Headlines News :
Home » » Puasa dan Spiritualisme Korona

Puasa dan Spiritualisme Korona

Written By ansel-boto.blogspot.com on Saturday, May 09, 2020 | 12:21 AM


Oleh Asep Salahudin
Wakil Rektor Bidang Akademik 
IAILM Suryalaya Tasikmalaya 

RAMADAN kali ini berbeda dari sebelumnya. Virus korona (covid-19) memaksa kita menghentikan banyak kegiatan, termasuk ibadah yang memungkinkan berkumpulnya banyak orang. Tak ada lagi Tarawih di masjid, buka bersama, dan kegiatan yang sifatnya jama’i, bahkan salat Idul Fitri.

Menjaga jarak dan tinggal di rumah diyakini sebagai siasat efektif menghentikan penyebaran covid-19. Kenyataan seperti ini kita maknai saja sebagai satu pesan positif dari korona yang bersifat pandemik ini: menginjeksikan kesadaran untuk menafakuri kedalaman interioritas spiritual kedirian.

Mencoba sementara ‘menjaga jarak’ dari hiruk pikuk kehidupan agar pada gilirannya kita lebih jernih lagi dalam melihat dan mengambil keputusan.

Tinggal di rumah kita sikapi sebagai gerak spiritual melakukan khalwat (mengasingkan diri). Menyingkir (uzlah) dari keramaian untuk lebih bening menangkap kilatan hakikat kehidupan. Bukankah kita sering kali terlalu sibuk sehingga lupa atas laku ‘menyendiri’?

Acap kali kita tidak objektif memberikan penilaian terhadap hiruk pikuk politik, gempita sosial, dan bahkan peristiwa keagamaan karena terlampaui tidak mengambil jarak pada urusan-urusan tersebut.

Tinggal di rumah dan mengambil jarak sebagai ikhtiar kembali membeningkan perspektif dan mengilapkan cakrawala. Khalwat seperti ini akan menjadi sangat strategis dalam kondisi tubuh dan jiwa kita yang sedang terpuasakan pada sebuah bulan yang dimuliakan Tuhan.

Bulan yang tempo hari Kanjeng Nabi sengaja menyisakan waktu menyambutnya dengan pidato menarik. Katanya: “Wahai manusia, bulan Allah yang penuh rahmat dan ampunan telah datang kepada kalian, sebuah bulan yang merupakan bulan terbaik di antara se mua bulan di hadapannya. Siangnya adalah siang terbaik, malamnya adalah malam yang terbaik, dan waktu-waktunya adalah waktu yang terbaik. Ia adalah bulan ketika kalian diundang oleh Allah untuk berpesta dan kalian telah dipilih sebagai penerima karunia istimewa ini. Tarikan-tarikan napas kalian diberi pahala ibadah. Di bulan ini, segala amalan ibadah dan doa-doa kalian diterima…”

Kelembutan

Ramadan disebut-sebut sebagai medan tersalurkannya kasih sayang Tuhan. Kelembutan menjadi tujuan utama diwajibkannya puasa. Bersikap welas asih bukan hanya kepada orang lain, melainkan juga pa da segenap spesies yang ada di bumi. Manusia bisa mem bangun jaringan harmonis dengan alam dan segenap makhluk Tuhan.

Kasih sayang itu bahasa Arabnya rahmat. Berakar dari kata rahima yarhamu yang artinya seperti dalam pelacakan al-Raghib al-Isfahani dalam kamus al-Mufradat fi Gharib al-Quran, ‘Kelembutan yang mengandaikan perbuatan bajik kepada yang dirahmati’. Sementara itu, Malik Ghulam Farid dalam tafsir Alquran al-Majid memaknai rahmat sebagai perpaduan antara unsur riqqah/kelembutan (tenderness) dan ihsan/kebajikan (goodness).

Senarai hadis qudsi ini memikat untuk direnungkan di awal Ramadan, “Bumi-Ku tak mampu memuat Dzat-Ku. Begitu juga langit-Ku. Sesungguhnya yang sanggup menja di singgasana-Ku hanyalah hati hamba- Ku yang beriman, jernih, dan penyayang.”

Ia juga berjanji, “Siapa yang mencari-Ku, akan Kucari dia. Siapa yang mencintai Aku, akan Kucintai dia, dan siapa yang meminta ampun kepada-Ku, pasti Kuampuni dia.”

Bahkan, dalam ungkapan lain menarik dinarasikan, “Andai kata hamba- Ku mendekati Aku sejengkal, Ku dekati dia sehasta. Andai kata ia mendekati Aku sehasta, Kudekati dia sedepa, dan kalau ia datang kepada-Ku dengan berjalan kaki, akan Kudatangi Dia berlari.” Kata Kanjeng Nabi, “Sebarkan lah kasih sayang di muka bumi, maka engkau akan mendapatkan kasih sayang dari yang ada di langit.”

Dalam penjelasan mufasir kenamaan Muhammad Ali, “Allah mengajar tiap-tiap manusia perbuatan baik dan benar yang dilakukan oleh manusia dan selama manusia tak henti-hentinya melakukan ini, maka kasih sayang Allah yang dipertontonkan melalui sifat rahim juga akan terus berlanjut.”

Paneloux dan kita

Ada sebuah novel menarik yang ditulis Albert Camus (7 November 1913-4 Januari 1960), Sampar (La Peste). Novel yang menggambarkan sebuah Kota Oran yang diisolasi karena diterpa wabah sampar. Dalam sekejap Oran menjadi kota mati, mayat-mayat bergelimpangan dan kuburan ter hampar tanpa nisan penanda siapa sesungguhnya yang meninggal.

Dalam novel itu ada satu tokoh bernama Paneloux. Seorang rohaniwan yang semula selalu berpikir bahwa wabah itu sebagai hukuman Tuhan bagi masyarakat berdosa dan peringatan Sang Kuasa agar lekas tobat. Pada akhirnya, rohaniwan itu menyadari bahwa wabah tak pernah pilih-pilih korban.

Yang dibutuhkan bukan sengketa teologis, melainkan keterlibatan total bersama-sama mencarikan jalan keluar dari sekapan bencana. Saling berempati dan mengembangkan politik keterlibatan pada tragedi tanpa melihat asal-usul agama dan politik identitas lainnya.

Paneloux akhirnya tersadarkan dan sangat paham bahwa agama harus ditafsirkan ulang agar kehadirannya dapat dirasakan umat. Ibadah yang sifatnya jemaah musti ‘ditanggalkan’ seandainya hanya mencip takan kerumunan yang justru semakin mempercepat tertularkannya virus satu pada yang lainnya.

Khotbah keagamaan tidak hanya berisi seruan kesabaran, apalagi teriakan kebencian dan cacian bagi para pendosa kafir atau pesimisme yang murung, tapi lebih kepada ajakan yang utuh dalam penanggulangan wabah.

Kita simak narasi menggetar kan seorang Paneloux yang berubah pendirian dari seorang rohaniwan pasif menjadi aktif dalam Le Peste seperti diterjemahkan A Setyo Wibowo: ‘Kali ini lain, menit per menit mereka bersamasama menunggu anak Pak Hakim Othon sekarat dimakan secara bengis oleh baksil sampar. Jika dulu mereka ter hentak dan marah secara abstrak, sekarang mereka harus berhadapan secara konkret dengan wajah sengsara seorang anak kecil. Seperti sakit karena perutnya digigiti dari dalam, tubuh anak itu mengerut dan ia berteriak serak. Kepalanya me nekuk ke perut, menggigil dan kejang.

Seolah rasa sakit berkurang, badannya melong gar lagi, tetapi napasnya menjadi semakin sesak. Saat gigitan ganas itu datang lagi, tubuh rentanya bergejolak, mengejang, berkeringat, mengangkatnya dari tempat tidur.

Dari mulut kecilnya yang berlendir sampar, keluar erang dan jerit kesakitan. Kepalanya berontak ke kanan, kiri, atas, bawah dan dengan tiba-tiba selimut ia hempaskan. Tak tahan melihat penderitaan itu, romo Paneloux berteriak ter cekat, “Tuhan, selamatkan anak ini.”

Pelupuk anak itu membengkak, rapat terpejam. Air mata merembes keluar. Sekali lagi tubuhnya mengejang, lalu mengendur sebentar dan berhenti untuk selama-lamanya, mati. Jarum dokter Castel yang diujicobakan tidak berhasil. Akibatnya anak tanpa dosa ini justru menderita jauh lebih lama dari biasanya’.

Sampar yang menimpa Oran ialah wujud lain korona yang tengah menyergap belahan dunia kita hari ini. Covid-19 ini bukan sekadar menyuruh ‘berdiam di rumah’ dan menjaga jarak dari manusia lain.

Namun, yang lebih substansial ialah memaksa kita melakukan renungan mendalam tentang kehadiran kita di ha dapan bencana dan lian. Renungan seperti ini akan semakin tajam. Terutama, da lam kondisi kita berpuasa, kepekaan akan lekas terasah dan sensitivitas kemanusiaan cepat teraih. Selamat berpuasa dan semoga wabah ini lekas berlalu. 
Sumber: Media Indonesia, 9 Mei 2020
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger