Oleh Fidelis Regi Waton
Pengajar Filsafat di Sankt Augustin, Jerman
MANUSIA lazimnya menagih penjelasan kausal berkaitan dengan kejadian yang
menggemparkan. Seputar pandemi covid-19 muncul pelbagai hoaks dan teori
konspirasi. Kubu anti-China dipelopori AS menuding Covid-19 rekayasa genetika
laboratorium biologis di Wuhan. Beberapa studi faktual telah membantah tuduhan
ini dengan menempatkan virus pembunuh ini dalam konteks evolusi alam
berdasarkan prinsip mutasi dan seleksi.
Garis pro-China
mempropagandakan Covid-19 sebagai senjata biologis AS demi mematahkan tendensi
hegemoni global ekonomi China. Iran kembali mendendangkan refrain klasik
antisemitisme. Israel ditilik berada di balik krisis corona (Zionist lobby).
Banyak portal media sosial mengaitkan korona dengan trik bestialis mereduksi
populasi manusia dengan dalih ekonomis. Industri farmasi juga tak luput dari
obyek curiga sebagai arsitek virus corona demi pemasaran vaksin.
Di Belanda dan
Inggris berkembang klaim Covid-19 diakibatkan radiasi teknologi 5G. De
Telegraaf memberitakan imbas anggapan ini, berupa pembakaran menara jaringan
telekomunikasi dimaksud.
Teori konspirasi
sudah lazim dalam panorama sejarah. Mendaratnya Apollo ke-11 di Bulan dianggap
difilmkan di padang gurun. Ketika wabah sampar melanda Eropa segera dicari
kambing hitam. Bangsa Yahudi terperangkap konstruksi enemy image (gambar
musuh). Mereka dicurigai meracuni sumur. Tuduhan ini kelak melegitimasi
kekerasan terhadap warga berdarah Yahudi. Serangan ke menara kembar World Trade
Center dilihat sebagai inside-job pemerintahan Bush. Perang Irak dilandasi
tuduhan kolaborasi antara Saddam Hussein dan jaringan teror Al-Qaeda.
Banyak yang
menyangsikan penjelasan resmi atas suatu kejadian. Para dirigen teori konspirasi
memanfaatkan peluang di tengah keraguan ini. Mereka menyajikan ulasan
alternatif yang relatif jelas, simpel, dan instan. Prinsip Ochkham`Razor (pisau
cukur Ockham) diberlakukan, artinya penjelasan paling sederhana diambil. Karena
Covid-19 pertama kali menyebar di pasar hewan Wuhan, hal itu dilabel made in
China.
Berdasarkan sumber
tak valid, dikutip statemen yang konon dituturkan Bill Gates bahwa vaksinasi
adalah cara terbaik mengurangi populasi. Gates lalu didakwa dalang Covid-19.
Model storytelling
ini begitu menarik dan cepat menyapa dan dicerna. Siapa percaya akan teori
konspirasi, ia beranggapan ada segelintir orang yang diam-diam merencanakan
aksi kriminal. Kiat tak bermoral ini dirakit begitu apik demi menguntungkan
protagonisnya sekaligus merugikan manusia dan alam. Begitu ekspres
dikumandangkan dramaturgi antagonistik teman dan musuh, baik dan jahat, kita
dan mereka.
Berpikir kritis
Mengapa teori
konspirasi begitu populer, atraktif, dan selalu laris dikonsumsi, biarpun ia
sangat dangkal dari sudut pandang epistemologi? Para konsumen hipotesis
konspiratif tak selamanya orang yang masih berpikir mistis dan esoterik. Mereka
yang hidup dalam masyarakat dengan taraf pendidikan tinggi dan peradaban modern
tidak selamanya otomatis mendiskualifikasikan diri dari perangkap teori
konspirasi.
Jawaban pertama
atas popularitas teori konspirasi adalah fenomen gangguan mental. Tentu saja
paranoid memiliki tingkat berbeda-beda. Psikolog Robert Brotherton dari
Universitas London menemukan korelasi antara kepribadian patologis dan
kepercayaan pada teori konspirasi. Penjelasan kedua berhubungan dengan fakta
irasionalitas manusia, biarpun ia didefinisikan animal rationale (makhluk
berakal budi). Sejarah umat manusia yang wajar dibentuk oleh progresivitas
intelek. Dengan kapasitas budinya manusia selalu berusaha menelusuri
problematikanya dengan tepat dan kredibel. Sayangnya kemampuan nalar ini bisa
bergerak regresif. Orang begitu gampang termakan isu, fake news, teori
konspirasi, pandangan sempit, sesat, dungu.
Percaya teori
konspirasi pada prinsipnya sangat manusiawi. Manusia memang rentan terhadap
irasionalitas dan rumor. Desas-desus dipercayai karena orang malas berpikir.
Meski begitu, aspek kemanusiawian kita tak terbatas di sana. Berpikir kritis
juga termasuk kapasitas kita yang manusiawi. Pendidikan formal dan non formal
bersasaran mengasah kekritisan kognisi kita. Berpikir kritis akan cepat melihat
keanehan dan absurditas teori konspirasi.
Insan yang kritis
tak begitu saja mengadopsi penjelasan resmi yang diterima umum (common
explanation) tentang suatu kasus. Apa yang diterima umum tak selamanya harus
benar. Kita tak diwajibkan percaya common explanation. Namun, setiap penjelasan
yang bertentangan dengan mainstream juga bukan otomatis berarti teori konspirasi.
Pribadi yang berpikir kritis akan skeptis dan mempertanyakan kembali segala
informasi yang masuk dan bukannya menelan semuanya. Ia akan melakukan check dan
re-check demi mendekati argumen dan fakta yang lebih sahih. Dengan pisau
kritisnya ia sanggup membedakan antara fiksi dan fakta, opini dan laporan,
hoaks dan kebenaran.
Insan yang percaya
teori konspirasi tak jeli membedakan kualitas sumber informasi. Baginya,
informasi medsos lebih bernilai dari hasil riset lembaga ilmiah. Krisis
Covid-19 mungkin sebagai kesempatan untuk kembali memperkuat kepercayaan kita
terhadap sains.
Sumber: Kompas, 28 April 2020
Justru karena mereka hanya percaya kepada sains, maka yang terjadi adalah mereka percaya pada konspirasi-konspirasi tersebut Prof. Harapan-harapan mereka pada produk sains sebagai jawaban atas masalah ini,a dampak dari mereka percaya teori konspirasi seperti Salah satu yang disebutkan bahwa ini adalah senjati biologi dll. Kalau memang benar sains adalah jawaban utama, siapa yang sanggup meyakinkan para tenaga medis untuk mau berjibaku menolong pasien? Siapa juga yang harus bertindak menghambat jumlah penyebaran virus ini di tengah masyarakat. Bukan berarti saya menolak sains, saya rasa kedua tugas terakhir bukan menjadi tugas sains.
ReplyDelete