SETIAP liburan di kampung tahun 90-an, saya biasa nongkrong di
almamater: SMP Lamaholot Boto, Nagawutun, Lembata. Sekolah di dusun Kluang ini
dirintis tiga kepala kampung dari kampung Boto (Desa Labalimut), Kluang dan
Belabaja (Desa Belabaja). Kalau keluar kampung, familiar dengan sebutan Boto.
Kini sekolah swasta itu sudah diambil alih pemerintah dan berubah nama jadi SMP
Negeri 2 Nagawutun. Sekadar isi waktu ngobrol dengan guru-guru saya. Terutama
yang pernah mengajar saya kala masih di sekolah itu.
Saat libur
ruang guru jadi tempat nongkrong. Selain tentu menyerahkan koran bekas yang
saya bawa jauh-jauh dari Kupang di Timor sana. Masih dalam klombu. Saya bisa
bersua dan nongkrong dengan beberapa guru saya. Ada kakak kandung saya, Ibu
Hermina Barek, yang ngajar mata pelajaran Pendidikan Kesejahteraan Keluarga. Ia
lulusan sebuah SMA di Jakarta Timur. Juga adik saya, Blasius Bao Achy Deona,
masih kerabat dekat. Ia anak dari adik ibu saya. Pak Achy juga pernah di Kupang
dan sama-sama dengan saya pernah bakar aspal di sekitar Oepoi Kupang. Buruh
kasar, pembantu tukang. "Engko isi sementara jam pelajaran saya. Selesai
dari kelas, terima honor baru engko bawa klewang pigi hutan," kata Valens
Batafor, guru mata pelajaran Bahasa Inggris.
Kaka guru
Valens kala itu merangkap kepala sekolah. Orangtua kaka guru Valens: Bapa Agus
Kedang Batafor dan ema Ana Kire dari desa nelayan Lamalera, Wulandoni. Lama
kedua orangtua sederhana ini menetap dan menjadi bagian keluarga besar kami di
Boto. "Honornya saya siapkan. Saya ke rumah dan segera kembali bawa
honornya," kata ade guru Achy, kini ASN di kantor Camat Nagawutun dan
Penjabat Kepala Desa Liwulagang. Liwulagang ini dusun kecil di bawah lembah,
tak jauh dari Kluang. Dusun yang juga menghasilkan beberapa sarjana, termasuk
adik Mery Udak, lulusan Fisipol Unwira Kupang dan kini salah seorang pejabat di
Pemkab Lembata.
Dari rumah,
ade guru Achy bawa tuak kelapa segar di cerek (teko) plastik kecil. Ukuran satu
liter lebih. Kaka saya, segera ke rumah dan ambil jagung titi. Kaka guru Valens
segera menyuruh seorang murid ke rumah beliau. Si murid segera kembali dengan
ikat pari panggang yang sudah matang. Selesai diketuk di batu dan nampak
seperti gabus rokok. Kami nikmati bersama jagung titi dan ikan pari kering yang
baru digebuk di atas batu. "Dulu kalau kepala batu di sekolah saya pukul
pantat mereka dengan mistar. Mereka marah-marah mengancam tidak mau disuruh
lagi. Tapi, anehnya usai sekolah mereka akan ke rumah saya. Selain ada
penjelasan tambahan usai saya ngajar mereka di kelas, mereka mau tambah ilmunya
di rumah saya. Jadi meski saya hantam pake mistar jam pelajaran, mereka setia
ke rumah karena masih butuh ilmu tambahan," kata kaka guru Valens.
Kebiasaan ke rumahnya usai pelajaran saya dan beberapa teman lakukan. Ya, demi
ilmu saja.
Guru, siswa,
dan orangtua adalah tiga pihak yang ikut menentukan kualitas pendidikan. Tempo
dpeloe, hal ini sudah dilakukan semua pihak nun di SMP Lamaholot Boto,
almamater. Tiga pihak itu juga puluhan tahun selalu diingatkan otoritas negara,
terutama Kementerian Pendidikan Nasional. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
Nadien Makarim pada peringatan Hardiknas 2020 juga menekankan tiga pihak di
atas: guru, siswa, dan orangtua menciptakan kerja kolaboratif multipihak. "Saya
bangga juga. Meski saat itu proses belajar-mengajar masih serba minim
fasilitas, banyak anak didik kami kelak sukses mengenyam pendidikan," ujar
Ibu Maria Goreti Wujon, guru mata pelajaran Fisika dan Kimia saya di SMP
Lamaholot Boto, suatu waktu saat kami makan jagung titi di rumah kaka Imel,
adiknya, di kampung Kluang saat saya liburan. "Dulu kalau mama ibu ngajar
PKK, mama amati kamu kurang semangat ikuti pelajaran. Apalagi kalau mama sebut
beberapa jenis kue hasil olahan dari padi atau jagung kita di kebun. Belum lagi
kalau mama sebut nama-nama istilah dalam bahasa Jawa dalam buku," ujar Ibu
Viktoria Sakeng, guru PKK saya sebelum digantikan ibu Hermina, kakak saya.
"Kalau mama ibu ngajar Fisika dan PKK, saya rasa macam bingung. Mungkin
saat itu perut saya ada tuak kelapa dan misur (sejenis ubi hutan) dalam perut
saga," kata saya. Jawab begitu, guru saya: ibu Goreti & Viktoria pecah
ketawa. Seorang teman, pernah menangis dengan suara tinggi mengancam guru akan
dilaporkan ke orangtua. Gara-gara guru menyebut rekan ini dengan sebutan
"pekak". Tapi saat tiba di rumah, orangtua sudah ke kebun. Dan ia
balik sekolah dan masuk kembali.
Tuak, jagung
titi, ikan mokun (pari) kering, dan guru-guru bersahaja saya di almamater tempo
doeloe adalah rona pendidikan humanisme sesungguhnya. Ia melekat dalam memori
kolektif; mengisi dinding batin kami anak-anak kampung hingga menyebar di
seantero jagad. Kami atau paling kurang saya, sadar bahwa pendidikan sekaligus
institusi kecil penyemai masa depan kami telah hadir di sekolah menengah
rintisan para kepala kampung kami. Ia mengiringi pula perkembangan perabadan
manusia jauh sebelumnya. Tatkala kami, melalui karya para misionaris Katolik
menyebarkan agama Katolik di kampung-kampung di bawah pelukan gunung Labalekan.
Kesadaran akan hakekat pendidikan sudah tertanam di kalangan guru dan orangtua
kami, nun di dusun kecil di bawah lereng Labalekan, yang melimpah ruah hasil
pertanian maupun tanaman niaganya. Hakekat pendidikan yang sudah lama diyakini.
Bahwa hakekat pendidikan sebagai sebentuk transformasi menuju
perubahan-perubahan tertentu telah diyakini manusia sebagai alat yang efektif
sejak dahulu kala. Berbagai usaha yang dilakukan manusia untuk menyelenggarakan
pendidikan di masa lampau itu lambat laun memunculkan institusi dan sistem
pendidikan (Bdk. Peziarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya; Penerbit Kompas
tahun 2009).
Hardiknas 2020
tentu menjadi momen Presiden Joko Widodo mengingatkan tentang arti penting
pendidikan dan semua stakeholder di dalamnya. Pun tuan Menteri Pendidikan dan
Kenudayaan Nadien Makarim telah mengingatkan tentang pendidikan yang efektif
dengan kolaborasi tiga pihak: guru, siswa, dan orangtua. Tanpa itu, kata mas
Nadiem, pendidikan efektif tidak mungkin terjadi. Untuk mas Nadiem, jangan lupa
juga arahkan mata ke almamater saya. Di sana masih ada guru honorer yang
belasan tahun bertahan mendidik anak-anak kampung namun honornya masih jauh di
bawah mas Menteri. Jaraknya macam langit dan bumi. Momen Hardiknas kali ini,
memori saya kembali menyasar almamater. Tentang guru-guru saya bersahaja yang
pernah menitip ilmu dan teladan. Tentang tuak kelapa, jagung titi, dan mokun
sebagai "honor" saya di depan kelas tatkala liburan. Terima kasih
guru-guruku. Kalian semua sungguh pahlawan pendidikan bagi kami para murid.
Jakarta, 4 Mei
2020
Ansel Deri
Lulusan SMP
Lamaholot Boto 1987
Ket foto:
Penulis saat di kampung Kluang (Boto)
Foto: Mas
Cahyo Adji, jurnalis & pemilik Kafe Uwong Coffee di Sleman, Jogja.
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!