Oleh Darmansjah Djumala
Diplomat, bertugas di Vienna,
Austria
DALAM diskursus hubungan internasional, diplomasi multilateral jamak
diartikan sebagai pelaksanaan politik luar negeri yang dilakukan di forum atau
organisasi internasional yang beranggotakan banyak negara.
Berbeda dengan
diplomasi bilateral yang hanya melibatkan dua negara dan menghasilkan kesepakatan
konkret, diplomasi multilateral berupaya mencapai konsensus mengenai norma,
aturan, dan kebijakan dalam isu tertentu (norms-setting/rules-making). Dengan
karakter serupa itu, diplomasi multilateral kerap dinilai secara sinis sebagai
tak lebih dari pelaksanaan politik luar negeri yang "mengukir langit"
alias tidak konkret, tidak membumi alias tidak memberi manfaat langsung bagi
rakyat.
Diplomasi
multilateral semakin sering dipertanyakan tatkala Jokowi mulai menjabat
presiden. Sosok Jokowi yang merakyat dan berfokus pada program konkret yang
memberi manfaat langsung bagi rakyat memiliki visi politik luar negeri yang
khas: memperjuangkan kepentingan nasional yang konkret dan memberi manfaat bagi
rakyat dan pembangunan nasional. Diplomasi yang menghasilkan kesepakatan
konkret dan memberi manfaat bagi rakyat inilah yang disebut dengan diplomasi
membumi.
Paradoks
Manakala visi
diplomasi membumi ini diperhadapkan dengan karakter diplomasi multilateral,
terasa ada paradoks. Bagaimana mungkin diplomasi multilateral, yang
dipersepsikan hanya berkutat pada pembentukan norma, aturan dan kebijakan bisa
menghasilkan sesuatu yang konkret dan bermanfaat bagi rakyat? Dengan pertanyaan
ini, diplomasi multilateral seolah kehilangan relevansi dan signifikansinya
terhadap politik luar negeri era Jokowi. Namun, justru pada titik ini muncul
pertanyaan strategis: bagaimana menempatkan diplomasi multilateral dalam
bingkai visi politik luar negeri Jokowi, yang konkret dan memberi manfaat bagi
rakyat itu?
Sejatinya diplomasi
multilateral itu tak melulu melakukan perdebatan kebijakan, aturan, dan norma.
Memang, melalui sidang komite dan sidang umum tahunan, PBB menyediakan forum
yang dihadiri oleh hampir semua negara di dunia untuk membahas hampir semua isu
di bawah langit (everything under the sun). Mulai dari jarum suntik sampai
peralatan perang. Mulai dari alat kontrasepsi sampai kapal terbang. Semua
diperdebatkan sampai larut malam, mulai dari titik koma sampai struktur kalimat
yang kompleks demi sebuah resolusi, deklarasi atau pernyataan bersama. Dan
jangan kaget, hasil akhirnya adalah dokumen tebal terbuat dari kertas.
Manfaatnya bagi rakyat? Hampir tidak ada. Dokumen itu tidak memberi manfaat
langsung bagi rakyat. Inilah paradoks diplomasi multilateral dalam ukuran
diplomasi membumi.
Jika memang sidang
PBB itu tidak memberi manfaat konkret dan langsung bagi rakyat, apakah kemudian
Indonesia tidak perlu mengikuti persidangan di PBB? Masalahnya bukan ikut atau
tidak ikut persidangan (yang tersebar di komite-komite, dewan-dewan dan kelompok-kelompok
kerja). Masalahnya adalah pilihan: persidangan mana yang harus diprioritaskan.
Sebenarnya di PBB
dan organisasi internasional lainnya banyak sekali program pembangunan dan
pendanaannya. Sebut saja, misalnya Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(UNDP), Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), Organisasi Pangan
dan Pertanian (FAO), atau Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA). Semua forum
ini, selain membahas norma, aturan dan kebijakan bidang terkait, juga
menyediakan dana pembangunan untuk pengembangan kapasitas (capacity building)
negara anggota.
Dengan sumber daya
manusia dan dana terbatas, pengambil keputusan dihadapkan pada pilihan
prioritas: apakah menitikberatkan pada deliberasi kebijakan atau memfokuskan
pada program pembangunan kapasitasnya. Sejalan dengan diplomasi khas Presiden
Joko Widodo yang konkret dan memberi manfaat bagi rakyat, diplomasi
multilateral harus membumi. Namun, bagaimana wujud diplomasi multilateral yang
membumi itu?
Pengembangan
kapasitas
Ambil contoh
diplomasi di forum IAEA. Seperti forum multilalteral lain, diplomasi di IAEA
juga terdiri dari dua kegiatan utama, yaitu penetapan norma dan aturan
(norm-rules and standard setting) serta program pengembangan kapasitas.
Pertama, di bidang
aturan dan norma. Diplomasi di forum yang menangani masalah atom dunia itu
umumnya membahas tiga isu, dikenal dengan istilah "Konsep 3S": safety
(keselamatan), security (keamanan), dan safeguard (pengawasan). Dengan Konsep
3S itu, IAEA membangun aturan, norma dan standar keamanan/keselamatan dan
pengawasan terhadap penggunaan serta pengembangan nuklir untuk tujuan damai
oleh negara anggota.
Dengan aturan itu,
IAEA ingin memastikan pengembangan nuklir aman bagi masyarakat. Bagaimana
penerapan konsep itu di Indonesia? Konsep 3S umumnya diberlakukan di negara
anggota yang mengembangkan teknologi nuklir dalam skala besar dan masif, baik
untuk keperluan sumber energi maupun militer. Indonesia sejauh ini baru
menggunakan nuklir untuk bidang sosial-ekonomi, seperti pertanian, kesehatan,
pencegahan bencana alam dan lingkungan hidup.
Dengan tingkat
penggunaan nuklir seperti itu, penerapan Konsep 3S di Indonesia, terutama aspek
keamanan dan pengawasan, belum signifikan dalam interaksinya dengan IAEA.
Dibanding negara anggota lain, seperti India, Pakistan atau Korea Utara, aspek
keamanan dan pengawasan nuklir di Indonesia tidak menonjol. Meski demikian,
Indonesia tak menafikan pentingnya Konsep 3S sebagai dasar penguatan regulatory
framework (kerangka hukum) untuk penggunaan teknologi nuklir di bidang pertanian
dan kesehatan serta untuk tujuan damai lainnya.
Kedua, program
pengembangan kapasitas yang ditawarkan IAEA sungguh banyak. Mulai dari bantuan
untuk aplikasi nuklir, berupa inovasi dan pengembangan iptek nuklir, sampai
dengan kerja sama teknik antarnegara anggota di bidang iptek nuklir yang
berdampak pada bidang sosial-ekonomi. Dalam skema bantuan aplikasi nuklir, di
sektor pertanian, misalnya, ilmuwan di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN)
telah berhasil mengembangkan 21 varietas padi, 10 kedelai, 2 kacang hijau, 3
sorgum, dan 1 gandum.
Varietas padi hasil
teknologi nuklir ini mampu memproduksi padi lebih banyak per unit lahan dan
tahan hama. Bisa dibayangkan bagaimana dampak inovasi iptek nuklir ini jika
diaplikasikan secara masif. Tak berlebihan jika dikatakan ia mampu menunjang
program ketahanan pangan nasional. Di bidang kesehatan, BATAN tengah
mengembangkan teknik serangga mandul dengan teknologi nuklir yang dipercaya
dapat mengurangi populasi nyamuk demam berdarah sehingga mengurangi risiko
penyebaran penyakit tersebut.
Demikian juga
dengan pemandulan serangga buah, diharapkan mampu mengurangi risiko pembusukan
produk buah. Dari cerita sukses ini nyatalah bahwa aplikasi nuklir memang
benar- benar memberi manfaat sosial-ekonomi masyarakat. Semua capaian di bidang
aplikasi nuklir ini dimungkinkan karena adanya kerja sama dengan IAEA di bidang
pengembangan kapasitas untuk negara anggota.
Tatkala teknologi
nuklir mampu memberi dampak nyata kepada kehidupan sosial-ekonomi rakyat, pada
titik itulah muncul kesadaraan bahwa ternyata nuklir tak melulu untuk perang
dan senjata pemusnah. Ternyata teknologi nuklir dapat memberi manfaat bagi
kehidupan rakyat kebanyakan. Ternyatalah juga bahwa diplomasi multilateral
bukan hanya ajang adu debat internasional yang menghasilkan setumpuk dokumen
berisi aturan dan kebijakan.
Hasil konkret
diplomasi nuklir di bidang sosial-ekonomi membuktikan bahwa diplomasi
multilateral bisa dibumikan, mampu memberi manfaat langsung bagi rakyat. Untuk
membumikan diplomasi multilateral, prioritas diplomasi di forum PBB dan
organisasi internasional lainnya, seperti IAEA, haruslah diletakkan pada upaya
memanfaatkan sebanyak mungkin program pengembangan kapasitas lembaga tersebut
yang benar-benar berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyat.
Sumber: Kompas, 29
Juni 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!