Headlines News :
Home » » Kontribusi Pendidikan untuk Moral Bangsa

Kontribusi Pendidikan untuk Moral Bangsa

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, September 05, 2017 | 12:11 PM

Oleh Ali Usman
Pemerhati pendidikan

MENGAPA pelaku tindakan amoral, kriminal, pelanggar hukum, justru banyak di antara mereka yang pernah dibesarkan dalam lembaga pendidikan, dan bahkan lulusan tingkat S-1/S-2/S-3? Apakah itu berarti pendidikan nasional kita gagal melahirkan generasi bangsa yang berbudi luhur? Lalu apa fungsi pendidikan secara ideal? Pendidikan sesungguhnya dapat mendidik anak menjadi orang yang baik untuk masa depannya. Anggapan ini benar dan tidaklah salah. Setiap warga yang sukses dalam segala urusan profesi hampir dipastikan pernah mengenyam lembaga pendidikan. Karena itu, di semua negara di dunia, pendidikan memiliki kontribusi besar dalam mencetak generasi bangsa yang siap melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan sebuah bangsa.

Pendidikan dengan demikian merupakan elemen penting dalam suatu negara, termasuk di Indonesia. Visi-misi penyelenggaraan pendidikan idealnya tidak hanya mencetak generasi bangsa untuk memperoleh pekerjaan yang layak karena memperoleh ijazah kelulusan di tingkat tertentu, tapi lebih dari itu ialah menjadikan peserta didik sebagai manusia yang cerdas, baik, dan berbudi luhur sehingga membawa dampak positif bagi lingkungannya. Fungsi pendidikan seharusnya berjalan sesuai dengan proporsi yang seimbang, yaitu sebagai sarana transfer ilmu pengetahuan; konservasi dan pengembangan ilmu pengetahuan; penguasaan life skill dan teknologi; dan sarana pembangunan karakter; sehingga menghasilkanoutput yang kompeten dalam bidang ilmu pengetahuan.

Bukan saja mampu mengandalkan kemampuan pikir dan kognitif yang baik, melainkan juga memiliki jiwa dan karakter yang luhur. Karena itu, setiap manusia yang memiliki penglihatan yang luas dan jauh, menurut HAMKA, mestinya tidak akan terjebak pada perbuatan-perbuatan kriminal dan yang merugikan orang lain. Kemampuan kognitif yang tidak diimbangi dengan karakter yang positif mengakibatkan munculnya pribadi-pribadi yang cacat secara nilai sehingga melahirkan seorang seperti koruptor yang bergelar sarjana. Pembinaan karakter

Problem utama pendidikan nasional kita lebih kepada pembinaan karakter dan moral. Banyak orang pintar dan memiliki nilai tinggi, yang secara kognitif menunjukkan kesuksesan pendidikan secara lahir. Namun, hal itu tidaklah cukup jika tidak diikuti pula oleh kesuksesan secara batin, yaitu peserta didik dan lulusannya memiliki karakter dan moral yang baik pula. Apakah pendidikan karakter itu sama dengan pendidikan moral? Muhammad AR (2003: 25) tidak membedakan antara pendidikan moral dan karakter karena esensinya sama di wilayah etika. Semua keyakinan atau agama memiliki nilai moral atau yang sering disebut adab/etika/akhlak.

Nilai-nilai moral diperlukan di era sekarang ini, untuk membina manusia agar dapat membedakan mereka dengan makhluk-makhluk yang lain. Bagi agama Islam, pendidikan akhlak ialah yang utama setelah pendidikan tauhid. Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi pribadi yang baik, jika di masyarakat menjadi warga yang baik, dan jika dalam kehidupan bernegara menjadi warga negara yang baik. Adapun kriteria pribadi yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi budaya masyarakat dan bangsanya.

Oleh karena itu, hakikat pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda (2002: 34). Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.

Pendidikan karakter adalah pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warga negara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif (Kemendiknas, 2010).

Internalisasi nilai

Karena itu, nilai-nilai moral sebagai salah satu unsur penting pembentuk nilai-nilai luhur kehidupan selayaknya menjadi inti pembentukan karakter bangsa yang secara psikologis merupakan bagian dari kompetensi yang berada pada domain afektif, kognitif, dan psikomotorik.

Karakter tersebut akan membentuk suatu pribadi yang memiliki kepribadian luhur. Pembinaan karakter tersebut tidaklah cukup mengandalkan pembelajaran di sekolah meski mungkin lewat konsep full day school (FDS), yang saat ini menuai kontroversi publik. Pembinaan karakter melibatkan tidak hanya peran sekolah, tetapi jauh lebih penting pada peran keluarga dan lingkungan di rumahnya. Konsep FDS sebagaimana dicanangkan pemerintah, di samping akan terjadi kekhawatiran hilangnya pembelajaran agama (madrasah diniah) karena mengganggu sistem yang telah berjalan, juga bernuansa kapitalistik dan mungkin cocok di masyarakat kota yang orangtua murid sibuk kerja.

Program 5 hari sekolah, dan itu berarti hari Sabtu dan Minggu libur dapat dimanfaatkan orangtua murid (terutama masyarakat kota dan kaya) untuk pergi berwisata, lalu sewa hotel, dan dengan demikian memengaruhi roda perekonomian nasional, baik langsung maupun tidak langsung. Inilah potret dari 'kapitalisasi pendidikan'. Pembentukan karakter dan moral peserta didik tidak diukur seberapa lama mereka di sekolah, tapi lebih pada internalisasi nilai-nilai meski dalam waktu yang singkat. Internalisasi itu merupakan salah satu sarana pembelajaran nilai-nilai moral yang pada akhirnya menghasilkan output yang disebut prinsip, yang merupakan pengendali internal individu yang akan menjaga pikiran, perasaan, dan perilaku untuk tetap pada jalur kebaikan, bukan sebaliknya.

Mengapa? Karena karakter adalah nilai-nilai moral positif, tidak netral dan negatif, yang dalam bahasa agama disebut etika dan akhlak. Penyemaiannya tidak boleh dikelola sebatas institusi pendidikan, tetapi lebih jauh dari itu merupakan tanggung jawab lingkungan dan keluarga inti setiap anak. Agar mengurangi beban kontroversi soal FDS, sebaiknya pemerintah berkonsentrasi untuk membuat rangkaian program parenting education bagi seluruh lapisan masyarakat sekitar sekolah. Anggaran harus disediakan secara nasional dan dukungan orangtua dan masyarakat harus terus digelorakan melalui partisipasi aktif mereka dalam proses pendidikan anak-anak. Dibutuhkan kreativitas warga sekolah untuk membuat sebanyak mungkin parenting education program yang berujung pada terkendalinya pendidikan karakter di tingkat keluarga inti. 
Sumber: Media Indonesia, 4 September 2017
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger