Oleh J Kristiadi
Peneliti senior CSIS
"KETUA DPR Setya
Novanto menghindari langkah hukum mempertontonkan sikap tidak terpuji dari
seorang pejabat negara terhadap rakyat dan hukum". Jusuf Kalla,
"Kompas", Minggu (19/11).
Respons publik
terhadap siasat Setya Novanto yang berkelit dari incaran Komisi Pemberantasan
Korupsi untuk mempertanggungjawabkan dugaan skandal megakorupsi KTP elektronik
menimbulkan beragam reaksi. Tidak sedikit yang meradang, geram, gemas, jijik,
uring-uringan, serta kesal, sebagaimana diungkapkan Wakil Presiden Jusuf Kalla
pada kutipan di atas.
Beberapa hari
sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyarankan kepada Novanto agar mengikuti
hukum. Namun, dapat dipastikan banyak anggota masyarakat terpingkal-pingkal
sampai terjungkal menyaksikan episode serial akrobat dan drama komedi, terutama
episode saat Novanto dirawat di rumah sakit beberapa waktu lalu, dan kemudian
kecelakaan tunggal menabrak tiang lampu pada Kamis malam lalu.
Ekspresi publik di
media sosial menunjukkan skenario viktimisasi diri sebagai kemanjen (bahasa
Jawa), jampi-jampi yang pernah mujarab, kini sudah usang, dicoba didaur ulang
secara sembarangan sehingga rakyat merasa dibodohi habis-habisan. Spekulasi
skenario loyalis Novanto mengharapkan klimaksnya, adalah yang bersangkutan
dinyatakan "gegar otak" dan mengalami amnesia permanen. Namun, yang
terjadi antiklimaks.
Setelah peristiwa
tabrak tiang lampu, yang bersangkutan diperiksa penyidik sebagai tersangka dan
kemudian ditahan di Rumah Tahanan KPK pada Senin (20/11) dini hari. Ajaibnya,
setelah Novanto diperiksa, ia sanggup bangkit dari rasa sakit dan berdiri tegak
seakan siap sepenuh hati untuk diadili.
Karena itu,
alih-alih masyarakat bersimpati dan iba menyaksikan peristiwa itu, jurus itu
justru menjadi bahan tertawaan publik. Media sosial dihujani sindiran, mulai
dari mereka yang sakit hati sampai foto-foto yang membuat geli. Memang, tertawa
dan humor dekat dengan politik. Misalnya, tahun 1980-an beredar buku yang
sangat terkenal berjudul Mati Ketawa Cara Rusia (Dolgopolova (ed); 1982), yang
merupakan kumpulan cerita kegelisahan rakyat Uni Soviet terhadap para elite
politiknya.
Mungkin tahun
mendatang akan terbit buku sejenis yang merangkai drama perpaduan komedi dan
tragedi yang mengekspresikan kegelisahan rakyat Indonesia terhadap perilaku
koruptor yang sudah kehilangan urat malunya. Dalam studi filsafat, humor adalah
fenomena kemanusiaan yang mempunyai fungsi kritik sosial, maka mempunyai
signifikansi sosial. Ketika ketegangan politik, sosial, dan budaya tidak
mereda, humor menjadi salah satu senjata dan pelarian sosial. Ketika hasrat
berkuasa menggebu-gebu, kebutuhan akan tertawa jadi penting (Henri Bergson,
1914, Laughter: An Essay on the Meaning of the Comic, terjemahan Cloudesley
Brereton & Fred Rothwell).
Menghadapi kasus
dugaan korupsi yang hampir menyentuh angka Rp 3 triliun, Novanto harus
memusatkan perhatian pada megaskandal korupsi tersebut dengan sikap kesatria.
Hanya dengan bersikap jantan dan perwira, ia dapat mengembalikan harga diri dan
martabat pribadinya. Bersedia menjadi pelaku yang bekerja sama dengan penegak
hukum untuk membongkar kejahatannya (justice collaborator), merupakan pilihan
bijaksana, karena akan memberikan kontribusi bagi pemberantasan korupsi politik
serta mewujudkan kehidupan politik yang bermartabat.
Agenda berikutnya
adalah konsolidasi. Namun, konsolidasi tidak dilakukan alakadarnya, apalagi
disertai siasat adu cerdik berebut kekuasaan. Kekhawatiran terjadinya
pertarungan elite sudah tercium sejak dini. Karena itu, Partai Golkar sebagai
partai kelas atas tentu banyak yang berkepentingan, terutama menghadapi Pilkada
2018 dan Pemilu Serentak 2019. Hampir dapat dipastikan setelah Novanto menjadi
urusan KPK, baik mereka yang berpandangan harus taat hukum-dengan harapan
Novanto bersedia mengundurkan diri-maupun mereka yang diam-diam membela Novanto
akan berkompetisi merebut Partai Golkar sebagai bagian dari kekuatan dalam
pertarungan kekuasaan dua tahun ke depan.
Oleh karena itu,
konsolidasi harus mampu menemukan kembali roh dan cita-cita partai, yaitu
merawat dan memuliakan kebinekatunggalikaan dan berpegang teguh pada
nilai-nilai Pancasila serta berkarya mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Agenda ini sangat mendesak mengingat partai berlambang beringin itu semakin
tidak berdaya memihak rakyat karena dicengkeram kekuatan kapital dan dikendalikan
oleh para pembiak kekuasaan (political entrepreneur). Gagasan besar itu semakin
kabur karena tertutup oleh limbah polusi hasrat kuasa yang nyaris menghalalkan
cara. Karena itu, konsolidasi harus komprehensif, yaitu meliputi konsolidasi
ideologi, wawasan, dan organisasi.
Dalam melakukan
konsolidasi sebaiknya juga mengikutsertakan semua unsur yang masih mempunyai
komitmen terhadap kejayaan Partai Golkar, termasuk tokoh-tokoh senior, sesepuh,
dan pendiri. Mereka tersingkir dari Partai Golkar karena kekuatan sosial
politik yang didirikan tahun 1960-an itu semakin dicengkeram oleh kapital.
Karena itu, skandal
megakorupsi yang melibatkan Ketua Umum Partai Golkar dan sekaligus Ketua DPR
itu harus dijadikan momentum kembalinya Partai Golkar sebagai pembela Pancasila
dan Bhinneka Tunggal Ika, serta mampu menyejahterakan rakyat.
Sumber: Kompas, 21
November 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!