Headlines News :
Home » » Tidak Asal Tulis

Tidak Asal Tulis

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, August 24, 2009 | 3:50 PM

Oleh Mike Peruhe Unaraja
Pemerhati lingkungan hidup, tinggal di Melbourne-Victoria-Australia

TEMUAN dan analisis fakta lapangan di sejumlah wilayah pertambangan, seperti Ghana, Congo, Kenya, Madagaskar, Sinegal, Tanzania (di Afrika), India, Indonesia, Laos, Birma, Philipina, Thailand, Vietnam (di Asia), Argentina, Bolivia, Chile, Colombia, Ecuador, Peru dan Venezuale (di Amerika Selatan), Papua New Guinea dan Australia (di Oceania), semuanya menggarisbawahi konklusi ini: Mining is more a curse than a blessing, pertambangan lebih merupakan sebuah mudarat (kutuk) daripada sebuah berkat.

Saya berpendapat bahwa gelombang protes masyarakat dan sejumlah pihak (baca: LSM dan gereja lokal) terhadap kehadiran tambang di NTT, khususnya Lembata dan Flores, bukanlah sekadar 'asal menolak'.

Polemik dan aksi penolakan terhadap kehadiran tambang di NTT semakin marak. Salah satu opini menarik yang dipublikasikan oleh harian terkemuka di NTT, Pos Kupang, Selasa, 11 Agustus 2009 adalah opini Abraham Runga Mali. Mali dalam opini berjudul "Tidak Asal Menolak" mencoba mengkritisi gelombang penolakan masyarakat akar rumput, LSM dan gereja sebagai penolakan tanpa alasan mendasar alias 'asal menolak'.

Kritikan Mali sangat menarik karena langsung membenturkan sikap penolakan tiga elemen besar masyarakat (warga masyarakat pemilik hak ulayat, LSM dan gereja setempat). Saya berharap bahwa tulisan Mali bisa memunculkan hasil elaborasi kritis sebagai legitimasi penerimaan kehadiran industri tambang di NTT khususnya Flores-Lembata.

Nyatanya, opini itu tak punya pisau analisis yang tajam untuk menyadarkan para pihak dalam persoalan kehadiran industri tambang di wilayah itu. Hemat saya, opini tersebut hanya sekadar 'asal tulis', sebab saya tidak menemukan sebuah pemikiran kritis, mendalam dan komprehensif di hadapan persoalan yang dilematis itu.
Tambang Ramah Lingkungan?

Pertambangan merupakan sebuah aktivitas yang jarang dikaitkan dengan soal deforestrasi dan degradasi hutan. Bahkan jarang dihubungkan dengan soal peperangan dan pemerintahan yang diktator, pelanggaran HAM, kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Pertambangan selalu dipamerkan sebagai 'binatang sakral-penyelamat' (baca: paradigma) yang membawa kesejahteraan rakyat.

Padahal dalam seluruh proses itu, banyak pihak malah tak tahu-menahu soal pemasaran hasil pertambangan, sebagaimana pernah diakui Bupati dan Wakil Bupati Manggarai di hadapan Tim investigasi JPIC OFM-SVD, Juni 2008. Karena itu, pertambangan bukan hanya menghancurkan lingkungan yang tak dapat dipulihkan, tetapi melahirkan pelbagai persoalan kemanusiaan lainnya.

Sebuah pertanyaan di awal tulisan Runga Mali, sangat menggelitik: Apa ada pertambangan yang ramah lingkungan? Ia sangat yakin: pasti ada! Kalau bukan di Indonesia, kita perlu belajar dari negara tetangga Australia.

Pernyataan ini mengejutkan. Tak ada satu contoh pun perusahaan Australia yang ramah lingkungan yang dipresentasikan Mali sebagai legitimasi valid atas statemen tersebut. Beberapa bulan yang lalu, tepatnya 13 April 2009, terjadi protes besar-besaran atas Barrick Gold Mine yang beroperasi di Lake Cowal, Queensland, Australia. Pasalnya, perusahaan ini telah membawa kehancuran budaya dan lingkungan karena seluruh proses penambangan menggunakan sianida yang sangat beracun.

Tidak hanya di Queensland. Bulan Maret 2009, aksi protes serupa dialamatkan ke Coal Mining atas aktivitas penambangan dan ekspor batubara di Newcastel, yang melahirkan 'multi-dampak' di wilayah tersebut. Gelombang protes yang dimotori oleh Greenpeace melawan perusahaan tambang Australia di Pulau Rapu-rapu, Philipina juga dapat menjadi contoh lain perusahaan tambang Australia yang merusak lingkungan.

Dengan demikian, kisah sukses perusahaan-perusahaan tambang Australia yang dipaparkan Mali masih harus dibuktikan. Pertanyaannya: Perusahaan Australia yang mana? Dan beroperasi di mana? Mengutib kisah sukses dari iklan Australian Mining Exhibition tentu tidak sulit untuk menemukan pameran kesuksesan pertambangan mereka.

Pasalnya, tak ada satu perusahaan tambang mana pun yang mempermalukan dirinya dalam ajang eksibisi publik itu dengan menampilkan kebobrokan manajement penambangan mereka. Karena itu, usulan untuk merujuk ke perusahaan-perusahaan tambang Australia tidaklah tepat dan legitim. Bahwa perusahaan Australia yang bergerak di bidang pertambangan memiliki pelayanan geologi dan ketersediaan peralatan tambang yang lebih baik, tidaklah disangkal faktanya.

Jangankan di Australia atau Philipina atau Afrika atau Amerika Latin. Realita kehancuran alam dan kemiskinan masyarakat lingkar tambang di Sirise dan Reo telah menjadi fakta yang tak terbantahkan. Demikian juga fakta pertambangan Newmont Minahasa Raya di Kecamatan Ratatotok, Sulawesi membuktikan penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan, yang tidak ingin diungkapkan faktanya oleh Runga Mali dalam opininya.

Tambang, Impian dan Kemiskinan

Industri pertambangan memproklamirkan impian besar, menyulap keadaan miskin-ringkih menjadi surga kehidupan yang bahagia. Analisis menunjukkan (The Cord, 57.2, 2007) dengan tegas bahwa kerusakan ekologi banyak diakibatkan oleh aktivitas pertambangan. Bahkan disinyalir, pertambangan dewasa ini telah mengancam 38% luas hutan alami dunia yang kaya akan jenis obat-obatan, flora dan fauna langka.

Akibat lanjutannya adalah ancaman terhadap efek gas rumah kaca akibat polusi logam berat dan methan yang langsung mengancam lapisan ozon. Betapa ironisnya, untuk satu cincin emas 18 karat, perusahaan tambang harus menggaruk gunung, menghancurkan bukit dan membuang 3 ton limbah, serta melakukan kekerasan bahkan sampai pembunuhan.

Dalam aras pemikiran ini, lagi-lagi Mali menggugat aspek sosial budaya dan kesejahteraan dalam konteks Flores-Lembata berhadapan dengan tambang. Sebelum membedah aspek ini, baiklah kita menyimak pernyataan dari para petani di Gloucester, Inggris terhadap pemerintah atas rencana pertambangan di daerah itu (5/6/2009). "You can't eat coal" and "shame, Macdonald, shame. Cows and coalmining do not co-exist well, once you have mines you cannot go back to agriculture it destroys it", demikian pernyataan para petani yang marah dan meminta pemerintah dan parlemen untuk melindungi lahan pertanian mereka dari dampak pertambangan. Mereka sadar, lahan pertanian telah terbukti menghidupi mereka secara berkelanjutan, bukan tambang.

Usulan Runga Mali untuk menyadarkan petani di Flores dan Lembata agar menyerahkan lahan dan hak ulayat kepada perusahaan tambang demi kesejahteraan yang signifikan, tidaklah manusiawi dan lagi-lagi 'sangat kerdil' pemikiran solutifnya.

Kesejahteraan tidak hanya diukur dengan sejumlah lembaran uang. Kesejahteraan hidup masyarakat pedesaan justeru terkait dengan dimensi kehidupan yang lebih luas, tidak sekadar aspek ekonomi (baca: memiliki uang).

Tanah (lahan pertanian dan hak ulayat) mempresentasikan identitas kultural dan sosial mereka; dan tidak bisa dilepas-pisahkan dari seluruh ritme kehidupan masyarakat. Euripides, 431 SM sungguh tepat melukiskan hal ini: "Tidak ada kesedihan yang lebih pahit di muka bumi ini daripada kehilangan kampung halaman yang tercinta".

Fakta (temuan World Rainforest Movement) di sejumlah negara menunjukkan bahwa kehadiran tambang berdampak sosial pada pengambilalihan lahan-lahan pertanian masyarakat lokal. Munculnya pelbagai kekerasan terhadap komunitas lokal, rusaknya bentuk-bentuk subsisten komunitas, hancurnya hubungan sosial dan disintegrasi sosial dan budaya setempat.

Sebut saja sejumlah negara di Afrika, Ghana, Kongo, Kenya, Sinegal, Tanzania dan Madagaskar. Perusahaan tambang multinasional sudah beroperasi puluhan tahun di tempat itu, tetapi apa nasib kesejahteraan negara-negara tersebut saat ini?

Komisi HAM dan Keadilan Nasional Ghana mencatat ratusan kasus pelanggaran HAM oleh perusahaan tambang dan sekitar 30.000 orang menjadi pengungsi akibat beroperasinya pertambangan di wilayah itu. Bisakah kita tetap dalam kebisuan yang nyaman menyaksikan puluhan ribu anak manusia terpental dari ruang kehidupannya hanya karena sebongkah emas?

Dalam aras ini, pertanyaan Runga Mali bisa diajukan sekali lagi: "Benarkah pertambangan selalu memiskinkan masyarakat setempat?". Jawaban Mali sangat diplomatis: "tidak selalu!"

Sikap Profetis Gereja

Adalah Brendan M. O'Brien, Archbishop of Kingston sekaligus ketua Justice and Peace Konferensi Uskup-uskup Canada, telah mengeluarkan sebuah surat (10/7/2009) teguran yang keras kepada Pemerintah Kanada atas perusahaan Kanada di El Salvador yang sangat menindas masyarakat kecil di sana. Surat para Uskup Kanada (CCCB) memprotes aksi brutal perusahaan tambang Kanada Pacific Rim di El Salvador yang berpuncak pada pembunuhan Marcelo Rivera, aktivis dan ketua komunitas Ilobasco - El Salvador.

Gelombang protes masyarakat, LSM dan gereja semakin keras karena mereka sadar hasil pertambangan itu hanya memberi kontribusi kurang dari 3 % keuntungan yang bisa dinikmati masyarakat dan Pemerintah El Salvador.

Pertanyaannya: apakah ini hanya sekadar sebuah seruan profetis belaka tanpa kajian kritis? Pada butir kedua alasan penolakan itu adalah 'penggunaan sianida dalam proses ekstraksi tembaga dan emas dapat menyebabkan persoalan kesehatan yang sangat genting'. Apakah surat pastoral dan aksi penolakan ini mempresentasikan kegamangan lembaga gereja Kanada dan El Salvador menghadapi bisnis modern dan multinasional?

Rasa-rasanya terlalu dini menghakimi sikap profetis gereja yang terlahir dari panggilannya untuk membela kaum lemah dan menyelamatkan alam dari kehancuran mesin 'keruk' (tambang). Karena itu, sangatlah mengejutkan ketika Gereja Flores dan Lembata, bahkan NTT menutup mata hati pastoralnya di hadapan persoalan tambang yang berdaya rusak amat masif bagi segenap kehidupan.

Gereja tidak bisa tidak, mesti berpihak sebagaimana panggilan hakikinya untuk mendahulukan keberpihakannya pada kaum tertindas (baca: masyarakat korban tambang) dan alam yang dirusak-hancurkan.

Opini Mali ditutup dengan sebuah catatan kritis. Mali justeru menegaskan aksi penolakan gereja terhadap kehadiran industri pertambangan hanya karena 'takut bersaing dan takut kehilangan pamor'.

Pendapat ini menunjukkan kesesatan berpikir dan kerdilnya pemahaman sang penulis terhadap panggilan dan keterlibatan gereja dalam persoalan-persoalan sosial dunia zaman ini. Aksi penolakan ini tidak sekadar sebuah seruan profetis tanpa dasar sebagaimana diduga Mali.
Sumber: Pos Kupang, 21 Agustus 2009.
Foto: Mikael Peruhe Unaraja
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger