Oleh Asep Salahudin
Wakil Rektor Bidang Akademik
IAILM
Suryalaya Tasikmalaya
RAMADAN kali ini berbeda dari sebelumnya. Virus korona
(covid-19) memaksa kita menghentikan banyak kegiatan, termasuk ibadah yang
memungkinkan berkumpulnya banyak orang. Tak ada lagi Tarawih di masjid, buka
bersama, dan kegiatan yang sifatnya jama’i, bahkan salat Idul Fitri.
Menjaga jarak dan
tinggal di rumah diyakini sebagai siasat efektif menghentikan penyebaran
covid-19. Kenyataan seperti ini kita maknai saja sebagai satu pesan positif
dari korona yang bersifat pandemik ini: menginjeksikan kesadaran untuk
menafakuri kedalaman interioritas spiritual kedirian.
Mencoba sementara
‘menjaga jarak’ dari hiruk pikuk kehidupan agar pada gilirannya kita lebih
jernih lagi dalam melihat dan mengambil keputusan.
Tinggal di rumah
kita sikapi sebagai gerak spiritual melakukan khalwat (mengasingkan diri).
Menyingkir (uzlah) dari keramaian untuk lebih bening menangkap kilatan hakikat
kehidupan. Bukankah kita sering kali terlalu sibuk sehingga lupa atas laku
‘menyendiri’?
Acap kali kita
tidak objektif memberikan penilaian terhadap hiruk pikuk politik, gempita
sosial, dan bahkan peristiwa keagamaan karena terlampaui tidak mengambil jarak
pada urusan-urusan tersebut.
Tinggal di rumah
dan mengambil jarak sebagai ikhtiar kembali membeningkan perspektif dan
mengilapkan cakrawala. Khalwat seperti ini akan menjadi sangat strategis dalam
kondisi tubuh dan jiwa kita yang sedang terpuasakan pada sebuah bulan yang
dimuliakan Tuhan.
Bulan yang tempo
hari Kanjeng Nabi sengaja menyisakan waktu menyambutnya dengan pidato menarik.
Katanya: “Wahai manusia, bulan Allah yang penuh rahmat dan ampunan telah datang
kepada kalian, sebuah bulan yang merupakan bulan terbaik di antara se mua bulan
di hadapannya. Siangnya adalah siang terbaik, malamnya adalah malam yang
terbaik, dan waktu-waktunya adalah waktu yang terbaik. Ia adalah bulan ketika
kalian diundang oleh Allah untuk berpesta dan kalian telah dipilih sebagai
penerima karunia istimewa ini. Tarikan-tarikan napas kalian diberi pahala
ibadah. Di bulan ini, segala amalan ibadah dan doa-doa kalian diterima…”
Kelembutan
Ramadan
disebut-sebut sebagai medan tersalurkannya kasih sayang Tuhan. Kelembutan
menjadi tujuan utama diwajibkannya puasa. Bersikap welas asih bukan hanya
kepada orang lain, melainkan juga pa da segenap spesies yang ada di bumi.
Manusia bisa mem bangun jaringan harmonis dengan alam dan segenap makhluk
Tuhan.
Kasih sayang itu
bahasa Arabnya rahmat. Berakar dari kata rahima yarhamu yang artinya seperti
dalam pelacakan al-Raghib al-Isfahani dalam kamus al-Mufradat fi Gharib al-Quran,
‘Kelembutan yang mengandaikan perbuatan bajik kepada yang dirahmati’. Sementara
itu, Malik Ghulam Farid dalam tafsir Alquran al-Majid memaknai rahmat sebagai
perpaduan antara unsur riqqah/kelembutan (tenderness) dan ihsan/kebajikan
(goodness).
Senarai hadis qudsi
ini memikat untuk direnungkan di awal Ramadan, “Bumi-Ku tak mampu memuat
Dzat-Ku. Begitu juga langit-Ku. Sesungguhnya yang sanggup menja di
singgasana-Ku hanyalah hati hamba- Ku yang beriman, jernih, dan penyayang.”
Ia juga berjanji,
“Siapa yang mencari-Ku, akan Kucari dia. Siapa yang mencintai Aku, akan
Kucintai dia, dan siapa yang meminta ampun kepada-Ku, pasti Kuampuni dia.”
Bahkan, dalam
ungkapan lain menarik dinarasikan, “Andai kata hamba- Ku mendekati Aku
sejengkal, Ku dekati dia sehasta. Andai kata ia mendekati Aku sehasta, Kudekati
dia sedepa, dan kalau ia datang kepada-Ku dengan berjalan kaki, akan Kudatangi
Dia berlari.” Kata Kanjeng Nabi, “Sebarkan lah kasih sayang di muka bumi, maka
engkau akan mendapatkan kasih sayang dari yang ada di langit.”
Dalam penjelasan
mufasir kenamaan Muhammad Ali, “Allah mengajar tiap-tiap manusia perbuatan baik
dan benar yang dilakukan oleh manusia dan selama manusia tak henti-hentinya
melakukan ini, maka kasih sayang Allah yang dipertontonkan melalui sifat rahim
juga akan terus berlanjut.”
Paneloux dan kita
Ada sebuah novel
menarik yang ditulis Albert Camus (7 November 1913-4 Januari 1960), Sampar (La
Peste). Novel yang menggambarkan sebuah Kota Oran yang diisolasi karena diterpa
wabah sampar. Dalam sekejap Oran menjadi kota mati, mayat-mayat bergelimpangan
dan kuburan ter hampar tanpa nisan penanda siapa sesungguhnya yang meninggal.
Dalam novel itu ada
satu tokoh bernama Paneloux. Seorang rohaniwan yang semula selalu berpikir
bahwa wabah itu sebagai hukuman Tuhan bagi masyarakat berdosa dan peringatan
Sang Kuasa agar lekas tobat. Pada akhirnya, rohaniwan itu menyadari bahwa wabah
tak pernah pilih-pilih korban.
Yang dibutuhkan
bukan sengketa teologis, melainkan keterlibatan total bersama-sama mencarikan
jalan keluar dari sekapan bencana. Saling berempati dan mengembangkan politik
keterlibatan pada tragedi tanpa melihat asal-usul agama dan politik identitas
lainnya.
Paneloux akhirnya
tersadarkan dan sangat paham bahwa agama harus ditafsirkan ulang agar
kehadirannya dapat dirasakan umat. Ibadah yang sifatnya jemaah musti
‘ditanggalkan’ seandainya hanya mencip takan kerumunan yang justru semakin
mempercepat tertularkannya virus satu pada yang lainnya.
Khotbah keagamaan
tidak hanya berisi seruan kesabaran, apalagi teriakan kebencian dan cacian bagi
para pendosa kafir atau pesimisme yang murung, tapi lebih kepada ajakan yang
utuh dalam penanggulangan wabah.
Kita simak narasi
menggetar kan seorang Paneloux yang berubah pendirian dari seorang rohaniwan
pasif menjadi aktif dalam Le Peste seperti diterjemahkan A Setyo Wibowo: ‘Kali
ini lain, menit per menit mereka bersamasama menunggu anak Pak Hakim Othon
sekarat dimakan secara bengis oleh baksil sampar. Jika dulu mereka ter hentak
dan marah secara abstrak, sekarang mereka harus berhadapan secara konkret
dengan wajah sengsara seorang anak kecil. Seperti sakit karena perutnya
digigiti dari dalam, tubuh anak itu mengerut dan ia berteriak serak. Kepalanya
me nekuk ke perut, menggigil dan kejang.
Seolah rasa sakit
berkurang, badannya melong gar lagi, tetapi napasnya menjadi semakin sesak.
Saat gigitan ganas itu datang lagi, tubuh rentanya bergejolak, mengejang,
berkeringat, mengangkatnya dari tempat tidur.
Dari mulut kecilnya
yang berlendir sampar, keluar erang dan jerit kesakitan. Kepalanya berontak ke
kanan, kiri, atas, bawah dan dengan tiba-tiba selimut ia hempaskan. Tak tahan
melihat penderitaan itu, romo Paneloux berteriak ter cekat, “Tuhan, selamatkan
anak ini.”
Pelupuk anak itu
membengkak, rapat terpejam. Air mata merembes keluar. Sekali lagi tubuhnya
mengejang, lalu mengendur sebentar dan berhenti untuk selama-lamanya, mati.
Jarum dokter Castel yang diujicobakan tidak berhasil. Akibatnya anak tanpa dosa
ini justru menderita jauh lebih lama dari biasanya’.
Sampar yang menimpa
Oran ialah wujud lain korona yang tengah menyergap belahan dunia kita hari ini.
Covid-19 ini bukan sekadar menyuruh ‘berdiam di rumah’ dan menjaga jarak dari
manusia lain.
Namun, yang lebih
substansial ialah memaksa kita melakukan renungan mendalam tentang kehadiran
kita di ha dapan bencana dan lian. Renungan seperti ini akan semakin tajam.
Terutama, da lam kondisi kita berpuasa, kepekaan akan lekas terasah dan
sensitivitas kemanusiaan cepat teraih. Selamat berpuasa dan semoga wabah ini
lekas berlalu.
Sumber: Media Indonesia, 9 Mei 2020
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!