Esais
Kita tidak
memiliki data mengenai profil para politikus kita. Misalnya, siapa mereka,
sekolahnya apa, apa latar belakang ideologi mereka —kalau mereka memang punya ideologi—
dari keluarga macam apa mereka berasal, mengapa mereka memilih dunia politik
sebagai karier, adakah pilihan lain, dan aspirasi politik macam apa yang mereka
miliki. Ini pun jika mereka suatu aspirasi politik tertentu.
Perlu juga
diketahui, bagaimana wawasan mereka mengenai politik. Apa yang mereka ketahui
mengenai tokoh-tokoh besar di dunia politik, dan bagaimana pandangan dan sikap
mereka terhadap orang-orang besar tersebut?
Bagaimana mereka
memandang politik sebagai jalan perjuangan di negeri yang secara kebudayaan
bersifat pluralistik seperti negeri kita ini? Gagasan apa yang ada di benak
mereka ketika mereka menyadari keruwetan, misalnya di dalam politik-keagamaan,
yang cenderung tampak menegangkan, dan mematikan hak-hak kelompok lain yang tak
sejalan dengan sikap dan pandangan keagamaan tertentu?
Tidak kalah
penting, harus ditanyakan pada mereka, bagaimana sikap dan pandangan mereka
mengenai agama, yaitu dunia moral, sejarah, etika, dan teladan agung kehidupan,
diperhadapkan dengan kenyataan hidup yang ruwet, penuh tekanan dan
ketidakadilan ekonomi, politik maupun kebudayaan. Apa peran agama dalam kondisi
kehidupan seperti ini?
Lebih mendasar
lagi, bagaimana menerjemahkan makna agama di dalam hidup, agar agama
sungguh-sungguh memiliki peran penting untuk membentuk suatu bangsa yang
memiliki keteguhan moral, dan membuktikan bahwa manusia yang berpegang teguh
pada suatu agama, tak mungkin menyimpang dari garis-garis ajaran luhur?
Dengan kata lain,
pertanyaan ini ingin menegaskan bahwa agama tidak bisa dimain-mainkan, hanya
menjadi sekadar nama sebuah partai, dan sekadar “dijual” murah untuk menarik
pengikut, dan dalam kehidupan sehari-hari agama kelihatan begitu mudah
disimpangkan.
Selebihnya,
pertanyaan ini bermaksud menggali jawaban mengenai ketulusan bergama dan
berpolitik, untuk membangun moralitas politik yang beneran, yang memihak
keluhuran moral yang ditetapkan Tuhan di dalam kitab-kitab suci, dan secara
riil, ada kesungguhan membela kepentingan rakyat.
Apakah para
politikus kita pernah terganggu oleh kegelisahan mengenai betapa rendahnya cara
kita memperlakukan apa yang ideal, sebagaimana tampak di dalam praktik-praktik
kotor dunia politik kita?
Mungkinkah mereka
sama sekali tak peduli akan kenyataan memalukan, ketika para tokoh politik yang
berhaluan agama, justru berada di garis depan dalam penyimpangan moral, dan
menghancurkan ekonomi bangsanya sendiri?
Suatu jenis
protes moral seperti apa yang ada pada para politikus kita begitu mereka
menyadari bahwa tokoh politik berhaluan agama justru tampak menyolok —dan
kelihatannya tidak merasa malu— melacurkan prinsip moral, yang di dalam ibadah
kelihatannya dijunjung tinggi?
Kemudian secara
khusus, adakah di kalangan politikus yang berhaluan keagamaan, suatu kesadaran
bahwa agama telah dilacurkan secara terbuka di dalam politik, oleh para
politikus maupun oleh para agamawan, yang serakah dan tak mengenal lagi sikap
“zuhud” yang sering mereka khotbahkan?
Kelihatannya,
para politikus kita —bahkan termasuk politikus berhaluan keagamaan— tak peduli
sama sekali melihat kenyataan mengenaskan macam itu.
Tak ada pemikiran
kritis, bahwa berhubung para agamawan sendiri juga ikut melacurkan agama maka
sebaiknya diadakan suatu protes, agar mereka belajar dari khotbah-khotbah
mereka sendiri. Kalau para agamawan tak pernah belajar atau menghargai khotbah
mereka, maka mana mungkin orang lain disuruh menghargainya?
Selebihnya
mungkin bagus jika agamawan-agamawan yang ditandai terlalu serakah dan
menggunakan kekuatan keagamaan untuk memperkaya diri, harus dihukum sebagai
bukan lagi agamawan. Adakah sikap politik seperti ini di kalangan umat, yang
konon cerdas dan paham akan makna agama sebagai kekuatan protes?
Kalau kesadaran
macam ini terbentuk, mungkinkah ada suatu sikap, bahwa pada suatu saat, dalam
suatu khotbah agama, para jemaah bubar total karena tak mau mendengar
kemunafikan dikhotbahkan?
Kalau kesadaran
dan tindakan ini masih tak mungkin muncul di masyarakat kita, kita turut secara
terbuka menelantarkan agama. Kecuali itu kita juga turut menyuburkan
penyimpangan di dalam kehidupan seolah penyimpangan itu barang biasa, seperti
kita saksikan saat ini.
Sikap terhadap
para politikus dari kalangan keagamaan yang serakah, korup, dan berlebihan
menikmati kekayaan hasil korupsi? Rakyat harus melawan. Dia mungkin golongan
kita, teman kita, tapi kita tak peduli. Kita bukan memihak teman, bukan memihak
golongan, melainkan memihak nilai, yakni keindonesiaan. Mungkin juga keadilan;
mungkin juga kemanusiaan. Di sana wilayah perjuangan kita.
Persetan dia
kawan. Persetan dia orang yang sehaluan dengan kita. Ketika dia korup, kita
sudah tidak sehaluan lagi. Ketika dia menyimpangkan prinsip moral, siapa bilang
dia masih kawan kita? Jika kawan sudah bukan lagi kawan, maka para koruptor
akan berpikir ulang. Tapi jika seorang yang sudah dianggap korup dan ada
tanda-tanda bahwa anggapan itu benar, maka membelanya berarti membela kejahatan
dan kita, yang membela itu, juga penjahat.
Kejahatan akan
hancur, jika penjahatnya merasa dunia sudah tak lagi mengampuninya. Kawan-kawan
sudah menjauh. Orang satu partai tak lagi bersedia berkomunikasi dan berbagi
dalam suka duka kehidupan.
Dunia sudah
tertutup baginya. Jika ini yang terjadi, jelas bahwa kita membela tegaknya
harga diri partai, harga diri ketua partai, harga diri kawan-kawan, dan harga
diri kita sendiri. Dengan begitu, kita mengubah rendahnya moralitas politikus
kita yang memalukan ini. Tak ada orang lain, atau bangsa lain, yang bakal mau
melakukannya, kecuali kita, dan hanya kita.
Sumber: Sinar Harapan,
19 Juni 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!