Headlines News :
Home » » Eduardus Noe Ndopo Mbete: Niat Kami Membantu

Eduardus Noe Ndopo Mbete: Niat Kami Membantu

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, February 15, 2010 | 5:25 PM

Eduardus Ndopo Mbete alias Edo, 39 tahun, terlihat duduk termenung di teras tak jauh dari selnya. Ketika Tempo menemuinya, Kamis pekan lalu, dia mengaku sedang berusaha mencari angin. ”Di dalam (kamar) panas,” ujarnya. Keempat rekannya, Hendrikus Kia Walen alias Hendrik, Fransiskus Tandon Kerans alias Amsi, Heri Santosa bin Rasja alias Bagol, dan Daniel Daen Sabon, terlihat di dalam sel tengah bersantap makanan yang mereka masak sendiri.

Sejak diciduk polisi sembilan bulan lalu, Edo dan kawan-kawannya menjadi penghuni sel Blok D Rumah Tahanan Narkoba Kepolisian Daerah Metro Jaya. Desember tahun lalu, Pengadilan Negeri Tangerang menyatakan mereka terbukti melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan menghabisi nyawa Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, secara terencana.

Kecuali Daniel, yang dihukum 18 tahun penjara, hakim memvonis mereka 17 tahun. Hukuman Daniel lebih lama, menurut majelis hakim yang diketuai Muhtadi Asnun, karena dia bertugas menembak dan berhasil mematikan Nasrudin.

Vonis ini jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa, yakni penjara seumur hidup. Tapi Edo menilai hukuman itu tidak adil. ”Kami bukan pembunuh yang sadis,” katanya.

Edo membenarkan bahwa Daniel menarik pelatuk pistol. Tapi dia mengaku tak tahu apakah tembakan itu mematikan Nasrudin atau tidak. Edo berkukuh ada penembak lain dalam pembunuhan di Jalan Hartono Raya, Modernland, Tangerang, itu. ”Saya dengar ada Tim Chairul Anwar,” ujarnya. Tim Chairul Anwar adalah tim yang dibentuk Kepala Kepolisian RI Bambang Hendarso Danuri setelah mendengar keluhan dari Antasari Azhar, terdakwa otak pembunuhan Nasrudin, bahwa dia sedang diteror. Ketika itu, Antasari adalah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.

Edo menjadi ujung tombak Wiliardi dengan para eksekutor lapangan. Kepada lelaki Ende, Flores, tersebut, Wiliardi memberikan ”sangu operasional” Rp 500 juta. ”Dia bilang, ini tugas negara. Target adalah orang yang mau mengacaukan Pemilu 2009,” papar Edo menirukan ”perintah” Wiliardi. ”Siapa yang tidak mau membela negara,” ujarnya lebih lanjut.

Dalam persidangan, Edo dan keempat kawannya mendesak hakim menyelidiki adanya tim lain. Tapi hakim menolak. Alasannya, Heri mengakui bahwa Daniellah yang menembuskan peluru ke kepala Nasrudin. ”Kami berpendapat tidak ada tim lain,” kata Muhtadi saat membacakan putusan. Hakim juga tidak menerima dalih ”tugas negara” karena korban bukan pengacau pemilu.

Edo dan teman-temannya tidak menerima putusan hakim. Mereka menilai hukuman itu terlalu berat. Kini mereka berharap putusan banding dari Pengadilan Tinggi Banten akan meringankan hukuman mereka. Berikut ini petikan wawancara tersebut.

Anda dituntut hukuman seumur hidup dan akhirnya divonis 17 tahun. Komentar Anda?
Tuntutan itu akhirnya berpengaruh pada putusan hakim. Menurut saya, vonis ini terlalu tinggi. Semestinya hakim menunggu dulu vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (persidangan Antasari). Sangat disayangkan, kenapa kami yang lebih dulu divonis.

Anda menilai putusan hakim keliru?
Kami tidak bersalah, kok. Hakim seharusnya menggali beberapa fakta yang mencurigakan.

Apa yang mencurigakan itu misalnya?
Ahli senjata Maruli Simanjuntak menyatakan peluru 9 milimeter tidak sesuai dengan senjata api revolver yang dipakai Daniel. Di persidangan juga terungkap ada tim lain yang dipimpin Kepala Polres Jakarta Selatan Komisaris Besar Chairul Anwar.

Siapa yang pertama kali menghubungi Anda sehingga Anda terlibat kasus ini?
Jerry Hermawan Lo. Kebetulan dia itu Ketua Forum Persaudaraan Anak Bangsa. Saya duduk sebagai ketua forum itu di Jakarta. Organisasi ini bergerak di bidang ekonomi dan bantuan hukum.

Jerry menugasi Anda untuk apa?
Hanya mengikuti Nasrudin, mencari kalau ada kesalahan pidananya segera dilaporkan. Karena tim pertama tidak menemukan kesalahan.

Ada perintah mengeksekusi Nasrudin?
Tidak. Fakta ini diperkuat kesaksian Jerry dan Wiliardi.

Bagaimana ceritanya sampai bertemu dengan Wiliardi Wizar?
Bersama Jerry kami dipanggil ke kantor Wiliardi. Permintaannya hanya mengikuti. Kalau ada yang membahayakan, segera laporkan biar bersinergi dengan tim lain itu.

Anda tidak bertanya kenapa tidak menugasi polisi untuk mengawasi Nasrudin?
Alasannya, karena keterbatasan waktu dan anggota, digunakan orang sipil.

Kenapa Anda mau menerima tugas itu?
Saya ketika itu dipanggil ke Mabes. Dia kan aparat negara, pangkatnya perwira. Pertemuan di Mabes itu kan sudah simbol negara. Membawa uang saja pakai mobil dinas. Bagaimana kami tidak percaya ini tugas negara.

Lalu Anda berfokus melaksanakan tugas itu?
Tidak juga. Ketika bapak saya sakit, saya lebih memilih pulang ke Flores daripada mengurusi kayak begini. Kami hanya mengikuti, masak harus all out.

Eksekutor Nasrudin itu Anda rekrut dari mana?Mengalir saja. Tidak ada cerita rekrut-merekrut. Di Ancol saya sampaikan permintaan itu ke Hendrikus. Niatnya kan hanya membantu. Karena itu, bagaimana sampai dihukum berat seperti ini.…

Hendrik itu teman Anda?
Dia sekretaris saya di Forum Persaudaraan Anak Bangsa di DKI Jakarta. Dia juga teman kuliah saya dan sesama aktivis. Kami bukan spesialis urusan seperti ini.

Uang yang diserahkan Wiliardi itu untuk apa?
Biaya operasional. Hendrikus bilang butuhnya Rp 100 juta. Sisanya saya simpan, kalau kurang, silakan ambil.

Kalau hanya biaya operasional, kenapa sampai Rp 500 juta?
Tanya Hendrik, mau tidak diperintah membunuh dengan Rp 100 juta. Kalau motivasinya uang, kenapa uangnya tidak diminta semua oleh Hendrik. Pekerjaan ini kan tidak ada limit waktunya.

Kalau perintahnya eksekusi, tidak mau kalau cuma Rp 500 juta?
Saya tidak bisa menjawab. Untuk apa cari makan seperti itu. Ketertarikan kami karena ini tugas negara. Orang ini membahayakan negara karena dekat pemilu. Jadi kami terpanggil.

Saat diperiksa, Anda mengaku disiksa. Bagaimana persisnya?
Polisi mengatakan saya terlibat pembunuhan. Karena merasa tidak bersalah, saya ikut saja ke Polda Metro Jaya. Dari sana, masuklah kami ke Hotel Pondok Nirwana, Cawang. Di sana saya disiksa dengan disetrum. Kemaluan saya juga disetrum.

Apa tujuannya disetrum?
Ya, diarahkan. Polisi bilang, saya jangan jadi pahlawan kesiangan. Katanya, ada anggota polisi, Sigid, lalu di atasnya lagi ada pejabat tinggi, orang kuat di negeri ini terlibat. Saya heran, kenapa mereka tahu duluan.

Di persidangan Anda menyebut ada tim lain. Dari mana Anda tahu?
Menurut Hendrik, mereka sempat kontak fisik, memberikan kode-kode. Wiliardi mengatakan itu tim yang mendampingi kami, bersinergi dengan kami. Saya ragu Daniel bisa menembak seprofesional itu.

Anda menduga tim lain itu yang menghabisi Nasrudin?
Dugaan saya seperti itu. Siapa yang punya kepentingan di sini? Niat saya kan hanya membantu.

Anda sudah divonis. Apa pendapat Anda tentang vonis terhadap Antasari nanti?
Kami ini pelaksananya. Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu intelektualnya. Motif saya apa? Dengan korban saya tidak kenal. Sarana dari siapa? Dari awal kami merasa jaksa sudah tidak adil dan penuh konspirasi.

Konspirasinya seperti apa?
Dari sisi yuridis, pasal yang didakwakan jaksa tidak tepat. Kami ini kan membantu, tapi kok masuk aktor intelektual. Ini tidak benar. Karena itu, kami meminta banding.

Jadi, menurut Anda, vonis untuk Antasari harus lebih tinggi?
Menurut hukum seperti itu. Aktor intelektualnya harus lebih tinggi. Apa terbukti, nanti kita lihat. Saya saja yang begini terbukti, masak yang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bisa lepas? Enggak mungkin. (Erwin Dariyanto, Sutarto)
Sumber: Tempo, Februari 2010
Ket foto: Eduardus Ndopo Mbete alias Edo. Foto: dok.www.putihtih.blogspot.com
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger