Oleh
Sigit Riyanto
Guru Besar Hukum Internasional FH UGM;
Anggota Dewan
Riset Nasional Bidang Hankam
DALAM beberapa bulan terakhir
ini, istilah persekusi begitu mengemuka dalam pemberitaan di berbagai media di
Tanah Air.
Penggunaan Istanbul
persekusi dan pemberitaan oleh berbagai media, baik media cetak, elektronik,
daring, maupun media sosial yang begitu gencar, telah memunculkan dugaan,
anggapan, bahkan kepercayaan publik bahwa tindakan persekusi telah terjadi dan
nyata adanya di Indonesia.
Benarkah benar-benar
telah terjadi persekusi di Indonesia? Atau sekadar penggunaan istilah yang
salah kaprah belaka. Suatu penggunaan kata-kata yang keliru atau tidak tepat,
tetapi diterima secara umum bahkan seolah-olah dianggap sebagai hal yang benar
dan memang demikian seharusnya.
Adalah sangat
mungkin terjadinya peristiwa kekerasan oleh sekelompok warga terhadap warga
lain yang selama ini diberitakan dengan gencar sebagai tindakan persekusi,
sejatinya adalah tindakan pelanggaran hukum pidana biasa (penganiayaan; main hakim
sendiri). Akan tetapi, karena adanya konteks situasi konflik horizontal antara
kelompok warga tertentu dan kelompok warga lain, lalu diasumsikan sebagai
tindakan penganiayaan dan atau penindasan yang dianggap telah mencapai derajat
tindakan persekusi. Suatu generalisasi yang terlalu menyederhanakan persoalan
dan gegabah.
Makna persekusi
Persekusi merupakan
suatu istilah hukum yang khas dan spesifik dalam kaitannya dengan perlindungan
hak asasi manusia (HAM) serta dalam situasi yang khusus pula, yakni manakala
mekanisme perlindungan nasional tidak tersedia.
Kata persekusi
sejatinya merupakan terminologi yang pada dasarnya dikenal dan berlaku dalam
wacana hukum perlindungan hak asasi manusia, khususnya Hukum Pengungsi
Internasional (International Refugee Law). Istilah persekusi mengandung makna
"setiap tindakan penindasan dan atau penganiayaan yang dilakukan karena
alasan ras, agama, kebangsaan, keyakinan politik, atau keanggotaan pada
kelompok sosial tertentu". Batasan ini dapat ditemukan, misalnya di dalam
Konvensi Geneva 1951 tentang Status Pengungsi.
Dalam situasi
kesimpangsiuran pemahaman dan kesalahkaprahan penggunaan istilah persekusi ini,
dapat saja setiap pihak yang menjadi korban kekerasan atau penganiayaan mengaku
dirinya sebagai korban tindakan persekusi.
Perlu dipahami
bahwa untuk sampai pada taraf telah terjadi tindakan persekusi, harus dilihat
kasus per kasus, ada institusi, mekanisme, bahkan proses ajudikasinya. Setiap
orang boleh saja mengaku bahwa dirinya korban persekusi. Namun, pengakuan itu
masih harus diverifikasi dan diuji kredibilitasnya secara internal ataupun
eksternal untuk sampai pada kualifikasi yang sahih tentang ada-tidaknya
tindakan persekusi.
Patut dicatat juga
bahwa sejatinya tindakan persekusi dapat dilakukan oleh aparat negara ataupun
pihak lain yang bukan merupakan aparat negara (non state actors). Oleh karena
itu, untuk menilai ada-tidaknya tindakan persekusi perlu dipertimbangkan juga
apakah memang tidak ada akses perlindungan hukum oleh otoritas nasional di
negara yang bersangkutan; atau aparat negara telah melakukan pembiaran
terjadinya tindakan semacam itu dan tidak melakukan perlindungan sebagaimana
mestinya terhadap mereka yang menjadi korban.
Manakala benar
telah terjadi tindakan persekusi dan tidak ada mekanisme hukum nasional yang
adil, masyarakat internasional menyediakan mekanisme perlindungan internasional
yang bersifat komplementer. Artinya, mekanisme perlindungan internasional baru
dapat bekerja ketika otoritas nasional terbukti tidak mampu memberikan perlindungan
hukum yang adil dan pasti bagi para korban.
Salah satu upaya
perlindungan yang diakui oleh hukum internasional adalah adanya lembaga suaka
dan prinsip "Non Refoulement". Berdasarkan prinsip hukum ini, setiap
negara harus menerima dan melindungi korban persekusi, serta dilarang mengusir
atau mengembalikan korban persekusi tersebut ke wilayah di mana kebebasan dan
hak hidupnya terancam.
Meskipun demikian,
mekanisme perlindungan internasional ini hanya berlaku bagi para korban
pelanggaran (persekusi).
Mekanisme ini tidak
berlaku bagi mereka yang kabur ke luar dari negaranya karena disangka melakukan
perbuatan kriminal biasa (kejahatan nonpolitik) dan berusaha menghindar dari
proses hukum.
Mekanisme
perlindungan internasional juga dapat dikecualikan dan tidak berlaku bagi
mereka yang disangka telah melakukan kejahatan serius berupa: pelanggaran berat
HAM, kejahatan perang, kejahatan melawan kemanusiaan, dan kejahatan melawan
perdamaian.
Tindakan tegas
Sudah saatnya
aparat penegak hukum untuk bertindak tegas guna menegakkan hukum dan melindungi
para korban tindakan kekerasan dan main hakim sendiri yang selama ini telah
begitu gencar diberitakan sebagai persekusi.
Ketegasan aparat
penegak hukum dalam menangani kasus-kasus kekerasan dan main hakim sendiri oleh
sekelompok warga dapat menghentikan kesalahpahaman dan kesalahkaprahan tentang
persekusi; dan yang lebih penting lagi dapat mengembalikan rasa aman dan
tenteram bagi semua warga negara, serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, sebagai hak asasi yang dijamin oleh
hukum dan perundang-undangan negara Indonesia.
Sumber: Kompas, 7 Juni 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!