Oleh Ali Usman
Pemerhati pendidikan
MENGAPA
pelaku tindakan amoral, kriminal, pelanggar hukum, justru banyak di antara
mereka yang pernah dibesarkan dalam lembaga pendidikan, dan bahkan lulusan
tingkat S-1/S-2/S-3? Apakah itu berarti pendidikan nasional kita gagal
melahirkan generasi bangsa yang berbudi luhur? Lalu apa fungsi pendidikan
secara ideal? Pendidikan sesungguhnya dapat mendidik anak menjadi orang yang
baik untuk masa depannya. Anggapan ini benar dan tidaklah salah. Setiap warga
yang sukses dalam segala urusan profesi hampir dipastikan pernah mengenyam
lembaga pendidikan. Karena itu, di semua negara di dunia, pendidikan memiliki
kontribusi besar dalam mencetak generasi bangsa yang siap melanjutkan tongkat
estafet kepemimpinan sebuah bangsa.
Pendidikan dengan
demikian merupakan elemen penting dalam suatu negara, termasuk di Indonesia.
Visi-misi penyelenggaraan pendidikan idealnya tidak hanya mencetak generasi
bangsa untuk memperoleh pekerjaan yang layak karena memperoleh ijazah kelulusan
di tingkat tertentu, tapi lebih dari itu ialah menjadikan peserta didik sebagai
manusia yang cerdas, baik, dan berbudi luhur sehingga membawa dampak positif
bagi lingkungannya. Fungsi pendidikan seharusnya berjalan sesuai dengan
proporsi yang seimbang, yaitu sebagai sarana transfer ilmu pengetahuan; konservasi
dan pengembangan ilmu pengetahuan; penguasaan life skill dan teknologi; dan
sarana pembangunan karakter; sehingga menghasilkanoutput yang kompeten dalam
bidang ilmu pengetahuan.
Bukan saja mampu
mengandalkan kemampuan pikir dan kognitif yang baik, melainkan juga memiliki
jiwa dan karakter yang luhur. Karena itu, setiap manusia yang memiliki
penglihatan yang luas dan jauh, menurut HAMKA, mestinya tidak akan terjebak
pada perbuatan-perbuatan kriminal dan yang merugikan orang lain. Kemampuan
kognitif yang tidak diimbangi dengan karakter yang positif mengakibatkan
munculnya pribadi-pribadi yang cacat secara nilai sehingga melahirkan seorang
seperti koruptor yang bergelar sarjana. Pembinaan karakter
Problem utama
pendidikan nasional kita lebih kepada pembinaan karakter dan moral. Banyak
orang pintar dan memiliki nilai tinggi, yang secara kognitif menunjukkan
kesuksesan pendidikan secara lahir. Namun, hal itu tidaklah cukup jika tidak
diikuti pula oleh kesuksesan secara batin, yaitu peserta didik dan lulusannya
memiliki karakter dan moral yang baik pula. Apakah pendidikan karakter itu sama
dengan pendidikan moral? Muhammad AR (2003: 25) tidak membedakan antara
pendidikan moral dan karakter karena esensinya sama di wilayah etika. Semua
keyakinan atau agama memiliki nilai moral atau yang sering disebut
adab/etika/akhlak.
Nilai-nilai moral
diperlukan di era sekarang ini, untuk membina manusia agar dapat membedakan
mereka dengan makhluk-makhluk yang lain. Bagi agama Islam, pendidikan akhlak
ialah yang utama setelah pendidikan tauhid. Pendidikan karakter memiliki esensi
dan makna yang sama dengan pendidikan moral. Tujuannya adalah membentuk pribadi
anak, supaya menjadi pribadi yang baik, jika di masyarakat menjadi warga yang
baik, dan jika dalam kehidupan bernegara menjadi warga negara yang baik. Adapun
kriteria pribadi yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang
baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial
tertentu, yang banyak dipengaruhi budaya masyarakat dan bangsanya.
Oleh karena itu,
hakikat pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah
pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai luhur yang bersumber dari budaya
bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda (2002:
34). Karakter adalah
watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil
internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai
landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.
Pendidikan karakter
adalah pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa pada diri
peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter
dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai
anggota masyarakat, dan warga negara yang religius, nasionalis, produktif dan
kreatif (Kemendiknas, 2010).
Internalisasi nilai
Karena itu,
nilai-nilai moral sebagai salah satu unsur penting pembentuk nilai-nilai luhur
kehidupan selayaknya menjadi inti pembentukan karakter bangsa yang secara
psikologis merupakan bagian dari kompetensi yang berada pada domain afektif,
kognitif, dan psikomotorik.
Karakter tersebut
akan membentuk suatu pribadi yang memiliki kepribadian luhur. Pembinaan
karakter tersebut tidaklah cukup mengandalkan pembelajaran di sekolah meski
mungkin lewat konsep full day school (FDS), yang saat ini menuai kontroversi
publik. Pembinaan karakter melibatkan tidak hanya peran sekolah, tetapi jauh
lebih penting pada peran keluarga dan lingkungan di rumahnya. Konsep FDS sebagaimana
dicanangkan pemerintah, di samping akan terjadi kekhawatiran hilangnya
pembelajaran agama (madrasah diniah) karena mengganggu sistem yang telah
berjalan, juga bernuansa kapitalistik dan mungkin cocok di masyarakat kota yang
orangtua murid sibuk kerja.
Program 5 hari
sekolah, dan itu berarti hari Sabtu dan Minggu libur dapat dimanfaatkan
orangtua murid (terutama masyarakat kota dan kaya) untuk pergi berwisata, lalu
sewa hotel, dan dengan demikian memengaruhi roda perekonomian nasional, baik
langsung maupun tidak langsung. Inilah potret dari 'kapitalisasi pendidikan'.
Pembentukan karakter dan moral peserta didik tidak diukur seberapa lama mereka
di sekolah, tapi lebih pada internalisasi nilai-nilai meski dalam waktu yang
singkat. Internalisasi itu merupakan salah satu sarana pembelajaran nilai-nilai
moral yang pada akhirnya menghasilkan output yang disebut prinsip, yang
merupakan pengendali internal individu yang akan menjaga pikiran, perasaan, dan
perilaku untuk tetap pada jalur kebaikan, bukan sebaliknya.
Mengapa? Karena
karakter adalah nilai-nilai moral positif, tidak netral dan negatif, yang dalam
bahasa agama disebut etika dan akhlak. Penyemaiannya tidak boleh dikelola
sebatas institusi pendidikan, tetapi lebih jauh dari itu merupakan tanggung
jawab lingkungan dan keluarga inti setiap anak. Agar mengurangi beban
kontroversi soal FDS, sebaiknya pemerintah berkonsentrasi untuk membuat
rangkaian program parenting education bagi seluruh lapisan masyarakat sekitar
sekolah. Anggaran harus disediakan secara nasional dan dukungan orangtua dan
masyarakat harus terus digelorakan melalui partisipasi aktif mereka dalam
proses pendidikan anak-anak. Dibutuhkan kreativitas warga sekolah untuk membuat
sebanyak mungkin parenting education program yang berujung pada terkendalinya
pendidikan karakter di tingkat keluarga inti.
Sumber: Media Indonesia, 4
September 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!