Headlines News :
Home » » Gentong Babi

Gentong Babi

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, June 15, 2010 | 12:46 PM

Oleh Arianto A. Patunru
Direktur LPEM-FEUI

Hari-hari ini telinga kita dibuat sibuk oleh babi. Tepatnya gentong babi, gentong politik yang katanya berbau keserakahan. Frasa ini muncul setelah Partai Golkar mengusulkan "dana aspirasi" Rp 15 miliar per legislator di DPR untuk "membantu pemerataan" dengan cara membangun daerah pemilihannya masing-masing. Dengan anggota DPR 560 orang, total dana menjadi Rp 8,4 triliun.

Usul Golkar itu agaknya hendak meniru praktek di Amerika Serikat. Pada 1994, gentong babi kembali marak dalam ranah politik Amerika. Ini adalah sebutan untuk dana publik yang dialokasikan oleh legislator bagi konstituennya agar terpilih kembali pada periode berikutnya. Karena itu, ia juga disebut mata uangnya pemilu (currency of re-election). Sejalan dengan waktu, si gentong babi tak hanya jadi pemancing suara, tapi juga jadi ajang korupsi biasa, kadang melibatkan kolaborasi legislatif-eksekutif. Maka ia mendapat julukan lain: mata uangnya korupsi (currency of corruption).

Debat kita saat ini kerap mengacu pada contoh Amerika (dan Filipina), di mana praktek politik gentong babi masih terjadi. Mungkin betul bahwa ada sedikit hal baik dari sistem ini. Misalnya, adanya tambahan dana bagi pembangunan di daerah. Atau sebagai sarana partai oposisi menyeimbangkan kekuatan, sehingga tak terjadi monopoli kekuasaan. Namun mudaratnya jauh lebih banyak, yaitu sebagai alat beli suara atau sekadar korupsi dengan menggunakan dana pembayar pajak. Maka perlawanan terhadapnya juga tak kecil.

Istilah pork barrel yang cenderung merendahkan adalah refleksi dari citra negatif. Lembaga swadaya masyarakat Citizens Against Government Waste didirikan di AS oleh mereka yang ingin memonitor aliran dan penggunaan dana pajak mereka. Salah satu terbitan berkala mereka yang terkenal adalah Congressional Pig Book, sebuah buku berisi daftar proyek gentong babi, nama legislator dan partai pengusulnya, serta nilainya. Mereka juga menghitung jumlah "babi per kapita" untuk setiap negara bagian, yaitu dana gentong babi yang bebannya ditanggung oleh setiap penduduk di situ. Bahkan mereka memberikan piala "Babi Tahun Ini" atau "Raja Babi" kepada senator atau anggota parlemen yang dianggap paling banyak menggunakan dana gentong babi.

Ketika berita gentong babi usulan Golkar muncul di media, publik pun bertanya-tanya. Apa manfaat dan mudaratnya, mengapa ia dikatakan bisa merusak tatanan yang sudah dan sedang dibangun, dan seterusnya. Menurut Kementerian Keuangan, dana aspirasi ini melanggar undang-undang (UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan).

Keganjilan utama yang langsung dilihat publik adalah rontoknya dinding pemisah fungsi legislatif dan eksekutif: pihak yang pertama menginvasi yang kedua. Ini menjadi lebih kacau jika pertanggungjawaban ada di tangan kepala daerah, pengawasan ada di DPR sebagaimana mestinya; tapi DPR juga berhak mengarahkan belanja dari alokasi tersebut. Ini memang subtil. Namun ada garis tipis antara memperjuangkan aspirasi rakyat dan memperjuangkan sebuah proyek untuk mendapatkan dana publik. Ketika garis itu dilanggar, ruang untuk permainan politik uang menjadi terbuka.

Tak kalah seriusnya adalah rusaknya fungsi distribusi dari transfer dana APBN dari pusat ke daerah, sebagaimana yang sedang dilakukan dan disempurnakan sekarang. Pertama, dana aspirasi ini akan lebih bias Jawa, mengingat jumlah representatif dari Jawa jauh lebih banyak daripada yang dari luar Jawa: sebagian besar anggota DPR berasal dari daerah pemilihan yang relatif maju. Karena itu, efek distribusi yang diklaimnya tidak akan terjadi dan justru berpotensi mencederai sistem yang sudah ada. Kedua, ia berpotensi berbenturan dengan prinsip efisiensi "uang mengikuti fungsi" di mana dana seharusnya dialokasikan menurut fungsi pemerintahan, untuk hasil yang optimal. Terakhir, daerah pemilihan tidak persis sama dengan daerah yurisdiksi administratif: tambahan kerumitan pada proses alokasi dan pertanggungjawaban dana aspirasi ini bisa memberikan ruang lebih besar pada penyalahgunaan, karena informasi yang lebih asimetrik.

Sistem ini juga bisa memenjarakan kualitas DPR. Itu jika, katakanlah, seorang legislator terpilih kembali akibat suara yang bisa "dibelinya" dengan Rp 15 miliar tersebut. Ada persoalan yang lain: ia telah menggunakan uang itu sebagai hambatan bagi pesaingnya untuk masuk ke DPR, hanya karena si pesaing tidak punya Rp 15 miliar. Dalam konteks transfer, jika uang Rp 15 miliar adalah murni milik si legislator lalu berpindah tangan ke para pemilih, ini bukan masalah. Tetapi di sini ia menjadi problem, karena uang Rp 15 miliar tadi berasal dari uang para pembayar pajak. Sebagian di antaranya mungkin mempunyai calon legislator yang lebih kompeten daripada sang incumbent.

Alasan beberapa anggota DPR bahwa dana aspirasi adalah solusi bagi lambannya pemerintah melaksanakan tugasnya tampaknya tidak cukup kuat. Betul, ada masalah dalam eksekusi dana pembangunan, di mana sering kali dana baru tersalur dalam jumlah besar di kuartal keempat setiap tahun. Lalu dilakukanlah sistem kebut yang mengkompromikan kualitas. Di lain waktu, muncul sisa lebih pada anggaran. Jumlah cukup besar yang disorong ke tahun fiskal berikutnya bisa jadi sebenarnya adalah refleksi ketakmampuan mengeksekusi perencanaan dengan baik. Tapi semua ini adalah masalah keefektifan birokrasi dan administrasi. Maka solusinya harus dicari pada kedua dimensi tersebut, bukan dengan mencampuradukkan fungsi legislatif dan eksekutif.

Dana yang diperuntukkan bagi pembangunan daerah tidaklah kecil. Total dana alokasi umum, dana alokasi khusus, serta dana bagi hasil untuk provinsi setiap tahun melebihi Rp 1 triliun, dan untuk kabupaten/kota Rp 500 miliar. Di samping itu, tentu ada dana kementerian/lembaga yang disalurkan ke daerah lewat mekanisme dekonsentrasi atau tugas pembantuan. Dengan dana besar serta tantangan lambat dan rumitnya proses pencairan, wajar dibutuhkan pengawasan yang kuat. Justru di sini peran DPR sangat dibutuhkan.

Hal lain yang perlu dipikirkan adalah kehati-hatian fiskal. Selama ini kita telah menjalankan prinsip ini dengan cukup disiplin. Artinya, defisit anggaran masih dalam taraf yang wajar (saat ini 2,1 persen dari PDB). Mungkin dana total untuk gentong babi tadi tidak langsung membengkakkan defisit secara signifikan. Namun ia bisa menjadi preseden bagi kompromi atas disiplin fiskal. Langkah Golkar mengalihkan usul dari "dana aspirasi" menjadi "dana desa" (Rp 1 miliar per desa, atau total Rp 70 triliun) juga perlu dilihat dengan saksama. Golkar bisa dihargai karena berjuang agar tiap desa mendapatkan dana Rp 1 miliar. Ia juga tidak berbasis daerah pemilihan, dan karena itu berbeda dengan gentong babi di atas.

Namun menerjemahkan usul ini ke dalam penganggaran dan eksekusi tentu perlu perhitungan matang. Pertama, karena ia tidak berasal dari perencanaan dan siklus anggaran normal (RAPBN-P)-setidaknya pada saat ini harus dilakukan penyesuaian signifikan atas sistem yang sudah ada. Banyak program yang dirancang dengan hati-hati, tapi terkendala dalam administrasi birokratisnya. Tantangannya adalah memperbaiki birokrasi, bukan serta merta mengganti programnya.

Alternatifnya, jika perencanaan dana ataupun fungsi sudah matang, usul semacam ini tentu menambah defisit. Untuk Rp 70 triliun, misalnya, ia setara dengan 1,12 persen dari PDB. Jika ia adalah komponen tambahan, alih-alih realokasi, defisit total bisa menembus 3 persen, batas menurut undang-undang. Kehati-hatian fiskal tak boleh dianggap enteng. Apa yang terjadi di Yunani dan beberapa negara Eropa lainnya baru-baru ini adalah akibat ekstrem dari kecerobohan fiskal.

Kita maklum bahwa kalau isunya adalah memperjuangkan aspirasi rakyat desa, tentu salurannya adalah musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat desa, lalu bertahap dibawa ke atas, lewat DPRD di kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat. Sistem ini beda dengan anggota DPR pusat langsung mengusulkan paket dana untuk desa, yang seperti kasus gentong babi, bisa menabrak asas "uang mengikuti fungsi", dan karena mengkompromikan proses desentralisasi yang selama ini dilaksanakan.

Apa yang paling dibutuhkan sekarang sesungguhnya adalah meningkatkan efektivitas anggaran. Bagaimana mengefektifkan penyaluran dan penggunaan dana pendidikan yang sudah telanjur ditetapkan 20 persen dari APBN, misalnya. Masalah besar pendidikan Indonesia saat ini adalah belum rampungnya transisi dari pendidikan dasar ke pendidikan menengah. Juga, kalaupun ada "ruang fiskal", banyak yang masih berada di prioritas atas, misalnya dana untuk kesehatan. Ketika subsidi bahan bakar fosil dapat dikurangi, misalnya, dana yang diselamatkan sebaiknya bukan untuk proyek gentong babi, tapi untuk hal-hal yang lebih diperlukan, seperti program bantuan operasional sekolah.

Tentu, kita bisa belajar dari beberapa praktek yang bagus di negara lain. Tapi banyak yang tak mesti kita contoh. Di sisi lain, kelompok-kelompok penekan tetap juga diperlukan. Karena itu, tekanan yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat di Indonesia saat ini untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas, serta menjunjung prinsip pemisahan eksekutif dan legislatif, patut dihargai.
Sumber: Tempo edisi 14 – 20 Juni 2010
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger