aris Rudyanto, SJ.
Fr. Paulus Bambang Irawan, SJ.

Kongregasi Para Misionaris Keluarga Kudus
Fr. Albertus Feri Asmarajati, MSF.
Fr. Erdyvide Naha Duhar, MSF.
Fr. Gabriel Ama Maing, MSF.
Fr. Hardianus Usat, MSF.
Fr. Yosep Pati Mudaj, MSF.

Kongregasi Cordis Mariae Filius (Para Misionaris Claretian)
Fr. Irenius Bangun, CMF.
Fr. Damianus Eko, CMF.
Fr. Arkhidius Sifa, CMF.
Fr. Selestinus Panggara, CMF.

Kongregasi Sacrorum Cordium lesu et Mariae (SSCC)
Fr. Kornelis Arundati Gaga, SSCC.
Fr. Oscar Jegaut, SSCC.
Sumber: HIDUP edisi 30 Mei 2010 (naskah asli)

Perburuan Paus Lamalera, Tradisi Dunia

Cuaca pagi itu begitu mendung. Awan gelap menutupi Laut Sawu. Namun, tanpa diduga, kawanan paus (Physeter macrocephalus) terlihat. Para awak perahu Fato Kelesa pun segera memutar haluan menuju darat karena perahu itu bukan untuk berburu paus.

Mereka segera mengikatkan kain di ujung bambu sebagai tanda sambil berteriak baleo, baleo, ajakan berburu paus. Para lamafa (pemburu paus) yang ada di pantai pun langsung meluncur dengan peledang masing-masing, perahu khusus yang disiapkan untuk memburu paus.

Lamafa Mateus Daen Ebang yang berada di Peledang Baka Tena dengan berani mendekati salah satu paus. Perahunya berhadap-hadapan sangat dekat dengan kepala paus. Dalam posisi yang sangat berbahaya itu, dengan cepat ia menikamkan tempulingnya, bambu panjang berujung besi panjang tajam berkait, ke ketiak paus, yang merupakan titik lemahnya.

Paus melakukan perlawanan. Namun, setelah mendapat serangan dari lamafa lain dan kena empat tikaman, paus itu tak berdaya. Semburannya sudah bercampur darah. Setelah bertarung sekitar 1,5 jam, paus sepanjang 10 meter dan tinggi 1 meter lebih itu pun akhirnya benar-benar tidak berkutik.

Selanjutnya, paus diikatkan pada salah satu sisi perahu dan ditarik ke darat. Warga setempat yang menunggu di pinggir pantai bersorak. Mereka benar-benar mensyukuri tangkapan itu karena sejak digelar Misa Lefa, pemberkatan laut sebagai tanda tibanya musim melaut pada 1 Mei lalu, mereka belum mendapatkan paus buruan.

”Puji Tuhan, rupanya ini berkat yang diberikan bagi masyarakat di sini bertepatan dengan Hari Raya Pentakosta,” kata tokoh masyarakat Desa Lamalera, B, Aloysius Gneser Tapoona, Sabtu (22/5).

Mengasyikkan

Menyaksikan perburuan paus di Lamalera sungguh mengasyikkan. Selain bisa melihat betapa hebatnya nelayan di sana, kita dapat pula merasakan betapa menyatunya masyarakat dengan alam atau sesamanya.

Tak heran, Kataro Kojima, penulis Jepang yang setiap tahun mengunjungi Lamalera, sangat khawatir tradisi ini tertelan zaman seperti di negerinya. Jepang, sekitar abad XVII, juga melakukan perburuan paus secara tradisional. Namun, tradisi itu kini lenyap karena nelayan di Jepang sudah dilengkapi kapal-kapal modern.

”Lamalera milik dunia, bukan hanya milik Indonesia. Jadi, dunia pun harus menyelamatkan warisan budaya ini. Saat ini tradisi perburuan paus secara tradisional hanya ada di Indonesia dan Kanada. Jadi, kalau ingin melihat atau belajar berburu paus secara tradisional, ya ke Lamalera,” kata Kataro.

Perburuan paus di Lamalera bukan sebuah perburuan barbar untuk memenuhi naluri kebinatangan, melainkan sekadar menaklukkan makhluk yang lebih lemah tanpa batas. Tradisi Lamalera menunjukkan peradaban luhur yang sarat nilai.

Tradisi perburuan paus Lamalera diawali misa arwah yang digelar pada Jumat, 30 April, untuk memperingati arwah nelayan Lamalera yang tewas dalam perburuan paus. Sejak tahun 1970, ada sekitar 30 nelayan yang meninggal. Korban sebelumnya tidak terhitung.

Keesokan harinya, Sabtu, 1 Mei, tepat pukul 07.00 Wita, digelar Misa Lefa. Misa berlangsung di tepi Pantai Lamalera, persis di depan Kapela Santo Petrus, yang diapit 27 rumah adat. Sekitar 200 warga hadir dalam upacara itu.

Seusai Misa Lefa, perahu prasso sapang sepanjang 6 meter dan lebar tengah 1,5 meter didorong 14 pria dewasa ke laut setelah diperciki air berkat oleh Pastor Paroki Lamalera Yacobus Dawan Pr. Pelepasan prasso sapang ini membawa pesan kepada makhluk laut bahwa mereka membutuhkan hewan besar untuk barter di pasar.

Perahu pun mengarungi Laut Lamalera atau Laut Sawu. Sekitar 50 meter dari bibir pantai, layar prasso sapang dinaikkan. Tahun perburuan paus pun dimulai. Tanggal 1 Mei ditetapkan sebagai hari tahun baru nelayan Lamalera.

Menurut Pastor Dr Yan Perason Bataona SVD (67), tokoh kehormatan warga Lamalera, tradisi unik Lamalera ini sudah ada sejak 400-500 tahun silam sebelum gereja Katolik masuk.

Dalam tradisi ini semangat solidaritas terus dipupuk, misalnya melalui pembagian tangkapan. Untuk perburuan kali ini, tangkapan paus dibagikan kepada semua kampung Lamalera yang terdiri atas 1.740 jiwa (466 keluarga). Pembagiannya disesuaikan dengan peran dan strata sosial mereka. Bagian jantung paus, misalnya, untuk yang menikam paus pertama kali dan semua keluarga anggota suku pemilik perahu. ”Saya juga mendapatkan bagian tenarap (ekor) dan fadar (pangkal ekor paus),” kata Kepala Suku Bediona Abel Onekala Beding, yang juga sebagai atamola, arsitek perahu, serta pemilik Peledang Menula Belollo dan Kelulus.

Pada era global yang terbuka ini, warga Lamalera memang tidak bisa menutup diri dari arus luar. Perubahan budaya tak terelakkan. Contoh sederhana adalah cara berpakaian anak-anak remaja. Perempuan Lamalera yang biasanya mengenakan sarung, kefatek, khususnya pada upacara adat, sekarang cenderung mengenakan celana panjang dengan berbagai model.

Dalam konteks itu, mungkinkah tradisi perburuan paus ini bertahan? Menurut tokoh suku Lelaona dan Tuan Perahu Praso Sapang, Martinus Huku, saat ini hanya ada 20 perahu yang masih aktif beroperasi. Jika melihat data 466 keluarga di Lamalera, tidak sampai 5 persen penduduk masih mempertahankan perahu perburuan paus. Apakah ini indikasi mulai pudarnya tradisi tersebut? (Samuel Oktora dan Kornelis Kewa Ama)
Sumber: Kompas, 29 Mei 2010
Ket foto: Sejumlah anak asyik bermain di badan seekor paus (Physeter macrocephalus) sepanjang sekitar 10 meter, yang diburu secara tradisional, di kawasan kampung nelayan Lamalera, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Minggu (23/5).

Otonomi Daerah NTT: Mangan, Berkah atau Bencana bagi NTT? (4)

”Ho mpoi nai (kamu keluar, sudah),” kata Martinus Tili (32) kepada istrinya, Ida Ketraja Alunpa (29), yang tengah hamil tua. Jumat (23/4) menjelang pukul 15.00, sepasang suami istri warga Kelurahan Mobeli, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, itu tengah menambang batu mangan di lubang galian sedalam 2,5 meter.

Fe taheun ember nat poi oke (Kasih penuh ember dulu baru keluar sama-sama),” kata Alunpa, mengabaikan peringatan sang suami. Ia terus memasukkan bongkahan batu mangan ke ember. Sementara sang suami terus menggali lubang menggunakan linggis.

Belum semenit berlalu, salah satu sisi dinding lubang galian roboh. Dari dalam lubang, suara batu dan tanah yang runtuh itu serasa bergemuruh hebat. Detik itu juga terdengar teriakan melengking Alunpa memanggil suami tercinta. ”Tinuuus!”

Sontak Martinus panik. Pandangan matanya menyapu seluruh sudut lubang galian mencari keberadaan Alunpa. Waktu serasa terhenti saat sorot matanya tertuju pada secarik kain baju Alunpa yang tersembul di antara reruntuhan tanah. Sadar sang istri tertimbun reruntuhan tanah, spontan Martinus berteriak histeris dan menghampiri reruntuhan itu.

Tangis histeris Martinus membahana saat kedua tangannya terus bergerak menyingkirkan tanah yang menimbun tubuh sang istri. Histeria Martinus memuncak kala tahu belahan jiwanya tak lagi mengembuskan napas dan denyut nadinya terhenti. Ia terus mendekap erat tubuh istri yang dikasihinya dengan air mata terurai. Hatinya serasa tercabik, tak rela separuh napasnya pergi selamanya bersama buah hati ketiga yang dikandungnya.

Kisah duka itu adalah cermin kisah tragis sebagian warga NTT yang tengah bergumul dengan kemiskinan. Martinus, yang kesehariannya bekerja sebagai tukang bangunan, mencoba mengadu nasib dengan menambang batu mangan agar bisa membiayai persalinan istrinya. Bukan uang yang didapat, justru istri dan bayinya menjadi korban.

Martinus, yang kini tinggal bersama dua anaknya, Frando Tili (5) dan Gideon Tili (3), di gubuk berlantai tanah milik orang lain, bukanlah satu-satunya korban dari pertambangan mangan yang marak di NTT dalam tiga tahun terakhir. Tak ada pendataan komprehensif jumlah korban tewas tertimbun tanah saat menggali di pertambangan mangan milik rakyat. Meski demikian, berdasarkan pantauan dari pemberitaan media setempat, sudah sekitar 30 orang tewas.

Booming tambang mangan di NTT seolah menjadi jawaban atas kemiskinan warga yang disebabkan kondisi alam yang tandus dan kering. Namun, jika ditelisik lebih jauh, rakyat yang membanting tulang untuk menambang mangan tetap saja tak beranjak dari kemiskinan.

”Hasil galeng (menggali) mangan tidak tentu. Kadang su galeng (sudah menggali) lubang lebih dari 2 meter berhari-hari juga tak ada hasil,” kata Petronela (39), perempuan asal Kampung Oenopu, Desa Teba, Kecamatan Biboki Tanpah, yang ditemui di areal pertambangan rakyat yang berada dalam radius kurang dari 7 kilometer di depan Kantor DPRD Timor Tengah Utara (TTU).

Di lokasi itu, puluhan warga membuat lubang di perbukitan untuk mendapatkan mangan. Mereka tak hanya warga setempat, tetapi juga warga daerah lain yang datang berbekal nekat dan kantong pas-pasan. Di sana mereka tinggal di tenda, tidur di tanah yang beralaskan selembar tikar, dan makan seadanya. Tak jarang di antara mereka jatuh sakit, terutama anak balita, anak-anak, dan kaum perempuan yang ikut menambang.

Di tengah kondisi yang memprihatinkan itu, penambang senantiasa dihantui risiko tertimbun lubang galian. Pasalnya, penambangan yang mereka lakukan sangat tradisional dan tidak memerhatikan aspek keselamatan kerja. Jika mereka sampai tertimbun, tidak ada satu pun yang bisa dimintai tanggung jawab. Tidak seorang pun yang menjadi ”ketua” kelompok penambang ataupun cukong yang membeli hasil tambang mereka. Padahal, cukong dan perusahaan tambang yang membeli mangan itu yang banyak mendapat keuntungan dari tambang di sana.

Hingga sebulan lalu, batu mangan dibeli dari penambang seharga Rp 350-Rp 400 per kilogram. Cukong itu lantas menjualnya ke perusahaan pemilik kuasa pertambangan setempat atau pemodal besar dari luar seharga Rp 1.500-Rp 1.700 per kilogram. Keuntungan luar biasa besar yang diambil di tengah kondisi tragis rakyat yang menambang.

Mutu mangan di NTT sangat baik dengan kandungan 45-50 persen. Hal ini diakui Huang Qing Qiang, investor asal daratan Tiongkok yang lebih dari 10 tahun malang melintang menggeluti usaha perdagangan barang tambang di Indonesia. Ia tinggal di Indonesia.

Saat bertemu di pesawat dalam perjalanan dari Jakarta ke Kupang, Sabtu (8/5), Huang Qing Qiang mengaku, selama ini dirinya menjalin relasi dengan sejumlah pejabat polisi di berbagai daerah saat membeli barang tambang. Kedatangannya ke NTT juga atas rekomendasi pejabat polisi dari daerah lain dan akan bertemu dengan sejumlah polisi yang memiliki tambang mangan di Pulau Timor.

Belum disikapi arif

Potensi tambang mangan di NTT ditengarai memang besar dan tersebar di seluruh kabupaten. Sayangnya, potensi yang demikian besar pada era otonomi daerah disikapi secara tidak arif oleh pemerintah daerah. Sejumlah pemerintah kabupaten seperti berlomba-lomba mengeluarkan izin kuasa pertambangan ataupun pertambangan rakyat tanpa memerhatikan dampak lingkungan serta dampak sosial dan ekonomi bagi warganya.

Berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi NTT, hingga Mei 2010, terdapat 319 kuasa pertambangan di provinsi itu. Data tersebut belum final karena tak semua pemerintah kabupaten/kota melaporkannya kepada pemerintah provinsi.

Sebagian pemkab juga terkesan menghalalkan segala cara untuk menarik keuntungan dari penerbitan izin. Bahkan, ada juga yang memanipulasi izin sehingga seolah-olah diterbitkan sebelum kewenangan mengeluarkan izin tambang itu ditarik kembali oleh pemerintah pusat pada 2009. Fenomena ini dijumpai di Kabupaten TTU hingga DPRD setempat berinisiatif membentuk Panitia Khusus untuk Pertambangan Mangan.

”Modusnya, tanggal penerbitan izin dibuat seolah-olah dikeluarkan pada 2008. Padahal, temuan kami, akta pendirian perusahaan baru ada pada 2009. Taruhlah penerbitan izin benar dilakukan tahun 2008, anehnya pendapatan daerah dari penerbitan izin itu tidak ada dalam laporan APBD,” kata Ketua Pansus Hendrikus Frengky Saunoah.

Sejauh ini ada 82 izin pertambangan yang diterbitkan Pemkab TTU. Sebanyak 15 izin berupa kuasa pertambangan rakyat dan sisanya kuasa pertambangan eksplorasi bagi perusahaan. Kesimpulan sementara Pansus, tidak ada satu pun izin yang diterbitkan itu melalui prosedur atau tahapan yang benar. Areal konsesi 82 izin tambang yang mencapai 92.000 hektar itu dipastikan ada yang tumpang tindih dan menyalahi peruntukan pada tata ruang wilayah.

Izin pertambangan juga ada yang dikeluarkan di atas tanah kelola milik masyarakat setempat hingga sering kali menimbulkan konflik. Direktur Eksekutif Yayasan Timur Membangun Marthen Duan menyatakan, hal ini menunjukkan kebijakan pemerintah setempat abai terhadap kedaulatan komunitas adat.

Seluruh izin yang diterbitkan baru sebatas eksplorasi, tetapi kenyataannya ada pemilik izin yang menampung hasil tambang ilegal di luar areal konsesinya. (C Wahyu Haryo PS/Kornelis Kewa Ama)
Sumber: Kompas, 29 Mei 2010
Ket foto: Kelompok penambang di Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, rentan terkena reruntuhan tebing galian tambang. Risiko itu tidak sebanding dengan hasil yang mereka peroleh. Gambar diambil Selasa (11/5).

Kelangkaan Paus dan Pertikaian Lamalera

Sabtu pagi, pada awal bulan Mei. Dari sebuah pantai mungil Dusun Lefo Bela. Perahu praso sapang melesat ke Laut Sawu. Berjuta harapan sekembalinya ke darat, perahu akan membawa berita baik. Namun, kegetiran batin justru mengguncang.

Para awak di perahu itu tidak menemukan tanda-tanda adanya paus, bahkan ikan besar lain, seperti hiu atau pari. Paus yang biasa diburu adalah paus sperma (Physeter macrocephalus). Masyarakat setempat menyebutnya koteklema.

Ini berbeda dengan pengalaman tahun 2007. Masyarakat nelayan tradisional di Desa Lamalera A maupun Lamalera B, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, itu amat bergembira. Seusai diadakan pemberkatan laut dengan misa Lefa dan praso sapang diluncurkan sebagai tanda awal perburuan paus, empat paus langsung berhasil ditangkap.

Masyarakat Lamalera akhir- akhir ini memang mengeluhkan tangkapan paus yang cenderung menurun. Tahun 1930-1960-an, mereka dapat menangkap 30-40 ekor per tahun. Tahun 1969 bahkan ditangkap 56 ekor. Namun, seiring perjalanan waktu, paus yang ditangkap terus menurun menjadi 10-20 ekor per tahun. Tahun 2008 hanya ditangkap enam ekor, tahun 2009 dua ekor. Tahun 2010 ini mereka pun cemas.

Hipotesis Ketua Jurusan Perikanan dan Kelautan Universitas Nusa Cendana Kupang Franchy Christian Liufeto, penurunan hasil tangkapan paus disebabkan oleh dua hal. Pertama, pengaruh pemanasan global yang mengakibatkan suhu permukaan air laut meningkat dan mengganggu rantai ekologi. Migrasi paus pun menurun karena keterbatasan ketersediaan makanan di kawasan perairan Lamalera.

Kedua, populasi paus menurun oleh perburuan yang terus meningkat seiring makin tingginya kebutuhan nelayan yang didorong aktivitas pariwisata.

Menurut keterangan Kepala Subdinas Produksi Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lembata Agustinus D Kedang, jumlah paus yang berhasil diburu tidaklah sedikit. Selama 22 tahun sekitar 475 paus yang ditangkap. Padahal, kemampuan mamah biak paus sperma tergolong lambat. Paus ini baru bisa berkembang biak setelah usia 20 tahun dan usia hidupnya sekitar 77 tahun.

Kondisi ini juga yang mendorong adanya konservasi guna melindungi mamalia laut itu dari kepunahan. Mulai tahun 2008, wacana konservasi Laut Sawu sudah gencar disosialisasikan di Lembata, salah satunya oleh World Wide Fund for Nature (WWF).

Namun, program konservasi ini mendapat tentangan sebagian masyarakat. Program konservasi ini bahkan dianggap telah memicu konflik komunitas nelayan, antara yang pro dan kontra. ”Apa pun namanya, kami tetap menolak konservasi. Kalau menerima program itu, kami akan tersingkirkan. Lamalera akan mirip dengan Selandia Baru. Di sana paus tidak diburu, tetapi hanya menjadi atraksi wisata,” kata Kepala Suku Bediona Abel Onekala Beding.

Abel menegaskan, perburuan paus yang dilakukan masyarakat nelayan Lamalera tidak membabi buta karena menggunakan perahu tradisional. ”Untuk berburu paus pun di waktu tertentu saja, yaitu dari pagi sampai pukul 14.00. Selebihnya, meski paus muncul, nelayan tidak akan mengejar,” kata Abel.

Masyarakat Lamalera juga tidak berburu pada hari Minggu karena gereja Katolik mengajarkan hari Sabat sebagai hari perhentian. Paus yang diburu juga hanya jenis paus sperma. Seguni jarang diburu karena sangat ganas, sedangkan paus biru diyakini sebagai penolong. Masyarakat Lamalera juga menghindari paus yang sedang bunting dan anak-anak paus.

”Rencana LSM itu sama dengan upaya menghapus suku Lamalera dari Pulau Lembata. Identitas kami akan punah dan nama Lamalera sebagai pemburu paus tradisional tinggal cerita,” kata koordinator tiga suku besar Lamalera, Apolonarius Korohama Blikololong, di Lamalera, Senin (3/5).

Terabaikannya ritual

Masyarakat setempat menilai, upaya konservasi itu justru memicu konflik antarkelompok yang pro dan kontra. Kedekatan LSM dengan suku tertentu melahirkan kecurigaan. Isu-isu saling menjatuhkan dan membenarkan diri berkembang tak karuan. Konflik antarkelompok ini pun pada akhirnya berdampak pada tidak bisa dilaksanakannya ritual adat dan hal ini pun dipercaya yang membuat ikan paus tak datang lagi ke Lamalera.

Tuan tanah Marsianus Dua Langowujon, misalnya, mengatakan, tahun ini upacara misa Lefa, misa arwah, dan pelepasan prasso sapang tidak diawali pemberian sesaji kepada leluhur (Ie Gerek). Padahal, ritual itu sangat penting.

Ritual ini dilakukan di sebuah batu paus-batu hitam besar mirip paus (Sora Tare Bala, kerbau bertanduk gading) yang terletak di Dusun Lamamanu, di puncak Gunung Labalekang, sekitar 3 kilometer dari pusat Desa Lamalera A. Seekor ayam jantan warna merah, sirih pinang, tembakau, beras merah, dan telur ayam biasanya disajikan dalam upacara itu. Gong keramat pun dibunyikan di bukit itu untuk memanggil para arwah.

”Utusan dari suku Bataona tidak datang menyampaikan berita kepada kami sehingga ritual Ie Gerek tidak dapat dilaksanakan,” kata Marsianus.

Diduga permasalahan Ie Gerek itu juga merupakan letupan akibat konflik yang dipicu wacana konservasi Laut Sawu yang digulirkan WWF. Hal itu pun diakui Marsianus. Ia dituding sebagai salah seorang yang mendukung konservasi dan telah menerima sejumlah dana dari WWF. ”Saudara lihat sendiri bagaimana kondisi rumah saya, lantainya masih tanah, dinding kayu, mewahnya di mana? Memang program konservasi itu baik, tetapi saya juga menolak kalau tradisi berburu paus dilarang,” kata Marsianus.

Perwakilan WWF Kabupaten Lembata, Februanti, membantah keberadaan mereka menjadi pemicu konflik masyarakat Lamalera. ”Pengertian konservasi ditafsirkan keliru oleh masyarakat. Konservasi dianggap melarang perburuan paus.”

Februanti menegaskan, perburuan paus tetap diperbolehkan, tetapi perlu dikontrol. Ketentuan internasional maupun peraturan pemerintah juga tidak melarang perburuan paus seperti di Lamalera sebab dilakukan secara tradisional untuk kebutuhan sendiri, bukan dikomersilkan ke luar pulau.

”Alternatif yang dapat dilakukan mungkin dengan pemberlakuan kuota, misal ada batas maksimal sekian ekor paus yang diperbolehkan diburu per tahunnya. Tetapi, hal itu juga perlu kajian seberapa besar rata-rata kebutuhan nelayan Lamalera. Selain itu, konservasi juga menjalankan fungsi pemberdayaan sehingga masyarakat nelayan Lamalera tidak hanya mengandalkan berburu paus, tetapi ikan lain, termasuk keterampilan lain di luar laut,” ujarnya.

Menyikapi pertikaian yang terjadi itu, Kepala Suku Bediona Abel Onekala Beding memiliki pandangan arif. Menurut dia, semua pihak yang berselisih harus duduk bersama, termasuk dari WWF. Perdamaian adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik adat ini.

”Termasuk juga orang Lamalera yang tinggal di luar daerah, seperti di Jakarta, yang mengaku paling tahu soal Lamalera dan menganggap dirinya paling berjasa. Konflik ini meruncing justru dari mereka yang tinggal di luar, lalu menuding tanpa bukti sejumlah warga Lamalera mendukung dan menerima dana konservasi,” kata Abel.

Pastor Pembantu Paroki Lamalera Rm Bartol Helan Pr dalam misa Lefa mengingatkan, keretakan hubungan di antara orang Lamalera tidak hanya mengganggu hubungan sosial kemasyarakatan, tetapi berdampak luas pada tradisi, religi, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.

”Laut ini ibarat ladang garapan orang Lamalera. Di sana kita gantungkan seluruh nasib dan masa depan kita. Paus itu hewan piaraan nenek moyang kita. Ketika kita tidak harmonis, nenek moyang menjadi marah dan tidak memberikan rezeki lagi,” kata Helan.

Konflik adat di Lamalera ini memang patut disayangkan. Pemerintah daerah setempat semestinya juga tidak hanya berpangku tangan, tetapi harus aktif juga memediasi.

Terpenting dari itu semua, warga Lamalera harus menimang-nimang langkah apa yang terbaik untuk menjaga tradisi perburuan paus, tetapi juga tidak membuat paus menjadi punah. Kepunahan paus berarti juga akan membuat punahnya tradisi langka perburuan di Lamalera. (sem/kor)
Sumber: Kompas, 29 Mei 2010
Ket foto: Seorang lamafa, juru tikam, di perairan Lamalera, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Senin (24/5), dalam keadaan siaga saat mereka sedang berburu paus.

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger