SUATU pagi di
Pekanbaru, kota Provinsi Riau. Awal November tahun 2007. Pukul 07.00 WIB.
Sesaat turun dari kamar, saya menuju meja sarapan di sebuah hotel di jantung
kota. Rekan Yudia Wawan, teman seperjalanan saya ajak turun menikmati sarapan.
Maksudnya, usai sarapan kami bisa punya waktu sejam lebih menikmati keindahan
Pekanbaru, kota yang kuat bernuansa Melayu. Di sofa tak jauh dari resepsionis
mata saya masih terpaku dengan Riau Pos, salah satu koran harian jumbo di Riau.
Asyik menikmati berita headline pagi, beberapa tamu hotel pun duduk di meja
yang sama.
H. Basrizal Koto,
tamu hotel, juga tak lama berada di meja yang sama. "Salamalaikum. Selamat
pagi, Pak Haji," kata saya sembari menyalaminya. "Waalaikumsalam. Apa
kabar, mas?" kata Haji Basko. "Alhamdulilah. Sehat, Pak Haji,"
kata saya. Saya menyapanya dengan Pak Haji. Namun, apakah ia sudah atau belum
menunaikan Ibadah Haji di tanah Suci Mekkah Almuwaromah, saya tak berpikir ke
sana. Menyapanya dengab "Pak Haji" bagi saya sudah jadi bentuk
penghormatan bagi orang yang lebih tua dari saya. Saya membayangkan ia seorang
ulama yang rendah hati dan bersahaja. "Saya dan rekan Wawan mendapat tugas
kantor ke Pekanbaru. Selanjutnya akan ke Rokan Hulu dan Rokan Hilir," kata
saya. Pak Haji menanyakan apakah hanya tugas di Pekanbaru atau masih lanjut ke
beberapa kota lain di luar Pekanbaru.
Pagi ini, ingatan
saya kembali ke Pekanbaru. Sesaat menyusun kembali buku-buku yang tercecer
sejak semalam, autobiografi H. Basrizal Koto saya temukan. Saya ingat, buku itu
diberi langsung sang penulis, H. Basko, kepada saya. Judulnya, H.
Basrizal Koto: Saudagar Jalan Hidup Saya. Diterbitkan oleh PT Riau
Mandiri Press pada Oktober 2007. Autobiografi ini diberi Kata Pengantar Ary
Ginanjar Agustin, seorang motivator dan penulis buku best seller ESQ.
"Buku ini baru terbit sebulan lalu. Tapi Anda beruntung bisa mendapat satu
eksemplar. Sekadar baca-baca saja sepulang ke NTT. Siapa tahu bisa menjadi
inspirasi bagi Anda dan juga teman-teman sekampung di rantau," kata Pak Haji
Basko kepada saya. "Kalau berkenan Pak Haji bisa tandatatangani. Apa boleh
saya minta nomor kontak Pak Haji. Siapa tahu sekali-kali saya bisa
hubungi," kata saya. Ia pun dengan senang hati membubuhkan tandatangan dan
menulis nomor handphone di pojok kanan buku karyanya itu. Senang? Tentu. Saya
merasa ini juga oleh-oleh berharga lain dari Riau, bumi Lancang Kuning di
Semenanjung Malaka. Inilah indahnya saling mengenal satu sama lain sebagai
saudara di bumi Pertiwi; negeri yang dikaruniai beraneka suka, agama, ras dan
golongan.
Siapa sesungguhnya
H. Basrizal Koto, ia mengarahkan membaca sekilas perjalanannya sebagai anak
rantau dari ranah Minang. Kisah sukses adalah bagian penting dalam sejarah
perjalanan Pak Haji dalam bisnisnya hingga ke pentas nasional. Ia lahir dari
keluarga miskin di kampung Ladang, Padusunan, Padang Pariaman, Sumatera Barat
pada 11 Oktober 1959. Sang bunda, Hj. Djaninar, sejak masih gadis kecil di
kampung halaman sudah menjadi yatim piatu. Sedang sang ayah, H. Ali Absyar,
adalah pemuda kampung biasa seperti kebanyakan orang di ranah Minang. Ia tentu
sosok yang mendidik dan mengajarkan anak-anaknya kelak tumbuh menjadi pribadi
yang religius, rendah hati, dan rajin, termasuk Basko.
Haji Basrizal Koto
mengaku, sejak kecil ia menyadari diri anak orang miskin. Tapi, kemiskinan
tidak boleh dinikmati; harus dilawan. Tak ayal, ia bertekad keluar dari rantai
kemiskinan. Caranya? Ya, harus bekerja keras dan punya motivasi tinggi.
Kemiskinan bukan diterima sebagai nasib apalagi membuatnya rendah diri. Tatkala
beranjak dewasa, bermodal semangat dan motivasi tinggi serta semangat membaja
pada usia 26 tahun ia merintis usaha di Pekanbaru melalui PT Ceya Zico Utama.
Di Padang ia juga mendirikan Minang Plaza dengan sejumlah grup usaha besar
lainnya. Minang Plaza adalah pusat belanja modern pertama di Sumatera Barat. Ia
juga merintis media di Pekanbaru dan Batam. "Saya berkali-kali memberikan
ceramah untuk memotivasi anak muda maupun mahasiswa serta sarjana yang baru
tamat untuk bisa menjadi enterpreuner, wirausahawan. Minimal bisa mandiri,
tidak tergantung pada orang lain. Usai memberi ceramah saya selalu mendapat
pertanyaan. Modalnya dari mana. Siapa yang akan memberi fasilitas dalam memulai
usaha," kata Haji Basko.
Namun, boleh jadi
nasehat dan tekadan orangtuanya memompa semangat Basko kecil untuk maju dan
meraih cita-citanya menjadi orang berguna bagi sesama. Pengalaman hidup susah
di kampung halaman malah memacunya menjadi orang berguna dan sukses. Ia mengaku
kehidupan orangtua yang miskin membuat ia terlambat masuk sekolah dasar.
Tatkala teman-temannya masuk sekolah dan berada di ruang kelas, Basko kecil
malah berdagang kecil-kecilan di sekolah untuk membantu ekonomi keluarga. Sang
bunda setia melakoni pekerjaan apa saja menghasilkan duit untuk menghidupi anak-anaknya.
Sang ayah, kala itu malah memilih merantau. Sang bunda sendiri tegar menjual
lontong sayur dan tapai ubi untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Kadang sang
bunda mengambil upah menumbuk padi di sawah orang. "Kadang bunda tidak
mengambil upah berupa uang tapi beras. Kemudian beras dibawa pulang untuk makan
kami semua. Tekad dan semangat bunda itulah masuk dalam jiwa saya hingga jadi
modal hidup," kata Basko.
Niat dan kerja
keras dilandasi doa yang kuat hingga menjadi orang sukses boleh jadi adalah
berkat yang ia terima dari Tuhan, sang sumber rejeki. H. Basrizal Koto sukses
mengelola induk usahanya, MCB Group, dengan beberapa anak usahanya. Sebut saja
Basko Minang Plaza, Cerya Riau Mandiri Printing, Cerya Multi Sarana, Cerya Jaya
Utama, Suara Mandiri Riau, Inti Kharisma Riau Mandiri, Kepri Sijori Mandiri,
Riau Agro Mandiri Perkasa, Harian Umum Riau Mandiri, Harian Umum Sijori
Mandiri, dan Radio SmartFm Mandiri 99,5. Belum lagi di organisasi sosial
kemasyarakatan. Basko misalnya, pernah menjabat Ketua Umum Ikatan Keluarga
Minang Riau tahun 2000-2010 dan Ketua Umum Yayasan Peduli Pendidikan Bunda Riau
dan Ketua Pembina ESQ Riau.
Ary Ginanjar
Agustian pun punya testimoni tentang H. Basrizal Koto. Kata Ary, perjalanan
Basko adalah sebuah kisah nyata perjalanan hidup yang layak diabadikan. Kisah
sukses Basko, yang tak tamat SD seolah menjawab bahwa keberhasilan bukanlah
ditentukan berapa tinggi pendidikan seseorang tapi juga ditopang kecerdasan
emosi dan spiritual. Kisah Basko adalah tentang keunggulan dari sebuah kemauan
kuat dan tekad baja. Kisah Bakso tak hanya tentang kedisiplinan yang tinggi dan
kemampuan berkomunikasi yang bagus. Namun juga sarat dengan nilai cinta dan
kasih sayang sejati antara seorang ibu dan anak. "Inilah kuncinya. Kecerdasan
spiritualnya dididik oleh sang bunda yang mengajarkan tentang cinta dan
ketuhanan serta kecerdasan emosinya dibentuk melalui jalanan dan lingkungan
yang penuh tantangan, street smart," kata Ary.
Kisah perjumpaan
saya dengan H. Basrizal Koto, saudagar dari ranah Minang 13 tahun lalu di
sebuah hotel di jantung Pekanbaru, hadir tatkala saya merapihkan kembali
buku-buku saya. Ratusan buku memang sudah hancur akibat banjir yang melanda
Jakarta akhir Desember lalu. Autobiografi Basko, salah satu yang selamat. Di tengah
kepungan wabah covid-19, ingatan saya kembali ke Pekanbaru. Selain memangkas
rasa kecewa karena sebagian buku ludes dihajar banjir dan kejenuhan menyusul
kebijakan pembatasan sosial berskala besar di DKI Jakarta, membaca kisah H.
Basrizal Koto bisa jadi obat mujarab membunuh jenuh yang bersarang. Itung-itung
dari membaca ada ruang bergembira. Sekaligus mengingat kembali kenalan baik
saya, H. Basrizal Koto yang kini tengah menunaikan Ibadah Puasa Ramadhon.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa tuk Pak Haji Basrizal Koto. Semoga melalui doa
dan puasa kali ini berkahnya juga tak hanya dialami keluarga besar namun bagi
seluruh umat manusia di muka bumi terutama di seluruh wilayah Indonesia yang
tengah dilanda covid-19.
Jakarta, 30 April
2020
Ansel Deri
Pernah ke
Pekanbaru, Rokan Hulu & Rokan Hilir, Riau
Ket foto: H.
Basrizal Koto
Sumber foto: Repro
buku "H. Basrizal Koto: Saudagar Jalan Hidup Saya".
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!