Headlines News :
Home » » Tuak Kelapa Itu Honor Guru

Tuak Kelapa Itu Honor Guru

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, May 04, 2020 | 9:16 PM

SETIAP liburan di kampung tahun 90-an, saya biasa nongkrong di almamater: SMP Lamaholot Boto, Nagawutun, Lembata. Sekolah di dusun Kluang ini dirintis tiga kepala kampung dari kampung Boto (Desa Labalimut), Kluang dan Belabaja (Desa Belabaja). Kalau keluar kampung, familiar dengan sebutan Boto. Kini sekolah swasta itu sudah diambil alih pemerintah dan berubah nama jadi SMP Negeri 2 Nagawutun. Sekadar isi waktu ngobrol dengan guru-guru saya. Terutama yang pernah mengajar saya kala masih di sekolah itu.

Saat libur ruang guru jadi tempat nongkrong. Selain tentu menyerahkan koran bekas yang saya bawa jauh-jauh dari Kupang di Timor sana. Masih dalam klombu. Saya bisa bersua dan nongkrong dengan beberapa guru saya. Ada kakak kandung saya, Ibu Hermina Barek, yang ngajar mata pelajaran Pendidikan Kesejahteraan Keluarga. Ia lulusan sebuah SMA di Jakarta Timur. Juga adik saya, Blasius Bao Achy Deona, masih kerabat dekat. Ia anak dari adik ibu saya. Pak Achy juga pernah di Kupang dan sama-sama dengan saya pernah bakar aspal di sekitar Oepoi Kupang. Buruh kasar, pembantu tukang. "Engko isi sementara jam pelajaran saya. Selesai dari kelas, terima honor baru engko bawa klewang pigi hutan," kata Valens Batafor, guru mata pelajaran Bahasa Inggris.

Kaka guru Valens kala itu merangkap kepala sekolah. Orangtua kaka guru Valens: Bapa Agus Kedang Batafor dan ema Ana Kire dari desa nelayan Lamalera, Wulandoni. Lama kedua orangtua sederhana ini menetap dan menjadi bagian keluarga besar kami di Boto. "Honornya saya siapkan. Saya ke rumah dan segera kembali bawa honornya," kata ade guru Achy, kini ASN di kantor Camat Nagawutun dan Penjabat Kepala Desa Liwulagang. Liwulagang ini dusun kecil di bawah lembah, tak jauh dari Kluang. Dusun yang juga menghasilkan beberapa sarjana, termasuk adik Mery Udak, lulusan Fisipol Unwira Kupang dan kini salah seorang pejabat di Pemkab Lembata.

Dari rumah, ade guru Achy bawa tuak kelapa segar di cerek (teko) plastik kecil. Ukuran satu liter lebih. Kaka saya, segera ke rumah dan ambil jagung titi. Kaka guru Valens segera menyuruh seorang murid ke rumah beliau. Si murid segera kembali dengan ikat pari panggang yang sudah matang. Selesai diketuk di batu dan nampak seperti gabus rokok. Kami nikmati bersama jagung titi dan ikan pari kering yang baru digebuk di atas batu. "Dulu kalau kepala batu di sekolah saya pukul pantat mereka dengan mistar. Mereka marah-marah mengancam tidak mau disuruh lagi. Tapi, anehnya usai sekolah mereka akan ke rumah saya. Selain ada penjelasan tambahan usai saya ngajar mereka di kelas, mereka mau tambah ilmunya di rumah saya. Jadi meski saya hantam pake mistar jam pelajaran, mereka setia ke rumah karena masih butuh ilmu tambahan," kata kaka guru Valens. Kebiasaan ke rumahnya usai pelajaran saya dan beberapa teman lakukan. Ya, demi ilmu saja.

Guru, siswa, dan orangtua adalah tiga pihak yang ikut menentukan kualitas pendidikan. Tempo dpeloe, hal ini sudah dilakukan semua pihak nun di SMP Lamaholot Boto, almamater. Tiga pihak itu juga puluhan tahun selalu diingatkan otoritas negara, terutama Kementerian Pendidikan Nasional. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nadien Makarim pada peringatan Hardiknas 2020 juga menekankan tiga pihak di atas: guru, siswa, dan orangtua menciptakan kerja kolaboratif multipihak. "Saya bangga juga. Meski saat itu proses belajar-mengajar masih serba minim fasilitas, banyak anak didik kami kelak sukses mengenyam pendidikan," ujar Ibu Maria Goreti Wujon, guru mata pelajaran Fisika dan Kimia saya di SMP Lamaholot Boto, suatu waktu saat kami makan jagung titi di rumah kaka Imel, adiknya, di kampung Kluang saat saya liburan. "Dulu kalau mama ibu ngajar PKK, mama amati kamu kurang semangat ikuti pelajaran. Apalagi kalau mama sebut beberapa jenis kue hasil olahan dari padi atau jagung kita di kebun. Belum lagi kalau mama sebut nama-nama istilah dalam bahasa Jawa dalam buku," ujar Ibu Viktoria Sakeng, guru PKK saya sebelum digantikan ibu Hermina, kakak saya. "Kalau mama ibu ngajar Fisika dan PKK, saya rasa macam bingung. Mungkin saat itu perut saya ada tuak kelapa dan misur (sejenis ubi hutan) dalam perut saga," kata saya. Jawab begitu, guru saya: ibu Goreti & Viktoria pecah ketawa. Seorang teman, pernah menangis dengan suara tinggi mengancam guru akan dilaporkan ke orangtua. Gara-gara guru menyebut rekan ini dengan sebutan "pekak". Tapi saat tiba di rumah, orangtua sudah ke kebun. Dan ia balik sekolah dan masuk kembali.

Tuak, jagung titi, ikan mokun (pari) kering, dan guru-guru bersahaja saya di almamater tempo doeloe adalah rona pendidikan humanisme sesungguhnya. Ia melekat dalam memori kolektif; mengisi dinding batin kami anak-anak kampung hingga menyebar di seantero jagad. Kami atau paling kurang saya, sadar bahwa pendidikan sekaligus institusi kecil penyemai masa depan kami telah hadir di sekolah menengah rintisan para kepala kampung kami. Ia mengiringi pula perkembangan perabadan manusia jauh sebelumnya. Tatkala kami, melalui karya para misionaris Katolik menyebarkan agama Katolik di kampung-kampung di bawah pelukan gunung Labalekan. Kesadaran akan hakekat pendidikan sudah tertanam di kalangan guru dan orangtua kami, nun di dusun kecil di bawah lereng Labalekan, yang melimpah ruah hasil pertanian maupun tanaman niaganya. Hakekat pendidikan yang sudah lama diyakini. Bahwa hakekat pendidikan sebagai sebentuk transformasi menuju perubahan-perubahan tertentu telah diyakini manusia sebagai alat yang efektif sejak dahulu kala. Berbagai usaha yang dilakukan manusia untuk menyelenggarakan pendidikan di masa lampau itu lambat laun memunculkan institusi dan sistem pendidikan (Bdk. Peziarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya; Penerbit Kompas tahun 2009).

Hardiknas 2020 tentu menjadi momen Presiden Joko Widodo mengingatkan tentang arti penting pendidikan dan semua stakeholder di dalamnya. Pun tuan Menteri Pendidikan dan Kenudayaan Nadien Makarim telah mengingatkan tentang pendidikan yang efektif dengan kolaborasi tiga pihak: guru, siswa, dan orangtua. Tanpa itu, kata mas Nadiem, pendidikan efektif tidak mungkin terjadi. Untuk mas Nadiem, jangan lupa juga arahkan mata ke almamater saya. Di sana masih ada guru honorer yang belasan tahun bertahan mendidik anak-anak kampung namun honornya masih jauh di bawah mas Menteri. Jaraknya macam langit dan bumi. Momen Hardiknas kali ini, memori saya kembali menyasar almamater. Tentang guru-guru saya bersahaja yang pernah menitip ilmu dan teladan. Tentang tuak kelapa, jagung titi, dan mokun sebagai "honor" saya di depan kelas tatkala liburan. Terima kasih guru-guruku. Kalian semua sungguh pahlawan pendidikan bagi kami para murid.
Jakarta, 4 Mei 2020  
Ansel Deri
Lulusan SMP Lamaholot Boto 1987
Ket foto: Penulis saat di kampung Kluang (Boto) 
Foto: Mas Cahyo Adji, jurnalis & pemilik Kafe Uwong Coffee di Sleman, Jogja.
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger