Komite Perlindungan
Pekerja Migran Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) atau United Nations Committee
on Migrant Workers dilaporkan mencecar Pemerintah Indonesia terkait situasi dan
kebijakan migrasi di Tanah Air.
HAL itu disampaikan
Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant CARE Anis Hidayah dalam keterangan pers
bersama Koalisi Masyarakat Sipil melalui pesan singkat
WhatsApp dari arena Sidang ke-27 Komite
Perlindungan Pekerja Migran PBB atau United Nations Committee on Migrant Workes
di Markas Besar PBB Geveva, Switzerland, yang diterima penulis di Jakarta,
Selasa (6/9) siang. Perwakilan Koalisi Bersama merupakan gabungan dari Migrant
CARE, Yayasan Kesehatan untuk Semua (YKS) Nusa Tenggara Timur, Migrant CARE Malaysia, dan SARI.
Para anggota Koalisi Bersama terdiri dari sejumlah aktivis antara lain Direktur Eksekutf Migrant CARE Wahyu Susilo, Anis Hidayah, Migrant CARE Malaysia Alex Ong, Duta Anti Perbudakan Migrant CARE Melanie Subono, Saverrapal Corvando dari YKS, Kepala Desa Dukuh Dempok Miftajul Munir, SARI Solo Mukyadi, dan mantan buruh migran Siti Badriyah.
Para anggota Koalisi Bersama terdiri dari sejumlah aktivis antara lain Direktur Eksekutf Migrant CARE Wahyu Susilo, Anis Hidayah, Migrant CARE Malaysia Alex Ong, Duta Anti Perbudakan Migrant CARE Melanie Subono, Saverrapal Corvando dari YKS, Kepala Desa Dukuh Dempok Miftajul Munir, SARI Solo Mukyadi, dan mantan buruh migran Siti Badriyah.
Menurut Anis, Pemerintah
Indonesia telah melakukan dialog dengan Komite Pekerja Migran PBB pada tanggal
5 September 2017. Dalam putaran sesi pertama dialog selama tiga jam, Pemerintah
Indonesia yang diwakili Abdul Wahab Bangkona, Staf Ahli Bidang Hubungan
Internasional Kementerian Ketenagakerjaan RI menyampaikan highlight dari laporan pemerintah yang telah di submit kepada
Komite.
Menanggapi laporan
inisial pemerintah Indonesia, Komite memberikan respon untuk menggali,
mengkonfirmasi dan memperdalam informasi. Dalam putaran pertama sesi tanya
jawab, Pemerintah Indonesia dicecar dengan 75 pertanyaan dari 7 anggota Komite
Pekerja Migran, 1 orang Rappourteur Komite
dan Special Rappourteur untuk perlindungan
hak-hak pekerja migran. Komite menyoroti dekegasi pemerintah Indonesia yang
sangat besar yakni 23 orang.
“Dalam kesempatan
yang sama, delegasi dari Mexico 15 orang dan Ecuador 5 orang. Tidak hanya dalam
hal jumlah, delegasi pemerintah Indonesia juga disorot dalam hal keterwakilan
perempuan yang sangat njomplang, dari 23 delegasi, hanya tiga orang yang
perempuan. Hingga menimbulkan pertanyaan dari Komite, apakah di Indonesia tidak
ada aturan tentang keterwakilan perempuan?,” demikian salah satu butir dalam keterangan
tertulis itu.
Selain mengenai
delegasi, ada sejumlah hal yang dipertanyakan Komite Pekerja Migran. Pertama, posisi
revisi UU Nomor 39 tahun 2014 yang telah berlangsung lama dan harus disesuaikan
dengan konvensi. Apakah telah disesuaikan dengan kovensi dan kapan akan
disahkan? Kedua, MoU dengan 13 negara tujuan yang dinilai belum sesuai dengan
prinsip-prinsip konvensi harus segera direvisi.
Ketiga, kebijakan
dan peran perusahaan pengirim tenaga kerja swasta yang dominan dan banyak
melakukan praktek yang merugikan buruh migran dan melanggar HAM asasi manusia.
Bagaimana mekanisme monitoring dan penjatuhan sanksinya? Sementara pemerintah
Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi Konvensi ILO 181 tentang agency,
mengapa ratifikasi belum dilakukan.
Keempat, kasus
hukuman mati yang banyak dihadapi buruh migran perempuan di beberapa Negara
tujuan. Saat ini setidaknya ada 212 kasus buruh migran Indonesia yang terancam
hukuman mati, bagaimana pemerintah Indonesia melakukan upaya-upaya
perlindungannya?
Bagaimana
perlindungan terhadap PRT migran di Negara-negara yang tidak memiliki regulasi
tentang PRT? Sementara mereka rentan mengalami kekerasan fisik dan seksual.
Seperti di Arab Saudi dan beberapa Negara di Timur Tengah. Apa upaya yang sudah
dilakukan untuk melindungi mereka?
Moratorium dengan
19 negara di Timur Tengah, mengapa kebijakan itu diambil? Bagaimana dampak
positif dan negatifnya? Moratoroum juga diindikasikan meningkatkan buruh migran
perempuan menjadi korban trafficking.
Bagaimana pemerintah Indonesia melakukan monitoring selama moratorium dan
berapa jumlah penurunan keberangkatan dan yang tetap berangkat? Bagaimana
mencegah praktek korupsi dalam tata kelola migrasi?
Anak-anak buruh
migran yang lahir di Negara tujuan banyak yang mengalami kesulitan dalam
mendapatkan akta kelahiran, bagaimana melakukan negosiasi dengan Negara tujuan?
Anak-anak yang
ditinggalkan orang tuanya bermigrasi, apakah ada kebijakan dan program untuk
memastikan pendidikan dan pola asuh bagi mereka. Remitansi buruh migran Indonesia,
berapa jumlahnya dan bagaimana upaya pemerintah Indonesia dalam memfasilitasi
pengiriman ke Indonesia dan memanfaatkannya di dalam negeri
Mekanimse apa yang
sudah dikembangkan oleh pemerintah Indonesia dalam mencegah buruh migran agar
tidak menjadi korban trafficking? Apakah sudah ada MoU antara pemrintah
Indonesia dengan Negara tujuan mengenai penanganan trafficking?
Bagimana kompetensi
diplomat dan konsuler di perwakilan pemerintah Indonesia dalam melayani buruh
migran? Bagaimana partisipasi masyarakat sipil dalam perlindungan buruh migran?
Sejauh mana ada kolaborasi yang terbangun antara masyrakat sipil dengan
pemerintah Indonesia
Biaya penempatan
buruh migran yang mahal. Training bagi calon buruh migran terutama perempuan,
bagaimana kurikulum dan mekanismenya? Bagaimana inisiatif yang sudah dibangun
di tingkat local?
Untuk merespon
banyaknya pertanyaan Komite, pemerintah Indonesia diberikan waktu selama 15
menit untuk menyiapkan jawaban. Jawaban yang diberikan pemerintah Indonesia
tidak detail sebagaimana pertanyaan Komite. Pemerintah yang diwakili Lalu
Muhamad Iqbal (Kemenlu), Hermono (BNP2TKI) dan Abdul Wahab Bangkona (Kemenaker)
menjawab secara general tentang upaya-upaya yang telah dilakukan.
Migrant CARE
mengapreasiasi pertanyaan dan pernyataan Komite Pekerja Migran PBB atas laporan
inisial pemerintah Indonesia. Berbagai laporan masyarakat sipil baik tertulis
maupun oral statement yang pada tanggal 4 dan 5 September diberikan oleh
delegasi masyarakat sipil menjadi pertimbangan dan informasi alternatif.
Menurut Anis, hari
ini sessi kedua dialog Pemerintah Indonesia dengan Komite yang akan berlangsung
selama tiga jam (10.00 – 13.00 waktu Jenewa). Untuk selanjutnya Komite akan
menyusun observasi dan rekomendasi. “Migrant CARE berharap bahwa sesi kali ini
akan menghasilkan rekomendasi yang substantive bagi pemerintah Indonesia untuk
segera melakukan perubahan kebijakan dan tata kelola migrasi yang eksploitatif,
korup dan tidak melindungi,” lanjut pernyataan tertulis itu.
Ansel Deri
Ket
foto: Suasana Sidang ke-27 Komite Perlindungan Pekerja Migran PBB atau United
Nations Committee on Migrant Workes di Markas Besar PBB Geveva, Switzerland (gbr 1) dan Anis Hidayah (gbr 2) dan Saverrapal Corvando (gbr 3).
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!