Oleh Abdul Muhari
Pakar Gempa & Tsunami Kementerian dan
Kelautan;
Chairman Tsunami Working Group, Sentinel Asia
ALAM kembali mencari
kesetimbangannya di "Tanah Rencong". Rabu, 7 Desember 2016,
pergeseran sesar aktif di Kabupaten Pidie Jaya menimbulkan gempa dengan
kekuatan M 6,5 (menurut Lembaga Survei Geologi Amerika Serikat/USGS). Gempa ini
berakibat pada 105 unit toko roboh, 106 unit rumah rusak berat, 13 masjid
hancur dan 100 orang kehilangan nyawa (data per Jumat, 9 Desember 2016, pukul
17.00 WIB).
Sebelumnya,
tiga tahun lalu tepatnya 2 Juli 2013, gempa dengan kekuatan M 6,1 mengguncang
daerah Bener Meriah, kabupaten yang hanya berjarak 100 kilometer dari lokasi
gempa dua hari yang lalu. Saat itu, 42 orang tewas, 400 orang luka-luka, dan
tidak kurang dari 3.000 rumah hancur.
Dalam
tiga tahun, dua gempa di kawasan yang tidak berjauhan dengan karakter kerusakan
yang sama, yakni bangunan yang roboh, rusak struktur, dan ambruk yang berujung
pada jatuhnya korban jiwa akibat terperangkap pada bangunan yang rusak.
Apakah
ini kejadian pertama? Tidak. Melihat lebih jauh ke belakang, pada 30 September
2009, gempa dengan kekuatan M 7,6 menghantam Padang, Sumatera Barat, yang
berakibat pada hancurnya tidak kurang dari 135.000 rumah dan menewaskan 1.117
jiwa.
Tahun
2006, gempa dengan kekuatan M 6,4 meluluhlantakkan Bantul, Yogyakarta, yang
menelan hingga 5.700 korban jiwa. Pola kerusakan yang menyebabkan korban juga
sama, struktur bangunan tidak mampu menahan guncangan gempa sehingga
menimbulkan kerusakan pada tiang, dinding, atap atau robohnya bangunan secara
keseluruhan yang kemudian menjadi penyebab utama jatuhnya korban jiwa yang
terperangkap dalam bangunan yang ambruk.
Pertanyaannya,
apa saja yang kita sudah lakukan 10 tahun terakhir sejak gempa Bantul,
Yogyakarta, untuk benar-benar berupaya mengurangi kerusakan dan korban jiwa
akibat gempa?
Satu
hal yang perlu dipahami adalah bukan gempa yang membunuh, melainkan bangunan
dan infrastruktur lain yang dibangun tidak tahan gempa yang membawa korban
jiwa. Beranjak dari pemahaman ini, sebenarnya upaya mitigasi gempa yang paling
mendasar sudah sangat jelas, yaitu bangunan dan infrastruktur apa pun di
kawasan rawan gempa harus dibangun dengan memperhatikan ketahanan bangunan
tersebut terhadap gempa.
Aturan-aturan
yang diperlukan untuk melaksanakan hal ini juga sudah tersedia. Sejak tahun
2002, kita telah memiliki Standar Nasional Indonesia, yakni SNI 1726-2002
tentang standar perencanaan ketahanan gempa, Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan
Tahan Gempa tahun 2006, dan terakhir SNI 1726-2012 tentang perencanaan gedung
dan nongedung tahan gempa.
Akan
tetapi, tantangan sebenarnya adalah bagaimana agar aturan-aturan tersebut bisa
dilaksanakan dan terimplementasi di masyarakat? Di luar negeri, pekerja
bangunan harus memiliki sertifikasi dan izin mendirikan bangunan berdasarkan
desain disesuaikan dengan kondisi daerah di mana bangunan akan didirikan.
Akan
tetapi, di Indonesia kondisinya berbeda. Rumah tinggal biasanya dibangun oleh
pekerja bangunan setempat dan kaidah-kaidah pendirian bangunan yang diterapkan
biasanya hanya mengacu pada ketersediaan dana yang ada dan bukan pada aturan
dan standar pendirian bangunan yang resmi. Akibatnya, struktur bangunan sudah
pasti tidak ideal untuk menghadapi kondisi-kondisi seperti gempa dan bencana
alam lainnya.
Keharusan
di masa depan
Upaya
sistematis dan persuasif harus dilakukan agar implementasi aturan mengenai
standar bangunan tahan gempa dapat terimplementasi. Pemerintah harus mengambil
peran upaya sistematis yang secara cepat dapat menjangkau segenap lapisan
masyarakat. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah mengintegrasikan standar
bangunan tahan gempa ke dalam persyaratan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Agar
upaya ini terlaksana, revisi peta gempa nasional yang kemudian diturunkan dan
didetailkan dalam peta mikrozonasi kegempaan di tingkat kabupaten dan kota
mutlak diperlukan. Hal ini supaya implementasi dari standar perencanaan
bangunan tahan gempa tersebut bisa mengakomodasi karakteristik potensi dampak
gempa dalam skala lokal.
Selanjutnya,
upaya-upaya persuasif juga harus dilakukan. Jika melihat proses yang dilakukan
di Jepang setelah tsunami tahun 2011, pemerintah melakukan pendekatan secara
persuasif untuk merelokasi penduduk yang masih ingin tetap bertahan di kawasan
terdampak tsunami.
Mereka
yang tidak mau pindah ke lokasi yang lebih aman dari tsunami tidak akan
mendapatkan insentif asuransi perumahan, sedangkan mereka yang mau pindah dan
membangun rumah di lokasi yang lebih aman akan mendapatkan asuransi perumahan.
Hal
yang sama juga bisa dilakukan di Indonesia. Insentif asuransi dapat menjadi
salah satu faktor penarik bagi masyarakat untuk memasukkan komponen standar
bangunan tahan gempa ke dalam desain bangunan sebelum pengurusan IMB. Untuk bangunan yang sudah dibangun,
inisiatifretrofitting atau penguatan struktur bangunan agar tahan gempa juga
bisa diganjar dengan insentif asuransi properti. Dengan demikian, ada
penghargaan kepada masyarakat yang mau dan berinisiatif untuk mengurangi risiko
kerusakan akibat gempa di masa depan.
Untuk
gedung-gedung pemerintah dan sekolah, harus ada alokasi khusus untuk penguatan
struktur bangunan tersebut agar bisa tahan gempa. Pada 2008, Pemerintah Jepang
mengalokasikan dana sangat besar untuk me-retrofitting18.240 bangunan sekolah
setelah melakukan audit terhadap 48.000 bangunan sekolah dan menemukan bahwa 38
persen dari jumlah tersebut tidak tahan gempa.
Tidak
heran kalau pada saat gempa besar tahun 2011, tidak ada satu bangunan sekolah
pun yang roboh akibat gempa, malahan sebagian besar sekolah tersebut digunakan
sebagai tempat evakuasi dari tsunami.
Asuransi
bencana
Khusus
untuk asuransi bencana, kiranya pemerintah sudah harus serius menyiapkan skema
asuransi untuk bencana. Hal ini tidak hanya diperlukan agar upaya pemulihan
setelah bencana dapat berlangsung lebih cepat karena properti yang diasuransikan
bisa segera dapat dibangun kembali tanpa harus menunggu bantuan pemerintah,
tetapi juga untuk memunculkan kesadaran masyarakat guna ikut mengurangi risiko
mereka sendiri dengan jalan mengalihkan risiko tersebut ke pihak asuransi.
Pada
saat gempa besar Jepang tahun 2011, kerugian akibat kerusakan bangunan mencapai
10,4 triliun yen, tetapi 1,3 triliun yen di antaranya merupakan bangunan yang
berasuransi dan klaim asuransi tersebut sudah didapatkan oleh masyarakat dua
bulan setelah gempa.
Hal
ini memberikan peluang bagi masyarakat untuk bisa memulai hidup dan kehidupan
mereka kembali dengan cepat setelah bencana.
Dengan
demikian, kegiatan penanggulangan bencana bisa secara bersama-sama dilakukan
pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Selain
itu, dengan implementasi standar bangunan tahan gempa secara konsisten kita
bisa berharap ke depan, kerugian dan korban jiwa akibat gempa berkurang secara
signifikan.
Sumber: Kompas, 10 Desember 2016
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!