Oleh Saldi Isra
Guru Besar Hukum Tata Negara &
Direktur Pusat
Studi Konstitusi FH Universitas Andalas
POLITISASI
produk hukum tidak pernah berhenti di negeri ini. Belum habis pro-kontra di
sekitar rekayasa sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD, kini kita dihadapkan pula pada politisasi aturan di
seputar pergantian jabatan Gubernur DKI Jakarta yang ditinggalkan Joko Widodo
(Jokowi). Pangkal soal, sejumlah kekuatan politik di DPRD DKI Jakarta menilai
Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak bisa menggantikan Jokowi.
Alasan utama
yang dikemukakan oleh kelompok yang mendukung pandangan bahwa Ahok tidak bisa
menggantikan Jokowi adalah tidak adanya aturan hukum yang menentukan bila kepala
daerah berhalangan tetap dalam UndangUndang Nomor 29 Tahun 2007 tentang
Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan RI
(UU No 29/2007). Karena ketiadaan aturan tersebut, didalilkan bahwa kondisi
yang terjadi di Jakarta setelah ditinggalkan Jokowi adalah ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu No 1/2014).
Penggunaan
dalil
Dalam Pasal
173 ayat (1) Perppu No 1/2014 dinyatakan bahwa dalam hal gubernur, bupati, dan
wali kota berhalangan tetap, wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota
tidak serta-merta menggantikan gubernur, bupati, dan wali kota. Bagi mereka
yang mendalilkan bahwa Ahok tidak bisa menggantikan Jokowi, ketentuan Pasal 173
ayat (1) Perppu No 1/2014 tersebut berlaku secara absolut dalam proses
pengisian jabatan Gubernur DKI Jakarta yang ditinggalkan Jokowi.
Dengan
menggunakan dalil tersebut, mereka menggunakan dalil Pasal 174 (1) dan ayat (2)
Perppu No 1/2014 bahwa apabila gubernur berhenti atau diberhentikan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sisa masa
jabatan kurang dari 18 bulan, presiden menetapkan penjabat gubernur atas usul
menteri (dalam negeri) sampai berakhir nya masa jabatan gubernur. Kemudian,
dalam hal sisa masa jabatan gubernur berhenti atau diberhentikan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sisa masa
jabatan lebih dari 18 bulan maka dilakukan pemilihan gubernur melalui DPRD
provinsi.
Dengan
menggunakan dasar hukum Pasal 173 dan 174 tersebut, kekuatan politik yang
berdiri dalam cara pandang tersebut menghendaki pengisian jabatan gubernur
lowong yang ditinggalkan Jokowi tidak otomatis jatuh kepada Wakil Gubernur
Ahok. Apalagi, sebagaimana disebut di awal, UU No 29/2007 tidak mengatur pola
pergantian kepala daerah yang berhalangan tetap baik disebabkan alasan berhenti
mau pun diberhentikan. Padahal, Kementerian Dalam Negeri telah memberi sinyal
agar DPRD DKI Jakarta segera melantik Ahok sebagai gubernur baru menggantikan
Jokowi.
Alasan yang
keliru
Apabila
dilacak UU No 29/2007, ketentuan ini memang hanya mengatur ihwal pengisian
kepala daerah secara sederhana, yaitu hanya mengatur perbedaan persentase
penentuan pemenang kepala daerah. Dalam hal ini, Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU
No 29/2007 menyatakan bahwa pasangan calon yang memeroleh suara lebih dari 50%
ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih. Selanjutnya, dalam hal
tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50%, diadakan
pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara
terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
Dengan
pengaturan yang sangat terbatas tersebut dan sekalipun tidak mengatur ihwal
pergantian kepala daerah yang tidak dapat menghabiskan masa tugasnya, adalah
kekeliruan mendasar memberlakukan ketentuan Pasal 173 dan 174 Perppu No 1/2014.
Dalam hal ini, pengisian jabatan Gubernur DKI Jakarta harus tunduk pada
ketentuan Pasal 203 ayat (1) Perppu No 1/2014 yang menyatakan bahwa dalam hal
terjadi kekosongan gubernur, bupati, dan wali kota yang diangkat berdasarkan UU
No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil
wali kota menggantikan gubernur, bupati, dan wali kota sampai dengan berakhir
masa jabatannya.
Ketentuan ini
sangat jelas, kekosongan jabatan Gubernur DKI Jakarta harus diisi oleh wakil
gubernur. Apalagi, UU No 29/2007 hanya mengatur secara terbatas proses
pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Bahkan, UU No
29/2007 sama sekali tidak mengatur ihwal pengangkatan dan pemberhentian
gubernur dan wakil gubernur. Untuk itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU No
29/2007, pengangkatan dan pemberhentian tunduk pada ketentuan dalam UU No
32/2004.
Dengan
ketentuan ini, UU No 29/2007 dapat dikatakan pengecualian dari UU No 32/2004.
Artinya, semua materi yang ada dalam UU No 29/2007 adalah bentuk pengecualian
dari UU No 32/2004 dan semua yang tidak diatur dalam UU No 29/2007 tunduk
kepada aturan dalam UU No 32/2004. Karena itu, tidak hanya ihwal wakil gubernur
yang otomatis menjadi gubernur, jabatan wakil gubernur yang segera kosong
karena Ahok menjadi gubernur juga harus diisi merujuk pada UU No 32/2004.
Berdasarkan
penjelasan di atas, hanya langkah politisasi hukum saja yang mungkin
menghalangi pengukuhan Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta. Seharusnya, begitu
Jokowi mengundurkan diri, secara hukum, Ahok hanya menunggu langkah formal
menjadi gubernur. Sebagai sebuah negara hukum, mari menggunakan nalar hukum
yang benar dan ucapkan selamat datang untuk Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Sumber:
Media Indonesia, 13 November 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!