Oleh Asep Salahudin
sais dan Wakil Rektor I Bidang
Akademik IAILM Pesantren Suryalaya,Tasikmalaya
HARI ini dinyatakan sebagai Hari
Kaum Humanisme, International Humanist and Ethical Union. Tanggal untuk
menghormati PBB yang memproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,
pada 10 Desember 1948. Pasal-pasalnya di antaranya berisi hak kemerdekaan,
pengakuan sama di depan hukum, mendapatkan suatu kebangsaan, hak milik atas
benda, mengeluarkan pendapat, berkumpul, mendapatkan pendidikan, mendapatkan
pekerjaan, bebas memeluk agama, dan sebagainya.
Dua hari
setelahnya, Senin (12/12) atau 12 Rabiul Awal 1438, bagi umat Islam ialah hari
penting sebagai momen bersejarah dilahirkannya Kanjeng Nabi SAW atau kita
menyebutnya maulid. Maulid diperingati di banyak negara dengan beragam cara.
Bagi umat Islam, Muhammad SAW adalah mata air keteladanan dalam hal ihwal.
Dalam kitab yang biasa dibaca saat upacara maulid, Qasidah al-Barjanji, karya
seorang sastrawan Persia terkemuka abad-17 yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Syu'bah Asa, dan sempat dipentaskan Bengkel Teater Rendra
tertulis; 'Terbit purnama di tengah kita/maka sirnalah semua purnama/bagai
cantikmu tak pernah kupandang/aduhai wajah kegembiraan'.
Frithjof
Schoun dalam Islam and The Perennial
Philosophy mengatakan, 'Karakteristik kebajikan-kebajikan Muhammad ini
menjelaskan gaya relatif impersonal orang-orang suci, tidak ada
kebajikan-kebajikan lain kecuali kebajikan-kebajikan Muhammad sehingga
kebajikan-kebajikan itu hanya dapat berulang pada orang-orang yang mengikuti
contohnya, melalui merekalah Nabi bergelora di tengah masyarakatnya, hidup
abadi dalam nadi para pengikutnya'.
Etika
politik
Tentu saja
perayaan maulid pesan utamanya ialah mengingatkan kita tentang keniscayaan
menginternalisasikan etika yang telah diteladankan Sang Nabi. Menyegarkan lagi
pentingnya sebuah peneguhan bahwa kebesaran Islam yang dibawanya justru
terletak dari imperatif moral yang dicanangkannya. Bahkan, modus utama
kelahirannya tak lain ialah dalam rangka membangun tata kehidupan yang
dijangkarkan di atas kekuatan akhlak mulia. Innama buitstu li utammima
makarimal akhlak.
Tidak saja
akhlak terhadap keluarga, komunitas seagama juga terhadap mereka yang berlainan
pilihan keyakinan. Piagam Madinah ialah sebuah kontrak sosial inklusif yang
melambangkan gambaran bagaimana penghormatan Nabi kepada pluralisme dan
multikulturalisme. Piagam Madinah pada titik tertentu spiritnya beririsan
dengan Universal Declaration of Human Rights. Piagam Madinah sebagai titik temu
(kalimatun sawa) dari fakta sosial yang majemuk.
Dalam
konteks keindonesiaan, Piagam Madinah serupa dengan Pancasila yang diwariskan
manusia pergerakan. Di hadapan Pancasila, semua anak bangsa memiliki posisi
setara. Pancasila
menjadi hikmah terbesar yang telah berhasil menyatukan bangsa kita yang
heterogen, menjadi lem ideologis yang merekatkan semua keragaman sehingga kita
masih utuh bersatu.
Khotbah
kemanusiaan
Pidato Nabi
SAW di Arafah semakin menjelaskan konstruksi keislaman yang satu helaan napas
dengan pemuliaan terhadap HAM.
Kita simak
penggalan pidatonya itu, "Wahai manusia ingatlah Allah! Ingatlah Allah
berkenan dengan agamamu dan amanat-amanatku. Ingatlah Allah! Ingatlah Allah
berkenaan dengan orang-orang yang kamu kuasai dengan tanganmu. Kamu harus
memberikan pakaian kepada mereka seperti yang kamu pakai. Kamu harus memberi
makan kepada mereka seperti yang kamu makan. Dan kamu tidak boleh membebani
mereka dengan sesuatu yang mereka tidak sanggup mengerjakannya. Mengapa? Sebab
mereka itu makhluk terbuat dari darah dan daging seperti kamu. Ingatlah barang
siapa berbuat zalim terhadap buruhnya, kepada pembantunya, akulah musuh mereka
di hari kiamat dan Allah menjadi hakimnya."
Sebuah
khotbah kemanusiaan sangat dahsyat. Kalau diselisik kata per-kata, benar-benar
menyimpan makna futuristik. Religiositas yang sangat kental dengan persoalan
sosial. Epifani kudus keimanan yang berkelindan dengan dengus kemanusiaan. Dan
kita pun mafhum, tergelarnya masyarakat madani, salah satunya mensyaratkan hadirnya
tekad kukuh untuk menerjemahkan secara fungsional pesan yang terkandung dalam
khotbah Nabi itu. Pesan yang menating roh egalitarianisme, transparansi,
kepekaan sosial, akuntabilitas, sekaligus pembungkaman terhadap segenap praktik
pemerasan manusia atas manusia lain (exploitation of man by man). Pesan ini
pula yang diamanatkan Alquran sebagaimana dapat ditelusuri dalam QS al-Maun:
2-3, al-Haqqah: 34, al-Balad: 13, al-Dzariyat: 19, al-Qalam: 27, al-Waqiah: 67
dan al-Kahfi: 20.
"Bahwa
barangsiapa yang membunuh seorang manusia maka seolah-olah ia telah membunuh
manusia secara keseluruhan. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya"
(QS al-Maidah/5: 32).
Sang pemaaf
Peristiwa
monumental Futuh Makkah juga fakta lain yang menandakan politik inklusif
permaafan sang Nabi. Nabi yang dahulu diteror masyarakat Mekkah, justru ketika
berada di atas angin dan kesempatan balas dendam berada di pelupuk mata, malah
memaafkan dan membebaskan musuh-musuhnya. Kata Nabi, "Maafkanlah orang
yang menganiaya dirimu, hubungilah orang yang memutuskan engkau, balaslah
dengan kebaikan orang yang berbuat buruk kepadamu, dan berkatalah yang benar
sekalipun terhadap dirimu sendiri."
Di lain
kesempatan, Nabi dicaci maki seorang Yahudi, assammu 'alaikum (kecelakaan
bagimu). Nabi dengan muka bercahaya menyahut waalaikum. Istrinya Siti Aisyah
protes seraya mencaci balik dengan cacian yang lebih tajam, Assammu alakum wa
la'natuh. (bagi kamu kecelakaan dan laknat). Nabi menegur, "Jangan
berlebihan, istriku." "Saya marah karena engkau telah dihina Ya
Rasul," sahut Siti Aisyah. "Tapi aku kan telah menjawab setimpal
dengan waalaikum (bagimu juga)," ujar Nabi.
Dalam
narasi lain, Nabi berdiri karena ada rombongan jenazah yang lewat, seorang
sahabat mengingatkan, "Bukankah ini jenazah seorang Yahudi?" Nabi
menjawab, "Jika kamu menyaksikan jenazah maka berdirilah.
Hormatilah."
Politik
inklusif sebagai jembatan untuk membangun hidup yang bebas dari kekerasan.
Alquran tentu saja merupakan kitab suci yang di dalamnya menekankan pentingnya
hidup terbebas dari segala bentuk kekerasan, baik fisik atau pun kekerasan
simbolis. Hakikatnya tidak ada satu ajaran agama pun yang merekomendasikan
umatnya menebar kekerasan dan kebencian atas nama apa pun. Ketika ada agama
yang melegalkan itu, autentisitas agama seperti itu patut dipertanyakan.
Tradisi antikekerasan juga bukan hanya persoalan religius (seperti diteladankan
Nabi saw dan juga nabi-nabi lain), melainkan juga metafisis (Jainisme) dan etis
seperti ditawarkan Henry Davis Thoreau dan Jhon Ruskin.
Sumber: Media
Indonesia, 10 December 2016
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!