Oleh Anas Urbaningrum
Ketua Presidium Perhimpunan Pergerakan Indonesia
Berbagai
kalangan merespons kabinet Presiden Joko Widodo, mulai dari kompetensi, rekam
jejak, personalitas, hingga keterwakilan. Secara umum, responsnya relatif datar
dan tanpa euforia berlebihan. Respons kalkulatif itu menunjukkan ekspektasi
yang tinggi.
Tantangan berat
Jokowi adalah mengelola harapan yang membuncah. Apalagi, Jokowi dipersepsikan
merakyat, bersih, dan menunjukkan penguasaan substansi-praksis dan ketegasan.
Ekspektasi yang
tinggi itulah yang sempat menyerimpung langkah Presiden Jokowi menyusun
kabinet. Pernyataan sebelumnya tentang kabinet ramping, tidak ada bagi-bagi
kursi, serta posisinya yang bukan figur sentral dalam partai politik membuatnya
tersandera oleh tarik-menarik kepentingan.
Hasil dari proses
yang intens itu adalah kabinet yang diumumkan dengan simbol menarik; baju
putih, (sebagian) masuk sambil berlari, suasana informal dan egaliter di taman
dalam kompleks Istana, serta busana batik saat pelantikan.
Paling tidak,
simbol ini memberi kesegaran baru dan secercah gambaran tentang pemerintahan
macam apa yang akan hadir lima tahun ke depan.
Kritik pun muncul.
Salah satu kritik, tidak adanya kementerian yang spesifik menyebut ekonomi
kreatif. Padahal, ekonomi kreatif ini salah satu "jual kecap"
Presiden Jokowi yang direspons positif dan menjadi salah satu dari sedikit
"smes" yang menukik tajam saat debat calon presiden. Bagaimana
Presiden Jokowi merespons kritik ini, kita tunggu saja. Kabarnya, akan dibentuk
Badan Ekonomi Kreatif.
Saya ingin mengajak
masyarakat membuat indikator makro menilai pemerintahan Jokowi sehingga kita
tidak terjebak pada tingkah laku dan personalitas anggota kabinet Jokowi. Mari
kita melihat hal yang lebih substansial.
Jika kita ingin
memberi rapor pada Presiden Jokowi setelah 100 hari pertama, semester pertama,
tahun pertama, kita harus menetapkan indikatornya.
Pertama, gagasan
yang ditawarkan.
Dalam Pilpres 2014,
Jokowi mengusung gagasan Revolusi Mental dan sembilan agenda perubahan
(Nawacita). Butir-butir utama Nawacita, ter utama meng hadirkan kembali negara
yang bekerja untuk melindungi segenap bangsa, mewujudkan kemandirian ekonomi,
serta menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan
hukum yang bebas korupsi beresonansi dengan kerinduan rakyat.
Gagasan besar ini
merupakan "kontrak politik" antara Jokowi dan rakyat Indonesia yang
bisa ditagih. Gagasan ini akan mewarnai tiga indikator, yaitu orang, kebijakan,
dan eksekusi.
Kedua, pemilihan
dan penempatan orang. Gagasan yang baik harus dijalankan oleh orang yang tepat.
Jokowi telah memilih orang yang tepat mewujudkan gagasan Revolusi Mental dan
Nawacita.
Kita masih menunggu
siapa yang dianggap tepat untuk jadi Jaksa Agung yang tentu sangat instrumental
dalam mewujudkan visi pemerintahan bersih Jokowi.
Saya menilai,
kabinet ini hasil terbaik usaha Jokowi dari stok yang ada dan lingkungan
politik yang menyertai pembentukannya. Memberi kesempatan kabinet bekerja
adalah pilihan bijak.
Pemilihan dan
penempatan orang yang tepat juga harus dilakukan Presiden Jokowi dalam
membangun lembaga kepresidenan. Sejak Presiden Abdurrahman Wahid, kita punya
juru bicara kepresidenan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat unit kerja
kepresidenan.
Juga ada staf dan
kedeputian. Apa pun formatnya, "ring satu" Presiden Jokowi di Istana
harus diisi orang yang tepat.
Ketiga, perumusan
kebijakan. Turunan konkret dari gagasan abstrak sebuah pemerintahan adalah
kebijakan.
Kebijakan inilah
yang bersentuhan dengan masyarakat. Ujian besar Jokowi adalah kebijakan harga
BBM karena presiden terdahulu di masa akhir pemerintahannya enggan bertanggung
jawab mengambil kebijakan tak populer ini.
Tantangan Jokowi
makin berat karena suara koalisi pendukungnya bukan mayoritas di DPR. Karena
itu, Jokowi perlu membangun komunikasi politik yang berdaya rangkul kuat untuk
memastikan dukungan politik pada kebijakan yang akan diambilnya.
Keempat, kecakapan
eksekusi. Inilah tantangan terberat bagi setiap pemimpin dan pembuktian
kemampuan pemimpin mengolah masakan dari racikan ketiga di atas. Agar suatu
kebijakan bisa dieksekusi, harus ada tatanan kelembagaan yang sesuai corak dan
konsekuensinya.
Ketika ada
kebijakan yang tidak men capai tujuan, orang sering langsung menilai kebijakan
itu salah. Padahal, harus dicermati kembali, apakah kebijakannya yang salah
atau kebijakan itu tidak dieksekusi dengan baik. Tugas pemimpin memastikan
eksekusi kebijakan.
Eksekusi bukan
semata masalah taktis yang dapat dilempar ke bawah dengan bungkus istilah
"delegasi".
Jokowi sudah punya
modal manajemen blusukan. Gaya komunikasi informal juga meminimalkan jarak dan
potensi kesalahan penerjemahan oleh pembantunya. Terobosan ini semoga dapat
menjembatani kesenjangan antara cita-cita seorang pemimpin dan kemampuan
organisasi yang dipimpin dalam mencapai cita-cita itu. Blusukan bukan sekadar
blusukan, melainkan harus bermakna bagi eksekusi kebijakan.
Setelah kita
menyusun indikator penilaian kinerja, baru kita bisa melakukan penilaian.
Penilaian objektif, setajam dan sekritis apapun tidak perlu dinilai sebagai
upaya menjatuhkan pemerintahan. Kritik adalah vitamin untuk menyehatkan dan
menguatkan. Sudah bukan masanya pemimpin alergi kritik.
Kita mengenal
istilah 100 hari pertama yang dimulai oleh Presiden AS Franklin D Rossevelt
pada 1933. Ini referensi populer untuk mengukur hasil-hasil cepat (quick wins)
dan manajemen ekspektasi jangka pendek. Presiden Yudhoyono juga pernah
mencobanya.
Pada jangka yang
lebih panjang dan institusional, kita mengenal pidato Presiden pada 16 Agustus
tiap tahun sebagai pidato kenegaraan menyambut HUT RI sekaligus menjadi
pengantar pembahasan Rancangan APBN. Pidato ini merupakan konvensi
ketatanegaraan kita yang positif dan perlu dilanjutkan.
Penyusunan APBN
dapat menjadi momen evaluasi pemerintahan, khususnya bidang ekonomi dan
kesejahteraan, karena dalam APBN itulah tercantum indikator kuantitatif.
Penilaian berjalan setiap saat sesuai perkembangan.
Presiden Jokowi
harus mampu meracik empat elemen di atas untuk merawat harapan dan kepercayaan
publik. Kita juga harus merawat harapan terhadap pemerintahan yang lebih baik
dengan cara memberi kesempatan Jokowi bekerja dan tak segan menyampaikan kritik
konstruktif. Akhirnya, rapor final Jokowi akan diberikan rakyat pada Pemilu
2019.
Sumber: Republika, 10 November 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!