Oleh Eduardus Lemanto
Alumnus Program Magister Filsafat STF Driyarkara
LOKUS
perhatian publik terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2017, termasuk perdebatannya, sebagian ada pada pembubaran ormas dan
eksesnya terhadap nasib demokrasi. Sebagian lagi pada ancaman terhadap empat
pilar kebangsaan, seperti NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan UUD 1945.
Persoalan
sesungguhnya tak hanya itu. Sebab, kita dituntut untuk menggali lebih jauh; apa
dan mengapa “ormas-ormas” harus diatur secara ketat.
Ada tuntutan basis
pemikiran mengapa perppu tersebut diafirmasi oleh tujuh parpol (PDI-P, Golkar,
Nasdem, dan Hanura, serta PPP, PKB, dan Demokrat yang setuju dengan catatan),
maupun ditolak oleh tiga parpol lainnya (Gerindra, PKS, dan PAN). Aspirasi
kedua belah pihak tentu perlu diberi telinga. Namun, dibutuhkan diskursus lebih
mengapa diterima atau ditolak.
Bahaya bisnis ormas
Ketika perppu itu
diterima atau ditolak, apakah urusan selesai? Tentu tidak. Partai politik yang
menerima dan yang menolak sama-sama punya pekerjaan rumah. Sebab, ada titik
hitam yang luput dari diskursus perppu tersebut, yakni relasi ormas, politik,
dan bisnis. Ini tiga sekawan yang sulit dipisahkan, baik dalam untung maupun
malang.
Dalam relasi itu,
ormas-ormas tidak lagi mengenai ormas pada dirinya sendiri, sebagaimana
pemahaman umum civil society
organizations (CSOs). Sebab, di balik itu terdapat mesin penggerak utama.
Orientasinya tak lagi berupa CSOs sebagai
perangkat dasar demokrasi partisipatif, yakni ormas-ormas hadir sebagai bentuk
masuknya masyarakat kecil dalam demokrasi.
Relasi ormas dengan
politik dan bisnis bersifat eksploitatif dua arah. Karena itu, jika kita mau
dan berniat baik, ruang bedah utama soal perppu itu terletak di sana. Sebab,
pada dasarnya demokrasi tanpa CSOs
hampir pasti tumpul. CSOs tanpa kapital juga mati, sebab ia membutuhkan uang
(bisnis) dan kekuasaan (politik).
Nah, bisa dibaca
bahwa gerak-gerik sebagian ormas belakangan ini kerap disesaki muatan politik.
Wujudnya dalam rupa eksploitasi kekuatan massa guna mengencangkan daya
cengkeram politik. Memainkan strategi itu pada mulanya tampak biasa dan
dianggap normal dalam the real politics. Namun, kekuatan ini bisa mencelakan
jika tak dikontrol secara baik.
Di balik itu, yang
harus disadari secara betul adalah tentang sifat massa. Eksploitasi massa pada
level kuantitatif dan sekadar transaksi politik bisa dengan mudah direm. Sebab,
gerakan perubahan bernama revolusi dan reformasi butuh (tekanan) massa. Pada
tataran ini, gerakan itu bersifat kuantitatif belaka untuk tujuan mengambrukkan
kekuasaan otoriter ataupun lawan dengan pemanfaatan massa sebanyak-banyaknya.
Namun, bahaya besar
terjadi jika eksploitasi massa disusupi muatan-muatan ideologi eksklusif dan
sempit, katakanlah ideologi bercorak SARA. Eksploitasi massa tersebut bisa
berubah menjadi sangat kualitatif. Maksudnya, kehadiran ormas-ormas tersebut
tidak bisa lagi dianggap sepele, seperti sebuah kerumunan biasa atau sekadar
kumpulan massa yang berontak.
Mereka rentan
bermetamorfosis menjadi organized mass; massa yang terorganisasi secara apik
karena ditopang ideologi eksklusif, sumber dana, dan kepentingan politik yang
sangat jelas. Lebih jauh, mereka tak lagi sekadar menjadi tirani mayoritas barbarik
jalanan. Namun, di tataran elite mereka bisa berubah ke arah penghapusan
ideologi inklusif yang berlaku bagi seluruh penghuni republik.
Ekses paling buruk
bisa berbuntut pembersihan etnik -baik secara sosio-kultural, psikologis, maupun
fisik- oleh mayoritas ke minoritas. Ini bisa berlaku di mana saja. Sebab,
keyakinan ideologis lebih condong mengorganisasikan massa secara kuat dari
dalam. Artinya, gerakan-gerakan itu dilakukan secara sadar untuk tujuan
implementasi ideologi eksklusif yang diyakini, bahkan dengan pemaksaan kehendak
mayoritas; tirani mayoritas.
Alasannya, tirani
mayoritas hanya akan terjadi jika terjadinya eksploitasi ideologi-ideologi
sempit, apalagi ideologi agama, yang dipakai sebagai pemandu gerakan. Sebab,
agama itu urusan keyakinan. Keyakinan tak butuh dialog, diskursus, apalagi
debat ilmiah. Karena tak ada dialog, urusan pemaksaan berlaku dominan. Karena
itu, menunggang ideologi eksklusif untuk kepentingan politik sama artinya
memboyong bangsa ini ke negara gagal. Lalu bagaimana?
Tugas parpol
Bangsa ini perlu
membuka kembali sejarah kelam negara-negara yang gagal total mengendalikan
gelombang dahsyat dan tubrukan keras akibat eksploitasi ideologi sempit bagi
kepentingan politik. Pembantaian jutaan umat Yahudi oleh Nazi di Jerman, konflik
berdarah antara Tutsi dan Hutu di Rwanda, dan boncengan isu etnik pada
Reformasi 1998 yang berdarah itu harus dipakai sebagai kaca pembesar guna
melihat kondisi Indonesia saat ini.
Parpol-parpol
berdiri mengangkang di antara dua bibir jurang: integrasi atau disintegrasi
NKRI. Parpol berperan penting untuk dua pilihan itu. Kesehatan paradigma
berpikir parpol-parpol menentukan kesehatan politik dan kesehatan bangsa secara
keseluruhan. Demikian halnya dalam tautannya eksistensi ormas-ormas. Parpol
berpernan besar menjadi remote control atas mereka: peran rusak atau baik.
Peran rusak bila
berkehendak untuk mengeksploitasi ormas-ormas dan ideologi-ideologi sempit yang
mereka usung untuk tujuan pragmatisme politik. Namun, perlu diingat bahwa langkah
ini riskan bagi demokrasi, apalagi dalam negara majemuk. Sebab, demokrasi
membutuhkan dialog dan penalaran-penalaran yang masuk akal. Sementara
eksploitasi massa via penciptaan ormas-ormas berideologi sempit, apalagi yang
bertubuh SARA, secara otomatis meminggirkan dialog, interaksi, apalagi
diskursus yang beradab.
Persis di sanalah
jantung permasalahan mengapa ormas-ormas destruktif harus diatur sedemikian
rupa agar tidak mengganggu stabilitas. Ormas-ormas itu mirip peluru kendali karena
bisa dikendalikan oleh kepentingan elite-elite politik. Mereka pun tak lebih
dari mainan-manan elite politik. Karena itu, mengendalikan mereka juga menjadi
tugas parpol-parpol.
Sumber: Kompas, 6 November 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!