
Pengalaman perjumpaan lintas sosial dan agama ia
gunakan menguji kandungan ayat Al-Quran. “Umat Kristiani adalah komunitas yang
paling dekat dengan umat Islam,” ujar Hasibullah Sastrawi.
ADA BANYAK
pengalaman peneliti Moderate Muslim Society (MMS) ini mengenal lebih jauh agama
Kristen dan para penganutnya. Secara normatif, sejak awal ia menyadari
kedekatan Islam dengan Kristen. Tatkala masih di kampung ayat-ayat suci
Al-Quran dibacanya. Ia pun menemukan ayat yang menegaskan kedekatan Kristen
dengan Islam (Qs.Al-Maidah: 82).
“Islam menghormati
Kristen sebagai “kakak kedua”, agama samawi yang diturunkan sebelum Islam.
Al-Quran memposisikan Yesus setara Nabi Adam,” ujar Hasibullah di Jakarta.
Pengetahuan dan
pergaulan yang luas membuatnya kerap diundang pihak gereja dan kampus-kampus
filsafat dan teologi Kristen. Ia ikut membahas pandangan Islam mengenai agama
Kristen dan Yesus.
“Ada yang menarik.
Islam menghormati Bunda Maria sebagai perempuan suci yang dijauhkan dari
pelbagai kekurangan dan perbuatan tercela. Al-Quran juga membahas keistimewaan
Bunda Maria,” jelas Hasibullah.
Dalam salah satu
surat dalam Al-Quran, diberi nama surat Maria atau Mariam. Padahal di internal
umat Kristiani, mungkin ada sebagian komunitas yang tidak mensucikan Bunda
Maria sampai pada tahap seperti yang dilakukan Islam.
Menurut Hasibullah,
relasi perjumpaan seperti itu terbawa dalam kesehariannya. Sebuah keluarga
Katolik, ia anggap sebagai bagian keluarganya. Saat bulan puasa, semua anggota
keluarga buka bersama. “Saat Natal, saya dan kawan-kawan silaturahmi ke
rumahnya,” kenang Hasibullah.
Pada simpul ini, ia
membenarkan kandungan Al-Quran terkait kedekatan Islam dengan Kristen. “Dua
agama ini sama-sama agama samawi dan menekankan pentingnya kasih sayang kepada
sesama,” katanya.
Pluralisme
Di tengah upaya
menjaga pluralisme dan toleransi, umat selalu diuji. Kasus yang pernah terjadi, bom bunuh
diri di GBIS Kepunton, Solo, Minggu, (25/9 2011). Menurut Hasibullah,
pemerintah harus menemukan pelaku teror. Baginya, terorisme melukai kemanusiaan
dan mengabaikan pluralisme.
Padahal, sebagai
fitrah kehidupan, pluralisme harus dikelola positif dan konstruktif. Tak ada
seorang pun mengelak dari fitrah pluralisme. “Manusia adalah ‘pluralisme mini’
yang dapat dijadikan cermin memahami ‘pluralisme semesta’,” ujar Hasibullah,
intelektual muda lulusan Fakultas Syariah Islamiyah, Universitas Al-Azhar,
Cairo, tahun 2004.
Seseorang yang
melawan pluralisme hakikatnya melawan fitrah kehidupan. Ia senantiasa terjebak
dalam hubungan konfliktual dengan semua hal di sekitarnya, termasuk dirinya.
Melawan pluralisme sama dengan melawan Tuhan.
Itu sebabnya,
pluralisme menjadi semangat utama hampir di balik semua disiplin keilmuan
Islam. Ilmu fiqih (tata hukum Islam), contohnya, identik dengan pluralisme
pandangan. Bahkan Imam Syafi’i, ahli fikih yang sekarang jadi panutan mayoritas
umat Islam Indonesia, dikenal sebagai tokoh yang mempunyai dua pandangan. Yaitu
pandangan lama: waktu beliau tinggal di Irak dan pandangan baru: waktu tinggal
di Mesir.
Semangat pluralisme
yang hampir sama juga ditemukan di dalam konsep teologi Islam. Bahwa hanya
Tuhan yang tunggal. Sedangkan makhluk ciptaan Tuhan tidak ada yang tunggal.
Oleh karenanya, semua makhluk Tuhan harus mempunyai semangat untuk menunggal.
“Karena itu, umat
beragama yang antipluralisme melawan semangat kehidupan. Umat Islam yang
antipluralisme tidak paham dan keluar dari tradisi dan ajaran keislaman,”
lanjut kolumnis dan pengamat masalah Timur Tengah, ini.
Upaya negara dan
masyarakat merawat pluralisme senantiasa dituntut. Namun, negara acap tak
berperan melestarikan pluralisme. “Pada tahap tertentu negara gagal
melestarikan kemajemukan,” katanya.
Laporan akhir tahun
2010 MMS memperlihatkan kegagalan pemerintah melestarikan kemajemukan. Dari 81
kasus intoleransi sepanjang 2010, 33 di antaranya dilakukan kelompok massa.
Kemudian 24 dilakukan negara dan 23 kasus dilakukan ormas.
Tiga besar pelaku
intoleransi tidak mengalami perubahan pada 2009 yang menempatkan pemerintah
paling sering melakukan tindakan intoleransi (22 kali), ormas (18 kali) dan
massa (12 kali). Hanya urutannya yang mengalami pergeseran.
Pemerintah
daerah/pemerintah kota, polisi, dan Satpol PP merupakan tiga aparatus negara
yang paling sering melakukan intoleransi. Dari 24 kasus yang dilakukan negara,
22 di antaranya dilakukan tiga aparatus negara yakni pemerintah
daerah/pemerintah kota (11 kali), polisi (6 kali) dan Satpol PP (5 kali).
Dalam kondisi
seperti ini, negara menambah beban hidup masyarakat. Padahal negara lahir untuk
membantu meringankan beban mereka.
“Saya katakan
demikian karena kesadaran akan pluralisme cukup kuat dalam kehidupan umat
beragama. Buktinya masyarakat Indonesia dikenal dengan nilai-nilai luhur
seperti gotong royong dan toleran,” lanjut Hasibullah.
Secara kelembagaan,
ia melihat ada persoalan. Adanya perilaku diskriminatif negara terhadap
agama-agama seperti pembangunan tempat ibadah. Kalangan mayoritas mudah
membangun tempat ibadah. Berbeda dengan kelompok minoritas.
“Sejatinya negara
bersikap adil dan tidak memiliki kapasitas membeda-bedakan satu dengan yang
lain. Apalagi berlaku diskriminatif,” tandas intelektual muda Nahdlatul Ulama
ini.
Menurutnya, dialog
inter maupun antar penganut agama belum efektif merawat pluralisme. Benar bahwa
dalam kehidupan masyarakat dialog antarmasyarakat sering berlangsung. Namun,
harus digaris bawahi. Semua itu belum dilandasi “kesadaran keagamaan”.
Masyarakat
melakukan kegiatan lintas agama lebih karena kebutuhan pragmatis dan politis.
Dialog antaragama atas dasar “kesadaran keagamaan” terbatas. “Dialog harus
berkelanjutan dan berangkat dari landasan keimanan yang kuat. Dengan demikian,
masyarakat tidak mudah diprovokasi,” ujarnya.
Tokoh pluralis
Ia mengapresiasi
sejumlah tokoh yang membumikan pluralisme dan toleransi. Misalnya, Gus Dur, Cak
Nur, Syafie Maarif, Gus Mus, Romo Mangun, Romo Magnis, Pdt Martin Sinaga, dan
lain-lain. “Kalau terorisme masih terjadi, jelas itu bukan kesalahan mereka,”
katanya.
Tatkala menimbah
ilmu di Kairo, ia dekat dengan sejumlah tokoh lintas agama. “Saya sering
mengundang mereka menjadi pembicara. Hasilnya kita muat dalam buletin,”
kenangnya.
Sikap menghargai
pluralisme lahir sejak jaman Nabi Muhammad. Pada masa tertentu Islam tampil
sebagai sosok fâ’ilu at-tasâmuh (mentoleransi). Pada masa lain tampil sebagai
maf’ûlu at-tasâmuh (yang ditoleransi).
Hubungan antara
Islam dengan toleransi atau pluralisme bagaikan antara as-sabâb wal musabbab
(sebab-akibat), atau antara asy-syarthu wal masyrûth (syarat dengan yang
disyaratkan). Secara normatif, keduanya selalu bersama. Di mana ada Islam di
situ ada toleransi dan pluralisme. Islam diturunkan (salah satunya) untuk
toleransi dan pluralisme.
Hasibullah adalah
intelektual yang mulai dikenal. Pengetahuannya tentang filsafat dan
sosial-kemasyarakat luas. Saat baru berusia 16 tahun, ia hijrah ke Mesir.
Kehadirannya di sana diyakini sebagai hidayah. “Mesir mengandung ilmu-ilmu yang
dibutuhkan peradaban, khususnya terkait pluralisme,” katanya. (Ansel Deri)
Hasibullah Satrawi
Lahir : Madura, 14 Oktober 1983
Pekerjaan : peneliti Moderate Muslim Society, Jakarta.
Tokoh idola : Gus Dur, Gus Mus, Romo Mangun, Romo
Magnis
Pendidikan
-Sekolah Dasar
Negeri Telaga I, Ganding, Sumenep, tahun 1994.
- Madrasah
Ibtidaiyah Nurul Jadid, Telaga, Ganding, Sumenep, tahun 1994
-Pondok Pesantren
Darul Ulum Banyuanyar, Madura, 1995-1999.
-S-1 jurusan
Syariah Islamiyah, Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir, 1999-2004).
Buku
-Bunga Rampai
tentang Ahmadiyah (Wahid Institut, 2006)
-Bunga Rampai
tentang Pluralisme (diterbitkan oleh LSAF, 2008),
-Syarah
Undang-Undang Dasar 1945 (MK, 2009).
Menulis di harian
Kompas, Media Indonesia, Jawa Pos, Koran Tempo, Sinar Harapan, Suara Pembaruan,
Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Jurnal Nasional, dan lain-lain. Nara soal keislaman dan
demokrasi di Metro TV, TV One, dan TVRI.
Foto-foto: fb Hasibullah Sastrawi

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!