Headlines News :

Mengenal Agenda SBY–Boediono

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, June 29, 2009 | 3:45 PM

Oleh Ansel Deri
Peresensi adalah penulis lepas, tinggal di Jakarta

Susilo Bambang Yudhoyono (Yudhoyono) menggandeng Boediono, ekonom bersahaja yang juga Gubernur Bank Indonesia untuk maju pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 8 Juli 2009. Dua paket lain, Jusuf Kalla–Wiranto dan Megawati Soekarnoputri–Prabowo Soebianto juga berlaga dalam hajatan politik lima tahunan itu.

Sebagai capres dan cawapres, Yudhoyono–Boediono juga telah menyiapkan sejumlah agenda yang akan dikerjakan bersama rakyat jika pilihan rakyat ada dalam genggaman mereka.

Agenda-agenda yang ditawarkan keduanya pun didasari kenyataan yang dihadapi bangsa dan negara ke depan. Indonesia adalah bangsa yang besar. Bangsa yang tengah mengukir sejarah baru untuk terus berkembang dan maju. Cita-cita untuk menjadikan negeri dan bangsa yang sejahtera, mandiri, demokratis, dan adil.

Sebagaimana dirumuskan dalam Membangun Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan, lebih dari satu dasawarsa setelah Indonesia didera krisis multidimensi yang telah mengguncang fondasi bernegara, krisis yang memakan korban biaya yang sangat besar, krisis yang telah menjatuhkan rasa percaya diri dan wibawa kita sebagai sebuah bangsa yang terhormat dan bermartabat kini Indonesia telah mampu bangkit kembali.

Kita telah mampu menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia telah mampu membangun dirinya bahkan lebih baik lagi, sehingga wibawa dan kehormatan sebagai sebuah bangsa yung bermartabat diakui dan dihormati kembali oleh dunia (hal. 4).

Setelah mewujudkan visi dan misi pembangunan nasional 2009–2014, Yudhoyono–Boediono mengajukan lima agenda utama pembangunan nasional. Kelima agenda itu ialah (1) peningkatan kesejahteraan rakyat, (2) perbaikan tata kelola pemerintahan, (3) penegakan pilar demokrasi, (4) penegakan hukum, dan (5), pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.

Sasarannya adalah (1) pembangunan ekonomi dan kesejahteraan, (2) perkuatan pembangunan demokrasi, dan (3) program penegakan hukum. Kemudian program aksinya ialah bidang pendidikan, kesehatan, penanggulangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pembangunan infrastruktur dasar, ketahanan pangan, ketahanan dan kemandirian energi, perbaikan dan pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik, penegakan pilar demokrasi, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, pembangunan yang inklusif dan berkeadilan, pengembangan lingkungan hidup, dan pengembangan budaya (hal. 54).

Hemat saya, buku yang merupakan visi, misi, dan program aksi duet Yudhoyono–Boediono pada pilpres mendatang cukup mewakili suara hati terdalam, kerinduan, dan cita-cita seluruh anak bangsa menuju kesejahteraan lahir dan batin. Kerinduan untuk bahu membahu, bekerja keras, dan dalam semangat kebersamaan menata rumah bersama bernama Indonesia.
Sumber: Koran Jakarta, 29 Juni 2009

Sastra NTT Tak Pernah Mati (Catatan untuk Gusty Fahik)

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, June 24, 2009 | 4:41 PM

Oleh Yoseph Lagadoni Herin
Mantan wartawan, penyuka sastra dan Wakil Bupati Flores Timur


Tatkala membaca tulisan Gusty Fahik di harian ini (PK, 17/12/2008) bertajuk "Membangkitkan Sastra NTT (Kado Prematur Buat NTT di Usia Emasnya)", saya teringat Laurens Olanama. Pesan yang dikumandangkan Gusty Fahik, dalam nada yang sama pernah disampaikan Olanama dalam sebuah artikelnya awal tahun ini, di sebuah media lokal.

Kala itu Olanama menulis tentang sahabatnya, Eskoda, yang meninggalkan tembok biara demi panggilannya memperisterikan sastra dan idealisme membumikan sastra di Flores. Eskoda mati muda sebelum impiannya terwujud. Pada akhir tulisannya, Olanama menulis, "Kini setelah empat tahun kematiannya, tak ada tanda kebangkitan (sastra Flores) yang berarti. Seperti ingatan yang kabur tentang kapan meninggalnya seorang Eskoda!"

Siapa Eskoda? Hanya orang-orang dekat mengenalnya sebagai penyair muda dengan segudang idealisme. Saya harus membongkar koleksi Seri Buku VOX akhir tahun 1990-an untuk mencari tahu siapa sesungguhnya Eskoda. Dalam VOX Seri 43/4/1999 saya menemukan Eskoda adalah nama media Siprianus Koda Hokeng. Juga puisinya: Doa Sang Prajurit (Buat Para Pahlawan Reformasi). Hanya satu puisi yang ditemukan. Tapi puisi sepanjang sepuluh bait itu menunjukkan secara tegas kualitas kepenyairan Eskoda. Jempolan!

Gaya menulisnya mirip sang idola, Chairil Anwar. Demikian pun garis hidup. Dia juga 'binatang jalang, dari kumpulan yang terbuang.' Chairil memilih menjadi binatang jalang dan terbuang dari keluarga inti di Sumatera setelah menolak ajakan sang ayah pulang ke Medan. Selain karena kecewa dengan ayah yang mengkhianati sang ibunda dengan menikah lagi, Chairil sedang mabuk asmara dengan seorang gadis Betawi. (Puisi 'AKU' yang kesohor itu ditulis dalam suasana bathin seperti ini, sehingga 'AKU' juga bisa dibaca sebagai perlawanan Chairil terhadap ayahnya). Eskoda menampik ajakan teman untuk tetap bertahan di jalan imamat. Ia mantap memilih jalan sunyi, menyusuri lorong kata-kata demi membumikan sastra di Nusa Nipa. Keduanya pun mati muda. Chairil dirongrong TBC, Eskoda mati dalam kecelakaan lalulintas.

Tapi, sekali lagi, siapakah Eskoda dalam pentas sastra Nusantara? Apakah publik secara luas mengenalnya sebagai penyair muda penuh bakat? Mungkin hanya para frater Ledalero zaman itu! Demikian pun sejumlah nama yang saya temukan dalam Seri Buku VOX seperti Laurens Olanama, Stef Tupeng Witin, Paschal Semaun, Polce Hokeng, dan Rafael Gawi Lonek. Puisi-puisi mereka bernas, penuh daya pukau dan berbobot. Tapi karya-karya mereka tak pernah terbaca di atas cakrawala sastra Indonesia nan maha luas karena hanya dikonsumsi komunitas lokal.

Ketika berada di Jakarta awal Desember silam, saya bertemu sahabat lama. Ia penyuka sastra, piawai menulis puisi dan cerpen. Kini wartawan Kompas. Kala membaca beberapa puisi saya (yang terekam di handphone), dia sontak bertanya: mengapa tidak dikirim ke Kompas? Saya hanya tersenyum dan mengatakan bahwa sudah dimuat di Pos Kupang. Dia terdiam sesaat sebelum melanjutkan dengan kalimat tandas, tanpa basa-basi, "Jika ingin dikenal dalam dunia sastra Indonesia, harus berani keluar NTT, diekspos di media nasional. NTT terlalu jauh dari Jakarta, Pos Kupang terlalu kecil untuk Indonesia."

Hemat saya, di sinilah inti soal yang mencuatkan kekhawatiran Gusty Fahik akan tiadanya sastrawan NTT yang mencatatkan namanya dalam belantara sastra Indonesia. Sastra NTT tidak pernah mati. Ia terus hidup dan menggeliat. Karenanya kata 'membangkitkan' rasanya kurang pas. Yang perlu dilakukan sekarang adalah 'mengenalkan'. Caranya dengan membuka ruang lebih luas agar karya-karya sastra NTT bisa menjadi konsumsi nasional.

Nama-nama seperti Umbu Landu Paranggi, Dami N Toda, Gerson Poyk, dan Yulius Siyaranamual adalah sastrawan-sastrawan NTT yang pada zamannya berkarya langsung di pusaran sastra Indonesia di Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta (baca: Jawa). Mereka mempublikasikan karya-karya mereka di media nasional, aktif dalam forum-forum sastra nasional bersama sastrawan Nusantara lainnya, serta menerbitkan antologi puisi, cerpen ataupun novel karya mereka. Tambahan lagi, selalu ada upaya saling membesarkan di antara para sastrawan.

John Dami Mukese tidak mengalami kehidupan sebagaimana para seniornya. Dia hidup dan berkarya di balik tembok biara. Tapi karyanya dikenal luas karena sering mempublikasikannya di media massa nasional. Puisi-puisinya dari Filipina pernah menghiasi halaman Kompas. Dia juga menerbitkan sejumlah antologi puisi. Karenanya dikenal luas. Maria Mathildis Banda pun demikian. Nama yang cukup dihormati kalangan sastrawan muda Bali ini pun tidak pernah berada di pusat sumbu kehidupan sastra Indonesia. Dia berkembang sebagai sastrawan ketika belajar di Fakultas Sastra Unud Denpasar. Namanya dikenal luas karena rajin mempublikasikan dan menerbitkan novel-novelnya, terakhir novel Surat Dari Dili hangat dibicarakan.

Tak ada lagikah sastrawan muda NTT pasca nama-nama di atas? Viktus Murin dan Mezra Pellandou di awal 1990-an pernah menjuarai lomba menulis puisi antarmahasiswa Indonesia. Mezra Pellandou masih terus berkarya. Sejumlah cerpennya masih menghiasi halaman media nasional di Jakarta, termasuk Jurnal Cerpen Indonesia. Cerpennya, Manusia-manusia Jendela meraih juara pertama Lomba Menulis Cerpen Indonesia bagi Guru Sastra se-lndonesia. Namanya tercatat sebagai pengurus Komunitas Cerpen Indonesia (satu-satunya dari NTT). Terakhir dia juga mulai menerbitkan novel-novelnya. Loge, misalnya, novel berlatar belakang bumi Merapu, Sumba.

Di manakah Viktus Murin? Setelah terjun ke dunia politik nyaris tidak terdengar lagi kiprahnya di dunia sastra. Nasibnya sama dengan sejumlah nama yang ditemukan dalam Seri Buku VOX. Mereka punya potensi besar menjadi penyair. Namun setelah tenggelam dalam kesibukan kerja sehari-hari, tidak lagi berkarya kreatif. Kalaupun masih menulis, jarang mempublikasikannya. Atau, hanya lewat media-media komunitas sehingga tak pernah dikenal luas. Saya yakin, masih banyak nama lain yang tenggelam sebelum berkembang. Mereka 'mati muda' di dunia sastra. Kenyataan ini dikeluhkan sastrawan senior NTT, Felycianus Sanga. Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Undana Kupang ini mengeluh karena banyak mahasiswa yang pernah dibimbing tidak lagi bergelut dengan sastra setelah tamat. Padahal mereka punya potensi luar biasa.

Setelah generasi Mezra, kini muncul sejumlah sastrawan muda. Mereka 'berani' menerbitkan antologi puisi. Misalnya Bara Pattyradja, Jefta Atapeni, Charlemen Djahadael, dan Abdul M Djou. Dalam usia belum genap seperempat abad, mereka sudah rajin mengikuti pertemuan-pertemuan sastrawan tingkat nasional. Terakhir Oktober silam, berempat hadir dalam forum Temu Penyair di Lembang, Bandung.

Dari forum tersebut, puisi-puisi Abdul M Djou dan Charlemen Djahadael bergandeng dengan karya penyair besar semacam Izbedy Setiawan ZS, Inggit Putria Marga, Ahmadun Yosi Herfanda, Dian Hartati, Dorothea Rosa Herliany, Dina Oktaviani, Iman Budhi Santosa, Sindhu Putra dan lain-lain dalam antologi bersama Tangga Menuju Langit. Sedangkan nama Bara Pattyradja dan Jefta Atapeni juga bersanding bersama sastrawan besar semacam Beni Setia, Arip Senjaya, Triyanto Triwikromo dan lain-lain dalam antologi cerpen bersama Sebelum Meledak.

Demikianlah. Sastra NTT tetap hidup dan menggeliat. Tapi suaranya tidak pernah kedengaran sampai di Jakarta karena hidup ibarat katak dalam tempurung. Yang perlu dilakukan adalah 'mengenalkan' karya-karya sastra NTT. Ini tugas bersama. Baik sastrawan, media massa dan lembaga penerbitan, serta uluran tangan pemerintah daerah.
Sumber: Pos Kupang, 6 Januari 2009

Cerpen Martin Aleida, "Tiada Darah di Lamalera"

Gigil laut utara menggiring kami kemari, ke Laut Sawu yang hangat dan biru begini. Langit begitu rendah. Seperti hendak rebah. Lengkungnya sesekali disaput semburan air yang tegak lurus meniti dalam hembusan napas paru-paru paus pembunuh. Orang-orang yang mendiami pulau kecil di sini menyebut mereka seguni. Sementara aku dan kaumku, mereka beri nama koteklema.

Setahun sekali kami melintas di tengah laut ini, beberapa mil dari rumah penduduk yang jumlahnya tak seberapa. Menyediakan diri sebagai umpan yang akan menghidupi mereka selama laut utara dingin membekukan. Hubungan kami dengan mereka, yang sudah berabad-abad, membuat mereka hafal bahwa paus jenis kami adalah buruan yang mudah ditaklukkan. Sekali tempuling tertancap, kami bukannya melawan, malah mempermudah pertarungan. Kami tidak akan melawan sebagaimana paus pembunuh yang akan menggeliat meronta dalam darah, berputar-putar, menyiksa, mau meremukkan perahu seisi-isinya. Membuat ombak marah, memerah, amisnya mencemari langit yang begitu biru, begitu damai. Terkadang di antara pemburu yang baik hati tapi tak berdaya itu ada yang mati atau tinggal terkatung-katung berminggu-minggu sebelum terdampar di benua selatan. Sementara untuk menaklukkan kami layaknya seperti mengikuti pesta besar yang pada akhirnya toh akan usai.

Begini jalannya pesta perburuan itu. Tempuling yang sudah tertanam di jantung kami dihubungkan dengan leo, tali yang terbuat dari kapas yang dipilin dan disamak, ditambatkan ke sebatang galar di dalam perahu. Sesungguhnya, kami adalah makhluk pemasrah. Kami tahu kami adalah untuk mereka, para pemburu itu. Tetapi, kami ingin mati terhormat dengan berenang menyongsong laut lepas di mana tiada dosa. Karena kami mengejar kematian ke tengah laut, maka para pemburu itu pun terseret tali yang menegang, lurus-lurus menuju tepi langit. Sampai kami lemas kehilangan darah dan tenaga, lalu mati.

Para pemburu itu adalah makhluk yang menertawakan. Yang mereka kerjakan lucu. Mereka tak perlu terjun ke laut sambil menghunus pisau untuk melukai, mencabik-cabik nadi kami supaya darah menyembur lebih deras. Kami akan menemui kematian kami sendiri demi mereka. Kami tahu, mereka tidak berbakat pembunuh. Ini cuma kesalahpahaman yang sudah berabad-abad. Kami tak pernah dipahami.

Langit begitu biru. Semburan-semburan air yang melukis dinding langit membuat hati para pengintai di pantai sana berdebur rasa riang bercampur cemas. Apalagi semburan itu tampak tidak tegak lurus mencakar langit, melainkan condong ke depan, membentuk buah pir yang sedang ranum-ranumnya. Pertanda bahwa lakonnya adalah kami, koteklema, dan bahwa pesta akan berlangsung mudah. Tubuh-tubuh manusia terpacak di atas kaki yang tegak gemetaran. Seperti hendak memecahkan urat leher, mereka berseru sejadi-jadinya begitu melihat semburan napas kami yang sedang menyingkapkan hari yang baru di laut yang hangat ini. ”Baleo...! Baleo…!” Jeritan itu secepat libasan angin bersahut-sahutan dalam lengking yang dipantulkan pasir di pantai dan batu cadas yang mendaki tebing-tebing bukit.

Manisnya hidup ini, kawan. Hari ini 1 Mei, saat mereka yang tak punya apa-apa, kecuali darah dan tenaga, menari-nari di semua benua. Sementara di sini, agama menemukan jiwanya yang sejati. Sesaat lalu, di pantai itu berlangsung misa, di mana doa bercampur dengan mantra kaum Jahiliah untuk memanggil roh kami. Oh… pekerjaan manusia yang sia-sia! Tuhan terlalu baik. Dia tak usah disembah supaya menghanyutkan kami kemari. Adalah seruan hidup kami untuk sengaja datang dan menyerahkan diri. Bukankah kami lebih kuat dari agama, kalau diingat bahwa agama dikenal penduduk pulau kecil itu hanya karena kecelakaan. Dua pastor, dengan tujuan pulau yang lebih besar, terdampar ke kesini. Perahu mereka diterjang badai dan gelombang yang mengamuk.

Tetapi, baiklah kalau misa pemanggil roh sudah telanjur diniatkan. Niat selalu suci. Namun, misa itu tetaplah misa yang ganjil. Lihatlah, di situ tak ada gereja. Cuma ada kapel dan altar yang terbuat dari batu gunung yang ditatah, dionggokkan dengan rasa hormat di pojok dusun. Lelaki dan perempuan mengenakan sarung dan baju terbaik. Mereka berdiri dengan tertib. Kuping mereka tampak lebih besar, yang mereka tadahkan dengan baik-baik, untuk menyimak pastor yang sedang memimpin misa yang digelar di atas pasir putih di bibir pantai. Di bibir pantai.... Pujaan setinggi angkasa dan permohonan yang mengiba-iba kepada Roh Kudus diperdengarkan untuk mengundang kami, para paus, yang diharapkan datang bergulung-gulung dalam jumlah yang akan membuat laut menjadi hitam. Mengalun pula doa bagi orang yang tewas dan hilang dalam perburuan yang ganas tahun kemarin, atau berabad-abad yang silam, agar mereka mendapatkan belaian kasih dan pengampunan Allah di surga.

Ini desa nelayan tiada duanya. Malam-malam terdengar orang mengaji Injil. Kata-kata Ilahiahnya melintasi pintu dan jendela-jendela rumah yang tak pernah ditutup supaya kecipak ikan masuk leluasa. Dan hidup benar-benar terasa duniawi karena di beberapa sudut tercium aroma tuak dan ceracau mereka yang mabuk.

”Baleo..! Baleo…!” Dalam hitungan sekecipak air laut, selusin perahu bercadik meluncur dan dikayuh kuat-kuat. Hati para pemburu itu dikuasai keinginan untuk meratah daging kami, mereguk minyak dan darah kami. Begitu sulitkah sebuah pengertian? Seakan beratus tahun tak pernah cukup untuk memahami bahwa kami melintas di sini untuk memenuhi panggilan penyerahan diri, pengorbanan untuk kelangsungan hidup mereka di pulau yang kering sengsara. Lamalera!

Pandanglah si lamafa, pemegang tempuling yang berdiri di haluan perahu itu. Dia yang segagah itu harus berkelahi menenangkan hatinya yang gentar dan tangannya yang gemetar memegangi tempuling seraya matanya lapar mencari bagian tubuh kami yang paling empuk untuk dirajam. Kalau kami dipahami dengan benar. Kalau saja mereka mengerti bahwa hidup kami memang buat mereka, tak seharusnya hati seorang lamafa adalah campuran kecemasan dan keberanian. Orang semanis dia tak seharusnya menyimpan hasrat membunuh. Sama seperti tidak seharusnya anak-anak kami berniat membunuh kami supaya bisa menyusu di puting susu kami. Kami bukan makhluk yang haus darah sebagaimana manusia di Jawa dan Bali yang memangsa saudaranya sendiri, berpuluh tahun yang lalu, ketika kami sekaum sedang menjelajahi laut selatan. Menjijikkan. Ada jenderal yang bangga telah membinasakan orang tak bersenjata, tak bersalah, jutaan jumlahnya. Jung pecah yu yang kenyang, kata peribahasa. Sesudah pembantaian itu, langit pun tahu siapa yang mati kekenyangan.

Langit semakin biru. Garis pantai terputus-putus terlindung haluan perahu yang menderu, beradu cepat mengejar kami. Para pemburu maju bersama perahu mereka yang begitu sederhana, yang tak pernah berubah sejak ratusan tahun yang lampau sejak kami saling bertemu. Memang, seharusnya seperti itulah. Berangkat dengan doa. Bertolak dengan kesederhanaan. Melaut membawa perut yang hanya sejengkal. Tidak seperti pemburu di daratan lain, yang datang dengan kapal-kapal besi. Tempuling mereka bukan bambu, tapi meriam!

Setengah mil dari iring-iringan kami, tempuling pertama sudah dihunjamkan si lamafa sekuat-kuatnya dengan seluruh tubuhnya ikut mencebur ke laut. Mata senjata itu tertancap persis di jantung seguni jantan. Dalam sekejap, perahu berputar seligat gasing. Ekor si jantan berkelebat menghantam perut perahu. Ombak membalun. Darah menyebar. Darah! Tapi, takkan ada hiu yang punya nyali untuk mendekat karena pemburu itu akan terjun membantu si lamafa dengan membawa pisau atau parang dan menikam hiu yang mendekat. Laut menggelora, gulungan ombak memerah kusumba. Paus pembunuh itu tetap tak rela mati dibunuh. Berputar-putar dia mengitari perahu. Ekornya melibas, menggapai-gapai. Pagi ini, tempuling, pisau, dan parang panjang sudah mencabik-cabik tubuhnya, tapi baru menjelang malam nanti darah timpas dari nadinya.

Di laut sini, jantan menunjukkan kelaki-lakian mereka yang tiada duanya. Mereka memilih mati daripada betinanya yang dibunuh. Di musim kemarin, jantanku sengaja menyerahkan diri, membiarkan jantungnya dirajam tempuling, agar aku dan kaumku bisa meneruskan perjalanan. Tapi, dalam perjalanan menghanyutkan diri di laut yang hangat ini, aku sudah memohon dia supaya menjauh. Menjauh... Aku percaya, kematianku takkan menyebabkan kepunahan koteklema. Para pemburu itu manusia sederhana, yang menyambut seruan hidup untuk memuliakan para janda dan si miskin dengan mempersembahkan daging kami kepada mereka. Usus mereka terlalu pendek untuk melenyapkan kami semua. Mereka bukan orang-orang berkulit putih atau kuning, yang memangsa kami bersenjatakan kapal-kapal besi bermesiu di belahan dunia di utara sana.

Berkelebat aku menikung, semakin jauh dari jantanku. Sekali ekorku berdebur mengepak udara, tubuhku meluncur beratus meter ke bawah permukaan laut. Ketika aku muncul kembali, para pemburu itu terperanjat bukan kepalang melihat ekorku mengegol-egol di buritan. Kuapungkan tubuhku. Dan perahu pemburu itu menempel seperti bayi yang mungil di punggungku. Tak ada jerit ketakutan di antara mereka. Bukan karena keberanian, tapi karena adat yang mengharamkan suara dalam perburuan.

”Jangan tikam é…! Kamu jangan jadi pengecut… Betina… Jangan bunung betina! Dia bagus seperti Yesus.” Kudengar seseorang berbicara tertahan. Pasti ada pengkhianat di antara pemburu. Sebab adat melarang mereka melontarkan sepatah kata pun. Dalam perjalanan pulang, menghela hasil buruan yang sudah tertambat di sisi perahu, juga tak boleh ada kata. Apalagi menyebutkan daratan, seperti Adonara, Larantuka. Bisa bikin perjalanan pulang bakalan lama, sejauh jarak daratan yang disebutkan. Suatu ketika ada yang ngomel: ”Apa saya bicara Belanda sehingga kamu orang tidak mengerti?” Gara-gara umpatan itu, pantai seperti Eropa jauhnya.

Tapi, suara di haluan itu, seruan si lamafa itu, boleh dimaafkan dewa-dewa karena ini memang kejadian luar biasa. Aku, koteklema, paus berbobot 40 ton sedang menyerahkan diri bulat-bulat. Supaya laut tidak berdarah-darah lagi.

Langit biru, laut senyap. Di punggungku, perahu dengan delapan pemburu yang berserah diri kencang menjelajah ke pantai. Dengan tertempel di punggungku, muncung perahu deras menyisir ombak ditingkah gemercik air di ujung cadik. Layar yang terbuat dari daun lontar dibiarkan saja kuncup, tak ada gunanya.

Dalam tatinganku perahu seisi-isinya tambah menepi. Sekali ekorku melibas, daguku sudah akan mendarat di pasir pantai. Di haluan, kudengar si lamafa mengutuk dirinya dengan kata-kata yang tak bisa kupahami. Dia terisak-isak. Kupikir dia menangis sambil memegangi ujung haluan. Mencium kayu itu, kayu yang beberapa hari sebelum perahu itu melaut, diselimuti dengan anyaman daun lontar, diperlakukan seperti manusia.

”Anna,” si lamafa memuja. ”Maafkan aku. Memang aku membelai pipi Leoni dan sembunyi-sembunyi kasi dia jepitan rambut dari plastik yang selalu dia pakai. Bikin dia senang. Aku lupa sumpah di depan pastor, kamu satu-satunya istriku. Sampai mati....”

Penduduk desa nelayan itu terdiam, takjub, terkejut, tak percaya melihat aku sendiri yang menghamparkan tubuhku di pasir. Orang-orang mengerumuniku. Menepuk-nepuk perutku yang buat mereka kokoh seperti bukit yang tak bisa dirubuhkan. Penuh daging dan lemak, lebih dari cukup untuk lauk mereka setahun. Semua merapat ke tubuhku. Kecuali si lamafa, yang merasa malu karena mata tempulingnya sia-sia. Dia menuntun istrinya menjauh.

Si lamafa bercerita kepada istrinya tentang jalannya perburuan yang gagal, tetapi membawa pulang seekor paus sebesar rumah. ”Dia koteklema betina. Seperti kamu. Dia menyerahkan diri. Juga seperti kamu. Dan menuntun kami pulang. Seperti kamu. Aku malu pada kamu, Anna....”

Anna Margaretha cuma mengais-ngaiskan kaki di pasir. Matanya haus menatap kerumunan orang di pantai. Ia kepingin menjamah perut mamalia itu, tanda terima kasih. Bersyukur untuk daging dan lemakku, juga untuk penyerahan diriku yang telah menyadarkan suaminya pada sumpah dan cinta pertama.
Sumber: Kompas, 21 Juni 2009
Ket foto: Tiga anak nelayan Lamalera bermain-main di Pantai Desa Lamalera, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Lamalera dengan tradisi berburu ikan paus (lefa) menjadi inspirasi Martin Aleida menulis Tiada Darah di Lamalera, sebuah cerpen yang begitu menarik bagi para pembaca. Foto: http://www.globtroter.pl/

Emas, Lembata & Merukh

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, June 19, 2009 | 5:39 PM

Oleh Siti Maemunah
Direktur Eksekutif Jaringan Advokasi Tambang

Emas, logam kuning yang sebagian besar digunakan untuk perhiasan. Mendengar kata emas, orang selalu berpikir harganya yang mahal. Jika tambang emas skala besar akan masuk di suatu wilayah, kita lantas membayangkan akan mendapatkan kesejahteraan. Benarkah?

Tak heran jika pembicaraan yang mengemuka ditengah publik kemudian, sebatas cerita infrastruktur yang akan disediakan perusahaan hingga angka bagi hasil buat daerah. Itu pula yang disampaikan Yusuf Merukh, terkait rencana tambang emasnya di Lembata. Tak tanggung-tanggung, Merukh menyatakan akan membangun apartemen untuk menampung warga yang tergusur, termasuk membangun sekolah unggulan mulai dari tingkat TK hingga SMU, menampung anak-anak mereka. Ini lagu lama perusahaan tambang.

Sayangnya, sedikit sekali publik mendapatkan imbangan informasi, apa resikonya jika tanah mereka digali dan diambil emasnya.

Misal informasi bagaimana orang dayak Siang Murung Bakumpai di Kalimantan Tengah - pontang-panting digusur oleh Aurora Gold, perusahaan tambang emas dari Australia, atau cerita marga Rumpit di Sumatera Selatan yang sungainya tak bisa digunakan, sejak tambang emas Laverton, juga masyarakat adat Kao Malifut yang tergusur hutan adatnya dan perginya ngafi - ikan teri di teluk Kao. Apalagi cerita dua tambang yang dimiliki Yusuf Merukh di Sumbawa dan Minahasa Selatan.

Di Sulawesi Utara, Merukh memiliki 20% saham Newmont Minahasa Raya (NMR). Alih-alih menyediakan apartemen buat warga korban, sejumlah 266 warga Buyat pantai terpaksa pindah - akibat pemukiman mereka tidak sehat lagi. Perusahaan menutup tambangnya pada tahun 2003, mewariskan lebih 4 juta ton limbah tailing di teluk Buyat dan 5 lubang tambang dengan luasan puluhan hektar, kedalaman ratusan meter - yang tak pernah bisa ditutup sampai kapanpun.

Di Nusa Tengara Barat, Merukh juga memiliki saham Newmont Nusa Tenggara (NNT). Hingga saat ini, teluk Senunu di Sumbawa, telah menjadi buangan sekitar 290 juta ton tailing, yang terus bertambah hingga tambang tutup nanti. Warga melaporkan penggusuran lahan, krisis air hingga berkurangnya tangkapan ikan.

Pertanyaannya kemudian, jika emas di Lembata di gali - dengan skala yang sama dan metode yang sama - samakah nasibnya dengan tempat lain diatas ?

Untuk menjawabnya, kita perlu mengetahui apa karakteristik atau ciri pertambangan emas. Sehingga kita bisa membayangkan, bagaimana jika emas di Lembata digali dalam skala besar.

Di tambang PT Freeport di Papua - pemilik setengah cadangan emas Indonesia, untuk mendapat satu gram emas, dibuang 650 kilogram limbah tailing dan 1730 kilogram limbah batuan (overburden). Sementara di Tambang Laverton di Sumatera Selatan, dibutuhkan setidaknya 104 liter air - hanya untuk mengambil satu gram emas dari batuan. Dari dua tambang ini, kita mendapatkan gambaran ciri pertambangan emas.

Pertama, Pertambangan emas membutuhkan lahan sangat luas untuk digali. Semua proyek pertambangan, terutama pertambangan terbuka, memerlukan lahan dalam jumlah luas untuk membangun lobang tambang, pabrik pengolah bijih, fasilitas penunjang seperti pelabuhan dan jalan, serta fasilitas lain seperti perumahan pekerja. Untuk keperluan itu maka terjadi pembukaan hutan, lapis tanah dikupas dan digerus dari permukaan hingga kedalaman tertentu, tata air (hidrourologi) dirombak. Kegiatan ini menyebabkan terganggunya tata air setempat, resiko bencana longsor serta banjir

Biasanya, dengan cara apapun - penduduk akan dipaksa merelakan lahannya untuk ditambang. Hanya dua pilihan yang tersedia, warga menyerahkan lahan dengan ganti rugi sepihak atau tidak dapat apa-apa. Konflik tanah dengan warga sekitar terjadi hampir di semua lokasi tambang, mulai Aceh hingga Papua.

Kedua. Pertambangan emas butuh air dan menghasilkan limbah yang jumahnya luar biasa besar. Hampir 98% batuan yang digali akan dibuang menjadi limbah.

Sedikitnya, ada 3 jenis limbah utama pertambangan emas. Batuan limbah (overburden) adalah batuan permukaan atas yang dikupas untuk mendapatkan batuan bijih atau batuan yang mengandung emas. Selanjutnya ada tailing - bijih emas yang sudah diambil emasnya menggunakan bahan kimia - diantaranya Merkuri atau Sianida. Tailing berbentuk lumpur yang mengandung logam berat. Menurut Peraturan pemerintah (PP) No 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) jo PP No 85 tahun 1999, disebutkan bahwa limbah yang megandung logam berat seperti Merkuri dan Sianida termasuk dalam kelompok Limbah B3. Terakhir, air asam tambang - limbah yang menyebabkan kondisi keasaman tanah, yang berpotensi melarutkan unsur mikro berbahaya dalam tanah - sehingga berpotensi meracuni tanaman dan mahluk hidup sekitarnya.

Pertambangan merupakan industri rakus air. Penggunaan air dari sumber-sumbernya dengan skala besar untuk menjalankan proses pengolahan batuan menjadi bijih logam. Luar biasa tingginya kebutuhan air untuk operasi industri tambang menyebabkan pemenuhan air warga setempat dikalahkan, sering mereka harus rela mencari mata air baru atau harus berhadapan dengan kekerasan untuk mempertahankan sumber air mereka.

Jangan lupa, pada saat pembuatan lobang (pit) penambangan dan pembangunan pabrik serta instalasi lainnya, kegiatan pengupasan tanah, peledakan, serta pengoperasian alat-alat berat pengangkut tanah dan lalu lalang kendaraan berat dengan intensitas tinggi menjadi sumber pencemaran udara - akibat peningkatan volume debu.

Apa akibatnya? Penduduk lokal harus pontang panting berhadapan dengan perusakan lingkungan yang luar biasa karena limbah tambang.

Umumnya, tailing dibuang ke daerah lembah dengan membuat penampung (tailing dam), dibuang ke sungai hingga ke laut - biasa disebut STD.

Submarine Tailing Disposal (STD), dipromosikan oleh pelaku pertambangan sebagai cara pembuangan limbah yang paling baik dan ramah lingkungan, termasuk di Lembata. Dua tambang di Indonesia yang menggunakan STD, keduanya milik Yusuf Merukh dan Newmont.

STD di negara asal Newmont - Amerika Serikat, tidak mungkin lolos dari Clean Water Act - Undang-undang yang mengatur lingkungan perairan disana. STD sebenarnya adalah teknologi buruk dan murah. Menurut Enviromental Protection Agency (EPA) - Badan Lingkungan Amerika Serikat, biaya menggunakan STD lebih murah 17% dibanding membangun tailing dam, padahal dampak kerusakan akibat STD sangatlah luar biasa.

PT NMR - salah satu tambang Merukh, membuang limbahnya kelaut, dikenal dengan Submarine Tailing Disposal (STD). Setiap harinya, perusahaan membuang 2000 ton limbah tailing ke teluk Buyat, sejak tahun 1996. Delapan tahun kemudian, sekitar 80% warga mengalami gangguan kesehatan, mulai tumor di badan, gangguan saraf, hingga Infeksi Saluran pernafasan Akut (ISPA) dan paru-paru.

Ketiga, Berbeda dengan lahan pertanian yang bisa ditanami terus menerus - berkelanjutan, tambang memiliki umur. Di Indonesia, meski umur perijinannya mencapai 25 hingga 50 tahun, tapi umumnya tambang skala besar hanya mencapai 4 hingga 12 tahun. Tentu tak termasuk nama Freeport dan INCO di Sulawesi selatan - yang cadangan mineralnya luar biasa besar. Mereka telah beroperasi hampir 4 dekade.

Keempat, Resiko perubahan-perubahan sosial yang terjadi akibat besarnya aliran modal dalam waktu pendek dan serbuan pendatang. Misalnya, dihampir semua lokasi tambang, bisnis hiburan, termasuk prostitusi berkembang subur. Kota Timika, salah satu contohnya. Kota tambang Freeport di Papua tersebut saat ini mendapatkan peringkat pertama dalam jumlah penderita HIV AIDS terbesar di Indonesia.

Itulah gambaran "daya rusak" pertambangan, yang tak pernah diampaikan pemerintah dan pelaku pertambangan, sejak awal.

Saat perusahaan tambang sudah selesai beroperasi, penduduk bukannya bebas dari masalah, perusahaan bisa dengan sekehendak hati meninggalkan lokasi yang telah rusak dengan lubang-lubang puluhan hektar menganga.

Marga Rumpit di tepi sungai Tiku, heran - bagaimana sungai mereka kembali keruh setelah tambang emas Laverton tutup. Ternyata, perusahaan diam-diam membuat saluran yang menghubungkan penampung tailing dengan sungai Tiku. Mereka juga meninggalkan lubang menganga puluhan hektar sedalam ratusan meter.

Jika Lembata memilih tambang, artinya ekonomi jangka pendek yang dipilih - yang hanya akan dinikmati sedikit orang. Tak heran jika bupati Andreas Duli Manuk dan Piter Boli Keraf, ketua DPRD Lembata - ngotot meloloskan ijin Merukh pada masa mereka masih menjabat.

Lantas siapa yang menanggung dampak pertambangan kelak, lima atau delapan tahun kemudian - setelah mereka tidak menjabat?.
Sumber: kabarntt.blogspot.com

Misa Syukur 25 Tahun Imamat Pastor Jeremias Balapito Duan, MSF

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, June 18, 2009 | 1:08 PM

Putra Lembata yang juga anggota Komisi Keluarga Tarekat MSF Pastor Jeremias Balapito Duan, MSF merayakan Misa Syukur 25 tahun imamat di aula Gereja St Joseph, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Minggu (7/6).

Misa dihadiri ratusan umat Katolik di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Hadir pula umat Katolik asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang tinggal di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Misa bertema, Aku Bersyukur kepada-Mu Tuhan karena Semuanya itu Engkau Nyatakan kepada Orang Kecil (Mat. 11:25).

Dalam kotbahnya Pastor Jeremias yang kini menjabat anggota Komisi Keluarga Tarekat MSF, berpesan agar umat selalu mensyukuri apa yang telah diberi oleh Tuhan. Selain itu, dalam hidup keluarga-keluarga Katolik mau meniru teladan hidup keluarga kudus Nasareth.

“Bunda Maria dan Santu Yosef adalah teladan hidup keluarga. Kita sebagai umat Katolik patut mensyukuri kasih yang diberikan kepada kita melalui teladan keluarga kudus ini,” kata Pastor Jeremias, Sekretaris Eksekutif Komisi Keluarga Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) 2001–2007.

Misa dan pesta 25 tahun imamat Pastor Jeremias sangat berkesan di hati umat. Sesepuh Lembata di Jakarta, Drs Anton Enga Tifaona mengatakan, perayaan syukur 25 tahun merupakan bukti bahwa Pastor Jeremias dalam menjalankan janjinya untuk setia kepada panggilan imamat.

“Semoga Romo Jere dapat menjalankan kesetiaan panggilan imamatnya untuk selalu melayani Tuhan dan umat,” kata Anton Tifaona yang pernah menjabat Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Maluku dan Kepala Kepolisian Wilayah (Kapolwil) Timor Timur.

Ketua Panitia, Alex Atawolo, mengatakan Pastor Jeremias merupakan sosok kebanggaan dan teladan umat. Sebagai seorang imam, ia mampu menghadapi tantangan selama 25 tahun. “Hari ini kita menjadi saksi bahwa Romo Jere telah melewati masa cobaan selam 25 tahun,” ujar Alex Atawolo.

Pastor Jeremias lahir di Lewuka, Lembata, NTT, 4 Juni 1953. Masuk Seminari San Dominggo, Hokeng, Flores Timur, tahun 1967 dan selesai tahun 1973. Tahun 1976–1977 masuk novisiat MSF di Salatiga, Jawa Tengah. Kemudian, ia menerima kaul pertama sebagai biarawan MSF di Yogyakarta pada 31 Januari 1977. Kemudian, pada 22 Juli 1983, ia menerima kaul kekal.

Pada 6 Januari 1984, ia dithabiskan menjadi imam di Gereja Banteng, Yogyakarta. Setelah itu, tahun 1984–1988 ia bertugas di Paroki Santu Yohanes Evangelista, Kudus. Selepas dari Kudus, Pastor Jeremias berkesempatan studi perkawinan dan keluarga di Institut Yohanes Paulus II Roma, Italia.

Sekembali dari Roma, pada 1992–2001 ia bertugas di beberapa paroki di Jawa. Di antaranya adalah Paroki Santu Yohanes Evangelista Kudus, Paroki Santu Paulus Sendangguwo, Semarang, Paroki Santu Paulus Kleco, Solo, dan Paroki Santu Petrus & Paulus Minomartani, Yogyakarta.

Tahun 2001–2007, menjabat Sekretaris Eksekutif Komisi Keluarga KWI. Tahun 2008 mengikuti kursus konseling dan terapi keluarga di CEFAM, Anteneo, Manilia, Filipina. Tahun 2009–2015, dipilih sebagai salah satu Anggota Komisi Keluarga Tarekat MSF, Roma, Italia.
Sumber: Flores Pos, 16 Juni 2009
Ket Foto: Pastor Jeremias Balapito Duan, MSF

Stefanus Roy Rening SH: Menjadi Anak Sulung

ADVOKAT dan pengacara Stefanus Roy Rening, SH mengemban tugas baru. Ia diangkat Fabianus Tibo, salah satu terpidana mati kasus Poso III yang baru dieksekusi pada 21 September lalu, menjadi anak sulung Tibo.

“Saat kami bertemu pada Kamis, 21/9) siang, Om Tibo masih mengingatkan saya bahwa saya anak sulungnya. Robert Tibo (anak sulung almahrum Fabianus Tibo) itu adikmu. Tolong kalau ia mengalami kesulitan maka akan berlari kepada kamu sebagai kakak sulungnya,” kata Roy Rening mengenang saat-saat akhir mendampingi kliennya itu.

Maklum. kekerapan Ketua Tim Pengacara Padma Indonesia itu mengunjungi Tibo dan dua rekannya, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Petobo, Palu, sangat tinggi. Ketika tersiar informasi pertama kali bahwa Tibo dkk akan dieksekusi, hati pengacara kelahiran Makassar ini pun tak tenang.

“Padahal, saat itu saya berada di Jayapura. Ternyata, informasi itu benar adanya sehingga saya langsung terbang dari Jayapura dan langsung ke Palu. Ketika saya muncul di LP Petobo, ketiganya malah heran. Kok, saya datang. Mereka malah tertawa karena tiba-tiba saya datang begitu saja. Mereka senang karena pasti saya bawa oleh-oleh,” kata Roy.

Tibo, kata Roy, juga heran karena sebagai klien seharusnya memikirkan uang saku untuk pengacaranya. Nah, justru dalam kasus mereka justru pengacara memikirkan uang saku klien.

Roy mengaku sangat kagum dengan keakraban yang mereka bangun di antara sesama napi. Oleh-oleh yang dibawa pun dibagi-bagikan kepada rekan-rekan sesami napi. Ketiganya, terlihat sangat siap menghadapi kematian.

“Om Tibo menitipkan buku orasinya untuk saya dan tetap berpesan bahwa Robert Tibo itu adik saya. Setelah kami berpamitan dengan mereka sebelum eksekusi, petugas LP mengabarkan saya bahwa ketiganya hanya pasrah dalam doa. Almahrum juga meminta para pemfitnah untuk menghentikan kebencian dan fitnah. Fitnah itu cukup ia dan Dominggus serta Marinus,” cerita Roy. (Ansel Deri)
Sumber: HIDUP Jakarta
Ket Foto: Advokat dan pengacara Stefanus Roy Rening SH (kanan) bersama (alm) Fabianus Tibo (kiri) saat di Lembaga Pemasyarakatan Petobo, Palu. Foto: Istimewa.

Pastor Lamberto Lalung Namang, SVD: Menjadi Pelayan di Ujung Bumi

Written By ansel-boto.blogspot.com on Sunday, June 14, 2009 | 6:36 PM

SETIBA di Chile, ia melayani umat sepenuh hati. Berbagai kepercayaan diberikan padanya. “Saya datang dengan hati yang tahu mencinta dan membiarkan diri dicintai,” ujar Pastor Lamberto.

Pilihan hidup sebagai imam, mengantar Pastor Lamberto Lalung Namang, SVD menjadi misionaris di Chile. Pastor Lamberto, begitu imam asal Atawolo, Lembata, NTT ini disapa umatnya, tiba di Chile pada 12 Januari 1991. Ia menceritakan, jauh sebelum tahbisan imam, melalui Petitio Misionis, setiap kandidat melamar ke tiga tempat. Baik dalam maupun luar negeri.

“Pada putaran pertama, pilihan saya tiga negara yaitu Chile, Filipina, dan Indonesia. Saat itu ada 32 orang rekan imam seangkatan. Para petinggi serikat baik tingkat jenderalat di Roma maupun tingkat provinsi (Ende) mengharapkan kami melamar keluar negeri,” ujar Pastor Lamberto di Jakarta.

Harapan para petinggi serikat beralasan. Saat itu banyak permintaan dari luar negeri di mana serikat berkarya. Sayangnya, pada putaran pertama hanya sedikit imam yang melamar keluar negeri. Para petinggi pun mulai marah. Ia dan rekan-rekan imam melamar ulang. Saat lamaran kedua, ada tiga calon negara ia pilih. Maka pada urutan pertama, kedua, dan ketiga, ia hanya memilih Chile.

Pastor Lamberto pun buka kartu bahwa pilihan itu adalah pilihan primordial. Chile merupakan negara yang terletak di ujung paling selatan benua Amerika. Negara yang berada di “ujung bumi”. Pilihan ini juga masih ada kaitan dengan semangat petualang orang muda yang ingin mewartakan Sabda Tuhan “sampai ke ujung bumi” tanpa memikirkan resikonya.

Saat pengumuman, ia merasa bangga. Namun, pada waktu bersamaan hatinya bergolak. Sempat ia bertanya dalam hati. Apakah keputusan ini sungguh definitif. Atau masih bisa ditawar-menawarkan. Kecemasan yang muncul saat itu yakni harus meninggalkan ibu dan adik-adiknya. Sedangkan, ayahnya yang merantau ke Tanjung Pinang sejak ia berumur setahun lebih (1962) belum juga kembali ke kampung halaman.

Rute Panjang

Setelah mempersiapkan segala dokumen yang diperlukan, Pastor Lamberto memulai perjalanannya dengan maskapai penerbangan Lufthanza. Imam ini menempuh perjalanan dari Bandara Soekarno Hatta Cengkareng menuju Bangkok (Thailand). Penerbangan dilanjutkan ke Frankfurt (Jerman), Rio de Jeneiro (Brasil), Sao Paulo (Brasil) dan terus ke Santiago.

Ia mengakui, melihat rute penerbangan dan jarak yang ditempuh dari Jakarta hingga Santiago maka rute Frankfurt ke Santiago adalah yang paling jauh. Dan saat masuk di Chile yang berbahasa Spanyol, ia sudah mengikuti kursus pendalaman Bahasa Inggris selama dua bulan.

Seorang misionaris jika dipanggil menjadi “Duta Sabda” maka ia tentu sudah disiapkan untuk bisa menyesuaikan diri dengan segala sesuatu yang bersifat “baru” dan “berbeda”. Kesimpulan ini, ujarnya, ditarik sesudah ia mengalami kesulitan menyangkut iklim, budaya dan lingkungan. Chile, misalnya, memiliki empat musim yakni panas, gugur, dingin, dan semi. Masing-masing berlangsung selama tiga bulan.

“Seiring berlalunya waktu dan melewati berbagai kesulitan maka otomatis kita akan menarik kesimpulan sendiri bagaimana mengatasi semua kesulitan itu. Saya salut dengan sifat penyayang umat. Mereka selalu memperhatikan apa yang kurang pada kita. Saat kita merayakan hari ulang tahun, Natal maupun Paskah, mereka menghadiahkan celana panjang, pakaian atau sepatu sesuai musim sekalipun harganya mahal,” ujarnya.

Kultur dan Sosial

Pastor Lamberto mengaku, kalau sekadar latar belakang kultur Indonesia dengan Chile, sebenarnya tidak ada masalah. Tapi, soal agama yang sedikit unik. Orang Chile merasa lebih katolik dari Indonesia. Sebanyak 70 persen dari 16 juta jiwa penduduknya beragama Katolik. Mereka sangat heran karena orang Asia jumlah penganut Kristiani hanya 3 persen. Begitu pula Indonesia dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, bisa mengirim misionaris ke Chile.

“Mereka merasa terpukul. Ini terlebih pada masyarakat biasa yang tidak punya banyak wawasan tentang Gereja dan hakekatnya yang misioner. Gereja yang melampaui segala bentuk front atau dinding yang memisah,” katanya.

Ia punya pengalaman tahun 1993 saat ia mempersembahkan misa pemberkatan nikah suci di salah satu paroki tetangga. Saat itu ada seorang umat menyampaikan dengan nada protes. Kata umat itu, ia merasa malu dan tidak setuju kalau Indonesia yang Islam bisa mengirim orangnya untuk mengajar orang Chile yang Katolik.

Imam ini pun tak kehilangan akal menjawabnya. Ia mengatakan, memang benar bahwa mayoritas orang Chile beragama Katolik. Sedang Indonesia dengan mayoritas beragama Islam. Tapi, apa artinya kalau panggilan imam tidak ada. Yang namanya Katolik berarti universal. Ada di Chile ada juga di Indonesia.
Hormati Imam

Pastor Lamberto menceritakan, mayoritas orang Chile beragama Katolik. Mereka sangat menghormati dan menghargai para imam. Seorang imam, apa lagi misionaris yang sudah meninggalkan keluarga, bahasa, dan kebudayaannya maka ia selalu diterima.

Mereka punya sebuah nyanyian folklor. Si vas para Chile. Artinya, kalau nanti Anda pergi ke Chile. Penggalan lanjutannya seperti ini: “….dan anda akan merasakan sendiri. Betapa orang Chile sangat mencintai temannya (amigo) orang asing.” Folklor ini ditujukan khusus untuk orang asing yang berada di Chile.

Mereka menganggap, misionaris asing selain pewarta Kabar Baik, juga teman umat. Karena itu ia tidak perlu cemas kalau orang Chile tidak akan menerimanya. Pastor Lamberto juga kerap sharing dengan sesama saudara setanah air yang ada di Chile. Bahwa orang Eropa punya kemudahan dalam banyak hal untuk diterima orang Chile karena mereka punya uang, wajah, dan sebagainya.

“Kita datang dari Indonesia hanya membawa diri seadanya. Tapi bukan berarti kita tidak bisa memberi sesuatu. Dalam konteks misi, justru kita punya yang paling penting. Kita punya hati. Dan bukan sembarang hati melainkan hati yang tahu mencinta dan tahu membiarkan diri untuk dicintai. Itu yang saya praktekkan,” katanya.

Ia punya pengalaman selama empat tahun bekerja sebagai animator misi dan sempat berkeliling di sebagian besar Chile. Ada empat keluarga di kota dan propinsi berlainan sempat memberikan kunci rumah mereka. Kapan saja ia mau ia bisa membuka rumah itu.

“Seorang imam projo bilang, ‘Lamberto, saya orang Chile dan sampai sekarang belum pernah ada kenalan yang memberikan saya kunci rumahnya seperti kamu’. Tapi, pemilik rumah memberikan saya kunci rumahnya untuk saya,” lanjutnya.

Pionir

Pastor Lamberto mengaku, ia bersama Pastor Yoseph Muda, mereka tiba di Chile sebagai imam misionaris asal Indonesia pertama. Sebagai pionir, mereka lebih banyak berjuang sendiri. Terutama dalam hal bahasa, kebiasaan, pastoral, dan sebagainya. Perjuangan ini dibarengi dengan keterbukaan dan kerelaan untuk dibantu oleh orang lain. Tak ayal, seiring waktu yang berlalu, ia pun terus menunaikan tugas-tugasnya dengan baik bersama umat.

Saat ini, misalnya, ia sedang menyelesaikan tugasnya sebagai pastor paroki. Ini sesuai Plan Pastoral dari keuskupan. Nah, berdasarkan petunjuk program itu, ia menyusun program sendiri bersama umat sebagai. Sejak ia menangani paroki tahun 2004, ada beberapa program pastoral paroki yaitu Paroki Misioner (misionera), Paroki Solider (solidaria), dan Paroki Pewarta (kerygma, evangelizadora).

“Ketiga karakter itu menjawabi program keuskupan dan realitas paroki kita. Juga berkaitan dengan karisma serikat. Paroki kita merupakan paroki kota propinsi. Ia merupakan paroki yang paling luas dibanding dengan sebelas paroki lainnnya di kota ini,” ujarnya.

Dari delapan stasi, termasuk pusat paroki, empat darinya merupakan stasi paling miskin dengan konsekuensi banyak perampok dan penjahat, banyak trafik dan konsumsi narkoba. Situasi ini mendorong umat untuk solider. Artinya, umat bekerja keras membantu keluarga-keluarga miskin dan melarat. Bantuan itu berupa makanan, pakaian, obat-obatan dan sebagainya.

Ada realitas lain yang ia hadapi. Setiap tahun umat semakin menjauh dari gereja. Sedang di sisi lain makin berkembangnya sekte-sekte baru. Makanya, gereja pun memandang perlu menerapkan suatu pastoral yang sifatnya lebih agresif. Paling kurang menarik kembali mereka yang telah menjauh. Atau sedapat mungkin mempertahankan yang ada.

Di sini, kata Pastor Lamberto, dibutuhkan suatu program misioner yang permanen: mewartakan Sabda ad-intra dan ad-extra. “Kita tidak bisa merasa puas dengan umat yang datang ke misa hari minggu, karena jumlah itu hanya sedikit. Program ini berhasil karena mendapat dukungan dari umat, tetapi terlebih karena umat adalah protagonis utama,” jelasnya.

P Lamberto Lalung Namang, SVD

Lahir                    : Atawolo, Lembata, Nusa Tenggara Timur
Tahbisan Imam : Hokeng, Flores Timur 15 Juni 1990
Alamat                 : Parroquia San José Obrero
                                Manuel Rodriguez 310
                                Población Granja
                               Casilla 109 (Kotak Pos)
                               RANCAGUA–VI Región
                               CHILE

Tugas-tugas di Chile
· Pastor Parroquia San José Obrero Chile : Oktober 2004–Februari 2005
· Tugas di selatan Chile : Februari 1995–April 1988
· Animator Misi SVD Chile di Santiago : April 1998–Februari 2002
· Pastor Pembantu di Chile : Februari 2002–akhir 2003
· Pastor Parroquia San José Obrero Chile : Januari 2004–sekarang.

Tugas sampingan Gereja Lokal:
· Direktur Karya Kepausan dan sekaligus Ketua Komisi Misi tingkat keuskupan sejak 2005–sekarang.
· Diangkat oleh Uskup menjadi Pastor Pembimbing Marriage Encounter tingkat keuskupan sejak pertengan 2006–sekarang.
· Pastor Pembimbing Legio Mariae tingkat keuskupan sejak 2004–sekarang.

Tugas sampingan di tingkat Kongregasi:
· Anggota Dewan Propinsi SVD Chile sejak 2005–akhir 2007.
· Rektor Wilayah SVD Provinsi Chile sejak 2005–akhir 2007. 
Ansel Deri

Ket foto: Pastor Lamberto Lalung Namang, SVD (berdiri) saat merayakan Ulang Tahun Imamat ke–15 di Chile bersama para rekan imam dan suster. (gbr 1). Pastor Lamberto bersama anak-anak di tempat tugasnya. (gbr 2). Foto-foto: Dok. pri. 
Sumber: HIDUP edisi 14 Juni 2009

Tatkala Senja Merapat di Atakore, Lembata, NTT

Written By ansel-boto.blogspot.com on Saturday, June 13, 2009 | 3:34 PM

Dan jika berkata, berkatalah kepada aku tentang kebenaran persahabatan? Sahabat adalah kebutuhan jiwa, yang mesti terpenuhi. Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau panen dengan penuh rasa terima kasih.

Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu. Karena kau menghampirinya saat hati lapar dan mencarinya saat jiwa butuh kedamaian. Bila dia bicara, mengungkapkan pikirannya, kau tiada takut membisikkan kata “tidak” di kalbumu sendiri, pun tiada kau menyembunyikan kata “ya”.

Dan bilamana ia diam, hatimu tiada ‘kan henti mencoba merangkum bahasa hatinya; karena tanpa ungkapan kata, dalam rangkuman persahabatan, segala pikiran, hasrat, dan keinginan terlahirkan bersama dengan sukacita yang utuh, pun tiada terkirakan.

Di kala berpisah dengan sahabat, janganlah berduka cita; Karena yang paling kaukasihi dalam dirinya, mungkin lebih cemerlang dalam ketiadaannya, bagai sebuah gunung bagi seorang pendaki, nampak lebih agung daripada tanah ngarai dataran.

Dan tiada maksud lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya ruh kejiwaan. Karena kasih yang masih menyisakan pamrih, di luar jangkauan misterinya, bukanlah kasih, tetapi sebuah jala yang ditebarkan: hanya menangkap yang tiada diharapkan.

Dan persembahkanlah yang terindah bagi sahabatmu. Jika dia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenal pula musim pasangmu. Gerangan apa sahabat itu hingga kau senantiasa mencarinya, untuk sekadar bersama dalam membunuh waktu? Carilah ia untuk bersama menghidupkan sang waktu! Karena dialah yang bisa mengisi kekuranganmu, bukan mengisi kekosonganmu. Dan dalam manisnya persahabatan, biarkanlah ada tawa ria berbagi kebahagiaan. Karena dalam titik-titik kecil embun pagi, hati manusia menemukan fajar jati dan gairah segar kehidupan.
dari puisi Persahabatan karya Kahlil Gibran
Ket foto: Dua anak kecil di desa Atakore, Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur yang diabadikan penulis tatkala senja merapat pada penghujung Maret 2009 lalu.

Penuhi Hak Warga Negara

Written By ansel-boto.blogspot.com on Sunday, June 07, 2009 | 6:37 PM

Negara mau tidak mau harus memenuhi hak-hak warga negara terutama hak atas rasa aman, hak hidup, hak atas perumahan, hak atas pangan, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, dan berbagai hak lainnya.

Hal itu dikemukakan komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Yosep Adi Prasetyo ketika tampil sebagai pembicara saat peluncuran dan bedah buku Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal di Function Room Lt 2 Toko Buku Gramedia, Matraman, Jakarta Timur, Sabtu, 23/5.

“Kewajiban pemenuhan hak asasi manusia dari negara dalam bentuk menghormati, to respect, melindungi, to protect, dan memenuhi, to fullfil,” ujar Prasetyo. Selain Prasetyo, tampil juga penulis buku Marianus Kleden, Dr Adhi Santhika dari Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Hukum dan HAM RI, dan pakar masyarakat adat Dr Saafroedin Bahar. Bertindak selaku moderator Pastor Charles Beraf, SVD.

Persoalan lain yang perlu dilihat adalah sejauhmana negara memenuhi hak asasi manusia warganya. Misalnya, pada Pemilihan Umum Legislatif 9 April 2009 lalu di mana jutaan orang tidak menggunakan hak pilih. Padahal itu hak sipil yang dijamin konstitusi yakni hak memilih, hak dipilih, dan hak untuk tidak memilih.

Prasetyo pernah memantau sebuah rumah sakit jiwa, di mana diputuskan oleh KPU bahwa pasien rumah sakit jiwa seluruhnya kehilangan hak. Mereka tidak boleh memilih karena mereka semua gila. Padahal, saat bertemu dengan Departemen Psikiatri UI dan pihak Departemen Kesehatan ia menanyakan apakah seluruh penghuni rumah sakit jiwa kehilangan haknya.

“Mereka mengatakan, hanya sekitar lima persen yang kehilangan haknya. Sisanya boleh memilih dan harus dianjurkan untuk memilih. Mengapa, karena batas antara orang gila dengan caleg yang masuk rumah sakit jiwa sangat tipis,” tandas Prasetyo.

Dalam kasus lain. Misalnya, warga masyarakat di lembah Baliem, Papua di mana sebagian warga belum bisa baca dan tulis. Saat datang ke TPS dan ditanya mencontreng siapa, maka yang mereka sebut adalah caleg di kabupaten. Itupun dicontreng petugas setelah mereka disuruh pulang. “DPRD I, DPR RI, dan DPD RI dipilih petugas. Nah, untuk memilih tergantung petugasnya apakah kepada caleg partai A, B, C dan sebagainya,” lanjutnya.

Begitu pula pengikut aliran Jemaah Ahmadiyah di pengungsian. Ternyata, mereka juga tidak didaftar. Atau warga masyarakat di daerah konflik seperti Poso, Ambon, eks pengungsi Timor Timur atau para TKI di Nunukan, Kalimantan Timur. Banyak yang tidak menggunakan hak pilihnya. “Ini adalah efek panjang dari ketidakmengertian jajaran pelaksana pemerintahan bahwa ini adalah hak yang dijamin oleh negara. Saya berharap agar pada pilpres mendatang kondisinya lebih baik,” tandas Prasetyo.

Pengalaman

Dr Adhi Santika menceritakan sebuah pengalaman menarik tatkala melakukan perjalanan dari Soe, kota Kabupaten Timor Tengah Selatan menuju Kefamenanu di Timor Tengah Utara, NTT tahun 2008. Saat itu ia mendengar dua ungkapan menarik yang tak pernah ia lupakan.

“Di Kefamenanu, ada seorang rekan mengatakan, ini masih bagian Indonesia. Kalimat itu begitu menyentuh hati saya karena ketika melihat kondisi di sana, itu sangat beda,” cerita Adhi. Masih di Kefamenanu, dalam sebuah diskusi masalah hukum dan HAM, seorang teman yang mencari tahu Perda TTU terkait hukum dan HAM ia tak menemukan karena mendapat jawaban bahwa perda itu adalah milik negara sehingga tidak boleh mengakses.

Dalam perspektif HAM, menurut Saafroedin Bahar, masyarakat hukum adat –dengan berbagai nama– termasuk dalam kategori kelompok rentan, vulnerable group, yang memerlukan perlindungan khusus dari negara. Secara formal, perlindungan khusus tercantum dalam beberapa pasal UUD 1945 dan beberapa UU lain.

“Jauh lebih penting adalah dari sekadar jaminan di atas kertas adalah pelaksanaannya secara in concreto, di mana keadaannya masih belum banyak berubah. Mengapa, karena undang-undang sektoral yang masih berlaku saat ini bukan saja tidak bersahabat dengan masyarakat hukum adat, tetapi juga telah memberi peluang pelanggaran hak masyarakat hukum adat,” kata Saafroedin.

Peluncuran dan bedah buku yang dibuka Sekjen Komnas HAM Soedibyo dihadiri sejumlah undangan. Buku itu diterbitkan atas kerja sama Penerbit Lamalera, Yogyakarta dan Komnas HAM RI. “Kegiatan ini merupakan kehormatan bagi Komnas HAM untuk terlibat dalam diskusi dan bedah buku Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal,” kata Soedibyo.
Ansel Deri
Ket Foto– Para nara sumber (dari kiri) Marianus Kleden, Adi Prasetyo, Adhi Santhika, dan Saafroedin Bahar serta moderator Pastor Charles Beraf, SVD saat peluncuran dan bedah buku di toko buku Gramedia Matraman, Jakarta Timur, Sabtu, 23/5.Sumber: HIDUP 7 Juni 2009
 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger