Headlines News :

Pemerkosa Mahasiswi Asing Dituntut 7 Tahun

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, March 25, 2010 | 4:23 PM

Oktaviano Prastiwan P Tolok (24) yang didakwa memerkosa mahasiswi asing asal Norwegia, dituntut tujuh tahun penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri Denpasar, Senin.

Jaksa penuntut umum Ari Dewanto dalam sidang yang dipimpin Daniel Palitin mengatakan, terdakwa terbukti melakukan persetubuhan di luar perkawinan dengan korban yang saat itu sedang tidak berdaya.

Menurut jaksa, perkosaan di dekat kampus Fakultas Ekonomi Unud, Jimbaran, Minggu (15/11) tahun lalu, itu bermula saat korban dalam kondisi mabuk ditawari jasa ojek oleh pria asal NTT yang tengah mangkal di pos ojek Kuta tersebut.

"Mendapatkan tawaran ojek, korban yang sudah setengah sadar langsung mengiyakan dan meminta kepada terdakwa untuk diantar ke tempat penginapannya di Hotel Segara Sari, Kedonganan, Kuta," kata jaksa.

Saat mengendarai sepeda motor bernopol DK 7313 BI miliknya, terdakwa memacu motornya menuju ke hotel. Namun, sesampainya di pertigaan jalan menuju hotel, ia berubah pikiran.

Terdakwa membelokkan motornya ke arah kampus Unud, di daerah bukit Jimbaran dan setibanya di pinggir lapangan Fakultas Ekonomi Unud, terdakwa menurunkan korban.

Di tempat yang sepi dan gelap itu, terdakwa selanjutnya memperkosa korban yang tercatat sebagai siswa pertukaran antarnegara.

Korban yang kemudian sadar telah diperdaya terdakwa segera melaporkan ke tenaga keamanan hotel dan terdakwa selanjutnya ditangkap.

Jaksa melihat tidak ada pembenar dan pemaaf yang dapat menghapuskan kesalahan terdakwa. Jaksa juga mempertimbangkan unsur pemberat, yakni perbuatan terdakwa bertentangan dengan nilai kesusilaan dan kepatutan dalam pergaulan di masyarakat.

Selain itu, perbuatan terdakwa telah mencoreng citra Bali sebagai daerah yang aman sebagai tujuan wisata.

Sementara hal yang meringankan, selain belum pernah dihukum, terdakwa mengakui semua perbuatannya secara terus terang. Terdakwa langsung menyatakan mengerti dan menyatakan akan mengajukan pembelaan dan disampaikan dalam pada persidangan 29 Maret mendatang.
Sumber: ANTARA, 22 Maret 2010
Ket foto: Korban perkosaan. Foto ilustrasi: google.co.id

Warga Bertikai di Sumba, Satu Tewas

SEORANG warga tewas dalam pertikaian antara warga Desa Waetana, Kecamatan Lamboya Kabupaten Sumba Barat dengan warga Desa Ede, Kecamatan Wewewa Selatan, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Warga tewas itu bernama Yudas Yerudara, kata Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Sumba Barat, Sape Pua Meno, melalui telepon, di Kupang, Kamis.

Warga dua desa di perbatasan Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Barat Daya itu memperebutkan batas tanah sejak Rabu dan hari Kamis ini pun pertikaian masih berlangsung.

Ketika dikontak melalui telepon seluler, Pua Meno mengaku tengah berada di lokasi konflik membantu aparat kepolisian melerai pertengkaran itu.

Dia menduga, pertikaian terjadi karena konflik soal batas wilayah desa yang memicu warga Desa Ede menyerang warga Desa Waetana yang tengah rapat membahas batas wilayah yang dipersoalkan.

Warga dua desa itu saling menyerang di perbatasan wilayah kedua desa yang dipisahkan oleh hutan dan semak belukar. Mereka saling menyerang dengan menggunakan parang dan tombak.

"Pertikaian berlangsung di dalam hutan," kata Sape Pua.

Dia mengatakan, Polres Sumba Barat, termasuk Brimob dan aparat TNI AD serta Satuan Polisi Pamong Praja sudah ada di lokasi konflik, untuk meredakan ketegangan itu.

Sebelum aparat keamanan tiba di situ, Yerudara sudah terbunuh, tiga rumah warga dibakar dan dua unit traktor tangan milik warga Waetana dibakar.

Dalam bulan ini, di Provinsi NTT sudah dua kali terjadi pertikaian memperebutkan wilayah desa.

Sebelumnya, di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur warga Desa Lamahala, Kecamatan Adonara Timur dan warga Desa Horowura, Kecamatan Adonara Tengah, bertikai dalam soal batas desa, sehingga puluhan orang terluka.
Sumber: Antara, 25 Maret 2010
Ket foto: Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Barat Daya di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, masih menyiahkan persoalan terkait batas wilayah. Gambar menunjukkan peta Pulau Sumba. Foto: dok. www.sumbabaratkab.go.id

NTT Butuh Tambahan Enam Kapal Penyeberangan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, March 24, 2010 | 2:26 PM

Provinsi Nusa Tenggara Timur membutuhkan tambahan enam kapal penyeberangan guna melayani 24 lintasan di perairan itu. Kapal penyeberangan saat ini hanya 11, termasuk Kapal Motor Penyeberangan Ile Boleng yang baru diresmikan.

Gubernur NTT Frans Lebu Raya menjanjikan enam unit kapal tambahan akan dipenuhi secara bertahap. ”Tahun 2011 akan datang satu unit kapal,” kata Lebu Raya pada peresmian Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Ile Boleng rute Kupang-Lewoleba (Lembata) di Dermaga Bolok, Kupang, Selasa (23/3).

Pada kesempatan sama, Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono mengatakan, total penyeberangan nasional saat ini ada 101 lintasan, 75 lintasan di antaranya masuk jalur perintis.

Provinsi NTT memiliki 24 lintasan, terdiri dari empat lintasan komersial dan 20 lintasan perintis yang disubsidi pemerintah. Dana subsidi untuk NTT tahun 2010 mencapai Rp 9 miliar dari total subsidi nasional senilai Rp 95 miliar.

”Kapal Ile Boleng termasuk jalur perintis. Kapal penyeberangan baru diarahkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, membuka isolasi wilayah sesuai tata ruang nasional,” kata Bambang. Kapal berbobot mati 650 GT dan kecepatan 12 knot per jam senilai Rp 31 miliar itu dikelola perusahaan daerah NTT, PT Flobamor.

Anggota DPR, Saleh Husin, yang ikut dalam rombongan Wakil Menteri Perhubungan, mengatakan, sejumlah lintasan di NTT tidak layak disebut penyeberangan karena penyeberangan butuh waktu paling lama 4 jam per trip. Adapun di NTT sampai 24 jam per trip.

Husin menilai kapal yang melayani 24 lintasan di NTT tidak layak melayani kondisi perairan dengan tinggi gelombang 4 meter pada bulan Desember-Februari karena hanya berbobot mati 500 GT-650 GT. Idealnya kapal berbobot mati di atas 1.000 GT. Namun, kapal seperti itu perlu perawatan, bahan bakar, dan jumlah anak buah kapal banyak sehingga memberatkan pemerintah dalam menyubsidi.
Sumber: Kompas, 24 Maret 2010
Ket foto: Gubernur NTT Frans Lebu Raya

Mengapa Agama Tak Butuh Dilindungi

Oleh Mohamad Guntur Romli
Penggiat pluralisme

Abraham heran bukan kepalang. Abdul Muthallib, pembesar Mekah yang menemuinya, hanya peduli pada nasib unta yang dirampas penguasa dari negeri Habsyah (Ethiopia) itu, bukan nasib Ka'bah yang hendak dihancurkan. Kata Abrahah, "Mengapa kamu hanya peduli pada dua ratus ekor untamu, tapi tak peduli pada Bait (Ka'bah) yang merupakan agamamu dan agama moyangmu, yang hendak kuhancurkan?" Abdul Muthallib menjawab, "Aku peduli pada nasib unta, karena aku pemiliknya, sedangkan Bait itu punya Pemilik yang akan menjaganya." Inilah sekelumit dialog yang dikisahkan oleh Ibn Hisyam dalam Al-Sirah al-Nabawiyah, satu di antara biografi tentang Nabi Muhammad yang cukup otoritatif.

Kalau zaman sekarang, Abdul Muthallib mungkin akan dituduh egois, pasif, dan "materialistik", hanya peduli pada hartanya, tapi tidak peduli pada agamanya. Namun, di balik sikap itu tersimpan iman Abdul Muthallib yang kuat: bahwa Allah yang menjaga Ka'bah tidak tidur dan akan bertindak. Benar. Setelah itu, datanglah segerombolan burung Ababil yang membawa batu dari neraka dan melempari pasukan gajah Abrahah hingga hancur lebur. Tahun itu dikenal sebagai Tahun Gajah, tahun kelahiran Nabi Muhammad.

Saat ini kita sedang menghadapi uji materi di Mahkamah Konstitusi terhadap sebuah undang-undang yang niatnya melindungi agama dari penodaan, yakni Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama. Namun niat tak selalu berbanding lurus dengan kenyataan. UU ini dalam kehidupan sosial malah ikut menyulut konflik. Contohnya dari rekomendasi penting Institute for Culture and Religion Studies (INCReS) dalam "Laporan Kebebasan Beragama 2009 di Jawa Barat", yang mendesak pencabutan UU itu. Secara normatif UU tersebut dianggap "tidak selaras dengan semangat konstitusi yang dengan tegas menjamin hak kebebasan beragama dan/atau berkeyakinan". Melalui UU ini juga ditetapkan pasal 156-a dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur ancaman sanksi pidana bagi yang dituduh sebagai "penoda agama".

Melalui temuan INCReS, sepanjang 2009 di Jawa Barat terjadi 10 kasus pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan oleh aparatus negara, dan 35 kasus intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama dan keyakinan yang dilakukan oleh organisasi massa garis keras yang memakai "jubah Islam". Dalam aksi-aksi kekerasan ditemukan, UU itu dipakai sebagai dalih pembenar untuk menyesatkan, menyapu, hingga menangkap individu dan kelompok yang dituding menodai agama.

Pertanyaannya: mengapa UU ini dianggap mendesak dan darurat untuk dicabut? Benarkah agama tidak butuh aturan yang melindunginya? Dari temuan yang sangat umum kita mencermati tindakan-tindakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan malah berlindung di balik UU ini. Karena itu, dugaan yang mengatakan pencabutan UU ini akan menyebabkan konflik horizontal dalam masyarakat merupakan kekeliruan yang berlawanan dengan fakta sosial. Yang terjadi malah sebaliknya, selama ini konflik horizontal yang beraroma agama menggunakan UU ini-khususnya pasal 156-a-sebagai dalih melakukan penyesatan, kekerasan, penangkapan, dan penghakiman sepihak. Logika sederhananya: kalau tidak ingin konflik horizontal terus terjadi dalam masyarakat, UU Nomor 1/PNPS/1965 dan pasal 156-a itu harus dihapus (mans�kh).

Bagaimana UU tersebut bekerja sebagai pemicu, dalih, dan akhirnya vonis yang mengkriminalkan keyakinan? Pertama, dimulai dengan munculnya dugaan pada kelompok yang memiliki ajaran yang dianggap bertentangan dengan "keyakinan umum". Kelompok ini baik yang ada sejak dulu atau benar-benar baru. Contohnya, Syiah dan Ahmadiyah, yang masuk kelompok lama, sedangkan Lia Eden masuk kategori baru. Nah, dengan memakai UU dan pasal 156-a itu, kelompok tersebut dibidik dari sudut penodaan, bukan melalui sudut perbedaan. Keberadaan kelompok "tersangka" ini tidak lagi dipahami sebagai pihak yang keyakinannya dijamin, tapi bisa diancam sanksi pidana. Inilah tahap pertama bagaimana UU tersebut menyuguhkan cara pandang yang keliru dalam melihat perbedaan ajaran yang sebenarnya lumrah terjadi.

Tahap kedua: sebuah kelompok yang telah diidentifikasi sebagai "kelompok kriminal" dari perspektif keyakinan akan dimusuhi dan diupayakan untuk dilenyapkan. Tahap kedua ini adalah sebuah reaksi tindakan yang ditempuh melalui dua cara: pertama, ormas-ormas garis keras akan menindak langsung kelompok itu. Tindakan ini ilegal dan kriminal, tapi mereka selalu memakai dalih UU yang mengkriminalkan kelompok tersebut. Tak jarang ditambah fatwa untuk memperkuat dugaan kriminal. Kelompok "tersangka" pun dihajar dengan aturan negara dan fatwa agama.

Cara kedua: ormas garis keras tidak melakukan tindakan langsung, tapi menekan aparat pemerintah untuk melakukan tindakan kekerasan. Dalam konteks ini, aparat negara biasanya mengambil sikap yang paling "aman" dan "nyaman", karena ormas garis keras biasanya mengancam akan melakukan tindakan langsung kalau aparat tidak turun. Maka, dalam dugaan aparat, lebih baik menciduk kelompok yang kecil dan lemah daripada melawan ormas yang biasanya datang bergerombol dan tak ragu melakukan kekerasan. Di sini aparat negara bukan pelindung bagi warga negara dan kelompok minoritas, melainkan aparatus ormas garis keras yang mengatasnamakan mayoritas. Maka jangan heran kalau aparat negara menempati posisi tertinggi dalam pelanggaran kebebasan beragama, seperti yang dilaporkan INCReS.

Tahap ketiga: perbedaan agama dan keyakinan itu diseret ke pengadilan, dan ujung-ujungnya vonis pidana bagi terdakwa. Kerap kali saksi ahli yang dihadirkan ke pengadilan adalah mereka yang juga memulai, melaporkan, atau terlibat dalam tindakan kekerasan terhadap kelompok yang dianggap menyimpang itu.

Saya masih terheran-heran dengan tuntutan bahwa agama harus dilindungi oleh sebuah peraturan dari negara. Bagi saya, tuntutan ini bersumber dari iman yang krisis dan penuh dengan ketakutan: agamanya takut ternoda, rusak, atau bahkan punah. Tuntutan ini berlawanan dengan klaim absolut mereka tentang agama mereka, yang katanya sempurna, abadi, dan tak lekang oleh zaman. Mereka mengakui agama mereka sempurna, tapi tanpa sadar mengakui pula agama mereka bisa dinodai dan dikurangi.

Saya adalah bagian dari umat yang menegaskan bahwa agama, kepercayaan, dan keimanan yang kami miliki tidak akan bisa dinodai oleh siapa pun dan kapan pun. Apalagi agama yang dimaksudkan adalah agama yang telah berusia tak hanya ratusan tapi ribuan tahun, agama yang telah matang, dewasa, dan kenyal menghadapi tantangan.

Saya juga tak menafikan kelompok atau individu seperti cerita Abrahah, yang ingin "memusnahkan" agama. Kadang mereka memiliki alasan yang bisa dimengerti: menurut mereka, sikap permusuhan pada agama muncul karena agama sering disalahgunakan untuk menebarkan kebencian dan kekerasan. Kalau boleh, saya ingin mengambil tamsil agama dengan lautan. Apakah seseorang atau kelompok yang ingin mengencingi lautan berhasil menodai kemurnian lautan?

Untuk menyikapi kelompok atau individu yang berbuat jahat dengan membawa agama, yang bisa ditindak adalah perbuatan mereka, bukan keyakinan mereka. Seseorang yang menyembah batu, atau meyakini barang pusaka atau jimat bertuah, tidak bisa dikriminalkan karena keyakinan itu. Tapi mereka bisa ditangkap kalau memakai batu sembahan, pusaka, dan jimat mereka untuk mencelakakan orang lain.

Bagi saya, episode yang pernah "menodai" lautan dengan "limbah"-nya yang terbesar adalah modernisme. Periode ini dimulai dengan sikap ingkar terhadap apa yang berasal dari (doktrin) agama, yang akhirnya bisa membuktikan bahwa kemajuan bisa lahir tanpa campur tangan formal agama. Pertanyaannya: apakah agama lantas mati? Justru agama berkembang sangat pesat. Agama sebagai spirit tetap berfungsi seperti ulasan Max Weber, yang menyatakan pengaruh etika Protestan dalam kapitalisme, tapi bukan doktrin formal Protestan. Di Amerika kita sering memperoleh laporan tentang kebangkitan Kristen. Dan akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21 sering dipahami sebagai kebangkitan semua agama di dunia, dari agama-agama besar hingga ajaran spiritual.

Agama juga bukan seperti satwa liar yang hutannya telah punah sehingga harus dilindungi. Bukan pula seperti candi, kuil, dan bangunan kuno lainnya yang kehilangan daya sihirnya sehingga tidak dipedulikan, maka perlu dirawat secara khusus dalam "cagar alam" dan "cagar budaya" yang dijamin oleh peraturan. Padahal agama terus hadir dalam kehidupan ini, lembaga-lembaga keagamaan: pendidikan, pesantren, syiar, penerbitan, ormas, film, musik, dan lain-lain semakin tumbuh dan tidak menunjukkan perlunya sebuah "cagar agama". Yang perlu diwaspadai sebenarnya bukan agama yang bisa dinodai atau akan punah, tapi "overdosis" agama yang sering dibawa pada penyebaran kebencian, kekerasan, dan terorisme.

Dari penelusuran sejarah ini bisa disimpulkan, agama tak bisa dinodai dan dibunuh. Rahasia ketahanan agama ini bukan karena ia dijaga oleh undang-undang yang memberikan sanksi pidana kepada kelompok yang dianggap menodainya, melainkan karena diberikan kebebasan kepada umat untuk mengembangkan agamanya dalam pemikiran, perayaan, dan kebudayaan sehingga agama terus langgeng. Agama tak akan punah selama ia mampu bersanding dengan kemaslahatan manusia.

Karena itu, bagi saya, peraturan yang beriktikad-meskipun baik-ingin melindungi agama merupakan kesia-siaan. Bahkan peraturan ini telah dijadikan dalih pelanggaran. Peraturan itu dijadikan pembenaran bagi seorang saudara untuk menikam saudaranya yang lain hanya gara-gara perbedaan agama. Seharusnya peraturan itu lebih ditujukan pada perlindungan manusia yang menganut agama, bukan pada agama yang menurut keyakinan pemeluknya telah dijamin keabadiannya. Seperti Abdul Muthallib, kakek Nabi Muhammad, yang menyerahkan urusan agama (Ka'bah sebagai Bait Allah) kepada Pemiliknya.
Sumber: Tempo, 22 – 28 Maret 2010
Ket foto: Mohamad Guntur Romli. Foto: dok. Ansel Deri

Gita Irawan Wirjawan: Kami Tidak Ngomong Doang

Ketika Gita Irawan Wirjawan dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal pada November lalu, tugas ekstraberat langsung dia sandang. Gita, 44 tahun, harus memenuhi target investasi sekitar Rp 2.000 triliun per tahun hingga 2014. Angka itu diperlukan demi mengejar pertumbuhan ekonomi minimum tujuh persen.

Gita punya cukup modal untuk menarik duit investor ke Indonesia. Malang melintang di beberapa perusahaan investasi raksasa, seperti Goldman Sachs dan JP Morgan, jaringan bisnis Gita tersebar di mana-mana. Paling tidak hal itu sudah terbukti dari kepiawaiannya membesarkan Ancora Capital, perusahaan investasi yang dia dirikan dua tahun lalu, dalam waktu relatif singkat.

Tapi, mengurus perusahaan dengan "membesarkan" negara tentu kesulitannya jauh berbeda. Apalagi dengan anggaran yang hanya Rp 380 miliar setahun, Badan Koordinasi mesti jungkir balik mengejar target yang nilainya ratusan kali lipat anggaran belanja pemerintah itu. "Seperti bermain jazz, harus berimprovisasi," kata Gita tentang kiatnya menyiasati kendala dalam menarik investor.

Improvisasi ini termasuk untuk urusan menara telekomunikasi. Dalam soal bisnis menara telekomunikasi ini, dia bersilang pendapat dengan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring. Gita berkeras bisnis ini terbuka untuk investasi asing, sedangkan kubu Medan Merdeka Barat, kantor Tifatul, menghendaki kue bisnis ini hanya boleh dinikmati pemodal lokal.

Pelarangan investasi asing di bisnis menara, menurut Gita, berlawanan arah dengan semangat mengundang investasi ke negeri ini. Rabu pekan lalu, di kantornya di kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, dengan menggebu-gebu Gita memaparkan kepada Tempo berbagai persoalan yang harus dia atasi supaya investasi berduyun-duyun masuk ke Indonesia.

Bagaimana Anda menarik investasi asing dan domestik?
Tantangannya banyak. Yang pertama, soal persepsi mengenai iklim investasi di Indonesia. Itu menyangkut ketidakpastian hukum dan tumpang-tindih kebijakan.

Beberapa jajak pendapat menunjukkan iklim investasi di Indonesia belum banyak beranjak?
Soal kemudahan usaha, IFC menempatkan Indonesia di peringkat 122. Versi World Economic Forum, iklim investasi Indonesia di urutan 54, dan menurut PERC, korupsi di Indonesia terburuk di Asia. Bahkan lebih buruk ketimbang Kamboja. Bila Presiden Barack Obama jadi datang, Indonesia akan masuk headline di halaman pertama koran-koran dunia. Ini harus dimanfaatkan. Meskipun secara substansi dampaknya tidak signifikan, untuk promosi investasi sangat luar biasa. Puluhan juta orang di dunia yang selama ini tidak pernah mendengar kabar positif soal Indonesia tiba-tiba tahu.

Bagaimana kiat Anda menarik investor dengan berbagai kendala itu, termasuk anggaran yang minim?
Promosi Indonesia harus diukur secara cermat. Kami tidak mau promosi berlebihan, sehingga terlalu banyak janji tapi tidak bisa memenuhi. Apalagi anggaran BKPM cuma Rp 360 miliar setahun, bandingkan dengan departemen lain yang triliunan. Padahal kami diamanatkan untuk mengamankan target investasi Rp 2.000 triliun setahun. Itu kan timpang sekali. Walaupun dari target Rp 2.000 triliun itu yang menjadi porsi modal swasta hanya 55 persen, tetap saja itu berarti Rp 1.100 triliun.
Ekonomi Indonesia sudah lama tumbuh berbasis konsumsi. Bagaimana mengubah agar lebih berorientasi produksi?
Kalau bicara tentang strategi, sudah waktunya merekonfigurasi perekonomian Indonesia menjadi berbasis investasi. Cina kebalikannya, sudah berbasis investasi selama 20 tahun dan mesti merekonfigurasi perekonomiannya menjadi consumption driven. Indonesia dan Cina bisa memanfaatkan satu sama lain.

Anda pernah mengatakan supaya Indonesia mengurangi penjualan produk tambang mentah. Bagaimana penerapannya?
Menurut investment road, tahap pertama itu kan low hanging fruit. Itu yang paling gampang dijual. Istilahnya, anak sekolah atau nenek kita juga bisa. Itu sudah pasti sumber daya alam. Sebab, investor di mana pun paham bagaimana harga batu bara dan produk minyak dan gas. Tapi itu harus dikelola supaya terjadi redistribusi hasilnya untuk investasi pembangunan infrastruktur lunak, seperti pendidikan dan peningkatan kapasitas. Sebab, industrialisasi dengan skala besar hanya bisa dilakukan jika infrastruktur pendidikannya kuat.

Apa syarat menarik investasi lainnya?
Harus ada insentif fiskal. Ini bukan untuk umum. Kita harus benar-benar cermat. Misalnya, jika kita hendak menggenjot energi terbarukan, pemerintah harus memberikan insentif fiskal ataupun nonfiskal. Insentif nonfiskal misalnya dengan menyederhanakan prosedur investasi.

Kalau ada insentif fiskal, kantor pajak pasti akan keberatan?
Ha-ha-ha... saya peka soal itu. Selama jumlah pembayar pajak atau yang punya nomor wajib pajak hanya 15 juta, pemerintah akan sulit memberikan konsesi fiskal. Tapi ke depannya bagaimana? Efisiensi pajak harus ditingkatkan dan tax base-nya dilebarkan, jangan hanya dalam tapi sempit.

Apa target Anda dalam jangka pendek?
Kita harus memikirkan Indonesia Inc. seperti apa 20 tahun atau 30 tahun lagi. Sekarang modalnya sangat besar, yakni perekonomian dengan nilai US$ 550 miliar dan Indonesia berada di jalur yang bagus. Tidak ada alasan kita tidak bisa mendapatkan peringkat investment grade dalam 18 bulan atau 24 bulan lagi.

Peringkat investment grade ini harus A?
Cukup BBB versi lembaga pemeringkat Fitch, seperti pada 1997. Banyak investor di dunia dilarang berinvestasi di negara ataupun lembaga yang peringkatnya di bawah investment grade. Kalau Indonesia bisa meraih level itu, kita akan membuka kantong modal yang luar biasa besar.

Bila mencapai status investment grade, cost of fund juga akan murah, ya....
Kalau masuk level itu, cost of fund atau biaya modal akan turun satu hingga dua persen. Di dalam negeri, credit default swap-nya juga akan turun sehingga biaya pinjam dalam rupiah akan turun. Perubahan peringkat itu semestinya juga ditopang dengan instrumen utang untuk pembiayaan infrastruktur. Sekarang kan tidak ada instrumen seperti itu. Kalau Anda punya uang, pilihannya hanya deposito yang berjangka paling lama 12 bulan. Tidak ada yang jangka waktunya lima atau sepuluh tahun. Kecuali Anda membeli surat utang negara atau sukuk. Tapi itu kan tidak ditujukan untuk pembiayaan infrastruktur.

Banyak investor mengeluhkan kebijakan pusat tak sinkron dengan daerah. Apa yang dilakukan BKPM menanggapi keluhan itu?
Salah satu misi Badan Koordinasi adalah harmonisasi kebijakan pemerintah pusat dengan daerah. Kami sudah mengunjungi 21 provinsi dalam satu setengah bulan ini. Saya sudah ke Kabupaten Keerom, daerah perbatasan di Papua. Saya percaya, jika tak mengetahui isi perut sendiri, kita akan susah "berjualan". Jadi, ketika saya berangkat ke Jepang, Korea, atau negara di Eropa, saya paham betul apa yang saya tawarkan.

Bukankah ada perwakilan BKPM di daerah?
Tapi mereka digaji gubernur. Jadi loyalitasnya lain.

Wewenang BKPM amat terbatas. Bagaimana Anda menyiasatinya?
Seperti bermain jazz, kami harus berimprovisasi. Bicara tentang kewenangan dan yurisdiksi memang sangat terbatas. Kami hanya bisa berpromosi dan berkoordinasi. Kalau mengacu ke Undang-Undang Penanaman Modal, kewenangan Badan Koordinasi sebenarnya lebih luas daripada sekarang. Saya tak minta pendulumnya bergerak drastis dari ujung ke ujung. Kami harus perlahan membuktikan diri dulu, tidak ngomong doang. Tapi setiap omongan saya harus terealisasi. Itu akan menjadi kesaksian yang paling tepercaya.

Apa hasil nyata yang sudah dicapai Badan Koordinasi?
Di Kutai Timur, Kalimantan Timur, investor dari Uni Emirat Arab, Ras al-Khaimah, berinvestasi senilai Rp 50 triliun untuk pembangunan smelter, pelabuhan, jaringan rel kereta, dan akuisisi tambang batu bara. Pembebasan tanah untuk rel kereta api sepanjang 133 kilometer dan pelabuhan sudah selesai. Kesepakatan pembiayaan untuk pembangunan pembangkit listrik dan smelter juga sudah kelar.

Apa kesepakatan investasi lainnya?
Di Kalimantan Barat, salah satu investor tertarik membangun smelter. Di Sumatera Selatan, ada investor yang berniat membangun jaringan rel kereta api dan kawasan ekonomi terpadu.

Bagaimana investasi di sektor minyak dan gas?
Sektor pertambangan sudah dilimpahkan Kementerian Energi ke Badan Koordinasi, tapi pengaturan bisnis hulu migas masih di mereka. Jadi target investasi Rp 1.100 triliun itu, sekitar 70 persennya berkaitan dengan bisnis hulu migas. Angka yang terkait dengan penanaman modal asing dan dalam negeri hanya sekitar Rp 200 triliun. Tahun lalu, nilainya hanya Rp 135 triliun. Kami menargetkan angka itu akan tumbuh 10 persen hingga 15 persen.

Realisasi janji investor Timur Tengah di Indonesia sangat rendah. Apakah masih ada peluang menarik investor dari kawasan itu?
Peluangnya masih sangat luas. Ada dua alasan. Pertama, investor Timur Tengah punya pengalaman pahit karena mereka kelewat banyak berinvestasi di negara-negara maju. Akibatnya mereka kena dampak krisis ekonomi tahun lalu. Itu pelajaran sangat berharga dan mereka sudah mereorientasi portofolio investasinya. Mereka mulai mengalihkan investasi ke negara-negara berkembang. Indonesia pasti akan kena imbasnya. Kedua, investor Timur Tengah itu selalu dikelilingi penasihat investasi dari Eropa atau Amerika Serikat. Kebetulan saya berpengalaman berhubungan dengan mereka, sehingga paham cara berkomunikasinya. Bukan dengan pendekatan agama, melainkan pendekatan pasar dan rasional.

Apa mungkin Indonesia menggeser Malaysia sebagai pusat investasi Timur Tengah di Asia Tenggara?
Tidak bisa seketika, tapi bukan hal mustahil. Tergantung kebijakan kita.

Menteri Perumahan Rakyat mengusulkan kepemilikan properti oleh asing hingga 99 tahun. Pendapat Anda?
Menurut saya, itu usul yang luar biasa. Kebijakan itu akan menunjukkan Indonesia terbuka, walaupun properti yang boleh dimiliki investor asing juga dibatasi harga minimum. Kebijakan itu bukan berarti kita hendak mengobral properti ke orang asing. Di Cina, kebijakan seperti itu sudah terbukti berhasil menarik investasi.

Bisnis menara telekomunikasi ditutup bagi investor asing. Kenapa Anda tak setuju?
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Kepala BKPM dengan Menteri Komunikasi, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pekerjaan Umum yang terbit tahun lalu, bisnis menara telekomunikasi ditutup bagi investor asing. Semangatnya waktu itu untuk mengembangkan pengusaha dalam negeri. Tapi kenyataannya, sektor ini perlu pendanaan yang besar sekali. Paling tidak butuh Rp 70 triliun setahun untuk membangun menara. Karena kemampuan pendanaan pengusaha Indonesia terbatas, tidak ada yang bisa tumbuh besar. Paling hanya punya seribu atau dua ribu menara.

Berapa besar kebutuhan menara telekomunikasi?
Indonesia masih perlu 150 ribu hingga 200 ribu menara telekomunikasi. Dana yang diperlukan US$ 20 miliar atau Rp 180 triliun. Kalau Anda utang ke Bank Mandiri, paling hanya bisa dapat Rp 2 triliun atau Rp 3 triliun. Tidak cukup. Kita harus realistis. Kalau teori saya ini salah, dalam dua setengah tahun ini, pasti pengusaha menara itu sudah besar. Coba kasih tahu saya, satu pengusaha menara yang sudah besar.

Bukankah ada kelompok Djarum dan Tower Bersama milik Recapital?
Tapi sumber pendanaan Protelindo, milik Djarum, tetap dari luar negeri. Sementara itu, Tower Bersama hanya punya beberapa ribu menara, tidak sampai skala puluhan ribu.

Bagaimana usul Anda?
Bagi saya, kepemilikan penting, tapi bukan satu-satunya. Selama mereka menciptakan lapangan kerja, itu berarti nasionalisme. Menara dan tanah kan tak mungkin dibawa keluar. Dan ada mekanisme menyiasatinya. Kita buka dulu bagi investor asing, setelah dua atau tiga tahun, mereka harus menjual saham mereka di bursa. Investor asing tak mungkin masuk seratus persen. Mereka pasti mencari mitra lokal. Mitra mana yang akan dicari? Pasti yang sudah bermain di bisnis telekomunikasi.

Apakah mungkin ada kompromi?
Kalau ada kompromi, saya senang sekali. Saya tidak minta seratus persen terbuka untuk asing. Bahkan, kalau dibatasi investor asing maksimum 49 persen atau 51 persen, itu sudah sangat berarti.

Apakah investor asing banyak yang meminati bisnis menara?
Banyak sekali. Saya tak bisa menyebut nama, tapi kebanyakan dari Asia.
Sumber: Tempo, 22 – 28 Maret 2010

Petaka di Laut Timor

Sudah beberapa bulan ini para petani gagal memanen rumput laut di Kabupaten Sabu Raijua (Sarai), Nusa Tenggara Timur. Bukan karena ada serangan penyakit. Bukan pula lantaran terjadi kesalahan musim.

"Petani rumput laut di Sabu Raijua mengalami gagal panen karena adanya pencemaran laut," kata Penjabat Bupati Sabu Raijua, Thobias Uly, gundah dua pekan lalu.

Laut tercemar oleh tumpahan minyak mentah yang diduga keras berasal dari instalasi pengeboran minyak The Montara Well Head Platform milik Australia di Blok West Atlas yang terbakar pada 21 Agustus 2009. Lokasi rig Montara itu sekitar 690 kilometer di sebelah barat Darwin dan 250 kilometer di barat laut Truscott, Australia Barat.

Setelah terjadi kebakaran, 500 ribu liter minyak mengalir ke laut setiap hari dari ladang minyak yang dioperasikan PTT Exploration and Production (PTTEP) Australasia itu. PTTEP Australasia adalah perusahaan asal Thailand yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra.

Meski sudah ditangani, tumpahan minyak telanjur mengalir ke Laut Timor yang masuk dalam wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dampak pencemaran Laut Timor paling dirasakan di Kabupaten Rote Ndao yang berbatasan langsung dengan perairan Australia, Kabupaten Sabu Raijua, Kupang, Alor, dan Timor Tengah Selatan.

Penduduk daerah pesisir Pulau Sabu yang mengandalkan mata pencaharian bertani rumput laut pun terancam kehilangan pekerjaan. Tumpahan minyak diduga keras merusak rumput laut secara masif. "Saya heran semua rumput laut yang dihasilkan hancur dan berair," kata Bupati Thobias.

Pengusaha rumput laut, Yakob Lodo, bercerita bahwa hasil panen rumput laut petani di daerah Timor Barat anjlok drastis. Jika situasi normal, dalam setahun petani rumput laut dapat menghasilkan 4.000 ton. Sekarang diprediksi turun jadi 200 ton saja. Rumput lautnya pun sebenarnya belum cukup umur untuk dipanen sehingga harga jualnya anjlok. "Kami merasa prihatin dengan petani, maka kami terpaksa membelinya meski dengan harga murah," kata Thobias. Bukan cuma petani rumput laut yang merugi. Nelayan mengeluhkan berkurangnya tangkapan ikan secara signifikan.

PTTEP selaku operator Montara dan pemerintah Australia sempat tak mengakui tumpahan minyak dari sumurnya telah mencemari perairan Indonesia. Belakangan mereka meralatnya. Melalui juru bicara Kedutaan Besar Australia di Jakarta, pemerintah Australia menyatakan telah dan akan terus memberikan informasi kepada Indonesia tentang perkembangan yang terjadi, termasuk penerapan pengawasan lingkungan hidup yang telah disepakati antara pemerintah Australia dan perusahaan yang bertanggung jawab. "Kami bekerja untuk memastikan bahwa dampak tumpahan ini dapat ditangani secara tepat," kata Jenny Dee, juru bicara Kedutaan Australia.

Ketua Yayasan Peduli Timor Barat Ferdi Tanoni menyatakan sejak awal dia sudah yakin tumpahan minyak Montara akan mencemari perairan Indonesia. Empat hari setelah ledakan, kata dia, minyak telah masuk ke perairan Indonesia. Cepatnya aliran minyak juga dipicu oleh angin timur tenggara yang tengah bertiup kencang. Arus laut bertambah deras sehingga tumpahan minyak tersebut lebih cepat memasuki Laut Timor yang masuk wilayah perairan Indonesia.

Pada 25 Agustus para nelayan di Pulau Rote sudah menemukan tumpahan minyak itu berada pada jarak 55-70 mil laut dari Pantai Selatan Kolbano. "Beberapa hari kemudian, lempengan-lempengan minyak sudah ditemukan di pantai," kata Ferdi. Lalu ditemukan bangkai beberapa jenis ikan, lumba-lumba, penyu, dan biota laut lainnya serta musnahnya ribuan hektare tanaman rumput laut.

Tumpahan minyak Montara yang mencemari perairan Indonesia justru pertama kali dibuktikan berdasarkan hasil analisis sampel minyak dan air dari Laut Timor oleh Leeders Consulting Australia yang meneliti atas permintaan Komisi Penyelidikan Tumpahan Minyak Montara. "Hasilnya, kandungan minyak yang mencemari perairan Indonesia serupa dengan tumpahan minyak yang dimuntahkan dari ladang Montara," kata Ferdi.

Senator dari Partai Hijau di parlemen Australia, Rachel Siewert, juga mengkonfirmasi hal itu. Kepada pers ia menyatakan hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa perairan Indonesia telah tercemar tumpahan minyak Montara. "Tidak ada keraguan, pencemaran yang mempengaruhi perairan wilayah perairan Indonesia di Laut Timor berasal dari Montara," katanya.

Hasil analisis Laboratorium Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia menunjukkan pencemaran minyak di Laut Timor sudah mencapai 38,15 persen. Kandungan zat timah hitam dan zat berbahaya lainnya juga mencapai lebih dari 100 kali dari kadar normal. Lalu contoh rumput laut mati yang diambil dari pesisir Pulau Rote menunjukkan bahwa tumbuhan itu mati akibat pencemaran minyak mentah. Sejumlah sampel diambil dari wilayah perairan Laut Timor pada 6 Oktober 2009.

Menurut Ferdi, yang pernah menjadi pegawai di bagian imigrasi Kedutaan Besar Australia, meski kebakaran sudah ditangani, ternyata minyak terus mengalir. Hingga saat ini diperkirakan tidak kurang dari 40 juta liter minyak mentah yang tumpah di laut. Gas, kondensat, zat timah hitam, serta zat-zat kimia berbahaya lainnya pun ikut masuk lautan.

Yeti Darmayati, peneliti dari Pusat Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan tumpahan minyak di perairan sangat berbahaya bagi kehidupan biota laut dan manusia. Gumpalan minyak akan mengurangi kandungan oksigen dalam air laut dan secara langsung mempengaruhi satwa yang bergantung pada lautan.

Gas, alkana, aspal, zat aromatik, timbel, nikel, aspal resin, dan lainnya yang terbawa minyak juga berbahaya. Salah satu yang paling berbahaya tapi justru tidak terlalu terlihat adalah polycyclic aromatic hydrocarbon. "Zat ini amat karsinogenik, menyebabkan kanker jika masuk ke tubuh manusia," katanya.

PTTEP Australasia memang telah berupaya mengatasi tumpahan minyak dan mengurangi dampaknya. Mereka menggunakan metode boom dan skimmer untuk melokalisasi dan menyedot minyak mentah. Minyak yang telanjur mengalir disemprot bahan kimia dispersant. Upaya ini dilakukan di bawah pengawasan Otoritas Keselamatan Maritim Australia (AMSA).

Yeti memaparkan metode boom dan skimmer merupakan perlakuan standar saat terjadi tumpahan minyak ke lautan. Minyak mentah dilokalisasi supaya tidak menyebar, kemudian disedot menggunakan skimmer untuk dimasukkan lagi ke tangki atau dibawa ke darat dan dipisahkan antara air dan minyak.

Jika masih tersisa, minyak akan dihilangkan secara kimiawi, yaitu menyemprotnya dengan bahan dispersant. Bahan kimia disemprotkan dengan kapal atau helikopter ke gumpalan minyak. Dalam proses ini, minyak dicacah secara kimiawi sehingga permukaannya mengecil. Dispersant yang mempunyai berat jenis tinggi kemudian mengikat minyak sehingga minyak tenggelam dan menjadi sedimen.

Cara ini, kata Yeti, sebenarnya berbahaya. Minyak tak hilang begitu saja dan justru mengendap sehingga lebih lama terdegradasi. Ini akan membahayakan biota laut dan terumbu karang. "Cara ini memang lebih cepat untuk menghilangkan gumpalan minyak, orang lebih cepat tidak melihat. Tapi dampak tersembunyi muncul belakangan," kata lulusan University of Wales ini.

Menurut Yeti, sebenarnya ada satu metode yang relatif lebih aman, yaitu dengan memanfaatkan bakteri yang ada di perairan. Cara ini disebut bioremediasi, yaitu proses remediasi atau pemulihan lingkungan yang tercemar dengan menggunakan bakteri atau mikroba.

Pada prinsipnya, kata Yeti, alam sanggup memperbaiki diri sendiri. Tumpahan minyak secara alamiah dapat dibersihkan oleh bakteri pengurai, tenaga matahari, dan gerakan air. Namun, jika dalam jumlah yang sangat besar, seperti saat kilang bocor atau terjadi ledakan sumur minyak, bakteri yang tersedia tidak akan cukup untuk mengurai minyak yang berlimpah.

Maka salah satu caranya dengan meningkatkan aktivitas bakteri serta menambah jumlahnya. Mikroba endemik di perairan Indonesia banyak yang bisa dimanfaatkan untuk proses ini, di antaranya Marinobacter, Oceanobacter, Alcanivorax, Thalassospira, Stappia, Bacillus, Novospingobium, Pseudomonas, Spingobium, dan Rhodobacter. Setelah terurai, minyak akan menjadi senyawa CO2 dan H20 yang sudah tidak berbahaya lagi.

Meski lebih murah dan aman, proses itu membutuhkan waktu yang lama. Sejauh ini metode bioremediasi juga baru dilakukan di skala laboratorium di Indonesia. Di luar negeri, metode ini sudah banyak digunakan untuk mengatasi pencemaran akibat minyak di Jepang, Kanada, dan Amerika.

Pemerintah Indonesia juga sebenarnya tidak tinggal diam. Untuk mengatasi pencemaran itu, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur membentuk pos komando penanganan pencemaran Laut Timor. Pemerintah pusat juga membentuk Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak Laut Timor.

Juru bicara lembaga itu, Wahyu Indraningsih, mengatakan timnya telah melakukan survei guna mengetahui dampak pencemaran minyak di Laut Timor. Tim mengobservasi 10 titik yang diajukan oleh pos komando daerah pencemaran Laut Timor.

Setelah mengkaji dan menganalisis dampak pencemaran, pekan lalu tim itu menyimpulkan sementara potensi kerugian yang dialami nelayan dan masyarakat akibat bencana tersebut Rp 510 miliar. Pemerintah Indonesia juga telah menyampaikan total kerugian itu ke pemerintah Australia dan meminta ganti rugi.

Potensi kerugian tersebut didasarkan atas kerugian di lingkungan perairan untuk tangkapan ikan, wilayah pantai, terumbu karang, dan budi daya rumput laut. "Hitungan ini masih sementara," kata Wahyu pekan lalu. Nantinya akan ada biaya operasional dan potensi kerugian lain yang akan dihitung lewat uji lanjutan.

Ferdi Tanoni yang mengawal kasus pencemaran ini sejak awal mempertanyakan angka kerugian itu. Menurut dia, tim tak pernah meneliti dampak pencemaran minyak secara komprehensif. Tidak diketahui secara gamblang berapa luas Laut Timor yang tercemar minyak dan berapa banyak masyarakat yang terkena dampaknya. "Aneh, saya tidak tahu angka ini didapat dari mana, karena tak pernah ada penyelidikan menyeluruh tentang pencemaran itu," katanya.

Australia menyatakan belum menerima permintaan ganti rugi dari Indonesia. "Jadi kami belum bisa berkomentar tentang klaim terkait dengan potensi kerugian," ujar Dee. (Gunanto E.S., Yohanes Seo)
Sumber: Tempo, 22 – 28 Maret 2010
Ket foto ilustrasi: Pencemaran laut mengakibatkan ikan-ikan mati dan rusaknya biota laut. Foto: dok. google.co.id

JPU Minta Bedi, Bala dan Pitang Divonis 18 Tahun

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Lewoleba, Herdian Rahardi, S.H, dan Janu Asrianto, S.H, meminta majelis hakim memvonis 18 tahun penjara terhadap Lambertus Bedi Langodai, Mathias Bala Langobelen, dan Muhamad Pitang.

Ketiga terdakwa terbukti membunuh Yohakim Laka Loi Langodai, di sebelah timur Bandara Wunopito, Lewoleba, Selasa (19/5/2009).

Permohonan JPU itu disampaikan dalam jawaban atas pembelaan terdakwa dan penasehat hukum, pada lanjutan sidang kasus pembunuhan Yohakim, di Pengadilan Negeri (PN) Lewoleba, Senin (22/3/2010).

Herdian Rahardi, S.H, dan Janu Asrianto, S.H, berketetapan hati dan penuh keyakinan, bahwa surat tuntutan dibacakan 11 Maret 2010 itu benar berdasarkan hukum dan fakta, terdakwa terbukti sah melakukan pembunuhan.
Terhadap jawaban JPU ini, penasehat hukum dan terdakwa mengajukan jawaban tertulis pada sidang Kamis (25/3/2010).

Ketiga terdakwa dikenal sebagai `pelaku lapangan', hadir secara bergantian pada persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim PN Lewoleba, John PL Tobing, S.H, M.Hum, didampingi Wempy WJ Duka, S.H, dan Gustav Bless Kupa, S.H, masing-masing sebagai hakim anggota. Bedi, adik kandung korban Yohakim Langodai hadir pertama kali menyusul Pitang dan Bala.

Substansi jawaban JPU terhadap pembelaan terdakwa dan penasehat hukum ketiga terdakwa, hampir sama isinya, menolak semua pembelaan mereka. JPU membeberkan semua keterangan saksi BAP yang bersesuaian dan saksi terdakwa Bala.

JPU menyatakan, Bedi keliru jika dia tidak membunuh kakaknya. Keterangan Bala, dan Clara Elisabeth Permata Langodai alias Yoan, menyebut Bedi pelakunya. Keterlibatan Bedi, karena kekecewaan mendapatkan tender proyek di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP).

Ia mengikuti tender proyek memakai bendera CV Deco Lomblen Construksi milik Eko Suhartono, karena izin perusahaannya CV Agung Mulia sudah mati. Bedi minta bantuan kakak kandungnya, namun dilarang mengikuti tender. Sedangkan lewat Erni Manuk, supaya bisa mendapatkan pekerjaan pengadaan rumpon, juga gagal.

Terdakwa Pitang, dan Erni Manuk ikut tender melalui bendera perusahaan CV Indofalmi dan CV Afal Abadi. Keduanya juga gagal tender proyek itu.

Menurut kesaksikan Kedang Paulus, Kadis DKP, korban dikenalnya vokal membicarakan ketidakbenaran proyek yang ditemuinya. Yohakim, mengungkapkan "agar anak-anak rumah jabatan dan kroni-kroninya tak diikutkan dalam tender proyek."

Kegagalan mendapatkan proyek itu menyulut kekecewaan dan amarah Bambang Trihantara, orang kepercayaan Erni Manuk, yang mengurusi perusahaanya. Bambang punya hubungan dekat dengan Pitang dan Bala.

Hari Senin (18/5/2009), Erni Manuk, Bala , Pitang, dan Bambang berkumpul di kamar kos Bambang, membicarakan kegagalan tender proyek. Kesimpulannya, kegagalan itu akibat perbuatan Yohakim.

Mereka menyusun rencana melampiaskan rasa sakit hati menghilangkan nyawa korban. Bambang menganjurkan kepada Bala, dan Pitang dengan janji mendapatkan proyek. Rencana itu diteruskan kepada Bedi Langodai yang juga sudah sakit hati dengan kakaknya.

Hari Selasa (19/5/2010), Bedi datang ke kamar kos Bambang. Di sana telah berkumpul Erni, Pitang dan Bambang. Sedangkan, Bala datang ke DKP menemui korban, namun korban tak berada di tempat.

Ia minta nomor handphone korban kepada Yakobus Muko Beding, staf DKP. Mengantongi nomor HP korban, Bala meluncur ke kamar kos Bambang yang telah ditunggui keempat pelaku lainnya.

Pertemuan di kos sempat dilihat juga saksi Maria Inviolata, tetangga kamar kos Bambang. Wanita disapa Evi, mendengar rebut-ribut di dalam kamar kos itu, namun ketika ia lewat di depan kamar itu, mereka menghentikan pembicaraan.

Setelah pertemuan itu, Bambang, Bala, Pitang, dan Erni menggunakan mobil Suzuki vitara EB 50 DI menuju Bandara Wunopito. Bedi menggunakan sepeda motornya menuju tempat kejadian perkara di sebelah timur landasan pacu bandara. (ius)
Sumber: Pos Kupang, 23 Maret 2010
Ket foto:Lambertus Bedi Langodai dan Mathias Bala Langobelen

Hester Basoeki: Bangun Kampoeng Wisata Cinangneng

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, March 18, 2010 | 3:30 PM

Di tempat wisata ini, para pengunjung dapat menikmati suasana alam pedesaan. Tak ayal, Hester Basoeki Garden Guest House –begitu nama tempat wisata ini– lebih dikenal sebagai Kampoeng Wisata Cinangneng.

Tak pernah terbayang di benak Willy Basoeki dan isterinya, Hester Sophie Hehuwat atau Hester Basoeki untuk membangun sebuah tempat wisata bernama Hester Basoeki (HB) Garden Guest House atau lebih beken dengan nama Kampoeng Wisata Cinangneng.

Willy mengakui, ibunya berasal dari Pulau Rote, di mana kakeknya bermarga Adoe dan neneknya dari Messakh. Sedang ayahnya seorang pria Solo, pensiunan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) yang lama tinggal di Semarang.

Menurut Willy, usaha itu bertolak dari pengalaman isterinya sebagai seorang guide, pemandu wisata. Sang guide, Hester Basoeki, telah melakoni profesinya selama sepuluh tahun.

“Ternyata wisatawan manca negara lebih tertarik dengan pemandangan yang alami. Bagi wisatawan, pemandangan yang asli dan sekecil apapun itulah yang menarik,” kata Hester Basoeki yang ditemani suaminya, Willy Basoeki dalam keterangannya kepada penulis di rumahnya, kawasan Jl MPR, Cilandak, Jakarta Selatan.

Ketenaran nama Kampoeng Wisata Cinangneng membuat para wisatawan maupun pengunjung baru tak kesulitan bila mengantongi peta dalam brosur yang disiapkan Willy dan Hester Basoeki. Hal itu yang dialami penulis dan Cahyo Adji dari JAMSOSTEK ketika mengunjungi kampoeng wisata itu belum lama berselang.

Sepeda motor yang aku tumpangi bersama Agustinus Rustantio alias Roust -rekan seperjalananku yang lain- dari Terminal Baranangsiang, Bogor melaju pelan dan mencoba menerobos cela antara angkutan kota yang berdesak-desakan. Kami pun berusaha menghindari kemacetan. Kadang pula mencari “jalan tikus” –begitu kata rekanku– agar bisa segera di tempat tujuan.

Berbekal peta, tak lama kemudian kami memasuki Jalan Raya Ciampea. “Bapak berdua terus lagi sekitar 20 meter. Kemudian belok ke kiri dan segera Bapak akan menemukan Kampoeng Wisata Cinangneng. Kalau mau bertanya lagi, semua orang tahu, kok!,” kata seorang tukang ojek kepada kami.

Kepadatan lalulintas Jalan Raya Ciampea kendaraan masih nampak. Namun, ketika memasuki Cinangneng, udara terasa sejuk. “Boleh tanya, Pak? Di mana kantor HB Garden Guest House?” “Oh, silahkan masuk. Dari Jakarta, ya? Ibu sudah menunggu,” kata seorang karyawan setelah aku mengiyakan kalau kami adalah tamu Hester Basoeki.

Seorang pria ganteng nampak asyik membersihkan sampah dari pepohonan di dalam taman ‘kampoeng’ wisata Cinangneng. Ia asyik bersama seorang petugas cleaning service menata taman nan asri itu. Pria itu tak lain adalah Willy Basoeki, sang pemilik guest house.

“Semua tugas kita kerjakan bersama. Bahkan dalam sejumlah paket acara kunjungan wisatawan, kami selalu libatkan warga kampung Cinangneng. Dengan begitu, mereka merasa memiliki. Inilah pola kemitraan yang kami terapkan karena wisata sesungguhnya adalah wisata yang melibatkan semua pemangku kepentingan, stakeholder, termasuk warga desa,” ujar Willy bangga.

Tak Sulit

Bagi para wisatawan atau pengunjung, mencapai kampoeng wisata Cinangneng ternyata tidak sulit. HB Garden Guest House terletak di Jalan Babakan Kemang, Desa Cinangneng, RT 01/02, Cihideung Udik, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Perjalanan menuju lokasi wisata seluas 4.000 meter tersebut bisa ditempuh pengunjung melalui Stasiun Baranangsiang, Bogor. Dari terminal itu, perjalanan bisa diteruskan melewati Jalan Veteran dan Jalan Ciampea ke arah Gunung Batu.

Ketika mencapai Jalan Ciampea, nama Cinangneng sudah tak asing. Maka tak lama lagi, wisatawan atau pengunjung sudah bisa mencapai HB Garden Guest House.

Hester Basoeki mengakui, usaha wisata ini merupakan impiannya setelah ‘pensiun’ dari tugas sebagai guide. Mula-mula, ia dan suaminya memulai sebuah kamar kecil di rumahnya, kawasan Cilandak, Jakarta Selatan untuk para wisatawan yang melakukan perjalanan wisata di Indonesia. Usaha kecil-kecilan ini ternyata terus meningkat hingga ia memperluas usaha wisata itu di Cinangneng.

Ternyata ada rahasia di balik sukses usaha wisata itu. Menurut Hester, wisatawan mancanegara misalnya, lebih suka dengan sesuatu pemandangan yang alamiah, asli. Baik lingkungan alam maupun budaya masyarakatnya. Ia sadar apa sesungguhnya kebutuhan mereka ketika melancong di negeri kepulauan ini.

“Mereka lebih happy menikmati alam dan lingkungan yang alamiah. Jadi, bukan menikmati pusat-pusat perbelanjaan atau pertokoan yang mewah sekalipun itu memang perlu juga,” kenang Hester Basoeki.

Toh, usaha di Cinangneng sedianya untuk tempat peristirahatan keluarga. Namun, seiring membanjirnya peminat yang dipromosikan lewat relasinya, tempat itu akhrnya dijadikan tempat peristirahatan bagi wisatawan atau pengunjung yang menikmati keasrian alam dan lingkungan pedesaan di Cinangneng.

“Saya ingin menunjukkan kepada wisatawan bahwa inilah rona sesungguhnya wisata yang diidam-idamkan karena menampakkan keaslian alam dan lingkungan serta masyarakat sekitar,” kilah Hester Basoeki.

Apa sesungguhnya keaslian yang nampak? Di sini, wisatawan bisa menyaksikan dan bahkan terlibat dengan para petani membajak sawah, menanam, membersihkan hingga memetik hasil-hasil pertanian di ‘kampoeng’ wisata ini.

Wisatawan juga bisa ikut memandikan kerbau di sungai yang membelah kawasan wisata itu. Bahkan ikut ronda malam bersama warga: suatu hal yang banyak dijumpahi di desa di NTT menjelang pemilihan umum, misalnya.

“Pemandangan seperti ini bukan rekayasa tetapi alamiah. Dulu, ketika saya memandu wisatawan, tempat-tempat yang nampak alamiah seperti ini harus memaksa kita turun dari bus. Kemudian saya membiarkan mereka menikmatinya beberapa lama. Mereka sangat suka menonton dan mengabadikan sebagai kenang-kenangan sesampai di negaranya,” cerita Hester.

Mengunjungi HB Garden Guest House adalah mengunjungi potret kesenian tradisional khas Jawa Barat. Tempat wisata di tatar Sunda ini juga memberikan kesempatan bagi wisatawan untuk menikmati sajian seni tradisional khas Jawa Barat.

Mulai dari kerajinan tangan hingga pentas seni tradisional. Bahkan ikut terlibat dalam memainkan musik gamelan. Atau ikut membuat anyaman dari bambu yang merupakan aktivitas harian masyarakat.

Sedangkan pada malam hari, wisatawan bisa terlibat ronda malam sembari menikmati simphony alam melalui lenguh kerbau, suara jengkrik yang bersahut-sahutan. “Inilah selling point HB Garden Guest House,” kata Hester Basoeki. Nah, bila hendak melakukan tur pulang ‘kampoeng’ maka tak salah memilih HB Garden Guest House. (Ansel Deri)
Ket foto: Hester Basoeki (tengah) bersama sebuah group tari di Hester Basoeki Guest Garden House atau Kampoeng Wisata Cinangneng saat pengresmian jembatan Pulang Kampungku pada 16 Maret 2010 lalu. Foto: dok. HB Garden Guest House.

Tarsisia Hany Chandra: Dari Hotel ke Gedung Dewan

Perempuan satu ini adalah alumna Sekolah Demokrasi Lewoleba, Lembata, NTT Angkatan Kedua. Sudah sekitar 13 tahun ia menggeluti dunia perhotelan. Namun ternyata, penghasilan tinggi yang ia terima dari dunia itu, membuatnya merasa hidup tidak alami.

Setelah terpilih menjadi anggota DPRD Lembata periode 2009-2014, ia berharap bisa menularkan pengetahuan dan pengalamannya dalam membuat kebijakan publik di Lembata. Ia adalah Tarsisia Hany Chandra (39).

Warung makan yang berada di daerah Rayuan Kelapa, tepat di belakang Masjid Lewoleba itu dipadati kendaraan bermotor. Warung itu dibangun di atas tanah seluas 15 x 20 m. Sejumlah pengunjung tampak sedang asyik makan siang dan minum es teh guna mengusir gerah di siang itu.

Warung bernama "Berkat Lomblen" ditulis di atas sebuah belahan kayu dengan cat berwarna hitam di bagian bawah dan putih di bagian atasnya. Dinding bambu juga dicat hitam dan putih entah bermakna apa.

Di sisi kiri dan kanan warung itu kotak-kotak nasi itu tersusun rapi. Sesekali, beberapa karyawan terlihat sibuk mengambil kotak nasi guna melayani pesanan konsumen dalam jumlah puluhan bahkan ratusan.

Saat saya temui 5 April lalu, Hany, sang pemilik warung, itu tengah membersihkan meja dari sisa-sisa makanan dan air minum. Suaminya, Hendrikus Roostianto Hadi, juga sedang asyik melipat kotak nasi sambil sesekali menyapa tamu yang datang untuk makan siang.

Perempuan beranak dua ini langsung meminta salah seorang karyawannya untuk mengantarkan segelas es teh di ebang (pondok berbentuk panggung, beratapkan rumput alang-alang) yang berada tepat di depan warung itu. Tempat yang enak untuk berbincang. Ada dua perempuan yang terpilih menjadi anggota DPRD Lembata periode 2009-2014.

Selain putri Bupati Lembata Drs. Andreas Duli Manuk, Erni Manuk, dari Partai PDIP, Hany terpilih menjadi anggota DPRD melalui Partai Kasih Demokrasi (PKD). Dalam proses rekapitulasi di tingkat Kabupaten Lembata, caleg nomor urut satu Daerah Pemilihan Lembata Satu yang meliputi Kecamatan Nubatukan, Ile Ape, dan Ile Ape Timur lolos ini dengan total suara 648 dari angka bilangan pembagi pemilih (BPP) 2269.

Hany menjelaskan, "Basis kekuatan ada di kelompok yang saya bentuk. Selain mendapat suara dari kelompok, ada banyak suara dari tempat-tempat yang tidak saya datangi. Ini penyelenggaraan Tuhan."

Hany mengaku terdorong untuk menjadi anggota DPRD, setelah mengikuti program Sekolah Demokrasi. Ia bersyukur, karena bisa mempelajari banyak hal seperti kebijakan publik. Padahal, sebelumnya tak pernah terpikirkan olehnya untuk berurusan dengan politik.

"Karena pengetahuan yang saya peroleh di Sekolah Demokrasi, saya memberanikan diri untuk maju, selain faktor pengabdian yang tulus buat Lembata," ujar Hany.

Bili Baon, warga Eropaun, Kelurahan Lewoleba Barat mengaku memilih Hany karena sifat sosialnya dan kepandaiannya membangun hubungan dengan masyarakat, supel dan sederhana. Namun Hany tidak menyangka jika sikap alamiahnya itu membuat banyak orang memilihnya.

"Saya sendiri tidak tahu kalau saya pernah berjasa dengan masyarakat. Yang saya tahu, bantuan yang saya berikan berupa pinjaman sedikit uang kepada teman-teman, itu murni karena melihat mereka amat membutuhkan. Ini saya lakukan jauh sebelum saya mencalonkan diri sebagai caleg," ujar Hany.

Selama kampanye, ia memberikan pemahaman kepada masyarakat agar bisa turut berpartisipasi dan menggunakan hak pilih dengan cerdas. Ia pun lantas membentuk kelompok arisan beranggotakan pria dan wanita dewasa, di beberapa titik di dapilnya.

"Ini tidak butuh dana banyak. Arisan Rp.20 ribu, sedangkan iuran Rp.1000. Saya tambahkan Rp 200-300 ribu sebagai modal untuk simpan pinjam mereka. Dananya berasal dari kantong saya pribadi," Hany menambahkan.

Setelah sekian lama berkecimpung dalam dunia pariwisata, Hany mengaku akan memperjuangkan sejumlah infrastruktur objek-objek wisata di Lembata. Ia menilai industri pariwisata di Lembata perlu digerakkan dengan menyediakan jasa tour and travel bagi wisatawan.

Ia menyayangkan, meski telah ada langkah maju dengan digelarnya event tahunan berskala internasional, Sail Indonesia, sampai saat ini belum ada paket tour and travel yang memanjakan wisatawan dengan informasi dan akomodasi transportasi menuju objek-objek wisata di Lembata.

Ia juga menyatakan, di DPRD Lembata nanti dirinya akan mendorong anggaran pro-publik, dengan mendorong pemberdayaan ekonomi perempuan melalui koperasi simpan pinjam.

Sebelum melangkahkan kaki ke DPRD Lembata, ibu dari Alexandra Maheswari (8) dan Benediktus Anjelo Kristanto (4,5) berpengalaman selama lima tahun menjadi MICE (Meeting Incentive Conference and Exhibition) Manager di Hotel berbintang lima Bintang Lagoon Resort; Guess Relation Business Centre Officer di hotel Grand Hyatt Bali selama 5 tahun; dan tiga tahun di Batam View Beach Resort sebagai Business Centre Manager.

Tetapi, ternyata, materi yang diterima tidak selalu membuatnya bahagia. Menurutnya, pekerjaan dengan penghasilan di atas rata-rata itu membuatnya tidak dapat menjalani kehidupan yang alamiah dan jauh dari kesan kekeluargaan. Pengetahuan dan pengalaman selama di negeri orang ingin ditularkannya dalam pembuatan kebijakan publik Lembata. (Alexander Taum, Lembata)
Sumber: www.blogs.nimd.org
Ket foto: Tarsisia Hany Chandra, anggota DPRD Lembata 2009-2014

Tuntaskan 3 Kasus Pembunuhan di Todanara, Lembata

Sejumlah mahasiswa asal Desa Todanara, pecahan Desa Jontona, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata, mendesak Polres setempat untuk segera mengusut tuntas tiga kasus pembunuhan di desa itu. Kini suasana di desa itu mencekam.

Juru bicara mahasiswa Todanara, Gusti Matarau dan Egis Making, ketika ditemui Pos Kupang di Kupang, Kamis (18/3/2010), mengatakan, kasus pertama terjadi pada 14 Februari 2006 menimpa Nyonya Magdalena Ema, kasus kedua, menimpa Asan Sorongmaking (2008) dan kasus ketiga menimpa Katarina Kidi (Maret 2010).

Menurut Gusti dan Egis, kasus pertama dan kedua bermodus yang sama, yakni korban ditemukan tewas tergantung di rumah. Dari berbagai analisa, dua korban ini meninggal tak wajar.

"Kami menduga mereka dibunuh kemudian digantung. Bila aparat jeli maka kasus-kasus ini bisa terungkap. Ada begitu banyak saksi," kata Gusti.

Gusti dan Egis mengatakan, masyarakat di desa ini merasa terancam. Masalahnya aparat belum menuntaskan kasus-kasus ini sehingga tak memberi efek jera kepada para pelaku.

Gusti mengatakan, kini masyarakat tak bebas lagi ke kebun dan tak mengikuti misa di gereja. "Anak-anak sekolah juga begitu. Siatuasi di desa mencekam apalagi pelaku kasus pembunuhan Katarina diduga masih berkeliaran di sekitar kampung," katanya.

Menurut Gusti, polisi telah ke Todanara untuk melakukan penyelidikan. Namun, penyidikan belum berjalan. Terkesan kata dia, polisi mengalami kesulitan-kesulitan.

Bila demikian kata Egis, warga juga akan saling mencurigai bahkan saling menuduh sebagai pelaku pembunuhan. "Jadi, sebaiknya polisi menangkap para tersangka agar persoalan ini menjadi terang benderang," Egis.

Menurut Gusti, ada petunjuk lain seperti beberapa batang gading yang telah digadaikan di Kantor Pegadaian Lewoleba. Kemungkinan uang hasil gadaian ini dipakai untuk "menutup" kasus-kasus ini.

Gusti dan Egis mengatakan, dalam waktu dekat bersama mahasiswa lainnya akan menemui Kapolda NTT untuk mempertanyakan kasus-kasus ini. Mereka juga akan menyurati Bupati, Ketua DPRD dan Kapolres Lembata. (paul burin)
Sumber: Pos Kupang, 18 Maret 2010
Ket foto: Peristiwa kematian tak wajar di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur kerap terjadi, namun sulit terungkap aparat kepolisian. Kasus kematian Yohakim Laka Loi Langoday, misalnya, terungkap berkat kerja keras aparat kepolisian dibantu masyarakat. Foto ilustrasi: www.banjarmasinpost.co.id

Maju Bersama Rakyat Soga Naran Lewotana

Pasangan Yoseph Lagadoni Herin, S.Sos (Yosni) dan Valentinus Sama Tukan, S. AP mengusung Sonata, yaitu Soga Naran Lewotana (Mengangkat Harkat dan Martabat Masyarakat Flores Timur).

Sonata menjadi tekad dan nafas dari seluruh cita-cita pasangan ini membangun Flores Timur lima tahun mendatang. Keduanya didukung partai yang tangguh dan kuat, antara lain PDIP, PAN, PPRN, PKPI, Barnas dan PKNU dengan akumulasi suara sebanyak 26.130.

"Hari ini adalah saatnya! Saatnya kita berlari menyongsong kata-kata yang dimuntahkan lambung langit yang terluka. Hari ini adalah saatnya kita menabuh genderang perang. Perang telah dimulai, dan kita pun sudah berada di tenggah gelanggang. Nuho tawa timu teti, tite todi timu teti tai. Bliwan gere warat lali, tite todi warat lali tai. Pehen peda sadik gala lali namang tukan. Ake so'ot, ake kedoko. Karena inilah saatnya bagi kita menjaga kehormatan dan kewibawaan Lewotanah, inilah saatnya tite soga naran lewotanah," kata Yosni lantang dalam orasi politiknya saat deklarasi Koalisi Sonata di aula Paroki Santu Ignatius, Waibalu, Larantuka, Senin (15/3/2010).

Yosni menyampaikan sejumlah gagasan baru untuk mewujudkan cita-cita dimaksud. "Lima tahun silam saya pulang ke Lewotanah Lamaholot dengan mengusung moto: Lewo Soron Lodo Tana Tapin Balik. Lima tahun lalu saya pulang sebagai `anak hilang' setelah hampir 18 tahun meninggalkan kampung halaman dan berkelana di tanah Timor mencari ilmu, lalu mencari nasi sepiring mulai dari Kupang, Sumba, Denpasar-Bali, sampai ke Jakarta. Lima tahun lalu saya pulang sebagai `orang asing' di rumah sendiri. Saya tidak mengenal secara baik fisik rumah saya, Lewotanah Lamaholot ini. Saya juga hanya mengerti sangat sedikit tentang jiwa yang menghuni fisik rumah Lamaholot. Tapi hai para orang tua dan saudara/i ku sekalian, saya pulang sebelum petang membayang dan malam belum mengubur cahaya. Karena saya tahu, tidak ada yang bisa diperbuat kalau matahari telah terbenam pada tubuh. Saya pulang dengan bara di mata dan api di kepala. Karena saya tahu, tanah pusaka tak ingin berhala dengan mata meredup abu atau kepala di dahan asap," katanya.

"Saya pulang dengan lengan dan kaki masih kokoh. Karena saya juga tahu, bumi purba menanti belaian perjaka dan hentakan kaki para perkasa agar ia terbangun mengubah rupa. Dan, selama empat tahun terakhir ini saya telah belajar banyak mengenal rumah Lamaholot Flores Timur, juga mengenal lebih baik jiwa para penghuninya. Selama empat tahun terakhir ini saya telah tahu lebih banyak hal tentang Lewotanah ini, tentang pengelolaan pemerintahan, tentang pembangunan dan berbagai persoalannya, juga tentang berbagai hal menyangkut pelayanan kepada masyarakat," kata Yosni dengan suara menggelegar diikuti riuh tepuk tangan pendukungnya.

Lebih lanjut, Yosni yang dalam deklarasi itu dihibur band anak muda Flores TImur itu menekankan, impiannya tentang masyarakat Lamaholot Flores Timur masa depan sebagai sebuah komunitas masyarakat yang sejahtera dan bermartabat.

Masyarakat yang sejahtera dan bermartabat adalah yang bisa menikmati pelayanan pendidikan dan kesehatan yang semakin murah dan semakin mudah, yang mendapatkan pelayanan secara optimal, efektif dan efisien dari seluruh jajaran pemerintah, mulai dari tingkat kabupaten sampai ke desa-desa.

Masyarakat Lamaholot yang sejahtera dan bermartabat adalah masyarakat yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, memiliki kesadaran untuk mencintai dan melestarikan lingkungan hidupnya sendiri, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan budaya serta masyarakat yang semakin memiliki daya saing dalam berbagai bidang kehidupan dengan daerah-daerah lain, baik dalam lingkup pergaulan regional NTT maupun di tingkat nasional.

Kami punya impian paling lama 5 tahun ke depan, Flores Timur menjadi kabupaten mandiri pangan melalui gerakan diversifikasi tanaman pangan. Perlu dilakukan pemetaan wilayah komoditas pertanian dan perkebunan.

Setiap wilayah komoditas harus menjadi identitas wilayah tersebut. Misalnya wilayah pertanian Otan di Solor Barat, dengan identitas sebagai sentra penghasil jagung, wilayah Tanjungbunga dan Lewolema sebagai sentra penghasil mete, wilayah Ile Boleng sekitarnya sebagai sentra penghasil jagung, kacang tanah, atau singkong, sebagian besar wilayah Adonara menjadi sentra penghasil kopra dan kakao, dan lain-lain," ungkapnya sembari mengatakan, gerakan optimalisasi pembangunan pertanian lahan basah dam redesain pembangunan sejumlah daerah irigasi agar Flores Timur bisa menjadi salah satu kabupaten sentra pengembangan jagung.

"Saya bertekad menjadikan `Flores Timur sebagai Kabupaten Jagung'. Karena itu pula, peran tenaga PPL pertanian dan organisasi-organisasi tani-nelayan harus dioptimalkan. Begitu juga dengan impian kami tentang nelayan Lamaholot yang semakin berdaya dan mandiri. Nelayan yang memiliki kelengkapan alat tangkap, nelayan yang bisa menjual hasil tangkapannya dengan harga yang tidak dipermainkan, serta nelayan yang juga memiliki akses yang lebih mudah dengan lembaga keuangan mikro sebagai sumber permodalan,” ujar Yosni.

Pada kesempatan itu, Yosni menyampaikan, jika terpilih menjadi bupati dirinya hanya akan memimpin selama satu periode. "Sekali lagi, hanya satu priode! Tekad hanya memimpin satu periode saja, maka seluruh energi dan daya pikir saya akan benar-benar fokus demi membangun daerah, tanpa pamrih-pamrih politik untuk lima tahun kedua. Dengan tidak ada pamrih, politik untuk lima tahun kedua, maka saya pun siap untuk menjadi pemimpin yang tidak poluler," katanya.

Ahli waris raja Larantuka, Don Martinus, DVG saat didaulat untuk memberikan peneguhan bagi pasangan calon bupati dan calon wakil bupati Paket Sonata saat diterima di rumah adat Suku Balun di Kelurahan Waibalun, mengingatkan seluruh masyarakat untuk sama-sama menjaga keutuhan hubungan antara para pemimpin, baik dengan sesama pemimpin maupun dengan warga masyarakat di daerah ini.

"Sejak lima tahun lalu, Yosni sudah saya angkat sebagai anak saya, sehingga ke mana pun dia pergi, saya selalu menjaganya. Kami wajib menjaganya supaya dia tidak omong sembarangan dan mencampuri urusan agama," tandas Don Martinus.

Sebelumnya, Rofinus Nara Kean yang didaulat membawakan sambutannya mewakili tokoh masyarakat mengajak seluruh masyarakat untuk memaknai momen deklarasi paket dan Koalisi Sonata sebagai bagian dari seluruh proses pemurnian diri dari berbagai keragu-raguan, terutama keraguan dalam menjatuhkan pilihan pada hari pemberian suara tanggal 3 Juni 2010 mendatang.

Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Kabupaten Flores Timur, Antonius Hubertus Gege Hadjon menilai, masyarakat yang rasional cenderung menjatuhkan pilihannya pada paket Sonata untuk memimpin Flores Timur 5 tahun ke depan.

Pasalnya, pasangan Yosni–Valens adalah dua figur yang kesehariannya dikenal dan mengenal banyak orang. Mereka memiliki latar belakang keluarga, isteri dan anak yang dikenal masyarakat. Dan, paling utama adalah mereka memiliki iman yang jelas.

Pasangan ini sungguh menyadari siapa diri mereka dan tidak mengklaim diri sebagai manusia yang memiliki kelebihan apalagi menyamakan diri dengan Tuhan ataupun dewa melalui sejumlah pernyataan yang tidak masuk akal. Pernyataan yang membingungkan dan menyesatkan masyarakat.

"Pasangan Yosni–Valens adalah orang-orang yang rasional dan tidak mengajarkan hal-hal yang irasional ," tegas Anton. (iva)
Sumber: Pos Kupang, 17 Maret 2010
Ket foto: Joseph Lagadoni Herin, S.Sos, Calon Bupati Flores Timur 2010-2015 saat berada di ruang kerjanya, Redaksi Warta Bisnis Jakarta. Foto: dok. pribadi
 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger