Headlines News :
Home » » HAM dan Teori Diskursus

HAM dan Teori Diskursus

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, December 10, 2010 | 12:07 PM

Oleh Otto Gusti
Dosen di STFK Ledalero, Maumere, Flores

YANG paling kuat sekalipun tak pernah cukup kuat untuk tetap jadi tuan jika ia tak berhasil menerjemahkan kekuatan itu ke dalam hukum dan ketaatan menjadi kewajiban.

Demikian JJ Rousseau, filsuf politik abad ke-18 asal Perancis dalam Du Contract Social. Rousseau mau mengatakan: tanpa kepastian hukum dan norma yang berlaku umum, kehidupan bersama akan berubah jadi keadaan darurat yang konstan. Meminjam adagium filsuf Thomas Hobbes, manusia akan hidup dalam kondisi perang semua melawan semua. Para penguasa bertindak sewenang-wenang. Warga kehilangan rasa percaya pada pemimpinnya. Hukum tak punya arti dan taring sebab dapat ditafsirkan sesuka hati seturut arah gerak bandul kuasa dan uang.

Ini mengantar negara ke jurang kehancuran. Kesadaran ini meyakinkan para pemimpin negara dunia di paruh pertama abad ke-20 mendeklarasikan paham universal hak asasi manusia. Mereka sadar betul: kehidupan masyarakat global tak dapat dibangun atas dasar kekuatan fisik belaka. Paradigma lama ”jika mau berdamai, bersiap-siaplah berperang” tak lagi dapat diterapkan. Perang Dunia I berakhir dengan 10 juta jiwa terbunuh, PD II 50 juta jiwa, jutaan pengungsi meninggalkan tanah airnya.

Deklarasi Universal HAM lahir ibarat burung garuda harapan di tengah puing kehancuran nasionalisme dan totalitarianisme abad ke-20, berpuncak pada pembantaian massal di Auschwitz. Atas dasar pengalaman historis penderitaan umat manusia abad ke-20, para pemimpin negara mendefinisikan HAM sebagai hak universal, egaliter, individual, dan kategoris. Itu hak yang dimiliki manusia karena kemanusiaannya. Namun, validitas HAM masih saja dipersoalkan. Dalam diskursus paham HAM global, terdapat tiga model pendasaran HAM: paradigma absolut, relatif, dan relasional.

Tipologi pendasaran HAM

Paradigma absolut dianut dalam tradisi hukum kodrat. Model ini menempatkan rasionalitas HAM atas dasar prinsip transendental. Kelemahan model absolut muncul karena membutuhkan pengandaian metafisik dan tak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat modern yang pluralistik dan hidup dalam kondisi pascametafisik. Paradigma relatif dapat ditemukan dalam pandangan relativisme budaya. Di sini HAM hanya berlaku dalam hubungan dengan sistem nilai budaya tertentu. Namun, tuntutan validitas kategoris HAM tak dapat bertumpu pada sesuatu yang partikular dan kontingen. Validitas universal, egaliter, dan kategoris hanya dapat dibangun di atas prinsip yang universal, egaliter, dan kategoris pula.

Model pendasaran HAM ketiga bersifat relasional. Model ini coba membangun korelasi antara validitas universal dan basis kultural-politis HAM terbatas. Model ini coba menunjukkan tuntutan obyektivitas dan universalitas HAM lewat korelasi HAM dan konsep kedaulatan rakyat.

Model relasional yang dikembangkan teori diskursus ini coba menjembatani ketegangan antara kaum liberal dan republikan. Teori diskursus menganjurkan kesamaan asal-usul antara konsep HAM dan kedaulatan rakyat. Liberalisme menjadikan interes subyektif ”prapolitis” sebagai syarat normatif pertimbangan demokrasi. Hak subyek berfungsi melindungi warga dari intervensi negara dan jadi sumber legitimasi. Tapi, penekanan berlebihan pada hak subyek cenderung menciptakan kesenjangan sosial.

Sebaliknya, konsep republikan tentang demokrasi melihat kehendak kolektif atau kedaulatan rakyat sebagai sumber legitimasi. Sebuah masyarakat atau bangsa secara otonom menciptakan aturan dan UU-nya sendiri yang hendak ia taati. Konsep otonomi ini menginterpretasi proses penetapan UU yang otonom secara demokratis sebagai proyek bersama aktualisasi diri kolektif. Penekanan berlebihan pada hak kolektif dapat menghalangi inisiatif warga dan bersifat otoriter.

Lewat akal budi komunikatif, teori diskursus mempertemukan prinsip liberal hak subyek dan prinsip demokratis penetapan UU secara otonom. Dalam arti ini, kedaulatan rakyat sebagai penetapan hukum secara otonom dilihat sebagai sebuah prosedur diskursus. Proses ini tentu saja hanya bersifat diskursif jika memenuhi semua syarat diskursus yang fair: kondisi bebas represi, egalitarian, inklusif, serta tiadanya pemaksaan. Pemenuhan syarat ini serta sikap tunduk pada aturan diskursus dalam ranah politik dijamin lewat konstitusi.

Diskursus dan agama

HAM adalah ungkapan dari prinsip martabat manusia. Martabat manusia merupakan prinsip etis yang memiliki validitas transhistoris serta kriteria yang melampaui segala model masyarakat. Pandangan tentang martabat manusia sering ditafsirkan secara religius. Dari kacamata agama, konsep martabat manusia merupakan transformasi kreatif dari pandangan tentang manusia sebagai imago dei. Sebesar apa pun dosa seorang manusia, statusnya sebagai citra Allah tak pernah hilang sehingga ia boleh berharap akan pengampunan dosa. Jadi, ia tak boleh diperlakukan tak semena-mena dan tetap punya hak diproses secara hukum.

Makna dan sifat kategoris paham HAM tak cukup hanya dijelaskan lewat pendekatan prosedural teori diskursus, tetapi butuh basis substansial agama. Sebuah negara hukum demokratis yang taat pada prinsip HAM bergantung pada agama sebagai sumber dan pijakan prapolitis prinsip hukum. Agama bertugas menciptakan basis nilai bagi sebuah demokrasi yang efektif serta taat pada prinsip HAM.

Namun, agama dan HAM tak dapat disamakan begitu saja. Agama pada prinsipnya bertugas menyempurnakan manusia secara moral dan berusaha menjauhkan manusia dari kejahatan. Peran ini tak dapat dijalankan negara atau HAM. Mengutip Ignas Kleden: paham HAM bertujuan dan mengatur sekian sehingga manusia dalam kerapuhannya tak merugikan orang lain.
Sumber: Kompas, 10 Desember 2010
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger